Ada laporan terbit pekan ini; ia memperlihatkan pandangan yang jarang ada dalam dunia rahasia Otoritas Palestina (PA), sebuah lembaga yang dibangun pada tahun 1994 sesuai dengan Perjanjian Oslo yang ditandatangani antara Israel dan PLO.
Di bawah pimpinan Mahmud Abbas, sejak berdirinya PA mendapat bermiliar-miliar dolar dana dalam bentuk bantuan dari AS, Uni Eropa dan berbagai negara donor lainnya.
Bagaimanapun, karena negara-negara donor tidak meminta akuntabilitas dan transparansi dari Otoritas Palestina, rakyat Palestina justru sangat kesulitan dana. Berbagai sumbangan donor, pada pihak lain justru mendorong para pemimpin Palestina untuk terus mengantongi jutaan dolar uang, memperbesar rekening-rekening uang pribadi dan bank mereka yang tersembunyi.
Orang mungkin mengharapkan negara-negara donor Barat menyadari persoalan ini kemudian memperhatikan bahwa para pemimpin Palestina menyalahgunakan uang pembayar pajak mereka yang mereka kirimkan ke negeri itu. Orang mungkin berharap masyarakat Amerika dan Eropa datang kepada Abbas dan kroni-kroninya, menggebrak mejanya lalu menuntut mereka menggunakan dan menginvestasikan uang demi kesejahteraan rakyat mereka. Bukan untuk para sahabat dan anggota keluarga mereka.
Laporan diterbitkan oleh Coalition For Accountability And Integrity (Koalisi untuk Akuntabilitas dan Integritas---AMAN). Ia memperlihatkan bahwa negara-negara donor Barat tidak belajar apa-apa dari kesalahan-kesalahan masa lalu mereka. Lembaga itu sendiri didirikan tahun 2000 oleh sejumlah organisasi masyarakat madani yang bekerja dalam bidang demokrasi, hak asasi manusia dan pemerintahan yang baik.
Laporan itu juga memperlihatkan bahwa Otoritas Palestina tetap saja sebuah lembaga yang korup, rusak. Sama seperti sejak lahirnya, lebih dari dua puluh tahun silam. Di bawah pimpinan Yasser Arafat, PA dirundung oleh luasnya praktek korupsi dan kesalahan manajemen. Penggantinya, Mahmoud Abbas pun mengikuti tradisi yang sama. Dan, meski dia berulangkali berjanji, Otoritas Palestina tetap korup seperti sebelumnya.
Mengapa Abbas dan para sahabatnya harus bekerja meningkatkan kondisi masyarakat mereka jika pihak- pihak yang menumpahkan miliaran dolar kepada mereka justru memalingkan mata secara buta terhadap korupsi keuangan dan administratif dalam lingkungan Otoritas Palestina yang mereka danai?
Dengan judul "Integrity and Combating Corruption: Palestine 2017," laporan AMAN menelisik status korupsi serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas di lingkungan Otoritas Palestina selama tahun 2017. Laporannya sangat komprehensif. Dia meneliti luasnya korupsi serta pemborosan dana publik oleh kepemimpinan Otoritas Palestina.
Laporan tersebut menemukan misalnya, bahwa Otoritas Palestina menginvestasikan dana sebesar $17,5 juta atau (sekitar Rp. 239 miliar) untuk membangun "istana kepresidenan" bagi Abbas. Istana dibangun di atas lahan seluar 4,700 meter persegi. Namun, setelah menghadapi kecaman berkaitan dengan proyek tersebut, Abbas lantas memutuskan mengubah istana ini menjadi perpustakaan nasional yang sangat besar.
Berikut ini, apa yang dikatakan laporan itu tentang proyek raksasa itu:
"Kedengarannya memang terhormat untuk mengubah istana kepresidenan menjadi perpustakaan umum. Namun, dia tetap menyimbolkan penggunaan dana publik yang salah serta contoh buruk dari kurangnya penentuan prioritas. Dan, walau ide membangun istana penerima tamu delegasi resmi luar negeri dalam dirinya sendiri bukanlah hal yang tidak baik, namun, dia tidak dan tidak bakal pernah menjadi prioritas masyarakat Palestina, dilihat dari kebutuhan yang mendesak untuk mendanai jasa-jasa penting seperti kesehatan dan pendidikan. Ini tentu saja terlepas dari krisis finansial kronis yang melanda Otoritas Palestina. Dan sembari mengakui pentingnya sebuah perpustakaan nasional, pemikiran untuk mengubah istana menjadi hal yang mengganggu. Soalnya, bangunan itu bakal lebih banyak memakan biaya dibanding membangun perpustakaan sejak awal karena terkait dengan rincian yang dituntut dari pembangunan serta pembangunan kembali gedung tersebut."
Abbas yang berumur 83 tahun bisa saja mengiventasikan uang $17,5 juta dolar (sekitar Rp 239 miliar) untuk membangun rumah sakit baru atau menciptakan pekerjaan bagi rakyatnya. Tetapi dia justru memilih membangun istana bagi pengikutnya dan dirinya sendiri di atas puncak bukit di pinggiran kota Ramallah.
Apakah istana itu merupakan bagian rencana Abbas supaya bisa menikmati pensiun yang tenang, nyaman dan mewah meriah? Ide untuk mengubah istana menjadi perpustakaan nasional pun sama-sama menggelikan. Soalnya, bagi masyarakat Palestina, sekolah atau rumah sakit baru itu jauh lebih mendesak daripada perpustakaan. Selain itu, pada titik ini, rakyat Palestina nyaris tidak membutuhkan perpustakaan yang terlihat lebih sebagai istana megah.
Gambar: "Istana Presiden" Mahmud Abbas yang bernilai $17,5 juta (sekitar Rp 239 miliar) dekat Ramallah. Setelah menghadapi kecaman seputar proyek tersebut Abbas lantas memutuskan mengubah istana itu menjadi perpustakaan nasional raksasa. (Sumber foto: Dewan Ekonomi Palestina untuk Pembangunan dan Rekonstruksi). |
Berikut ini contoh lain yang laporan tersebut tampilkan terkait dengan praktek pemborosan uang masyarakat yang dilakukan oleh Otoritas Palestina. Yaitu membayar gaji dan biaya bagi sebuah perusahaan penerbangan yang tidak ada. Perusahaan itu bernama "Palestine Airline" (Perusahaan Penerbangan Palestina).
Konon "ratusan karyawan perusahaan ini terus saja menerima gaji dan uang saku dari Otoritas Palestina, walau perusahaan itu tidak terdaftar sebagai perusahaan yang sesudai dengan hukum Palestina."
Anggaran perusahaan ini, laporan tersebut menemukan, mencakup anggaran bagi Kementerian Transportasi Palestina, tetapi tidak ada rincian seputar bagaimana dana dibelanjakan. Para karyawan "Palestinian Airlines" bukan saja satu-satunya pegawai negeri sipil yang dibayar walau tidak bekerja dan ditetapkan menjadi karyawan oleh perusahaan yang tidak sungguh-sungguh ada. Menurut laporan, para anggota Dewan Legislatif Palestina (PLC), atau Parlemen Palestina, juga mendapat untung dari gaji bulanan, meski lembaga itu sendiri sudah dilumpuhkan selama lebih dari satu dekade akibat perselisihan pendapat antara faksi Fatah pimpinan Abbas yang berkuasa dan Faksi Hamas.
"PLC yang terus-menerus tidak berfungsi pada tahun 2017, menyebabkan akuntabilitas dan pengawasan kinerja pengelolaan dana publik dan urusan publik secara umum menjadi tantangan yang terbesar," laporan itu menjelaskan. Pada tahun 2017 lalu laporan itu memperlihatkan, Otoritas Palestina membelanjakan lebih dari 39 juta shekel (sekitar Rp 150 miliar) untuk PLC. Separuh dana itu digunakan untuk gaji para pembuat hukum Palestina itu meskipun mereka tidak bekerja selama lebih dari satu dekade. Laporan itu melanjutkan:
"Masyarakat berhak mengetahui layaknya pengeluaran- tanpa hasil nyata yang bisa dilihat dari peran PLC ini. Juga masyarakat berhak mengetahui tidak terselenggarakannya pertemuan-pertemuan yang melibatkan para anggota parlemen dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, sesuai dengan hukum. Berbagai rencana pemerintah tidak berhasil memperlihatkan adanya upaya untuk mengendalikan krisis finansial PA yang terus berlangsung atau pun dilakukan rasionalisasi pengeluaran publik atau upaya untuk mengendalikan pengadaan barang serta pengeluaran administratif dan operasional. Selain itu, pembicaraan tentang upaya penghematan masih berlanjut tanpa ada usaha untuk melakukan langkah-langkah pelaksanaan yang serius."
Laporan juga menemukan bobroknya struktur aparat keamanan Otoritas Palestina yang terus terjadi. Semakin meningkatnya jumlah para pejabat berpangkat tinggi dalam lembaga itu tentu saja berdampak negatif terhadap kinerja pasukan keamanan. Selain itu, jumlah anggotanya yang meningkat memberikan beban tambahan atas anggaran publik. Persentase petugas dalam ketiga aparat keamanan mencapai 50% dari semua pejabat dalam delapan pasukan keamanan Otoritas Palestina.
Laporan menemukan bahwa korupsi pun meluas hingga pembelian kendaraan para pejabat berikut anggota keluarga dan sahabat mereka. "Orang-orang berpengaruh dalam jabatan yang tinggi diberikan pengecualian pajak berdasarkan persetujuan yang diperkuat dengan hukum," laporan itu menemukan. "Banyak sekali dana terbuang sia." Di sini, pantas dicatat bahwa hukum Otoritas Palestina juga mengijinkan para teroris mereka yang menghabiskan lebih dari 20 tahun di penjara Israel untuk menerima, hanya satu kali saja, satu mobil gratis. Pemberian ini, tentu saja, di luar kebijakan Otoritas Palestina untuk membayar gaji bagi keluarga para tahanan dan teroris yang sudah menjadi "syuhadah."
Menurut laporan, "korupsi politik sudah mendalam dalam kasus Palestina akibat adanya dua pihak yang memiliki otoritas; satu di Tepi Barat dan satunya lagi di Jalur Gaza." Pemilahan ini, merupakan akibat dari perjuangan kekuasaan Hamas – Fatah. Hal itu merugikan kehidupan Palestina dalam berbagai tingkat dan secara negatif mempengaruhi persoalan dana publik, hak asasi dan kebebasan serta pembangunan karena dua pemerintahan membuat keputusan dan langkah-langkah yang berniat untuk melemahkan satu sama lain.
Pada tahun 2017, Komisi Anti-Korupsi Otoritas Palestina menerima 430 keluhan tetapi hanya 21 keluhan dirujuk kepada pihak kantor kejaksaan, urai laporan tersebut. "Ini mengindikasikan lambannya kerja komisi dan staf serta mekanisme penindakan kasusnya," tambahnya. Sedangkan yang berkaitan dengan hakikat kasus itu sendiri, mereka berkisar dari penggelapan dana hingga penyalahgunaan kekuasaan sampai penipuan hingga pelanggaran terhadap kepercayaan serta penyuapan." Proporsi terbesar penjahat yang dituduh melakukan korupsi adalah para pegawai dalam lingkungan sektor publik.
Laporan tersebut juga berupaya menegur pihak Otoritas Palestina berkaitan dengan caranya mengesahkan anggaran tahun 2017 lalu. Versi lengkap anggarannya tidak disampaikan kepada masyarakat umum; hanya pendapatan serta pengeluaran yang disajikan tanpa rincian seperti soal alokasi dana untuk setiap kementerian. Undang-undang anggaran pun tidak memasukan daftar yang menggambarkan utang piutang serta pinjaman Otoritas Palestinas atau mengusulkan rencana menyatukan pembayaran utang-piutang dan pinjaman tersebut. Selain itu, sumbangan serta penanaman modal Otoritas Palestina dalam berbagai perusahaan lokal dan non-lokal tidak dijelaskan.
Media Barat benar-benar mengabaikan laporan-laporan seperti itu. Dengan melakukan demikian, para wartawan Barat justru mengkhianati masyarakat mereka sendiri karena tidak memberikan informasi kepada mereka tentang betapa uang bantuan asing mereka digelapkan dan dihabiskan sia-sia oleh para pemimpin Palestina yang korup. Masyarakat Palestina, tentu saja, menjadi korban utama dalam kisah ini. Mereka hidup dalam kemiskinan ketika para pemimpin mereka menggerogoti dana publik. Kehidupan mereka bakal jauh lebih baik jika para pemimpin mereka diminta bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan mereka.
Bagi masyarakat Palestina, menghadapi para diktator di Ramallah dan Jalur Gaza itu sama dengan mempertaruhkan nyawa seseorang. Meskipun demikian, hal yang sama tidak berarti benar bagi komunitas internasional termasuk media arus utama Barat.
Lalu, mengapa mereka terus memalingkan pandangan ketika Abbas membangun rumah mewah berkilau bagi dirinya dan sahabatnya? Barangkali karena mereka terlampau sibuk menggali hal yang kotor seputar Israel. Tetapi tatkala wartawan menutup mata dan telinga, sehingga memungkinkan para pemimpin Palestina yang kejam terus melukai rakyat mereka sendiri itu mencuri uang pajak Amerika dan Eropa, maka cahaya keemasan Otoritas Palestina justru mulai ternoda.
Bassam Tawil adalah Muslim yang berbasis di Timur Tengah.