Selama beberapa dekade sekarang ini, masyarakat Palestina menterjemahkan konsensi serta langkah-langkah Israel sebagai isyarat kelemahan diri.
Kenyataan ini penting untuk dipikirkan dalam benak, ketika Pemerintah AS bersiap diri untuk meluncurkan rencananya bagi perdamaian di Timur Tengah, yang dirujuk oleh Presiden Donald Trump sebagai "perjanjian abad ini."
Laporan yang diterbitkan dalam harian Israel Ma'ariv, pada 4 Mei lalu mengklaim bahwa "perjanjian abad ini" menyerukan supaya menempatkan empat kawasan Arab di Yerusalem di bawah kendali Otoritas Palestina. Keempat kawasan itu, menurut laporan media tersebut adalah Jabal Mukaber, Essawiyeh, Shu'fat dan Abu Dis. Ma'ariv menulis bahwa rincian rencana damai AS sudah disajikan kepada Menteri Pertahanan Israel Avigdor Liberman selama kunjungan ke Washington, pekan silam:
"Prinsip rencana damai, yang disajikan kepada Liberman, termasuk, di antara hal-hal lainnya, adalah konsesi berskala besar dan penting pada sisi Israel...AS berharap Israel bisa menerimanya serta mematuhi syarat-syarat yang dilihat Israel sebagai konsesi-konsesi yang menyakitkan."
Jika benar, maka konsesi yang dilaporkan meminta Israel lakukan sebagai bagian "kesepakatan abad ini" hasil rancangan Pemerintah AS, tidak bakal dilihat Palestina sebagai isyarat bahwa Israel berusaha berdamai. Sebagaimana terbukti dari masa lalu, semua itu bakal dilihat oleh masyarakat Palestina sebagai sebentuk aksi mengundurkan diri serta penyerahan diri.
Otoritas Palestina bakal bahagia jika mulai berkuasa atas empat kawasan di Yerusalem. Sejauh berkaitan dengan PA, semakin banyak kawasan diserahkan Israel, semakin baik. Kawasan di Yerusalem benar-benar akan disambut gembira karena bakal memberikan pijakan bagi Otoritas Palestina di kota tersebut. Satu kebijakan, itulah kebijakannya, lebih banyak dan lebih banyak kebijakan lagi.
Empat kawasan itu hanya beberapa mil jauhnya dari Knesset (Parlemen Israel), Kantor Perdana Menteri Israel serta symbol kedaulatan Israel lainnya. Jadi, kedaulatan Palestina atas empat kawasan itu sangat penting secara simbolis. Jangan buat kesalahan: Masyarakat Palestina akan melihat kehadiran mereka di empat kawasan itu sebagai langkah pertama menuju pembagian kembali Yerusalem.
Masyarakat Palestina akan mengatakan bahwa konsesi Israel itu tidak cukup. Mereka akan menuntut supaya Israel memberikan kepada mereka lebih dari 28 kawasan Arab dan desa-desa yang berlokasi dalam lingkungan Kotamadya Yerusalem serta yang berada di bawah kedaulatan Israel. Dengan kata lain, penyerahan empat komunitas itu hanya merangsang selera masyarakat Palestina kemudian mendorong mereka untuk menuntut lebih. Akan mereka perdebatkan bahwa Israel kini membuat preseden yang perlu diikuti dengan konsesi-konsesi yang lebih jauh.
Di sini, pantas dicatat bahwa Otoritas Palestina tengah menuntut kedaulatan atas semua kawasan Yerusalem timur, termasuk Kota Tua serta Tembok Barat. Bagi mereka, Kota Tua dan semua situs suci di Yerusalem milik Palestina dan seharusnya semua di bawah kedaulatan Palestina, Memang, akan mereka ambil empat kawasan itu. Tapi itu baru permulaan. Bahkan lebih parah lagi, Palestina agaknya hendak memanfaatkan empat kawasan itu sebagai landasan untuk menjalankan serangan terror terhadap Israel guna "membebaskan bagian lain Yerusalem."
Kita pertimbangan apa yang terjadi pada tahun 2005. Kala itu, Israel secara sepihak menarik diri mundur dari Jalur Gaza setelah mengeluarkan lebih dari 8.000 warga Yahudi dari rumah-rumah mereka kemudian menghancurkan lebih 20 pemukiman.
Sekarang pun,sulit untuk menemukan satu warga Palestina yang menganggap penarikan mundur Israel dari Jalur Gaza sebagai indikasi bahwa Israel memang menginginkan perdamaian. Justru sebaliknya. Lepasnya Israel dari Jalur Gaza, disalahtafsirkan oleh masyarakat Palestina sebagai mengundurkan diri karena berbagai serangan bom bunuh diri serta serangan roket.
Bagi Palestina, mundurnya Israel dari Jalur Gaza dilihat sebagai penyerahan yang membuat Hamas dan berbagai kelompok terror lain semakin berani. Kelompok-kelompok ini mengambil untung untuk "mengusir keluar orang Yahudi dari Jalur Gaza" melalui terorisme.
Jika menembak mati warga Israel itu berhasil dan mengusir keluar orang Israel itu sama dengan mengundurkan diri, baiklah: Terus saja lakukan!
Tidaklah mengherankan kala itu, bahwa Hamas memenangkan Pemilu parlementer Palestina, beberapa bulan kemudian. Faksi Hamas mencalonkan diri dalam Pemilu Januari 2006 dengan platform yang membangga-banggakan diri bahwa ia sudah memaksa Israel "meninggalkan" Jalur Gaza berkat serangan bunuh diri serta roket.
Kala itu, masyarakat Palestina di Jalur Gaza malah mengatakan: "Mengagumkan! Kita sudah membunuh 1.000 orang Yahudi selama empat tahun dan orang-orang Yahudi ini melarikan diri dari Jalur Gaza. Jadi kita perlu terus menembaki mereka. Sekarang ini, mereka melarikan diri dari Jalur Gaza. Besok, mereka juga akan lari dari Ashkelon, kemudian dari Ashdod, dari Tel Aviv dan dari sana sampai ke laut. Dengan demikian kita akan mencapai tujuan kita melenyapkan Israel."
Tidak perlu mengatakan, Hamas dan pendukungnya terus melancarkan serangan melawan Israel setelah Israel menarik diri dari perbatasan internasional negeri itu. Mereka benar-benar percaya bahwa "lepasnya" Israel dari kawasan itu tidak ada apa-apanya, selain penyerahan diri karena aksi-aksi mereka yang kejam.
Perundingan sekarang ini soal penarikan diri Israel dari berbagai bagian Yerusalem membawa kita kembali kepada skenario Jalur Gaza.
Pertama, tidak ada rakyat Palestina yang akan melihat langkah itu sebagai isyarat positif Israel. Kedua, bagaimana orang bisa berpikir bahwa kawasan-kawasan itu tidak bakal jatuh ke tangan Hamas dan Jihad Islam Palestina pada masa mendatang?
Itu persisnya yang terjadi pada tahun 2005. Ketika itu Israel menyerahkan Jalur Gaza kepada Otoritas Palestina, yang belakangan melarikan diri dari kawasan tersebut dan menyerahkannya kepada Hamas.
Waktu pengusulan konsesi Israel juga sangat problematis. Soalnya, Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas dan pemerintahannya yang berbasis di Ramallah serta para sahabatnya akhir-akhir ini terlibat dalam kampanye tanpa henti menghasut melawan Israel.
Mereka terus-menerus menyebarkan kebohongan-kebohongan yang luar biasa seputar Israel kemudian menghasut rakyat mereka untuk membenci lalu melakukan kejahatan. Mereka terus memberikan penghargaan kepada para teroris beserta keluarga mereka karena membunuh serta mencederai masyarakat Yahudi. Mereka terus menyangkali sejarah dan ikatan masyarakat Yahudi dengan tanah itu sambil berusaha sekuat tenaga untuk mendeligitimasi serta menganggap masyarakat Yahudi sebagai penjahat.
Konsesi apapun dari Israel, khususnya pada tahap ini, bakal diterjemahkan oleh rakyat Palestina sebagai pemberian hadiah kepada Mahmud Abbas serta gerombolannya yang tidak dituntut untuk memberikan apapun kepada Israel sebagai imbal-balik.
Nyaris tiada hari lewat tanpa Abbas mengingatkan kita bahwa dia bukanlah mitra perjanjian damai dengan Israel. Apakah bijak memberi penghargaan kepada Abbas sekarang ini sehingga dia malah mengungkapkan anti-Semitismenya yang sebenarnya? Apakah tepat memberikan pijakan bagi Abbas di Yerusalem setelah dia baru-baru ini mengklaim bahwa, menurut dia, perilaku masyarakat Yahudi sendiri, bukan sikap anti-Semitisme yang menyebabkan Holocaust terjadi?
Apakah tepat dan bermanfaat untuk memberikan penghargaan kepada Abbas pada saat dia menolak menghentikan pembayaran kepada teroris Palestina beserta keluarga-keluarga mereka?
Lebih jauh lagi, apakah tepat dan membantu untuk mengganjari Abbas serta Otoritas Palestina pimpinannya ketika mereka terus menghasut masyarakat mereka melawan Pemerintah AS serta para penasehat Yahudi mereka Jason Greenblatt, David Friedman dan Jared Kushner? Apakah Otoritas Palestina pantas diberi penghargaan atas aksi penghasutan tiap harinya melawan Duta Besar AS untuk PBB, Nikky Haley?
Ada pepatah dalam Bahasa Arab: " Mereka meludahi wajahnya tetapi dia katakan itu hujan."
Bukankah Palestina sudah menolak rencana Presiden Trump dan menganggapnya sebagai sebuah "konspirasi yang diklaim hendak menghancurkan cita-cita Palestina serta hak-hak nasionalnya?" Mengapa harus Pemerintahan Trump memberikan pemberian kepada Abbas ketika dia dan para sahabatnya tengah memboikot para pejabat AS?
Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas menyebut David Friednman, Duta Besar AS untuk Israel,. "Anak Anjing" dalam suatu pidato yang disiarkan televise pada 19 Maret 2018. (Sumber foto: suntingan video MEMRI). |
Pemerintahan Trump perlu memahami bahwa masyarakat Palestina melihat AS sebagai musuh. Bukan sebagai sahabat. Memberikan Abbas menguasai empat kawasan Arab di Israel tidak bakal mempercepat cita-cita perdamaian.
Tidak ada warga Palestina berdemo di jalan-jalan mengungkapkan syukur mereka kepada Israel. Sebaliknya mereka akan berdemo di jalan-jalan untuk memperbesar serangan terror mereka atas Israel dengan harapan bisa pelahan-pelahan mendapatkan konsesi yang lebih jauh.
Abbas telah membuktikan diri dia tidaklah berbeda dari pendahulunya, Yasser Arafat. Seperti Arafat, dia pun tidak mengakui hak Bangsa Yahudi atas tanah, tanah manapun. Cukup perhatikan saja peta "Palestina" terbaru apapun: "itulah peta duplikat Israel yang persis, tetapi nama-nama sejumlah kotanya sudah diubah .
Abbas tidak bermaksud hanya menguasai sejumlah kawasan di Yerusalem. Bagi Abbas, sama seperti bagi Arafat, Israel adalah pemukiman besar yang perlu dibasmi. Bagi dia, dalam kata-katanya sendiri, Israel adalah "proyek kolonial" yang dia klaim tidak ada hubungan sama sekali dengan Yudaisme. Bagi dia, Bangsa Yahudi tidak lebih daripada para lintah darat rakus, dalam parodi karikatur yang menyebabkan mereka sendiri menderita Holocaust.
Apakah pantas orang ini diberi hadiah? Apakah orang ini pantas untuk diantar masuk ke Yerusalem? Abbas dan bukan Israel, harus diminta memberikan konsensi. Dia harus berhenti mengingkari dan memutarbalikan sejarah Bangsa Yahudi; dia harus berhenti memberikan penghargaan kepada para pembunuh orang Yahudi; dia harus berhenti mengkotbahkan kebencian di kalangan rakyatnya. Itulah jalan terbaik menuju perdamaian.