Nimer Mahmoud Jamal, teroris Palestina berusia 37 tahun membunuh tiga warga Israel di jalan masuk menuju Har Adar dekat Yerusalem, 25 September 2017 lalu. Padahal, dia punya surat ijin dari pihak berwenang Israel untuk bekerja di Israel.
Pihak keluarga dan para sahabatnya mengatakan Jamal punya kehidupan yang baik. Dia malah dianggap beruntung karena warga Yahudi mempekerjakannya. Dia mendapat gaji besar serta dilindungi oleh hukum tenaga kerja Israel. Pada malam sebelum merancangkan misi kejamnya, dia menghabiskan waktu beberapa jam di pusat kebugaran desanya, yang terletak hanya beberapa mil jauhnya dari Har Adar.
Dengan demikian, Jamal, pembunuh tiga warga Israel (dua korban adalah warga Arab Israel), tidak miskin. Dia pun bukan penganggur. Nyatanya, menurut para sahabatnya, dia memperoleh uang lebih banyak dibandingkan yang bisa dibawa pulang ke rumah oleh seorang perwira polisi senior atau guru sekolah yang bekerja untuk Otoritas Palestina atau Hamas setiap bulan.
Lalu, apakah yang mendorong Jamal melancarkan skema kejamnya, menembak mati tiga laki-laki muda yang diduga membuatnya mudah memasuki kawasan Israel? Apakah karena dia tidak bisa membiayai anak-anaknya? Bukan. Apakah karena pemilik rumah kontrakan menekan dia soal sewa rumah? Tidak: Jamal tinggal di tempat nyaman miliknya sendiri, lengkap dengan perabot, peralatan dapur serta ruang tidur yang membuat keluarga di Barat bangga memilikinya.
Kiri: Nimer Mahmoud Jamal. Kanan: Har Adar. (Sumber foto: Social media, Josh Evnin/Wikimedia Commons) |
Jamal ingin membunuh orang Yahudi karena yakin itulah perbuatan mulia. Perbuatan yang membuatnya memperoleh status syahid, martir dan pahlawan di antara anggota keluarga, sahabat serta masyarakatnya. Dalam budaya Palestina khususnya dan budaya Arab umumnya, pembunuh orang Yahudi diagung-agungkan, dimuliakan setiap hari.
Mereka dipuja-puji sebagai orang beruntung yang kini bergabung bersama Nabi Muhamad serta para malaekat Surgawi. Para lelaki teroris pun bakal sibuk dengan 72 perawan yang diberikan kepada mereka sebagai hadiah karena membunuh kaum Yahudi. Para pembunuh ---sebagaimana para ulama dan pemimpin Muslim camkan dalam benak warga Palestina---juga diberikan akses menuju sungai madu dan minuman terbaik setelah mereka menginjakan kaki di Surga khayalan mereka.
Sahabat dan keluarga Jamal kini yakin dia sudah diberi karuniai oleh Allah dan Nabi Muhamad di Surga karena membunuh tiga warga Israel. Tidak peduli mereka terhadap anak-anak yang ditinggalkannya, dan tentu saja juga bukan soal keluarga tiga warga Israel yang dia bunuh.
Di desanya serta di media sosial, Jamal masih diagung-agungkan sebagai pahlawan sekaligus syuhadah. Tidak satupun warga Palestina tampil menentang serangan terror pengecut sang laki-laki yang mengambil keuntungan dari ijin yang diperolehnya dari otoritas Israel untuk melancarkan aksi serangan terror.
Keluarga Yahudi yang mempekerjakan Jamal sebagai tukang bersih-bersih mempercayainya. Mereka membuka rumah, hati serta dompet mereka baginya. Pihak otoritas Israel juga ingin mempercayainya sehingga ingin melihatnya sebagai orang normal yang hanya menginginkan pekerja dengan pendapatan yang layak untuk membiayai keluarganya.
Tetapi Jamal, seperti banyak warga Palestina lain, mengkhianati kepercayaan yang warga Yahudi berikan kepadanya. Dia memilih menikam punggung orang-orang yang sama yang sudah berani keluar dari jalan mereka untuk membantunya.
Yang menyedihkan, teroris ini juga mengkhianati cita-cita ribuan pekerja Palestina yang memasuki Israel untuk bekerja setiap hari. Para pekerja ini tampaknya bakal paling kehilangan akibat serangan terror dan aksi licik Jamal.
Beruntunglah mereka. Otoritas Israel mengatakan pembunuhan Har Adar tidak mempengaruhi kebijakan Israel untuk memberikan ijin bagi warga Palestina untuk bekerja di dalam negeri Israel karena mayoritas mereka tidak terlibat dalam kekerasan.
Tragedi pembunuhan Har Adar seharusnya mengajarkan kita sedikitnya satu hal. Yaitu bahwa konflik Israel-Palestina bukanlah soal ekonomi atau perbaikan kondisi hidup warga Palestina. Jamal, yang punya pekerjaan ,yang bebas bergerak serta punya apartemen nyaman, secara pasti membuktikan pemikiran ini. Kasus yang sama juga terjadi pada berbagai pembunuhan atau percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh para teroris kaya lainnya seperti Mohammad Atta, Osama bin Laden, Umar Farouk Abdulmutallab, dan banyak lainnya.
Bagaimanapun, pelajaran berdarah Jamal, agaknya masih perlu dipelajari oleh Barat. Soalnya, terlepas dari semua bukti yang ada, dunia Barat tetap keras kepala dan ngotot menarik garis yang tidak terputus antara terorisme Palestina serta kemiskinan.
Bagaimanapun, Jamal jauh dari teroris pertama yang hendak menyampaikan pelajaran penting ini. Selama beberapa dekade silam, sebagian besar teroris Palestina adalah kaum terpelajar yang punya pekerjaan
Sejumlah pelaku bom bunuh diri Palestina adalah perawat, guru sekolah serta pengacara. Beberapa dari mereka berasal dari kelas menengah bahkan keluarga dan klan yang kaya raya. Bagaimanapun, uang dan pendidikan tidak menghentikan mereka untuk melakukan aksi kejam melawan warga Israel.
Teroris-teroris seperti Jamal termotivasi oleh rasa benci yang sangat mendalam terhadap kaum Yahudi dan Israel. Mereka diindoktrinasi dan dicuci otak oleh para pemimpin serta ulama agama Muslim mereka supaya percaya bahwa kaum Yahudi itu jahat sehingga perlu dihapuskan dengan sarana-sarana yang ada.
Tidak satupun teroris mengeluh melakukan serangan karena kelaparan, tidak punya makanan bagi anak-anak dan tidak mampu membeli ice cream dari tokoh makanan setempat. Para teroris, nyatanya . menjelaskan sejelas-jelas sebagai berikut: secara terbuka mereka mengumumkan bahwa mereka termotivasi oleh rasa benci yang sudah begitu diindoktrinasi terhadap Israel dan warga Yahudi. Inilah yang mesin propaganda Palestina, Arab dan Muslim lakukan terhadap generasi-generasi Arab dan Muslim. Para pejabat dan masyarakat di Barat mungkin saja menolak apa yang mereka dengar sama kerasnya seperti yang mereka inginkan; tetapi para teroris tidak bakal lebih jujur soal apa saja motif mereka yang kejam.
Lalu sekarang apakah soal berbagai kalangan di Barat yang terus saja berbicara tentang konflik seolah-olah semua itu soal upaya untuk menciptakan pekerjaan baru, pengaspalan jalan serta perbaikan infrastruktur bagi warga Palestina? Tampaknya ini menjadi pendekatan yang didukung di AS oleh Pemerintahan Donald Trump.
Tentu saja tidak ada yang salah dengan upaya meningkatkan ekonomi dan penciptaan peluang kerja. Mungkin ini bisa menyebabkan segelintir warga Palestina menjadi lebih lembut. Mereka bakal bahagia ketika menyaksikan kehiduapn ekonomi yang lebih baik dan sebaliknya pada saat yang sama angka pengangguran menurun.
Bagaimanapun, langkah-langkah ini, tidak mengubah hati dan pikiran mereka. Tetap saja mereka tidak pernah mengakui hak Israel untuk hidup (exist) karena masyarakat Amerika dan Eropa sudah membangun lapangan industry bagi mereka di suatu tempat di Tepi Barat.
Selama lebih dari 25 tahun silam, Palestina memperoleh miliaran dolar bantuan dari komunitas internasional. Tetapi tatkala bergerak menuju kotak pemungutan suara, mereka tetap saja memilih Hamas. Soalnya, faksi itu memberitahu mereka bahwa dia akan menghancurkan Israel. Masyarakat Palestina sangat mungkin untuk sekali lagi memilih Hamas jika Pemilu bebas dan demokratis diselenggarakan besok di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Mungkin masih kita ingat ini ketika utusan khusus Trump untuk Timur Tengah, Jason Greenblatt kembali ke kawasan kami untuk mendiskusikan berbagai cara untuk menghidupkan kembali apa yang disebutkan sebagai proses perdamaian antara Israel dan Palestina. Pemerintahan Trump serta Jason Greenblatt tampaknya disuguhi dengan kebohongan bahwa "Ini soal uang, bodoh."
Bukan. Konflik itu soal sikap menolak yang tidak bisa ditekukkan untuk membiarkan sebuah Israel Yahudi untuk hidup di Timur Tengah. Ini persoalan kepentingan dunia Arab dan Islam yang tidak kunjung padam untuk menghancurkan Israel serta membunuh warga Yahudi. Ini soal aksi hasutan Arab dan Islam yang terus berlanjut dan berdarah-darah terhadap Israel dan warga Yahudi. Pekerjaan tidak jadi masalah. Dengan demikian, (penyediaan) pekerjaan bukanlah solusinya. Mari kita berikan perhatian supaya realitas bisa berubah. Jamal serta para sahabat terorisnya bisa mengajarkan sesuatu kepada kita --- hanya jika kita mau mendengarkannya.
Bassam Tawil adalah seorang Muslim yang berbasis di Timur Tengah.