Partai moderat kiri dan moderat kanan arus utama, khususnya di Inggris, Prancis dan Jerman, tidak berkinerja baik dalam Pemilu Parlemen Eropa yang diselenggarakan antara 23-26 Mei 2019 lalu. Dua partai moderat tradisional malah kehilangan suara mayoritas dalam Parlemen Eropa selanjutnya. (Foto oleh Sean Gallup/Getty Images). |
Partai-partai moderat kiri dan ekstrim kanan arus utama, khususnya di Inggris, Prancis dan Jerman berkinerja buruk dalam Pemilu Parlemen Eropa, 23-26 Mei lalu. Dua partai (duopoly) moderat tradisional kehilangan mayoritas suara dalam Parlemen Eropa mendatang. Anggota parlemen baru mulai menduduki jabatannya 2 Juli nanti dan berada di sana selama lima tahun, sampai 2024.
Banyak kevakuman politik peninggalkan apa yang disebut sebagai partai-partai warisan (legacy parties) diisi oleh Kaum Hijau (Greens) dan kaum liberal pro-Uni Eropa. Akibatnya, partai-partai pro-Uni Eropa itu bakal mengendalikan sekitar 75% kursi dalam 750 kursi Parlemen Eropa.
Berbagai partai nasionalis anti-Uni Eropa memang turuy mencatat perolehan penting. Khususnya di Belgia, Inggris, Prancis, Hongaria, Italia dan Polandia. Meski demikian, tetap saja di bawah harapan. Partai-partai Euroskeptik (baca: yang menentang meningkatnya kekuasaan Parlemen Uni Eropa dan Uni Eropa) bakal menguasai sekitar 25% kursi dalam Parlemen Eropa mendatang.
Hasil Pemilu mencerminkan pergeseran generasi sekaligus memperlihatkan bahwa politik Eropa semakin didominasi oleh benturan ideologis atas dua masalah raksasa yang saling bersaing. Yaitu, antara perjuangan memerangi perubahan iklim yang diperjuangkan oleh para globalis pro-UE dan oposisi terhadap migrasi massal dan multikulturalisme yang dipimpin oleh kaum populis nasional anti-UE.
Berikut ini, pilihan komentar warga Eropa seputar masa depan politik Eropa:
Perdana Menteri Hongaria Viktor Orbán, mengklaim bahwa pemilih Hongaria ingin melihat ada perubahan di Brussels. Partai anti-imigrasi Fidesz pimpinannya memang memenangkan 52% suara dalam pemilihan Eropa di negaranya.
"Rakyat Hongaria sudah katakan tidak ingin menyaksikan para pemimpin Eropa yang berupaya mengorganisasikan imigrasi. Tetapi sebaliknya, yang berjuang hendak menghentikannya. Mereka ingin menyaksikan para tokoh pemimpin berbagai lembaga Eropa yang menghargai bangsa Eropa sekaligus ingin melindungi budaya Kristen. Dan, rakyat Hongaria menginginkan para pemimpin yang pertama-tama senantiasa menangani kepentingan masyarakat Eropa. Rakyat Hongaria sudah mempercayakan kepada kami tugas untuk menghadirkan perubahan di Brussels."
Menteri Dalam Negeri Italia, Matteo Salvini, mengaku bahwa hasil Pemilu menggembar-gemborkan awal baru bagi Eropa. Partai pimpinannya, Partai Liga (League Party) memenangkan 34 persen suara di negaranya.
"Ini keberhasilan yang luarbiasa. Bukan saja bagi Partai Liga di Italia, tetapi juga bagi Marine Le Pen di Prancis dan Nigel Farage di Inggris. Ini tanda-tanda Eropa yang sedang berubah. Sebuah Eropa baru sudah lahir. Renaissance, kebangkitan kembali Eropa baru berdiri di atas pekerjaan, kebebasan dan keamanan. Kami punya misi historis untuk mengantarkan hak seseorang untuk bekerja, mendapatkan kesehatan, kehidupan dan keluarga untuk kembali pada pusat perdebatan Eropa."
Ketika menulis untuk Harian New York Times, analis politik Bulgaria Ivan Krastev mencatat bahwa partai-partai populis yang euroskeptic (baca: yang menentang semakin meningkatnya kekuasaan Parlemen Uni Eropa dan Uni Eropa) kini menjadi gambaran tetap panorama politik Eropa.
"Kaum ekstrim kanan mungkin tidak dominan. Tetapi harus jelas sekarang untuk siapapun, bahwa gerakan itu tidak menghilang dalam waktu dekat. Dari lima partai politik individual (individual party) dengan jumlah suara terbesar dalam Parlemen Eropa yang baru, empat partai itu adalah Partai anti-Uni Eropa.
"Belum lama ini, banyak politisi dan pakar arus utama melihat ekstrim kanan tidak lebih dari sebuah gerakan protes. Masyarakat memberikan suara melawan lembaga mapan dalam Pemilu Eropa guna mengirimkan pesan. Tetapi, tidak satu orang pun yang benar-benar menginginkan para politisi untuk mencoba-coba berkuasa. Partai-partai itu tidak terlihat serius soal kebijakan. Mereka hanya bermain politik. Kini, tidak ada pilihan selain mengakui bahwa kaum populis ekstrim kanan menjadi pernik-pernik permanen politik Eropa...
"Kaum nasionalis euroskeptik bukan satu-satunya kekuatan baru yang harus diperhitungkan di Parlemen Eropa. Partai-partai liberal dan hijau menjadi pemenang yang mengejutkan pemilihan ini. Bersama-sama mereka memperoleh sekitar 60 kursi tambahan, sehingga memberikan kepada mereka seluruhnya 176 kursi. Dengan ini, pengaruh politik mereka lebih banyak lagi. Partai Hijau barangkali bakal memanfaatkan keberhasilan mereka untuk menuntut agar perubahan iklim menjadi prioritas benua itu...
"Jadi ada pemenangnya. Ada kaum liberal pecinta ekologi yang ingin memelihara kehidupan di Bumi dan ada kaum populis nasional yang ingin mempertahankan cara hidup mereka. Tetapi yang sama-sama mereka punyai adalah kesadaran bahwa lintasan politik dan masyarakat akhir-akhir ini tidak bisa berlangsung terus. Mereka sama-sama menawarkan perubahan. Dan perubahan itu memang dituntut."
Ketika menulis untuk National Review, mantan pengamat persoalan Eropa John O'Sullivan, memperhatikan:
"Pikirkanlah perbedaan hasil ini sebagai serangkaian tindakan dan reaksi. Para elit berhaluan moderat (Centrist) menjalankan kebijakan progresif (yang gagal) yang semakin dibenci pemilih. Kaum populis pada pihak lain berorganisasi hendak menentang para elit kemudian memblokir bahkan memutarbalikkan kebijakan. Elit pemerintahan melihat ini sebagai serangan kaum populis terhadap demokrasi dan mereka sendiri sehingga panik secara moral. Para pendukung mereka dalam Pemilu cukup khawatir dengan peringatan untuk mengalihkan (transfer) suara mereka dari moderat (center) kepada populis Kiri dalam Partai Hijau dan Liberal yang lebih kecil. Upaya itu akan terus menerus dilakukan, sampai pemilihan Eropa berikutnya pada 2024.
"Atau kita bisa melihat Pemilu sebagai kompetisi antara dua kekuatan politik pengacau yang sedang menanjak. Masing-masing berusaha agar krisis yang baik ini tidak sia-sia. Kaum populis memanfaatkan krisis migrasi sebagai prinsip pengorganisasian, sementara Partai Hijau dan Liberal melakukan hal yang sama dengan persoalan krisis iklim. Kemungkinan kelompok mana yang akan menang tergantung pada krisis mana yang pada akhirnya terbukti menjadi yang paling menakutkan bagi pemilih. Yaitu krisis yang benar-benar mengancam masa depan mereka dan anak-anak mereka dengan cara sehari-hari yang paling praktis. "
Ralph Sina, koresponden Brussels dan kepala biro untuk siaran publik Jerman WDR / NDR, mengamati:
"Pemilu Eropa ini diputuskan berdasarkan dua persoalan: isu pengungsi dan isu iklim. Kemenangan Marine Le Pen, Victor Orbán, Matteo Salvini dan Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) dalam Pemilu mengirimkan pesan yang jelas. Bahwa krisis pengungsi tentu saja bukanlah sejarah. Perbatasan luar Uni Eropa tetap tidak cukup terawasi. Dan, 10.000 pejabat tambahan Frontex yang dijanjikan oleh Komisi Eropa tidak kelihatan batang hidungnya di manapun. Itu sebabnya mengapa kaum sayap kanan semakin mempertanyakan Prinsip Schengen untuk membuka perbatasan dalam lingkungan Uni Eropa.
"Pada waktu bersamaan, topik perlindungan iklim masa depan semakin menjadi inti persoalan. Siapapun tidak jelas menempatkan dirinya sebagai kalah. Ini berlaku bagi Kaum Demokrat Kristen dan Sosial Demokrat. Pemilu EU ini bukanlah kumpulan memo negara. Itu soal masa depan Eropa dan planet ini. Kaum muda Eropa, khususnya, melihat UE sebagai peluang terakhir untuk membatasi perubahan iklim sampai pada tingkat sehingga mungkin masih bisa diterima oleh masyarakat dan lingkungan alamnya.
"Parlemen UE yang baru kini harus menyepakati soal pengganti Jean Claude Junker, yang menganggap kedua tantangan utama Eropa itu secara serius: isu migrasi dan isu perubahan iklim. Dan dia juga orang yang pada saat bersamaan menikmati otoritasnya di antara para kepala negara dan pemerintah. Warga sudah memberi suara dalam jumlah besar. Bola kini berada di pengadilan Parlemen Eropa yang akan datang."
Ines Pohl, Pemimpin Redaksi Deutsche Welle, penyiar publik internasional Jerman menulis bahwa kekalahan Partai Sosial Demokrat Jerman begitu parah. Akibatnya, koalisi pimpinan Kanselir Angela Merkel yang berkuasa pun terancam bahaya:
"Polarisasi antara kaum nasional dan masyarakat pro-Eropa jelas-jelas memotivasi orang untuk keluar memilih. Banyak negara melaporkan hasilnya pun lebih tinggi dibanding biasanya. Juga cukup banyak orang di bawah usia 30 tahun yang memilih tahun ini dibanding dengan Pemilu sebelumnya---sebuah bukti yang lebih jauh bahwa orang tertarik dengan persoalan Eropa dan bagaimana kita ingin hidup bersama. Dalam era ketika orang terjebak dalam golongan ini, para pemenang sesungguhnya adalah kaum Hijau, yang mampu secara tegas mengklaim isu kunci masa depan --- yaitu soal perlindungan iklim --- bagi mereka sendiri.
"Bagi Partai Sosial Demokrat Jerman, bagaimanapun, Minggu (baca; 26 Mei 2019) ini benar-benar menjadi bencana. Partai demokrasi Jerman tertua ini merosot jumlah suaranya sampai di bawah 16% di tingkat Eropa. Dan itu belum semuanya. Pemilihan lokal yang juga diadakan Hari Minggu itu di Bremen, sebuah negara federal Jerman, dimenangkan oleh seorang kandidat CDU untuk pertama kalinya. Padahal, Partai Sosial Demokrat telah memerintah selama 73 tahun. Namun, kini tidak lagi.
"Kemunduran ganda ini bukannya tanpa konsekuensi. Ini bukti bahwa partai itu sudah berada pada langkah terakhirnya. Dan bahwa reorientasi total adalah satu-satunya cara ia menghadapi peluang untuk memiliki masa depan.
"Bakal terjadi perdebatan di Brussels dalam beberapa hari nanti soal pihak mana yang mengisi posisi penting yang mana. Di Jerman, diskusi lebih mendasar lagi. Pertanyaan utamanya agaknya adalah: Berapa lama lagi koalisi yang memerintah ini bermaksud untuk terus menyiksa dirinya dan negara secara keseluruhan?
"Setelah akhir pekan ini, sangatlah mungkin bahwa, setelah 14 tahun, era Merkel benar-benar dihabiskan oleh mitra koalisinya, Partai SPD. Juga akan ada pemilihan awal pada pengujung tahun ini. Ini menjadi pemilihan dengan banyak, banyak pertanyaan terbuka. Dan hanya ada satu kepastian. Angela Merkel tidak akan mampu bertahan lagi."
Ketika menulis untuk Financial Times, ketua pengamat politik urusan luar negeri harian tersebut Gideon Rahman memperingatkan bahwa Eropa yang terpecah-pecah berisiko lumpuh dalam banyak persoalan:
"Orang-orang yang berargumen bahwa '[Pemilu] ini tidak mengubah apa-apa' memang punya poin-poin yang kuat. Secara kolektif, partai-partai pro-Uni Eropa terus mendominasi Parlemen Eropa. Partai-partai anti-Uni Eropa kini membentuk sekitar seperempat kursi parlemen, meningkat dari sekitar 20% sebelumnya.
"Bagaimanapun, orang-orang yang berpikir bahwa "Pemilu mengubah segala-galanya" juga punya poin yang hendak diperlihatkan. Partai-partai Eurosceptik (atau Eurohostile) (baca: kaum yang menentang kekuasaan dan pengaruh Parlemen Uni Eropa dan Uni Eropa) muncul sebagai kelompok ke empat dari enam negara UE yang paling banyak penduduknya, yaitu Prancis, Italia, Inggris dan Polandia.
"Satu alasan dari benturan interprerasi ini adalah perhatian yang berlebih hanya pada satu masalah. Yaitu soal apakah artinya ini bagi perjuangan antara kekuataan pro-UE dan para pengacau anti-UE? Tetapi jika anda mengajukan pertanyaan lain seperti apakah yang terjadi pada partai-partai yang mendominasi politik Eropa, maka sebuah kecenderungan yang lebih jelas pun muncul. Partai moderat kiri dan partai moderat kanan tradisional sedang merosot. Mereka tidak mampu mempertahankan posisinya tidak hanya dari kaum populis nasionalis, tetapi juga dari partai-partai yang menarik bagi kelas menengah perkotaan seperti partai hijau dan liberal...
"Tampaknya partai-partai politik yang dibangun di sekitar kelas dan struktur ekonomi abad ke-19 dan 20 kehilangan relevansinya. Para pemilih Eropa semakin termotivasi oleh isu-isu baru - seperti perubahan iklim, identitas, dan migrasi.
"Konsekuensinya agaknya terjadi suatu periode politik yang tidak pasti beserta aliran keluarnya yang membuat EU lebih sulit bertindak. Fakta bahwa kaum moderat kanan, sosialis, liberal dan hijau yang semuanya secara luas pro-UE tidak bisa menyamarkan pandangan mereka yang sangat berbeda atas bidang-bidang utama seperti perubahan iklim dan reformasi zona euro.
"Satu masalah besar yang harus diwaspadai adalah masa depan politik Angela Merkel, kanselir Jerman. Hasil Pemilu lain yang suram bagi SPD bisa membuat mereka terbujuk untuk keluar dari koalisi yang memerintah, sehingga menghancurkan pemerintah. Merkel juga bakal ditekan dari dalam lingkungan CDU sendiri. Kinerja partai selama Pemilu yang lemah dapat memberdayakan Annegret Kramp-Karrenbauer, pewaris kanselir yang nyata, untuk mendorong Merkel segera meninggalkan jabatannya daripada terlambat. Sementara itu, beberapa kalangan dalam CDU sendiri bakal memperdebatkan gebrakan yang tepat menuju ke kanan seputar isu-isu seperti mata uang Euro dan kebijakan energi.
"Jika Merkel dipaksa keluar awal, maka UE kehilangan tokoh politiknya yang dominan. Tetapi jika dia bertahan menjabat selama dua tahun berikutnya sekalipun, perpecahan politik Eropa, yang terefleksikan dalam Dewan Eropa dan parlemen mungkin menghalangi UE mencapai keputusan atas soal-soal krusial, termasuk soal Euro, migrasi, Brexit dan kebijakan atas Cina.
"Persoalan besar yang mendasari semua ini adalah apakah UE sedang mengalami integrasi bertahap ataukah secara bertahap maju menuju sebuah uni yang lebih akrab yang mampu membela kepentingan Eropa."
Dalam sebuah essay bertajuk "Deceptive Euphoria Before the Next Crisis" (Eforia Yang Mengecoh Sebelum Krisis Lanjutan"--- yang diterbitkan oleh blog yang berpengaruh Tichys Einblick, sejarahwan Jerman Ronald G. Asch menulis bahwa Parlemen Eropa yang sangat terpecah-belah bakal berdampak kepada terjadinya konflik yang lebih besar antarnegara anggota UE. Juga diramalkannya bahwa pemilih Jerman bakal menyesal memilih partai-partai Hijau jika kebijakan iklim yang radikal menyebabkan sektor industri Jerman yang mendasari kemakmuran negeri itu runtuh.
"Bencana yang---diduga---gagal. Kaum 'populis' jahat gagal mencapai keberhasilan yang memasyurkannya dalam Pemilu UE...Berbeda dengan itu, kehadiran pemilih meningkat, khususnya di Jerman, sehingga bisa menentang 'para populis' ini...Bagaimanapun, partai-partai pro-UE menjadi kekuatan untuk sekedar menyerukan adanya perjuangan melawan kejahatan yang par excellence atau yang lebih baik dari kejahatan sejenisnya, daripada menyelesaikan persoalan nyata UE yang mencakup kurangnya legitimasi yang mendalam.
"Konflik kepentingan antara negara-negara UE yang berbeda bakal membuat pekerjaan parlemen lebih besar dibandingkan dengan masa lalu. Konflik potensial dari kaum kiri kepada kaum kanan membuatnya sulit menetralkan konflik kepentingan nasional, karena ada beberapa kelompok partai yang bisa mengklaim berbicara untuk kamp politik yang merepresentasikan semua negara penting UE. Yang sangat paradox adalah fakta bahwa Kelompok Hijau dalam Parlemen UE sangat berciri Jerman dibandingkan semua faksi lain. Kelompok Hijau nyaris muncul di Brussels sebagai cabang UE dari Kelompok Hijau Jerman, yang menolak semua yang berciri nasional sehingga lebih suka menghapus negara bangsa masa kini dibanding dengan masa datang. Dan mereka masih berharap negara bangsa Eropa yang lain mendukung rencana Jerman untuk menyelamatkan dunia.
"Mata uang Euro belum bisa membangun pertautan dalam zona euro, tetapi lebih menekankan sekaligus memperkuat perbedaan daya saing ekonomi negara Eropa. Akibatnya, konflik politik dan krisis beberapa tahun terakhir juga menyebabkan terjadinya perbedaan budaya politik di masing-masing negara Eropa. Dan sangat nyata terjadi. Di Jerman, seperti yang diperlihatkan dari Pemilu, kritik terbuka terhadap proyek UE-Eropa masih merupakan posisi orang luar. Siapa pun yang menentang proyek ini dengan cepat dianggap sebagai ekstremis sayap kanan.
"Sebagian besar rakyat Jerman mempercayai narasi legitimasi resmi bahwa UE mendadak mengakhiri perang tanpa henti era millennial di Eropa. Dan, di atas segala-galanya, masyarakat Jerman juga menjadi makmur berkat unifikasi Eropa dan euro. Secara khusus, para pemilih muda, secara kategoris menolak untuk berpikir soal konteks ekonomi. Misalnya, antara, harga real-estate yang menanjak cepat serta kebijakan bunga rendah dari Bank Central Eropa. Tetapi di negara-negara Eropa lain, persoalannya memang berbeda.
"Terlepas dari semua masalah ini, selama lima tahun mendatang, UE mungkin memulai langkah yang lebih federalis. Berdasarkan motto 'Lebih Eropa Sekarang'. Kemudian, ia berupaya menggeserkan semakin banyak kekuatan menuju Brussel...Perlawanan kemungkinan besar bisa ditemukan di negara-negara seperti Italia, Polandia dan Hongaria. Di sana, partai-partai nasional ada dalam pemerintahan...
"Sebaliknya, mayoritas pemilih Jerman meragukan hak negara mereka untuk hidup. Karena itu mereka mendukung atau menerima sentralisasi yang lebih lanjut atas nama perdamaian dan perjuangan melawan bencana iklim - selama mereka tidak merasakan konsekuensi negatif yang terlampau pribadi. Persoalannya tetap: bagaimana reaksi pemilih yang sama jika runtuhnya industri otomotif Jerman berdampak pada pemutusan hubungan kerja besar-besaran, pendapatan pajak jatuh merosot dan tunjangan sosial dipangkas? Kita harus menunggu dan melihat apakah gelombang kegembiraan saat ini yang kaum Hijau manfaatkan (ride) akan terus berlanjut, dan apakah pemilih masih sangat tidak kritis menanggapi segala sesuatu yang berasal dari Brussels. "
Ketika menulis untuk The European, sejarahwan dan sosiolog Jerman, Rainer Zitelmann memperingatkan agar kebangkitan kaum Hijau harus dilihat sebagai alarm yang membangunkan orang dari tidur:
"Pasca-Pemilu, akan kita saksikan bahwa partai warisan Jerman ---seperti SPD dan CDU/CSU--- bakal mengatakan kepada kita bahwa mereka perlu melakukan lebih banyak upaya lagi untuk melindungi iklim. Dan bahwa inilah pelajaran dari hasil Pemilu Eropa. Ini, tentu saja, absurd. Orang yang berjalan menuju arah yang salah berpikir, dia harus berjalan lebih cepat kini supaya bisa mencapai garis akhir.
"Partai CDU/CSU serta Partai SPD sudah bertahun-tahu menjalankan program hijau. Mereka menutup pabrik-pabrik tenaga nuklir, memangkas penambangan batubara, mengubah industri energi menjadi ekonomi terencana, dan seterusnya. Baru-baru ini, mereka mulai mereorganisasi industri otomatif dengan cara terencana. Yang namanya 'sasaran cepat' (fleet targets) diterapkan di seluruh penjuru Uni Eropa untuk menentukan mobil-mobil mana yang boleh dan tidak boleh diproduksi. Strategi untuk mengadaptasi diri dengan kaum Hijau dan mengambil alih persoalan-persoalan meraka itu, bagaimanapun, untuk jangka panjang belum berdampak melemahkannya. Malah memperkuat kaum Hijau. Padahal, masyarakat lebih suka memilih yang asli daripada yang tiruan.
"Bagaimanapun, logika kaum Hijau adalah: 'Tidak Pernah Cukup.' Jika anda menghentikan pabrik tenaga nuklir, maka pabrik tenaga batubara menjadi topik pembicaraan. Seperti sekte kiamat, akhir dunia yang sebentar lagi terjadi dipropagandakan. Dan, jika senantiasa dikatakan, 'Ketakutan bukanlah arahan bagus dalam politik' (dan ini mantra standar dalam perdebatan soal imigrasi), maka 'kepanikan' sebelum dunia berakhir kini menjadi emosi yang dominan. Sama seperti 'keadilan sosial' yang kaum Hijaun kini ungkit sebagai persoalan, tidak ada soal apa yang sudah dilakukan, ia tidak pernah cukup. Masih banyak lagi yang harus dilakukan. Bahkan jauh lebih radikal lagi.
"Lembaga sosial sudah lama didominasi oleh simpatisan Kelompok Hijau ---khususnya kalangan media dan pendidikan juga gereja. Bahwa 37% pemilih pertama kini memilih Kelompok Hijau juga merupakan dampak dari kenyataan bahwa di sekolah-sekolah, kredo hijau dipropagandakan sebagai kepastian pendidikan modern...
"Perkembangan kaum kiri senantiasa berawal di ranah spiritual (spiritual realm). Dan jika ingin memperbaikinya, maka ia hanya mungkin terjadi jika ideologi hijau dilawan. Dan itu butuh waktu lama. Dengan demikian, pengetahuan tentang apa itu ekonomi pasar/kapitalisme harus benar-benar nyaris hilang di Jerman.
"Kaum Hijau akhirnya hanya satu-satunya bentuk khusus ketika anti-kapitalisme mengungkapkan dirinya sendiri. Kiamat dunia menjadi dalih untuk mereorganisasi ekonomi pasar menjadi ekonomi yang direncanakan tersentral. Hal ini, tentu saja menyebabkan ekonomi bergolak parah. Terjadi pengangguran massal dan kemerosotan ekonomi. Dan kala konsekwensi ini terjadi, kaum anti-kapitalis akan mengatakan kepada kita inilah akibat dari 'pasar yang tidak terkendali' dan kini sudah waktunya untuk menguasai kapitalisme supaya bisa mencegah "ketidakadilan sosial" serta "bencana iklim" secara bersamaan. Saya berharap, ramalan-ramalan muram saya itu salah. Juga bahwa para pengusaha memahami keberhasilan Pemilu Kaum Hijau secara masuk akal sebagai panggilan untuk bangun dari tidur."
Soeren Kern adalah Senior Fellow di Lembaga Kajian Gatestone Institute yang berbasis di New York.