Perjanjian nuklir Iran, bulan ini menandai ulang tahunnya yang pertama. Meski demikian, tampaknya upaya itu tidak memberikan angin sejuk di Timur Tengah. Iran justru tampaknya hendak memperdalam intervensinya dalam konflik Palestina – Israel secara umum dan urusan Palestina secara khusus.
Intervensi ini merupakan perpanjangan dari upaya Iran yang terus-menerus hendak memperluas pengaruhnya di Arab dan negara-negara Islam, termasuk Irak, Yaman, Suriah dan Libanon serta sejumlah negara Teluk. Perjanjian nuklir antara Teheran dan negara-negara penguasa dunia tidak menghentikan Iran dari upaya untuk maju dengan rencana globalnya mengekspor "Revolusi Islam". Sebaliknya, ada kesadaran umum di kalngan bangsa Arab dan Muslim bahwa seiring dengan bangkitnya perjanjian nuklir, Iran meningkatkan upayanya untuk meyebarluaskan pengaruhnya.
Kehadiran langsung dan tak langsung Iran di Irak, Suriah, Yaman dan Libanon berhasil menarik sejumlah perhatian dunia internasional. Meskipun demikian, aksi Iran di arena politik Palestina masih tetap diabaikan oleh dunia.
Bukan rahasia, Iran memberi bantuan finansial dan militer kepada berbagai kelompok Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam. Karena kenyataannya Iran dan berbagai kelompok radikal Palestina memang membangga-banggakan hubungan antarmereka.
Iran menggelontorkan uang kepada berbagai kelompok itu karena kelompok-kelompok itu sama-sama ingin membasmi Israel dan menggantikannya dengan Kekaisaran Islam. Seperti Hizbullah di Libanon dan Houthi di Yaman, Hamas dan Jihad Islam sepakat berperan sebagai wakil sekaligus penguat Iran dalam konflik Israel – Palestina.
Iran biasa menyalurkan uang kepada Hamas dan Jihad Islam karena mereka sama-sama punya keinginan untuk membasmi Israel dan menggantikannya dengan Kekaisaran Islam. HUbungan Iran dan Hamas merosot beberapa tahun dilam, yang bisa dilacak ketika para pemimpin Hamas menolak mendukung diktator Bashar Assad yang didukung oleh Iran. Foto atas: Pemimpin Hamas Khaled Mashaal (kiri) bercakap-cakap dengan Pemimpin "Tertinggi Iran," Ali Khamanei pada 2010 (Sumber foto: Kantor Pemimpin Tertinggi Iran). |
Tetapi wayang tetap saja wayang. Iran menjadi keji tatkala boneka-bonekanya tidak berperan sesuai aturannya. Inilah tepatnya yang terjadi dengan Hamas dan Jihad Islam.
Hubungan antara Iran dan Hamas merosot beberapa tahun silam bisa dilacak terkait dengan krisis di Suriah. Guna menentang bos mereka di Teheran, para pemimpin Hamas menolak memaklumkan dukungan terhadap diktator Suriah, Bashar Assad yang didukung Iran. Akibatnya, sejak itulah, persoalan antara Iran dan Hamas menjadi sangat buruk
Pertama-tama, Pemerintah Assad menutup berbagai kantor Hamas di Damaskus. Kedua, Assad mengusir para pemimpin Hamas dari Suriah. Tiga, Iran menghentikan bantuan finansial dan militer kepada Hamas, sehingga semakin memperbesar krisis finansial yang dihadapi gerakan kaum Islam radikal yang berbasis di Gaza itu.
Jihad menjadi giliran selanjutnya. Para mullah Iran, pada suatu pagi tersadar bahwa para pemimpin Jihad Islam agak tidak setia kepadanya. Sejumlah pemimpin Jihad Islam tertangkap basah berasyik masuk dengan saingan kaum Sunni saingan Iran di Arab Saudi serta negara-negara Teluk lainnya. Bahkan lebih parah lagi, Iran pun menemukan bahwa Jihad Islam masih bekerja erat dengan para sekutu lamanya di Jalur Gaza, Hamas.
Padahal Iran sangat berharap Jihad Islam menggantikan Hamas sebagai kekasih Teheran serta anak wali yang penting di arena politik Palestina. Tetapi di sini, para pemimpin dan aktivis Jihad Islam malah bekerja sama dengan pengikutinya di Hamas, jelas-jelas menyepelekan Papa Iran.
Para mullah pun tidak mau kehilangan banyak waktu. Marah dengan sikap Jihad Islam yang jelas-jelas tidak setia, Iran pun meluncurkan kelompok terornya sendiri di tengah kawasan Jalur Gaza. Nama kelompok teror bentukan Iran itu Al-Sabireen (Orang-orang Sabar). Kelompok yang akhir-akhir ini terdiri dari beberapa ratus bekas anggota Hamas dan Jihad Islam yang jengkel kepada bekas organisasi mereka, dimaksudkan untuk menggantikan Jihad Islam sama caranya seperti Jihad Islam diandaikan hendak menggantikan Hamas di Jalur Gaza --- menurut skema Iran.
Mengagetkan memang. Sulit rasanya menyelesaikan persoalan secara benar dengan Iran. Al Sabireen pun ternyata gagal menyenangkan para bos di Teheran. Kelompok itu pun tidak "menjalankan" terror. Para sumber Palestina di Jalur Gaza mengatakan Iran sadar bahwa investasi yang dilakukannya dalam Al-Sabireen tidaklah berfaedah karena kelompok itu tidak mampu melakukan apa-apa yang "dramatis" selama dua tahun silam. Dengan "dramatis" sumber itu mengartikan bahwa Al-Sabireen tidak tumbuh sebagai penantang serius Jihad Islam atau Hamas serta tidak berhasil membunuh cukup banyak warga Israel.
Karena itu, Iran kembali lagi kepada sahabat akrabnya, Jihad Islam.
Untuk sekarang ini, Iran tidak sepenuhnya mempersiapkan diri untuk membawa Hamas kembali ke bawah kepak sayap-sayapnya. Hamas bagi Iran adalah gerakan "yang licik berbahaya" akibat gencatan senjata sementaranya yang periodik dengan Israel. Para pemimpin Iran pada pihak lain ingin melihat Hamas membunuh warga Yahudi setiap hari, tanpa jeda. Ironisnya, Hamas sudah menjadi terlampau "moderat" bagi para pemimpin Iran karena ia tidak berjuang banyak untuk mengusir Bangsa Yahudi keluar dari kawasan itu.
Ini yang membuat Iran kembali merangkul Jihad Islam.
Dalam suatu gebrakan yang mengejutkan, Iran pekan ini menerima pemimpin Jihad Islam Ramadan Shalah serta para pejabat senior organisasi tersebut, sebagai tawaran kembali guna menghidupkan kembali peran Jihad Islam sebagai wayang penting Teheran di Jalur Gaza. Para pemimpin Jihad Islam mengatakan bahwa kunjungan itu menyebabkan Iran kembali membuka bantuan keuangannya kepada organisasi mereka yang tengah mengalami kesulitan keuangan. Akibat pergesekan antara Jihad Islam dan Iran, Iran konon terpaksa memangkas nyaris 90% dari bantuan keuangannya kepada organisasi teror Palestina.
Sejumlah warga Palestina seperti pengamat politik Hamadeh Fada'neh melihat upaya Iran untuk mendekatkan diri lagi dengan Jihad Islam merupakan tanggapan terhadap kembali memanasnya hubungan Hamas dan Turki. Iran, dijelaskannya, tidak senang dengan laporan baru-baru ini yang mengatakan bahwa Turki sedang bertindak sebagai mediator antara Hamas dan Israel.
Warga Palestina lain meyakni bahwa tujuan Iran sebenarnya adalah hendak menyatukan Jihad Islam dan Al Sabireen sehingga mereka menjadi alternatif nyata dan realistis terhadap Hamas di Jalur Gaza.
Apapun niat Iran sebenarnya, ada satu hal yang jelas: Iran sedang mendapatkan keuntungan dari perjanjian nuklir sehingga maju dengan upaya-upayanya untuk meningkatkan pengaruhnya atas sejumlah negara Arab dan Islam. Iran juga memperlihatkan bahwa dia tetap tekun memainkan perannya dalam konflik Israel – Palestina. Peran ini, membesarkan hati berbagai kelompok radikal yang bertekad menghancurkan Israel dan yang punya nilai yang sama dengan kelompok terror Negara Islam
Pengadilan Iran terakhir atas Jihad Islam masih merupakan upaya lain para mullah (Iran) untuk memperdalam penyusupan diri mereka dalam panggung politik Palestina dengan mendukung dan mempersenjatai kelompok terror apapun yang berjuang menghancurkan Israel. Untuk sekarang, tampak bahwa skema Iran masih berjalan, sebagian besar terkait dengan sikap apatis komunitas internasional, di mana banyak kalangan yang percaya bahwa Iran melepaskan cakar-cakarnya yang tajam dari pernjanjian nuklir.
Tetapi semakin banyak pemimpin kelompok terror Palestina mungkin segera "berziarah" kepada para bos mereka di Teheran. Jika upaya ini terus berlangsung, Iran sendiri bakal mendalangi negara Palestina yang diciptakan di kawasan. Di atas semuanya itu, tujuan tertinggi mereka, ialah hendak memanfaatkan negara ini sebagai landasan peluncur untuk menghancurkan Israel. Dan Iran pun bersiap diri untuk mendanai dan mempersenjatai kelompok Palestina yang bersedia secara sukarela hendak membantu mencapai tujuannya.
Khaled Abu Toameh adalah wartawan Arab Palestina pemenang berbagai penghargaan dan berdiam di Yerusalem.