Sebanyak 35 wartawan Arab yang dipecat sejak awal April tahun ini. Pemecatan terjadi menyusul rangkaian kampanye intimidasi dan terorisme yang dilancarkan terhadap mereka oleh Faksi Hamas dan Hizbulah.
Para wartawan itu bekerja untuk saluran televisi berita Al-Arabiya pan Arab, milik Arab Saudi yang berbasis di Dubai Media City di Uni Emirat Arab. SebelumnyaBBC menilai jaringan televisi itu masuk dalam bilangan stasiun televisi pan-Arab terbaik.
Tetapi hidup para wartawan Al-Arabia tak pernah mudah. Seperti sebagian besar wartawan Arab yang meliput berita di berbagai negara Arab dan Islam, mereka sudah lama menghadapi ancaman dari berbagai pihak dan pemerintah.
Inilah situasi jurnalisme yang menyedihkan di dunia Arab: "Jika tidak bersama kami, maka anda pasti menentang kami dan itu sebabnya kami perlu membungkam mulutmu." Seorang wartawan yang tidak sepakat berperan sebagai mulut pemerintah dikecam sebagai "pengkhianat."
Demokrasi dan kebebasan berbicara tidak ada di nyaris semua negara Arab dan Islam. Kondisi tersebut memaksa banyak wartawan Arab untuk berpindah ke Barat. Selama 4 tahun terakhir, sejumlah wartawan dan penulis terbaik dunia Arab berpindah ke Perancis dan Inggeris di mana mereka bisa bekerja tanpa merasa takut.
Kebebasan media tetap menjadi impian yang berada di luar jangkauan di dunia Arab. Di sana, jika anda tidak diancam oleh pemerintah, maka akan ada orang lain yang bakal punya alasan untuk menyasar anda.
Kasus para wartawan Al-Arabiya masih menjadi contoh lain dari bahaya dihadapi oleh pada wakil media jika tidak takluk kepada otoritas atau berani menantang pemerintah atau kelompok teroris.
Awal pekan ini Al- Arabiya mengumumkan bahwa pihaknya memecat delapan tenaga kerjanya di Jalur Gaza --- tiga tahun setelah Pemerintahan Hamas memutuskan menutup kantor stasiun televisi tersebut di sana. Para pekerja itu adalah Mohamed Jahjouh, Jamal Abu Nahel, Hanan al-Masri, Rula Elayan, Mahmdouh al-Sayed, Sha'ban Mimeh, Ala Zamou dan Ahmed al-Razi.
Dalam sebuah email kepada para karyawannya, Manajemen Al-Arabiya menulis:
"Kami menghargai karya kalian bersama kami pada masa lalu. Kalian semua adalah contoh dari kinerja yang professional. Tetapi waktunya sudah tiba untuk membuat keputusan yang sulit setelah kami habis-habisan mempejuangkan semua upaya untuk membuka kembali kantor-kantor televisi kita yang dipaksa ditutup, seperti kalian tahu, oleh kelompok yang mengendalikan jalanan di Jalur Gaza."
Hamas menutup Stasiun Televisi Al-Arabiya di Gaza Juli 2013. Upaya itu dilakukan dengan dalih bahwa stasiun itu menyiarkan "berita yang tidak benar" tentang situasi di Jalur Gaza. Selain menutup kantor, Hamas juga menjarah peralatan dan perabot kantor televisi tersebut yang diperkirakan mencapai nilai $500.000 (Rp 6, 5miliar) serta mencegah para karyawan memasuki kantor.
Meski demikian, penutupan kantor Stasiun Televisi Al-Arabiya di Jalur Gaza tidak memperoleh banyak perhatian dari komunitas dan organisasi hak asasi manusia internasional. Andai kantor itu ditutup oleh Israel, tentu bakal ada hingar bingar tudingan masyarakat internasional. Para jurnalis dari segala penjuru dunia bakal berteriak lantang tentang "serangan Israel atas kebebasan media."
Di sini ada fakta yang tidak menyenangkan. Seperti banyak stasiun televisi Arab lain, Al-Arabiya punya biro di Israel. Para wartawannya menikmati jauh lebih banyak kebebasan dan kemerdekaan untuk melaporkan berita dari Yerusalem dan Tel Aviv dibandingkan yang bisa mereka lakukan di dunia Arab. Sekarang ini, satu-satunya suratkabar berbahasa Arab yang bebas dan independen di Timur Tengah bisa ditemukan di dalam negeri Israel.
Di Tepi Barat dan Jalur Gaza, satu-satunya suratkabar yang ada adalah yang berperan sebagai organ bagi Otoritas Palestina (PA) dan Hamas. Banyak wartawan Arab merasa tidak aman bekerja di bawah PA di Tepi Barat. Bagi PA dan juga Hamas, kritik itu sebuah kejahatan
Baru saja pekan ini, misalnya, para perwira keamanan Otoritas Palestina menangkap wartawan Tareq Abu Zeid di Nablus setelah menyita komputer pribadi dan handphone-nya. Tak ada alasan diberikan atas penangkapan Abu Zeid. Dengan demikian, dia masuk dalam kelompok wartawan dan blogger yang ditangkap atau diinterogasi oleh PA dalam beberapa tahun terakhir ini.
Negara-negara Arab yang bahkan biasanya membanggakan diri sebagai basis bagi media yang bebas seperti Libanon pun, tidak lagi mampu mempertahankan para wartawannya dari ancaman dan aksi kekerasan.
Bulan silam, Al-Arabiya juga menutup kantor cabangnya di Beirut yang dikutip mengatakan, "karena persoalan keamanan." Dalam sebuah pernyataan, pihak stasiun televisi yang dimiliki oleh Arab Saudi itu mengatakan keputusan untuk menghentikan kantor di Beirut diambil "karena terkait dengan keamanan" 27 karyawannnya.
Keputusan itu diyakini merupakan dampak langsung dari ancaman yang dilancarkan oleh milisi Hizbulah yang didukung oleh Iran. Faksi Hizbulah sangat marah dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab lain karena keputusan mereka baru-baru ini melabel atau menyebutkan milisi Shia sebagai kelompok teror.
Keputusan Al-Arabiya untuk menutup bironya di Beirut muncul segera setelah para penjahat yang diduga berasal dari Faksi Hizbulah terus saja mengamuk di kantor suratkabar Asharq Al-Awsat, yang dimiliki oleh Arab Saudi serta merusak peralatan dan perabot-perabot kantor.
Serangan terjadi setelah suratkabar pan-Arab menerbitkan kartun yang menandai Hari Untuk Saling Menipu (April Mop) yang dianggap "ofensif" bagi Negara Libanon dan benderanya. Ada pesan di balik kartun itu. Yaitu bahwa Libanon telah menjadi negara gagal menyusul semakin menguatnya Faksi Hizbulah dan campur tangan Iran dalam urusan dalam negeri negeri itu--- sesuatu yang mencegah pelaksanaan Pemilu Presiden Libanon yang baru.
Upaya Hamas, Hizbulah dan banyak pemerintah negara-negara Arab (termasuk Otoritas Palestina---PA) untuk membungkam wartawan dan media tidak saja untuk membungkam kritik tetapi juga untuk menyembunyikan dari dunia hidup seperti apa sebenarnya di bawah kekuasaan para diktator dan teroris. Para penganjur kebebasan media dengan demikian, mungkin saja ingin mendengar kisah yang terkait dengan fakta bahwa staf Arabiya baru saja dipecat.
Khaled Abu Toameh adalah wartawan Arab-Israel peraih sejumlah penghargaan. Ia beragama Islam dan berbasis di Yerusalem.