Ketika sebuah biara Kristen Irak berusia 1.400 tahun dirusak oleh Negara Islam (ISIS), hampir seluruh dunia mengecam aksi pengrusakan tersebut. Tetapi ada satu orang tidak mengecamnya; dialah Jurubicara Operation Inherent Resolve (Operasi Sekaligus Upaya Pemulihan) militer AS, Kol. Steve Warren.
"Ribuan [umat Kristen Irak] dibunuh dan ratusan ribu umat dipaksa meninggalkan negerinya," urai wartawan Stasiun Televisi CNN Wolf Blitzer dalam sebuah wawancara dengan Kolonel Warren, dua pekan lalu. "Dan anda berada di Bagdad kala itu. Kita lihat ada rasa takut yang masuk akal di sana. Yaitu bahwa sejarah panjang umat Kriten yang hidup damai dan produktif di Irak sudah berakhir. Seberapa khawatirkah kita dengan soal komunitas Kristen di Irak?"
"Wolf, ISIS tidak peduli apakah kau Kristen atau tidak...Kami tidak lihat bukti yang jelas dari upaya untuk secara khusus menyasar kaum Kristen," jawab Kolonel Warren.
Penolakan tentu tidak termasuk kasarnya, dua pertiga warga Kristen Irak yang berjumlah 1,5 juta yang dibunuh atau dipaksa meninggalkan negeri ini oleh ISIS dan jihadi pendahulunya selama dekade silam. Apakah ini tak ada kaitan sama sekali dengan identitas agama mereka?
Di Irak dan tempat-tempat taklukannya manapun, ISIS sedikitnya sangat keras memaksakan diberlakukannya hukum dhimmi Islam yang sangat mengerikan. Berdasarkan hukum itu, umat Kristen dituntut untuk membayar uang paksa (jizya) untuk "perlindungan" serta setuju untuk hidup dengan perangkat hukum yang menjatuhkan martabat mereka.
Kerapkali, ISIS mengabaikan formalitas ini dan langsung menyiksa umat Kristen yang menolak masuk Islam hingga tewas. ISIS kemudian menyiarkan video online-nya untuk tujuan propaganda. Yang paling menonjol adalah dua video eksekusi massal atas 21 warga Mesir dan 30 warga Etiopia di Libya, musim semi lalu. Meski demikian, masih ada contoh lain yang tidak banyak diketahui orang. Seperti ketika pada 2014 lalu ISIS memenggal kepala kemudian merobek-robek tubuh sekelompok anak Kristen Irak yang tidak berdaya. Penyebabnya adalah, anak-anak itu menolak meninggalkan Kristus dan mengatakan, "Tidak, kami cinta Yesus."
Tragedi mengerikan juga terjadi musim panas silam di Aleppo, Suriah. Kala itu, ISIS menyiksa, memutilasi, memperkosa korban di depan umum, lalu memenggal kepala serta menyalibkan 12 warga Kristen. Semua penyiksaan dilakukan karena mereka menolak masuk Islam. Para saksi mata yang berhasil lolos dari maut melaporkan bahwa ISIS memasukan para umat Kristen Irak dan Suriah dalam kandang atau peti mati lalu membakar mereka
ISIS juga menculik umat Kristen lalu menuntut uang tebusan bagi pembebasan mereka. Juga memaksa para sandera wanita menjadi budak seks. Seorang gadis berusia 12 tahun diperkosa seorang pejuang Negara Islam diberi tahu bahwa "apa yang dilakukannya itu bukan dosa" karena gadis kecil itu "menganut agama lain selain Islam."
ISIS juga mengirimkan mata-mata yang menyamar sebagai pengungsi memasuki berbagai kamp pengungsi PBB di Yordania dengan tujuan bisa menyandera gadis muda Kristen untuk dijual atau digunakan sebagai budak.
Negara Islam tampaknya berkomitmen menghapuskan semua jejak fisik Kristen di kawasan-kawasan yang dikuasainya. Sudah puluhan gereja kuno dihancurkannya --- hampir 400 gereja dihancurkannya selama perang di Suriah saja. Angka itu belum menyebutkan tidak terhitung banyaknya salib, patung, gua, dan relikwi-relikwi (peninggalan para suci,JEL) lain. Negara Islam juga memerintahkan Universitas Mosul untuk membakar semua buku yang ditulis oleh kaum Kristen serta memfatwakan agar nama semua sekolah Kristen di Mosul dan Dataran Niniveh diganti namanya. Padahal, beberapa sekolah sudah berdiri di sana sejak tahun 1700-an.
Aksi perusakan oleh ISIS atas sebuah biara berusia 1.400 tahun bukan hal baru. Pada musim panas lalu, ISIS membakar sebuah gereja tua berusia 1.800 tahun di Mosul serta menghancurkan di sebuah biara kuno berusia 1.600 tahun dengan buldoser di Hom. Aksi itu dilakukan sebagai tanggapan karena "memuja Tuhan selain Allah."
Ringkasnya, umat Kristen benar-benar mengalami "menjadi sasaran khusus" Negara Islam. ISIS juga membunuh kaum Islam yang menghambat langkah mereka, tetapi hanya kaum non-Muslim--- terutama kaum Kristen yang dijadikan budak, diperkosa dan kadangkala dipaksa untuk masuk Islam dengan siksaan kejam mematikan. Walau hukum Islam atau Shariah membenarkan adanya pembunuhan, perbudaan serta perkosaan atas kaum non-Muslim, ia melarang memperlakukan sesama Muslim seperti itu, kecuali jika mereka dianggap takfir [dikeluarkan dari agama Islam] atau murtad dari Islam.
Sejumlah pengamat yang tahu persoalan menguraikan (debate) bahwa komunitas Kristen Irak benar-benar terancam oleh ISIS. Menurut Simon Skjodt Center for Prevention of Genocide (Kajian untuk Pencegahan Genosida Simon Skjodt) di Tugu Peringatan Holocaust AS, penyiksaan yang ISIS lakukan terhadap kalangan Kristen memang sudah "sesuai dengan defenisi pembersihan etnis." David Saperstein, Duta Besar Berkuasa Penuh Amerika untuk Kebebasan Beragama juga mengakui bahwa "umat Kristen yang pertama-tama" disiksa demi agama mereka di Irak.
Tentu saja, sangat memalukan bagi jurubicara resmi militer AS yang memerangi ISIS untuk membuat pernyataan seperti itu. Tetapi, Kolonel Warren tidak pantas dikecam. Bagaimana jadinya, jika dia hanya seorang militer yang melakukan upayanya yang terbaik untuk mematuhi tuntutan para politisi hingga pihak tertinggi yang tidak mengakui penderitaan umat Kristen Timur Tengah?
Raymond Ibrahim, pengarang buku Crucified Again: Exposing Islam's New War on Christians (sebuah publikasi Gatestone yang diterbitkan oleh Regnery pada 2013). Ia adalah mitra Shillman pada David Horowitz Freedom Center dan mitra Judith Friedman Rosen pada Middle East Forum (Forum Timur Tengah).