Tidak terhitung lagi berapa kali saya mendengar dari kaum Yahudi Israel ungkapan-ungkapan seperti, "Saya malu" dan "Saya minta maaf" sebagai tanggapan terhadap kejahatan mengerikan yang merenggut nyawa bayi di bawah lima tahun (Balita) Ali Dawabsha di Desa Duma, Tepi Barat, pekan lalu.
Tanggapan keras publik dan pemimpin Israel terhadap serangan pembakaran rumah, sesungguhnya, bagaimanapun menghibur. Seluruh kecaman terhadap aksi kejahatan ini menyebabkan saya dan warga Palestina lain bukan saja malu tetapi juga merasa dipermalukan. Soalnya, ini bukan cara kita warga Palestina bereaksi terhadap serangan teror terhadap warga Yahudi --- bahkan jika kita melakukan aksi pembunuhan memalukan terhadap anak-anak Yahudi pun, kita tidak merasa malu dan merasa dipermalukan.
Kenyataannya, reaksi kita memunculkan perasaaan yang memalukan penuh aib. Perdana menteri, presiden dan para pejabat lain Israel sangat cepat dan keras mengecam pembunuhan Dawabsha, namun para pemimpin kita jarang mengecam serangan teror terhadap warga Yahudi. Dan kalaupun para pemimpin Palestina seperti Mahmoud Abbas mengeluarkan kecaman, kecaman itu kerapkali samar dan tidak tegas.
Ambil contoh, apakah yang terjadi setelah aksi penyanderaan dan pembunuhan tiga remaja Israel oleh warga Palestina di Tepi Barat, tahun lalu. Bukan saja Presiden Abbas butuh waktu empat hari untuk mengeluarkan kecaman atas insiden serangan teror itu, kecaman kala itu pun bahkan bersifat sementara. "Pihak kepresidenan Palestina...mengecam rangkaian peristiwa yang terjadi pekan lalu, yang dimulai dengan penyanderaan tiga remaja Israel." Abbas kemudian melanjutkan dengan mengecam Israel menyusul penangkapan yang dilakukannya atas puluhan anggota Hamas setelah penculikan dan pembunuhan tiga pemuda tersebut.
Belakangan, ada periswa pada 2014. Kala itu, Abbas memang mengecam serangan teror Palestina yang menewaskan lima warga Israel di sebuh sinagoga Yerusalem. Tetapi, beberapa hari kemudian, pejabat Faksi Fatah Najat Abu Baker, justru menjelaskan bahwa kecaman Abbas dibuat "dalam konteks diplomatik...[dia] dipaksa untuk berbicara seperti ini kepada dunia."
Kecaman Abbas terhadap serangan di lingkungan sinagoga Har Nof, Yerusalem, jelas-jelas hanya dilakukan karena ada tekanan dari Menteri Luar Negeri AS John Kerry. Kerry dua kali menelepon Pemimpin Palestina itu menuntut agar dia berbicara menentang aksi pembunuhan itu. Pernyataan Abbas mengatkaan bahwa pemimpin Palestina mengecam "pembunuhan terhadap para jemaat di sinagoa dan semua aksi kekerasan, tidak pedulu apapun sumbernya." Pernyataan itu juga menyerukan diakhirinya "serangan dan provokasi dari para pemukim terhadap Masjid Aqsa."
Kecaman Abbas memang ambigu dan tidak sepenuh hati terhadap serangan warga Palestina terhadap Israel. Ia hanya konsumsi publik. Pertama-tama, dia dimaksudkan untuk menyenangkan hati para donatur Barat sehingga mereka terus menyalurkan dana kepada Otoritas Palestina (PA). Selain itu, sebagian besar kecaman itu juga selalu berupaya menyalahkan Israel ketika warga Palestina melakukan serangan terror. Agaknya, sebagai upaya membenarkan pembunuhan warga Yahudi oleh para teroris Palestina.
Sebaliknya, para pemimpin Israel yang mengecam pembunuhan Balita Palestina terdengar kuat dan tidak ambigu. Inilah apa yang Perdana Menteri Netanyahu katakan tatkala mengunjungi orangtua dan saudara Balita yang dibunuh, yang terluka dalam serangan pembakaran dan tengah mendapat perawatan medis di rumah sakti-rumah sakit Israel: "Ketika kau berdiri di samping tempat tidur bayi kecil ini dan saudaranya yang masih bayi dibunuh dengan begitu kejam, kami sendiri shock. Kami marah. Kami kecam ini. Tidak ada toleransi sama sekali (zero-tolerance for terrorism), dari mana pun aksi terror ini terjadi, dari sisi pagar mana pun dia berasal."
Kecaman Netanyahu yang keras dan jelas menyebabkan saya dan warga Palestina lain bertanya-tanya kapan terakhir kali kita mendengar pernyataan yang sama dari para pemimpin kita. Saya tidak ingat pernah mendengar Abbas atau para pemimpin Palestina lain mengungkapkan perasaan terkejut sekaligus marah terhadap terbunuhnya seorang warga Yahudi dalam sebuah serangan teror Palestina. Tidak juga saya ingat waktu terakhir mendengar pejabat Palestina mengunjungi para korban Israel akibat serangan terori Palestina.
Para pemimpin Israel terdengar tulus mengecam pembunuhan bayi; Ia merefleksikan pandangan sebagian besar publik Israel. Sebaliknya, kecaman (denunciations) para pemimpin Palestina soal serangan teror tidak merefleksikan perasaan menyeluruh di jalanan Palestina. Tiap kali Abbas enggan mengecam serangan teror Palestina, dia justru menghadapi gelombang kecaman dari banyak warga Palestina.
Berbeda dengan publik Israel, banyak warga Palestina kerap cepat-cepat membenarkan bahkan menyambut baik, serangan teror terhadap warga Yahudi. Itulah situasi beberapa pekan silam, ketika seorang pria warga Israel tewas tertembak dekat Ramallah. Beberapa faksi dan kelompok militer Palestina bahkan memuja-muda pembunuhnya. Mereka menyebutnya "tanggapan yang wajar terhadap kejahatan Israel."
Cara Israel dan Palestina dalam bereaksi terhadap terorisme sangat berbeda. Pembunuhan Dawabsha menyaksikan ribuan warga Israel melancarkan pawai anti-kekerasan mengecam kejahatan mengerikan itu. Tetapi, adakah orang pernah mendengar ada pawai sejenis di pihak Palestina kapan pun teroris membunuh warga sipil Yahudi yang tidak bersalah? Adakah pejabat tinggi Palestina atau tokoh kenamaan berani berbicara di depan umum menentang pembunuhan warga Yahudi, dalam sebuah pawai di pusat kota Ramallah atau Kota Gaza? Adakah aktivis Palestina yang berani mengadakan pawai di sebuah kota Palestina untuk mengecam bom bunuh diri atau pembunuhan terhadap seluruh anggota sebuah keluarga Yahudi?
Ketika warga Israel berpawai mengecam serangan terror melawan masyarakat kita, kita justru tengah merayakan pembunuhan atas warga Yahudi. Sudah berapa kalikah kita bergerak di jalan-jalan membagikan manisan dan permen menyambut gembira pembunuhan warga Yahudi? Pemandangan memuakan para pria dan wanita merayakan serangan teror melawan warga Yahudi di jalanan Tepi Barat dan Jalur Gaza tak pernah dikecam oleh para pemimpin kita. Pemandangan itu menjadi peristiwa biasa tiap kali para teroris Palestina melakukan serangan melawan warga Yahudi.
Pemandangan ini sangat berbeda dengan pernyataan dan pawai umum di Israel menanggapi serangan terror melawan warga Palestina. Para pemimpin kita perlu belajar dari Presiden Israel, Reuven Rivlin yang mengatakan "malu" dan "merasa sakit" karena terbunuhnya seorang Balita Palestina. Kapankah terakhir kali seorang pemimpim Palestina menggunakan retorika seperti ini guna mengecam pembunuhan warga Yahudi? Pernyataan pendek yang dikeluarkan oleh Kantor Abbas menanggapi serangan terror anti-Israel tidak pernah berbicara tentang rasa malu dan rasa sakit.
Presiden Israel, Reuven Rivlin mengunjungi Ahmed Dawabsha, 4 tahun di rumah sakit, 31 Juli lalu. Dawabsha terbakar mengerikan dalam sebuah serangan dengan sengaja membakar rumahnya di Desa Duma. Insiden itu menewaskan saudaranya yang masih bayi sekaligus melukai para orangtuanya. (Sumber foto: Mark Neyman/ Kantor Bagian Pers Pemerintah Israel). |
Kita gagal mendidik prinsip-prinsip toleransi dan perdamaian kepada rakyat kita. Sebaliknya, kita terus memaafkan dan memuja-muja terorisme, khususnya ketika diarahkan melawan kaum Yahudi. Kita menginginkan seluruh dunia mengecam terorisme hanya ketika memakan korban jiwa warga Palestina. Kita sudah mencapai titik di mana banyak dari kita yang takut berbicara melawan terorisme atau hanya menerimanya ketika memakan korban jiwa warga Yahudi.
Presiden Israel punya alasan bagus untuk malu atas pembunuhan Balita. Tetapi kapankah kita warga Palestina malu atas cara kita bereaksi terhadap pembunuhan orang-orang Yahudi. Kapan kita berhenti memujan para teroris dan memberikan nama jalan dan taman-taman umum sesuai nama mereka, bukannya dengan tegas mengecam dan mengusir mereka keluar dari masyarakat kita? Masih banyak hal yang harus kita pelajari dari para pemimpin Israel sekaligus publik Israel.
Bassam Tawil berdiam di Timur Tengah