Ketika banyak analisis Barat mendiskusikan tentang Justice and Development Party (Partai Keadilan dan Pembangunan--AKP) di Turki, mereka dengan tepat mengkritiknya karena sikapnya yang tidak toleran dalam bidang agama, otoritarianisme dan kurangnya penghargaan terhadap prinsip-prinsip sekuler dan kaum minoritas. Mereka juga cenderung membandingkan AKP dengan mantan pemerintahan kaum Kemalis lalu menarik perbedaan antara keduanya.
Mereka mengaku bahwa Turki itu "sekuler" dan agak sedikit "demokratis" sampai AKP naik ke puncak kekuasaan.
Bagaimanapun, tinjauan agak mendalam terhadap sejarah Turki memperlihatkan bahwa, Turki tidak pernah benar-benar sepenuhnya sekuler atau demokratis.
Sejak didirikan pada 1923, negara Turki modern, tidak pernah melepaskan tangannya dari urusan agama. Ia terlibat dalam berbagai persoalan agama nyaris pada semua tingkat – dengan melembagakan Islam Sunni dan pada pihak lain dengan menganiaya (atau membasmi) agama-agama lain.
Sikap tidak toleran bahkan benci terhadap kaum non-Muslim, dipromosikan terbuka --- bahkan oleh para pemimpin negara—sejak hari pertama negara itu berdiri.
Diyanet: Presidensi Urusan Agama
Sekularisme berakar pada pemisahan agama dan negara. Di Turki, pemisahan seperti itu tidak pernah ada. Salah satu institusinya yang paling penting adalah Jabatan Kepresidenan Urusan Agama, yang dalam bahasa Turki sebagai Diyanet.
Bagaimanapun, Diyanet tidak didirikan oleh pemerintahan AKP. Dia didirikan pada 1924 setelah Kekalifahan Ottoman dihapus oleh pemerintahan kaum Kemalis yang berkuasa sebagai pengganti Sheikh ul-Islam (pihak berwenang yang mengelola urusan agama kaum Muslim dalam Kerajaan Ottoman).
Diyanet punya berbagai cabang. Tugas pertama Dewan Tinggi Urusan Agama menurut website resminya adalah " Untuk membuat keputusan-keputusan, berbagai pandangan dan menjawab masalah-masalah keagamaan dengan mempertimbangkan teks-teks sumber dan metodologi yang mendasar serta pengalaman sejarah agama Islam serta tuntutan dan kebutuhan masa kini."
Yang menjadi persoalan pada lembaga itu adalah bahwa Turki mengklaim diri sebagai negara republik yang "sekuler" dan sebuah negara sekuler diandaikan memperlakukan semua orang – Muslim dan non-Muslim—secara sama. Pemerintahan sekuler juga bertugas merangkul prinsip-prinsip pluralisme dan objektivitas dalam mengelola masalah-masalah agama.
Sebaliknya, obyektivitas Diyanet terletak pada upayanya menjaga (Islam) di bawah kekuasaan negara dan mempertahankan publik di bawah kekuasaan negara lewat sarana-sarana agama.
Sejak Diyanet berdiri, masjid-masjid dibangun oleh negara. Para mufti, muazin dan imam-imam dipekerjakan oleh negara. Gaji mereka pun dibayarkan dari pajak seluruh warga negara, tidak peduli apapun agama mereka. Juga, kotbah-kotbah Jumad para imam di masjid-masjid di seluruh penjuru Turki ditulis oleh Diyanet.
Tetapi apa yang terjadi ketika kaum Muslim dengan sukarela berpindah agama, katakan menjadi Kristen? Sebagai sejarahwan, Ayser Hulls mengisahkan masalah ini;
"Pada Januari 1928, dilaporkan ada 3 gadis Muslim Turki yang belajar di Kolese Amerika di Propinsi Bursa beralih menganut agama Kristen berkat motivasi sejumlah gurunya. Peristiwa itu mengarah kepada meledaknya kampanye anti-Kristen yang sangat keras. Pertama-tama, sekolah ditutup kemudian kepala sekolah dan seluruh guru sekolah diajukan ke pengadilan. Sesudah itu, sekolah-sekolah non-Muslim mengalami inspeksi yang sangat ketat. Wartawan pun membentuk "Perkumpulan untuk Mengusir Keluar Para Misionaris.'"
Jadi, di Turki, kebebasan suara hati dan agama dihargai--- tetapi hanya jika anda menganut Muslim Sunni.
Diyanet – dengan anggaran sangat besar, dengan staf yang sangat banyak berbarengan dengan aktivitas yang sangat luas termasuk lingkungan pengaruhnya – merupakan institusi yang jauh lebih besar dibanding kementerian lain. Dan di bawah pemerintahan Islam masa kini, lembaga itu mempertahankan aliran bola saljunya. Kini, pihak berwenang pemerintah Turki bisa menetapkan di mana masjid baru akan dibangun, seperti apakah bentuk arsiteknya dan berapa ukurannya nantinya..[1]
Pada 2012, ketika perdana menteri kala itu, Recep Tayyip Erdogan (kini presiden) menghadiri acara pembukaan sebuah "masjid selatin" di sebuah kota di Istambul, dia pun berucap: Tidak ada masjid selatin di kawasan ini. Ini masjid pertama tetapi perlu beberapa masjid lagi. Kita sudah membuat keputusan ini."
Masjid selâtin adalah nama masjid yang dibangun oleh para sultan selama masa Ottoman setelah meraih kemenangan militer dan barang rampasan perang yang penting.
Diskriminasi terhadap Alevis
Jika demokrasi sekuler diandaikan pluralis dan toleran, jika membela kesamaan derajat seluruh warganya dan menghargai hak-hak asasi manusianya, maka dia adalah segala-galanya walau bukan "sekuler" atau "demokratis."
Khususnya Diyanet yang didanai dan dikelola negara menyimbolkan supremasi Islam Sunni dan penindasan agama lain di Turki, khususnya terhadap agama Alevi,
Sejak Republik Turki berdiri pada 1923 hingga kini, "rumah-rumah cem" (tempat doa penganut Alevis) termasuk Dedes (para pemimpin agama Alevis) tidak lagi berstatus hukum. Hingga 2002, agama itu dilarang bahkan untuk membangun persekutuan dengan nama "Alevi" pun dilarang.
Penganiayaan atas umat Alevis tidak saja berkaitan dengan penolakan terhadap agama mereka. Mereka pun dihadapkan pada aksi kekerasan dan pembunuhan tanpa akhir di tangan-tangan rejim Turki. [2]
Diskriminasi terhadap Umat Kristen
Setelah Republik Turki berdiri pada 1923, kaum non-Muslim—Yunani, Armenia dan Yahudi – secara hukum dikeluarkan dari profesi-profesi tertentu, termasuk dari pekerjaan-pekerjaan seperti pegawai negeri sipil, karyawan bank, pengacara dan farmasi di antara berbagai profesi lainnya.
Dalam pandangan negara, umat Kristen dan Yahudi bukanlah warga yang sederajat. Bahkan pihak berwenang negara tertinggi pun secara terbuka mengungkapkan pandangan ini. Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki modern pun mengatakannya pada 16 Maret 1923 dalam sebuah pidato kepada Masyarakat Pedagang Turki Adana;
"Orang Armenia tidak punya hak apapun di negeri ini yang indah ini. Negerimu adalah milikmu, milik orang Turki. Negeri ini adalah Turki dalam sejarah. Karena itu, adalah Turki dan akan berdiam di Turki selama-lamanya. Orang Armenia selanjutnya tidak punya hak apapun di sini. Tanah-tanah indah ini benar-benar murni negeri Turki," [3]
Perdana Menteri Turki pertama, Ismet Inonu, pada 4 Mei 1925 mengatakan:
"Nasionalisme menjadi satu-satunya faktor pengikat kita. Di depan mayoritas Turki, unsur lain tidak punya pengaruh sama sekali. Dengan harga apapun, kita harus men-turki-kan penghuni tanah kita. Akan kita basmi siapa saja yang menentang orang Turki atau 'le Turkisme'." [4]
Sejarahwan Ayse Hur mengenang bahwa;
"Pada Oktober 1930, suratkabar Cumhuriyet (Republik) dan Anadolu (Anatolia) melaporkan bahwa ada enam warga Yunani, empat orang Armenia dan tiga Yahudi berniat mencalonkan diri untuk menjadi anggota parlemen untuk Partai Liberal Republikan (SCP) yang baru berdiri. Suratkabar-suratkabar itu mengatakan bahwa daftar Partai Rakyat Republik hanya memasukan orang Turki saja, dan bahwa para kandidat non-Muslim SCP itu "anti-terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Turki."
Ihsan Pasha, seorang anggota Parlemen dari Partai CHP pendukung Kemalis, yang mendirikan Republik Turki mengomeli para pemilih: "Bagaimana bisa kalian tanpa malu-malu memberi suara untuk partai yang juga dipilih oleh orang Hamparsun, Mishon dan Yorgos?" Pertanyaannya memperlihatkan kecenderungan rasis para pendiri Turki: " Bagaimana bisa kau memberikan suara untuk partai yang juga dipilih oleh orang Armenia, Yahudi dan Yunani?" [5]
Tidak peduli apa pun yang pihak berwenang Turki katakan atau terus katakan, Asia Kecil adalah salah satu tempat di mana umat Kristen pernah tumbuh subur. Konstantinopel (Istambul), diberi nama sesuai nama Kaisar Konstantinus Agung dan merupakan ibukota Roma serta Kekaisaran Bizantium. Ia merupakan benteng pertahanan Kristen di Timur dan sangat berhasil memajukan agama. Pada abad ke-12, Konstantinopel menjadi kota terbesar dan terkaya di Eropa. [6]
Bagaimanapun, pihak beerwenang Turki menolak menyerahkan proyek mereka untuk mengubah Asia Kecil menjadi "Zona bebas Kristen" hingga misi mereka selesai. Laporan Minoritas yang diterbitkan pada 1946 oleh Kantor ke-9 Partai Rakyat Republik (CHP) mengatakan: " Kita harus melakukan pencegahan serius di Istambul, khususnya terhadap orang-orang Yunani. Hanya ada satu pernyataan yang dibuat berkaitan dengan topik ini: Yaitu bahwa tidak seorang Yunani pun tetap berdiam di Istambul setelah 500 ulang tahun penaklukan Istambul."
Hanya 9 tahun setelah laporan itu diterbitkan, pihak berwenang Turki mewujudkan rencana mereka untuk tidak meninggalkan seorang Yunani pun di Istambul--- di bawah pemerintahan baru pimpinan Partai Demokrat.
Tahap terakhir upaya menghancurkan budaya Kristen di Istambul terjadi pada September 1955 melalui "pogrom" – yaitu serangkaian kerusuhan hasutan pemerintah melawan orang Yunani, Armania dan minoritas Yahudi Istambul.
"Pogrom dapat ditandai sebagai 'kejahatan terhadap kemanusiaan,' yang dapat dibandingkan dengan Kristallnacht pada tahun 1938 di Jerman, yang dilancarkan oleh pihak berwenang Nazi melawan warga sipil Yahudi," tulis Prof. Alfred de Zayas.
"Gerombolan massa Turki menghancurkan berbagai distrik Yunani, Armenia dan Yahudi di Istambul. Rangkaian kerusuhan itu menewaskan sekitar 37 orang Yunani, merusak dan menjarah tempat-tempat ibadah, rumah dan bisnis mereka.
"Selain tewas, ribuan orang terluka. Sekitar 200 wanita Yunani diperkosa. Ada laporan bahwa anak-anak laki-laki Yunani pun diperkosa. Banyak pria Yunani termasuk sedikitnya seorang imam dipaksa untuk disunat.
"Aksi-aksi kerusuhan berlanjut dengan kerusakan material yang sangat besar.Pihak berwenang Yunani memperkirakan menderita kerugian $ 500 juta, termasuk pembakaran gereja-gereja dan perusakan toko-toko dan rumah-rumah pribadi. Akibat pogram, minoritas Yunani akhirnya beremigrasi keluar dari Turki."
Dalam foto sejak September 1955 ini tampak, gerombolan massa Muslim Turki hasutan pemerintah di Istambul tengah menghancurkan berbagai tokoh milik umat Kristen Yunani. |
Kebencian terhadap umat Kristen di Turki terus berkembang. Pada 18 April 2007, tiga karyawan penerbitan Zirve Bible – dua warga Turki yang beralih menganut Kristen, Necati Aydin, 36 dan Ugur Yuksel, 32 dan seorang warga Jerman, Tilmann Geske, 45 – diserang, disiksa. Pada akhirnya, tenggorokan mereka pun dipotong di Propinsi Malatya oleh lima penyerang Muslim.
Pada 7 Maret 2014, para terdakwa pembunuhan yang ditahan itu, dibebaskan. Mereka menjalani tahanan rumah setelah sebuah pengadilan Turki memutuskan penahanan mereka sudah melewati batas waktu penahanan resmi yang baru diterapkan.
Diskriminasi terhadap Yahudi
Seorang pihak berwenang Turki pertama yang secara terbuka mengungkapkan sikap anti-Semitisme adalah Dr. Riza Nur, utusan khusus Turki untuk Konperensi Lausanne sekaligus juga Menteri Pendidikan pertama Turki.
Pada 2 Maret 1923, dalam sebuah sesi rahasia di Parlemen Turki, dia berbicara tentang berbagai kebijakan yang dipertahankan Turki selama perundingan Lausanne:
"Kalian tahu orang Ibrani. Mereka pergi ke manapun mereka didorong. Tentu saja, saya katakan lebih baik jika mereka tidak ada."
Sebagaimana dijelaskan oleh pernyataan itu, bangsa Yahudi di Turki dihadapkan pada berbagai tipe penganiayaan dan pelecehan hak-hak asasi manusia --- termasuk pogrom pada tahun 1934. Program itu adalah propaganda media Turki,pmemaksaan orang untuk pindah agama, paksaan agar orang meninggalkan rumah sekaligus memaksakan asimilisasi.
Karena itu kini, Turki hanya punya sekelompok kecil minoritas Yahudi.
Selama tahun-tahun pertama republik, kaum Yahudi dilarang berbicara bahasa Ladino, bahasa yang mereka bawa ketika diusir keluar dari Spanyol pada 1942. Kini, menurut Atlas UNESCO untuk Bahasa-bahasa Dunia Dalam Bahaya, Ladino adalah salah satu dari 18 bahasa yang sedang dalam bahaya atau musnah di Turki. [7]
Bertahun-tahun sudah lewat. Tetapi, anti-Semitisme masih tetap merajalela. Pada 6 September 1986, para teroris Palestina yang berafiliasi dengan organisasi Abu Nidal, membom dan melancarkan tembakan terbuka di Sinagoga Neve Shalom di Istambul selama ibadah Sabbath. Insiden itu menewaskan 22 orang dan melukai lebih dari ratusan.
Insiden itu tidak mendapat reaksi keras dari publik di Turki---sama seperti semua serangan mematikan lainnya terhadap kaum minoritas yang tidak mendapatkan reaksi yang keras.
Pada 2003, terjadi ledakan bom mobil yang nyaris serentak di luar dua sinagoga Istambul – yaitu Sinagoga Neve Shalom dan Beth Israel – yang sama-sama sedang dipenuhi jemaah. Sedikitnya 23 orang tewas dan lebih dari 300 terluka. Sebuah kelompok Islam Turki, Fron Penyerang Islam Timur Raya, yang juga dikenal dengan IBDA-C mengaku bertanggung jawab terhadap berbagai serangan itu.
Diskriminasi terhadap kaum Yezidi
Kaum Yezidi, sebuah kelompok agama yang dianiya dan salah astu masyarakat paling tenang di dunia secara etnis merupakan suku Kurdi. Tetapi tidak seperti mayoritas masyarakat Kurdi, mereka bukan Muslim Sunni. Agama kuno mereka, Yezidisme mengintegrasikan berbagai unsur Zoroastrianisme dan agama-agama Mesopotamia lain.
Kaum Yezidis mengatakan bahwa sejak abad ketujuh, mereka sudah dihadapkan dengan 73 aksi pembantaian massal atau upaya pembasmian.
"Sebagian besar serangan itu terjadi selama 1000 tahun terakhir, khususnya pada masa Kekaisaran Ottoman. Selama berbagai serangan itu, jutaan kaum Yezidi dibunuh, disandera atau di-Islam-kan," lapor Komunitas Yezidi di Organisasi Eropa.
Berbagai serangan terhadap kaum Yezidis berlanjut selama Republik Turki. Dari 80.000 kaum Yezidi yang hidup di Turki selama empat dekade silam, masih ada kini kurang dari 400 orang, menurut Peace and Democracy Party ( Partai Perdamaian dan Demokrasi--BDP) serta berdasarkan berbagai surat dari komunitas Yezidi di Turki dan luar negeri.
"Sebagian besar dari mereka melarikan diri ke Europe, khususnya Jerman.
"Kaum Yezidi...didaftarkan sebagai Muslim atau kafir dalam dokumen resmi dan kartu-kartu identitas.
"Kaum Yezidi dilucuti dari hak-hak memiliki rumah di Turki. Tanah-tanah mereka diambil alih dengan paksa dari mereka dan sumber pendapatan utama mereka, yaitu pertanian dan peternakan dibasmi dengan cara ini."
Pukulan Terakhir untuk Mengejark Demokrasi di Turki
Pada 12 September 1980, angkatan bersenjata Turki melancarkan kudeta berdarah. Mereka mengklaim akan memperbaiki tatasosial negara. Strategi mereka, bagaimanapun adalah lewat penahanan dan penyiksaan. Sasaran utama mereka adalah berbagai gerakan politik progresif ---khususnya gerakan Kurdi.
Selama tiga tahun selanjutnya, angkatan bersenjata Turki memerintah negara itu melalui Dewan Keamanan Nasional. Selama masa itu, ada pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan dan penganiayaan brutal serta pusat-pusat tahanan—khususnya di Propinsi Kurdi, Diyarbakir.
Menurut sebuah laporan Komisi Investigasi Parlemen untuk Kudeta dan Memorandum yang diterbitkan pada 2012, akibat-akibat kudeta itu mencakup:
"Ada 650,000 ditangkap; 1,683,000 orang dimasukan dalam daftar hitam; 230,000 orang diajukan dalam 210,000 gugatan hukum; 7,000 orang diajukan untuk mendapatkan hukuman mati; 517 orang dihukum mati; 50 dari orang-orang yang dijatuhkan hukuman mati dieksekusi mati; 71,000 orang dicoba didakwa berdasarkan Artikel 141, 142 dan 163 dari Hukum Pidana Turki; 98.404 orang dicoba dituduh sebagai anggota sebuah organsasi; 338.000 orang tidak diberikan paspor; 30.000 orang diberhentikan dari pekerjaan karena dituduh; 14.000 orang dicabut hak kewarganegaraannya; 30.000 orang pergi ke luar negeri sebagai pengungsi politik; 300 orang tewas secara aneh. Juga didokumentasikan bahwa 171 orang tewas akibat penyiksaan, 937 film dilarang beredar karena dianggap tidak bisa disetujui; 23.677 perkumpulan menghentikan aktivitas-aktivitas mereka; 3.854 guru, 120 akademisi dan 47 hakim dipecat dari pekerjaan mereka; 400 jurnalis diminta sekitar 4000 tahun penjara. Para jurnalis dihukum hingga 3315 tahun dan 6 bulan penjara; berbagai suratkabar tidak bisa diterbitkan selama 300 hari; 39 ton suratkabar dan majalah dihancurkan; ada 299 orang kehilangan nyawanya di penjara."
Kudeta itu bagaimanapun tidak terkait dengan keinginan untuk menghentikan konflik-konflik bersenjata dan upaya menata kembali tatatertib sosial atau membawa demokrasi.
Tetapi dia memang berkaitan dengan upaya menciptakan sebuah negara "domba" melalui rasa takut dan intimidasi, khususnya melalui upaya menindas tuntutan masyarakat Kurdi untuk merdeka.
Salah satu keputusan diktator militer adalah mempersyaratkan sekolah-sekolah mengajarkan pelajaran "agama dan etika." Artikel ke24 dari Konstitusi Tahun 1982 mengatakan bahwa "pelajaran agama dan etika termasuk di antara matapelajaran yang wajib dipelajari di sekolah dasar dan menengah."
Turki masih diperintah berdasarkan konstitusi ini, yang dipersiapkan oleh diktator militer pada 1980 dan efektif berlaku pada 1982.
Matapelajaran "agama dan etika "mengindoktrinasi murid-murid sekolah dengan Islam Sunni. Murid-murid masyarakat Alevi pun harus mengikuti pelajaran itu. Bakal sulit untuk bergerak lebih jauh dari prinsip-prinsip negara sekular.
Hanya penganut Sunni Turki – khususnya yang "baik" dan "setia" yang tidak menentang atau berbicara menentang kebijakan-kebijakan negara yang tidak adil—yang diijinkan hidup bebas dan aman di Turki.
"Orang Turki adalah tuan di negeri ini," urai Mahmut Esat Bozkurt, Menteri Kehakiman Turki pertama pada 1930. "Orang-orang bukan asli Turki hanya punya satu hak di tanah kelahiran Turki yaitu untuk menjadi pembantu, menjadi budak. Kita berada di negara paling bebas di dunia. Mereka menyebutnya Turki." [8]
Berdasarkan ideologi negara dan publik, orang Turki sejati adalah orang Muslim.
Inilah ideologi yang dibangun dan dipiara Turki. Akibat ideologi ini, Turki tidak pernah menjadi demokrasi sekuler.
Pemerintahan AKP yang kini berkuasa tidak muncul dari udara kosong. Upaya membasmi umat Kristen, Yahudi, Alevis dan Yezidi – yang semuanya merepresentasikan peradaban-peradaban besar Asia Kecil --- juga berarti membasmi toleransi, keragaman dan budaya.
Setelah semua kebijakan Turki yang tidak sekulear, tidak demokrasi namun tirani ini, bagaimana bisa orang bahkan mengharapkan Turki punya pemerintahan yang toleran, sekluar dan pro-Barat yang menghormati kebebasan berbicara?
AKP merupakan hasil alamiah dari beberapa dekade penindasan atau asimilasi yang dipaksakan terhadap kaum non-Muslim dan non-Turki, termasuk institusionalisasi dan indoktrinasi Sunni Muslim melalui institusi dan pendidikan publik.
Semua ini yang mengarah kepada pemerintahan masa kini yang sedang memerintah Turki.
[1] Anggaran 2013 Diyanet (4.6 miliar lira Turki atau sekitar $1,8 miliar), sebagai contoh, jauh melebih anggaran dari 11 kementerian termasuk Kementerian Kesehatan. Dengan anggaran 5,44 miliar lira (lebih adri $ 2,1 miliar) pada 2014, Diyanet juga melebihi anggaran dari 13 kementerian.
[2] Insiden itu termasuk pembunuhan massal Dersim pada 1937 – 1938; pada 18 April 1978, pembunuhan massal Malatya, Pembunuhan massal Sivas, 4 September 1978; Pembunuhan massal Maras, 19 – 24 Desember 1978; Pembunuhan Corum, 3-4 Juli 1980; pembunuhan Madimak/Sivas 2 Juli 1993; pembunuhan Gazi/Istambul, 12 Maret 1995 dan Pembunuhan Umraniye/Istambul 14 – 15 Maret 1995. Juga ada sejumlah serangan mematikan melawan Alevis, 2 Juni 1966 di Ortaca/Mucla pada 1968 di Hekimhan/Matatya pada 11 Juni 1967 di Elbistan / Maras pada 1 Maret 1971 di Kirimhan/Malatya, 11 Juni 1967 di Elbistan / Maras dan pada 1 Maret 1971 di Kirikhan/ Hatay.
[3] Corporatist Ideology in Kemalist Turkey: Progress or Order?( Ideologi Korporatis selama Kekuasaan Kemalis Turki: Kemajuan atau Tatatertib) oleh Taha Parla dan Andrew Davison, Syracuse University Press, 2004.
[4] Kurdistan: In the Shadow of History (Kurdistan: Dalam Bayangan Sejarah) oleh Susan Meiselas (dengan bab komentar dari Martin van Bruinesen) New York: Random House, 1997.
[5] Partai Republikan Liberal (SCP) berumur pendek. Berdiri pada 12 Agustus 1930, SCP bubar hanya beberapa bulan kemudian, pada 17 Nopember 1930. Dengan penutupannya, Turki sebagai negara satu partai hingga pendirian Partai Pembangunan Nasional pada 1945.
[6] An Historical Geography of Europe, 1500–1840, (Geografi Histori Eropa, 1500 – 1840) oleh Norman John Greville Pounds, 124 halaman. CUP Archive, 1979.
[7] Ada 11 bahasa dalam keadaan bahaya, 4 rawan mati dan 3 lain punah di Turki, menurut UNESCO. Ladino, sebaliknya dikenal sebagai Judezmo, adalah bahasa yang sangat terancam musnah.
[8] Corporatist Ideology in Kemalist Turkey: Progress or Order?( Ideologi Korporatis selama Kekuasaan Kemalis Turki: Kemajuan atau Tatatertib) oleh Taha Parla dan Andrew Davison, Syracuse University Press, 2004.