Iran baru saja menjatuhkan hukuman penjara selama 33 tahun dan 148 cambukan terhadap pengacara kenamaan Iran, Nasrin Sotoudeh yang berani membela para gadis yang memprotes undang-undang pemakaian jilbab secara paksa. Foto: Nasrin Sotoudeh. (Sumber foto: Hosseinronaghi/Wikimedia Commons). |
Republik Islam Iran kini, lewat para antek pelaku terror dan rejim-rejim wayangnya memperluas hegemoninya atas banyak ibukota negara di Timur Tengah. Dari Teheran, Bagdad, Damaskus, Beirut dan Sanaa. Iran terus saja mengancam Timur Tengah dan kawasan lembah Mediterania. Dan, mungkin juga Eropa. Empat puluh tahun sesudah revolusi teokratiknya pada 1979, para mullah pun berbicara (dengan penuh harapan tentu, orang andaikan), tentang "merosotnya" Amerika.
"Amerika tidak bisa mengurus diri sendiri sekarang," urai Ayatollah Ahmad Jannati, Sekretaris Dewan Pengawal yang berkuasa, di televisi negara itu. "Jutaan orang kelaparan di sana. Kekuatan Amerika sedang merosot." Pernyataan semacam itu mungkin saja bermaksud hendak menyembunyikan kemunduran Iran yang mengerikan atau melarikan diri dari kenyataan karena sedang pelahan remuk dari dalam.
Pada tahun 1979, Iran adalah negara pertama yang berhasil menjatuhkan pemerintahan sekuler, pro-Barat dan menggantinya dengan negara teokrasi Islam. Namun, eksperimen itu tampaknya gagal. Alih-alih membawa kemakmuran dan kebebasan, pemerintahan teokrasi menyebabkan kemiskinan dan penindasan terjadi. Bahkan, tanpa mempertimbangkan penganiayaan yang mengerikan terhadap wanita, jurnalis, akademisi, para pembangkang dan minoritas seksual, rezim Iran sedang hancur.
Berbagai statistik yang diterbitkan oleh Bank Dunia mencatat bahwa Iran mengalami kehancuran ekonomi yang mengerikan selama 40 tahun terakhir sejak para ulama Islam berkuasa. Penurunan peringkat ekonominya yang relatif terhadap negara-negara lain menjadi ""salah satu penurunan paling tajam dalam sejarah modern". Menurut data Bank Dunia:
"Dengan menggunakan peringkat PDB sebagai metrik penting ekonomi lainnya, terlihat bahwa pada tahun 1960, Iran adalah ekonomi terbesar ke-29 di dunia. Turki berada pada peringkat ke-13 dan Korea Selatan di peringkat ke-33. Pada tahun 1977, Iran naik ke posisi ke-18, Turki berada pada urutan ke-20, dan Korea ke-28. Pada 2017, Iran berada di urutan ke-27, Turki berada pada peringkat ke-18, dan Korea kini menjadi ekonomi terbesar ke-13 di dunia. "
Pendapatan per-kapita Gross Domestic Product (GDP) berdasarkan daya beli nyata mata uang Iran mulai tahun 1976 – 2017 memperlihatkan bahwa semenjak revolusi, rata-rata masyarakat Iran menjadi 30% lebih miskin.
"Satu negara memilih keterbukaan, demokrasi dan inovasi," tulis Duta Besar AS Carla Sands dalam twitnya soal berbagai langkah yang berbeda yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Iran. "Negara lain, tidak memilih itu."
Menurut Mohsen Delaviz dari Perusahaan Iran Fuel Conservation, "Iran dengan 80 juta populasinya, setiap tahun menghabiskan $45 miliar (sekitar Rp 635 Triliun) untuk subsidi energi. Sementara itu, angka pengeluaran sektor ini mencapai $38 miliar (sekitar Rp 536 Triliun) di Cina dengan populasi 1,5 miliar jiwa."
Sayangnya Eropa memilih berusaha agar Rejim Iran menang ketimbang meningkatkan tekanan atas negeri itu. Pandangan ini mungkin saja berdampak terhadap tidak hadirnya para menteri luar negeri negara-negara penting Eropa seperti Jerman dan Prancis dalam Pertemuan Warsawa. Padahal pertemuan itu diminta oleh Amerika Serikat dan para sekutu lainnya untuk menekan Iran. Malah, beberapa hari pasca-pertemuan Warsawa, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier mengirim telegram ucapan selamat yang memalukan kepada para pemimpin Iran bertepatan dengan hari ulang tahun ke-40 revolusi mereka.
Produksi minyak Iran belum pulih seperti pada tingkat pra-1979. Menurut Bloomberg:
"Bahkan jika AS mencabut sanksi sekalipun, Iran sulit dipaksa untuk memompakan minyak buminya sampai mendekati 6 juta barrel sehari seperti yang dilakukannya tepat sebelum revolusi 1979. Ia hanya memproduksi kurang dari separuh jumlah itu --- yaitu sebanyak 2,74 juta barrel sehari---selama Januari 2019, demikian yang diperlihatkan oleh data yang dikumpulkan oleh Bloomberg."
"Ekonominya bahkan lebih parah daripada yang mereka katakan," demikian komentar Alireza Nader, CEO New Iran, sebuah organisasi riset dan advokasi yang berpusat di Washington DC. Terlepas dari krisis ekonomi yang melandanya, Iran tetap saja memberikan ratusan juta dolar setiap tahun kepada berbagai teroris di seluruh dunia.
"Kepada Faksi Hizbullah saja, Iran memberikan $700 juta (sekitar Rp 9,8 Triliun) setahun," urai Nathan A. Sales, Duta Besar AS at large---yang mengurusi persoalan-persoalan umum--- yang juga merangkap sebagai Koordinator Kontraterorisme;
"Ia juga memberikan $100 juta (sekitar Rp 1,4 Triliun) lainnya kepada berbagai kelompok teroris Palestina. Ketika kau kirimkan uang yang disediakan bagi para teroris lain, maka seluruhnya mendekati satu miliar dolar. Mari kita sejenak pertimbangkan. Karena memang perlu diulang. Rejim Iran menghabiskan hampir satu miliar dolar (sekitar Rp 14 Triliun) setahun hanya untuk mendukung terorisme."
Iran bagaimanapun mencatat berbagai rekor yang memalukan. Menurut Amnesty International (AI), "lebih dari separuh (51%) dari semua eksekusi mati yang tercatat pada 2017 dilakukan di luar Iran ". Terkait dengan populasinya, Iran mencatat rekor dunia karena jumlah eksekusi mati perkapita. Ada peningkatan 333% jumlah narapidana antara tahun 1985 dan 2017 di Iran. Kepala urusan kehakiman Republik Islam yang baru diangkat, Ebrahim Raisi, "terlibat dalam eksekusi mati para narapidana politik," demikian menurut Wakil Jurubicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.
Selama empat puluh tahun terakhir, korupsi Rejim Iran serta pengelola sumberdaya alamnya yang mengerikan menyebabkan Iran mengalami berbagai bencana alam. Negeri itu sedang kehabisan (sumber) air. "Iran bunuh diri akibat dehidrasi," tulis Foreign Policy baru-baru ini :
"Pada tahun 2013, mantan kepala badan perlindungan lingkungan Iran melaporkan bahwa 85 persen air tanah negeri itu sudah habis, sementara populasinya justru berlipat dua kali dalam kurun waktu 40 tahun."
Kebenaran yang tidak menyenangkan itu sangat mungkin menjadi penyebab mengapa para pakar lingkungan diperlakukan sebagai "ancaman keamanan" oleh Rejim Iran. Tatkala beberapa ilmuwan berupaya mengidentifikasi persoalan kemudian menawarkan solusinya, pasukan keamanan Iran malah menangkap mereka. Menurut Center for Human Rights di Iran, 40 dari pakar ini ditangkap hanya dalam waktu satu bulan.
Selain jarangnya air, ada juga persoalan brain-drain manusia atau larinya orang-orang potensial dari negeri itu. Menurut Departemen Luar Negeri AS:
"Satu dari 4 warga Iran paling terpelajar meninggalkan negara mereka ketika diberikan peluang untuk itu...Iran punya angka warga negara yang paling banyak meninggalkan tanah kelahiran mereka. Diperkirakan ada 5 juta warga Iran meninggalkan negeri itu sejak Revolusi Islam 1979."
Karena itu, Profesor Shahrzad Kamyab dari Universitas Chapman menulis:
"Menurut International Monetary Fund (IMF), yang pernah melakukan survei terhadap 91 negara, Iran mengalami angka brain-drain tertinggi di dunia. Tiap tahun, 150.000 warga Iran yang terdidik meninggalkan negara kelahiran mereka..."
Pakar lingkungan hidup Iran kenamaan, Kaveh Madani, baru-baru ini melarikan diri ke London. Di sana, dia pun menulis twit:
"Ya, orang yang dituduh melarikan diri meninggalkan sebuah negara di mana para penggertak benar-benar menolak ilmu, pengetahuan dan keahlian lalu menggunakan teori konspirasi supaya bisa mendapatkan kambing hitam atas semua persoalan. Soalnya, mereka sangat tahu bahwa mendapatkan musuh, mata-mata atau orang yang bisa dikecam itu jauh lebih mudah dibanding dengan menerima tanggung jawab kemudian melibatkan diri dalam persoalan itu."
Angka-angka Bank Dunia memperkirakan pengangguran kaum muda negeri itu sekitar 30% pada tahun 2018.
Kaum muda Iran melarikan diri keluar negeri ketika rejim Iran sendiri sedang melarikan diri dari kenyataan dan sebaliknya para ulamanya justru bertambah kaya-raya. Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengendalikan sebuah kekaisaran bisnis bernilai $95 miliar (sekitar Rp 1.330 Triliun) menurut sebuah investigasi yang dilakukan oleh Kantor Berita Reuters. Seperti di Uni Soviet, anggaran Pemerintah Iran dilaporkan terdiri dari 80% dari pendapatan kotor negeri ini. Laporan Majalah U.S. News & World menulis Iran menduduki peringkat negara terkorup ketiga di dunia (berdasarkan persepsi) setelah Irak dan Pakistan.
Pakar ekonomi dan analis berita Amerika David Goldman pernah membandingkan Iran dengan bekas Uni Soviet. Sejak invasi Uni Soviet atas Chekoslowakia pada 1968 lewat invasinya atas Afghanistan pada era 1970-an, kebijakan luar negeri para pemimpin Soviet mulai agresif. Mereka seolah-olah meyakini bahwa itulah kesempatan terakhir untuk memaksa diri menuju kekuasaaan dalam apa yang jelas-jelas merupakan kehancuran ekonomi dan demografi. Persis sama seperti yang sedang dilakukan para mullah Iran sekarang.
"Iran pernah menjadi salah satu negara yang kesuburan wanitanya mengalami penurunan paling cepat di dunia," urai Farnaz Vahidnia."Merosotnya kesuburan wanita yang lebih dari 50% dalam satu decade saja bukanlah satu persoalan unik bagi sebuah Negara Mulism. Tetapi, repotnya, kenyataan itu tidak pernah tercatat di tempat lain," lapor Suratkabar South China Morning Post.
"Dalam satu generasi, Iran pernah terdaftar sebagai satu negara dengan tingkat kesuburan wanitanya paling merosot yang pernah terekam dalam sejarah manusia," urai Nicholas Eberstadt, seorang pakar ekonomi politik di American Enterprise Institute (EAI) di Washington, yang pernah melakukan kajian demografis. Eropa membutuhkan waktu 300 tahun untuk mencatatkan kembali tingkat merosotnya fertilitas yang sama, urainya. "Saya skeptis bahwa kecenderungan ini bisa diperbaiki," urai Eberstadt.
Karim Sadjadpour dari Yayasan Carnegie Endowment for International Peace, karena itu pernah menggambarkan "esensi pemerintahan Islam di Iran" sebagai "para ulama tua dogmatis yang memaksakan pandangan kuno mereka sendiri pada masyarakat muda yang beragam... Pandangan itu hanya dapat dipertahankan dengan paksaan."
Mesorotnya Rejim Iran yang mengesankan ini terjadi bersamaan dengan diberlakukannya undang-undang picik, aneh, dan represif. Bulan lalu, menuntun anjing dilaporkan sudah dilarang dilakukan di tempat-tempat umum Teheran. Sebelumnya, rezim Iran bahkan menyensor penggunan kata "anggur" serta nama-nama "binatang asing" dari buku-buku yang diterbitkan di Republik Islam. Rezim Iran pasca-1979 memang berupaya mengendalikan apa yang bisa dibaca masyarakatnya. Tidaklah mengherankan, Iran baru-baru ini menjatuhkan hukuman 33 tahun penjara dan 148 cambukan kepada seorang pengacara terkemuka Iran, Nasrin Sotoudeh, yang berani membela gadis-gadis yang memprotes hukum berjilbab Iran. Dalam insiden lain baru-baru ini, pasangan Iran ditangkap setelah acara lamaran pernikahan mereka di depan umum menjadi viral di media sosial.
Kapan rezim teokratis ini, yang meneror rakyatnya sendiri dan mengguncang kawasan, akhirnya runtuh, seperti yang terjadi pada rezim Soviet komunis pada 1991?
Giulio Meotti, adalah Editor Budaya untuk Il Foglio, adalah seroang pengarang dan jurnalis Italia.