EMPAT TAHUN SILAM suratkabar liberal Inggeris, The Guardian, menerbitkan sebuah berita tentang "para penyintas Guantanamo", "para korban ikon pelanggaran hukum Amerika", "para penyintas penjara Inggeris yang disebut sebagai "gulag masa kita." Melengkapi artikel tersebut ditampilkan juga sebuah foto Jamal al Harith.
Al Harith terlahir sebagai Ronald Fiddler. Dia Kristen yang beralih memeluk Islam. Kepulangannya ke Manchester dari penjara di Teluk Guantanamo berkat upaya David Blunkett, Menteri Dalam Negeri dari Perdana Menteri Inggeris masa itu, Tony Blair. Ia disambut gembira di Inggris sebagai pahlawan, korban lugu "perang atas teror" yang tidak adil setelah Tragedi 11 September 2011 (baca: Tragedi Pemboman Menara Kembar Perdagangan Dunia di New York). Harian The Mirror dan ITV memberikannya dana £60,000 (sekitar Rp 978 juta) untuk sebuah wawancara eksklusif tentang pengalamannya di Guantanamo. Ia juga mendapat kompensasi satu juta pounds (sekitar Rp 16. 3 miliar) dari pihak berwenang Inggris. Korban "gulag masa kita" juga membeli sebuah rumah yang sangat indah dengan uang yang berasal dari para pembayar pajak.
Beberapa pekan silam, al Harith membuat "perjalanan" terakhirnya: dia meledakan diri di Mosul, Irak, atas nama ISIS. Ia juga direkrut oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) "CAGE" (sebelumnya dikenal sebagai "Cageprisoners" alias "Narapidana Kurungan") sebagai bagian dari kesaksiannya yang menganjurkan ditutupnya fasilitas tahanan Teluk Guantanamo.
Para selebriti seperti Vanessa Redgrave, Victoria Brittain, Peter Oborne dan Sadiq Khan tampil pada berbagai acara penggalang dana CAGE. LSM tersebut didanai oleh Joseph Rowntree Trust, lembaga penyandang dana yang dibangun oleh tokoh terkemuka bisnis coklat. Selain, itu, CAGE mendapatkan dana dari Roddick Foundation, sebuah lembaga amal milik Anita Roddick. Al Harith juga diundang datang ke Dewan Eropa guna memberikan kesaksikan yang menentang upaya untuk tetap mempertahankan Guantanamo.
Kisah al Harith memperlihatkan dalamnya salah satu skandal terbesar Eropa. Skandal para jihadi memanfaatkan hak-hak Eropa sepanjang hidup mereka untuk mendanai "perang suci" mereka. Eropa memberikan segala-galanya bagi mereka: pekerjaan, rumah, dukungan publik, tunjangan sosial sebagai penganggur, tunjangan biaya pemulihan kesehatan, tunjangan anak, tunjangan cacat dan dukungan dana. Bagaimanapun, para ekstremis itu tidak melihat "Orang-orang yang Bergantung" ini ketika Mark Steyn menyebutkan bahwa negara makmur sebagai tanda murah hati, tetapi tanda kelemahan. Mereka memahami bahwa Eropa siap dihancurkan. Mereka tidak menghormatnya. Dari Marseille (Prancis) hingga Malmö (Swedia) banyak anak Muslim dibesarkan untuk menghina masyarakat yang sudah membuat mereka hidup nyaman. Sebagian besar kaum radikal Muslim di Eropa kini hidup dari tunjangan negara (support payment) dari berbagai negara yang mereka sumpah hendak mereka hancurkan.
Beberapa hari silam, pers Denmark mengungkapkan bahwa Pemerintah negeri ini memberikan tunjangan orang sakit dan cacat kepada para ekstremis Muslim yang bertempur demi ISIS di Suriah. "Ini skandal terbesar ketika kita mengeluarkan dana kesejahteraan masyarakat Denmark untuk orang yang pergi ke Suriah," urai Menteri Tenaga Kerja Troels Lund Poulsen. Para teroris yang menyerang Paris dan Brussel juga memanfaatkan sistem kesejahteraan Inggeris yang dermawan guna mendanai jihad mereka. Praktek itu terungkap dari ruang pengadilan di Kerajaan Inggris ketika Mohamad Abrini yang dikenal sebagai "laki-laki bertopi" setelah serangan mematikan di Bandara Brussel justru mendapatkan tunjangan £3,000 atau sekitar Rp. 49 juta sebelum dia terbang ke Paris dan selanjutnya menghilang.
Ini bukanlah pertama kalinya peran dana kesejahteraan masyarakat mengemuka dalam infrastruktur terror Islam:
Keluarga Omar Abdel Hamid el Hussein, teroris yang berada di balik layar serangan di Kopenhagen, Februari 2015, yang menewaskan dua orang, mendapat uang dari program sosial Denmark.
Muslim radikal Inggris Anjem Choudary dijatuhi hukuman karena mendorong orang untuk bergabung dengan ISIS, mendesak orang-orang beriman untuk meninggalkan pekerjaan dan berjuang untuk mendapatkan tunjangan pengangguran sehingga bisa mencurahkan waktu sepenuhnya dalam perang melawan "orang-orang kafir." Choudary sendiri mengantongi tunjangan sebesar £25,000 atau sekitar Rp 410 juta per tahun.
Di Jerman, ketika Suratkabar Bild menerbitkan sebuah analisis terhadap 450 jihadi Jerman yang bertempur di Suriah, media itu menemukan bahwa lebih dari 20% jihadi itu menerima tunjangan dari Negara Jerman.
Di Belanda, seorang jihadi bernama Khalid Abdurahman tampil dalam sebuah video milik ISIS di depan lima buah kepala manusia yang baru dipenggal. Suratkabar Belanda Volkskrant mengungkapkan bahwa Khalil sudah memaklumkan "tidak cocok untuk bekerja" dan dibayar untuk dirawat karena menderita sindroma rasa takut yang tidak beralasan (claustrophobia).
Bagi banyak kalangan kelas bawah Muslim yang suka cemberut dan tidak produktif yang hidup dalam enklaf-enklaf terpisah seperti kota pinggiran (banlieues) Paris atau "warga London" (Londonistan), sistem kesejahteraan Eropa justru menciptakan racun budaya. Otak mereka penuh pepak dengan ketentuan-ketentuan agama serta kebencian ideologis terhadap masyarakat Barat. Apalagi, karena tidak dipersyaratkan untuk berasimilasi dengan nilai dan norma Eropa, kaum Muslim Eropa tertentu tampak merasa seolah-olah mereka ditakdirkan untuk meluluhlantakan sebuah peradaban yang sudah tidak mampu lagi bertahan.
Sasaran kebijakan publik sebaliknya perlu ada guna mendorong kemakmuran masyarakat --- pada dasarnya terlihat tidak mendorong orang untuk mencari kerja --- kecuali dalam kasus-kasus luar biasa yang mengarah kepada tanggung jawab pribadi seseorang. Perlu ada batasan hukum penggunaannya sejauh mana dana kesejahteraan dipergunakan---misalnya dana kesejahteraan seharusnya tidak digunakan untuk membeli narkoba illegal, judi, terorisme atau karena tidak ada kebebasan berbicara di Eropa, dana itu pun tidak boleh dimanfaatkan untuk mempromosikan terorisme. Orang bisa saja membuat lalu menyelaraskan daftar itu. Dengan mengabaikannya, orang bisa kehilangan tunjangannya. Langkah-langkah seperti itu bakal membantu memerangi perjuangan melawan "ghetoisasi" dan serta Islamisasi kaum Muslim Eropa.
Siapakah yang menang di sini? Demokrasi atau ekstremisme Islam radikal? Lingkaran kesejahteraan dan jihad perlu dihentikan. Sekarang juga.
Giulio Meotti, Editor Budaya Harian Il Foglio, adalah seorang wartawan dan pengarang Italia.