Jihadi tengah menyebarkan kekerasan -- dan berhasil. "Dalam enam belas tahun terakhir," tulis Ayaan Hirsi Ali dalam buku terbarunya, The Challenge of Dawa, "tahun terparah terjadinya terorisme adalah 2014, dengan sembilan puluh tiga negara mengalami serangan teror dan 32,765 orang terbunuh."
"Tahun kedua ter parah adalah 2015, dengan 29,376 orang tewas. Tahun lalu, empat kelompok radikal Islam bertanggung jawab atas 74 persen dari semua kematian yang disebabkan oleh serangan teror. Mereka adalah Negara Islam (yang dikenal juga dengan ISIS), Boko Haram, Taliban, dan al-Qaeda. Meskipun negara Muslim sendiri menanggung beban terberat dari aksi kejahatan jihadi, serangan terhadap Barat semakin meningkat."
Penelitian yang Hirsi Ali lakukan dengan dukungan Hoover Institution, merupakan ringkasan terhadap perang atas teror sejak kaum ekstrimis Muslim menyerang Amerika Serikat pada 2001:
"Sejak tragedi 9 September (2001, yang terkenal dengan Tragedi Menara Kembar Gedung Perdagangan Dunia di New York), setidaknya $1.7 trilliun (sekitar Rp 23 Triliun) uang dikeluarkan untuk biaya perang dan pembangunan kembali di Irak, Suriah, Afghanistan dan Pakistan. Total anggaran biaya perang dan keamanan dalam negeri mulai 2001 hingga 2016 mencapai lebih lebih dari $3.6 triliun (sekitar Rp 48,1 triliun). Namun di samping pengorbanan dari 5,000 anggota militer bersenjata yang kehilangan nyawa sejak 9/11, Islam politik kini berkembang di seluruh dunia."
Menurut Hirsi Ali, negara Barat "terobsesi" dengan teror dan hal ini membutakan mereka dari ancaman yang justru lebih besar yaitu dakwah, upaya untuk menjangkau (manusia): ideologi yang berada di balik serangan teror.
Seberapa besarkah gerakan jihad di seluruh dunia? Lebih besar dari yang kita kira.
"Di Pakistan saja, dimana hampir seluruh populasinya Muslim, 13 persen warga Muslim yang disurvei --- lebih dari 20 juta orang—mengatakan bahwa pemboman dan bentuk kekerasan lain melawan target warga sipil seringkali atau terkadang dibenarkan untuk membela Islam dari musuh-musuhnya... Berdasarkan perkiraan, 10−15 persen Muslim di dunia adalah Islamis. Angka tersebut lebih dari 1.6 miliar, atau 23 persen populasi dunia, yang berarti lebih dari 160 juta orang."
Menurut Hirsi Ali, bersaman dengan pengadaan drones, langkah-langkah perlawanan teror dan keamanan, negara Barat perlu berinvestasi dalam perang ideologi melawan Islam radikal. Jika kejahatan teroris adalah perangkat keras bagi kaum jihadis, maka perangkat lunaknya adalah Islam radikal. Untuk melumpuhkan perangkat kerasnya, anda harus merusak perangkat lunaknya terlebih dahulu.
Dunia Islam berinvestasi dalam bidang "dakwah", atau propaganda Islam. "Sejak awal 1970an, dana amal dari Timur Tengah telah disalurkan sebesar $110 miliar (atau sekitar Rp 1, 468,500 triliun. Sebsar $40 miliar (Rp 534 Triliun) dari dana tersebut sampai ke wilayah sub-Sahara Afrika dan berkontribusi besar dalam indoktrinasi ideologi Islam disana," tulis Hirsi Ali.
Dibawah Leonid Brezhnev, pemimpin Uni Soviet era 1970-an, Komunisme mulai gagal membujuk massa dengan janji masyarakat barunya. Impian Komunis mulai retak jauh sebelum runtuhnya Tembok Berlin pada 1989. Keretakan itu dimulai ketika mitos ideologi Komunisme yang begitu kuat digantikan oleh sosialisme, yang nyata-nyata menghancurkan perekonomian banyak negara. Itulah pencapaian penting Ronald Reagan dalam perang panjangnya melawan Uni Soviet: menampilkan Komunisme sebagai lelucon – menyingkap kebohongan rezim Soviet, menyingkap kesengsaraan hidup rakyatnya dan menjelaskan mengapa nilai-nilai Barat lebih baik daripada nilai-nilai negara Komunis. Hirsi Ali menjelaskan bahwa hal inilah yang seharusnya dilakukan terhadap Islam radikal.
William Rosenau mengamati bahwa, "Amerika Serikat sejauh ini gagal mengarahkan upaya yang mendekati kampanye efektif kontra ideologi untuk melawan al-Qaida." Termasuk pendekatan fatal yang dilakukan Barrack Obama, Presiden Amerika terdahulu, untuk menghadapi Negara Islam: rupanya karena alasan pribadinya, ia menolak menyebut apa sebenarnya ISIS: sebuah kalifah global yang terjamin berkat perang global.
Pencapaian besar Presiden Amerika Donald Trump sejauh ini adalah bahwa dia sudah menyebutkan siapa musuhnya: "terrorisme radikal Islam." Tiga kata itulah yang memisahkan Trump dari seluruh pemerintahan. Beberapa orang yang bekerja untuk Trump, seperti Steve Bannon, dengan benar mendeskripsikan perang ini pertama-tama sebagai "perjuangan ideologis untuk mempertahankan peradaban Barat", seperti perang melawan Nazisme dan Komunisme.
Meski demikian, "Peradaban Barat" tidak seperti yang dibayangkan oleh banyak kaum liberal. Sebaliknya, mereka menganjurkan nilai-nilai multikulturalisme, ideologi gender, feminisme, paham cinta damai dan sekulerisme militan.
Peradaban barat adalah pandangan humanis / kemanusiaan yang di dalamnya ajaran Kristen berpadu dengan kebijaksanaan Yahudi serta filsafat Yunani dan hukum Romawi sehingga memberikan karakter khusus pada budaya Barat: kebebasan berbicara dan kebebasan pers, keadilan yang setara dalam hukum, pengakuan atas keunggulan nilai individu, pemisahan agama dan negara, kebebasan beragama dan bebas dari agama, hak untuk memiliki kekayaan, perlakuan yang setara bagi setiap jenis kelamin, pengadilan yang independen, dan diantara semua nilai, pendidikan yang independen. Inilah yang ingin dihancurkan oleh radikal Islam. Inilah yang ingin digancurkan oleh Islam radikal. Itulah mengapa teroris menyerang gereja-gereja kita dan Negara Israel. Inilah mengapa mereka menumbangkan demokrasi untuk mengubahnya dengan hukum Islam, Sariah.
David Thomson, dalam buku barunya, Les Revenants, mewawancarai jihadi asal Perancis. Salah satunya, Zubair, yang tumbuh di daerah proyek perumahan sosial di Seine-Saint-Denis, mengartikan jihad sebagai "respon atas kekosongan ideologi" Barat. Kaum Islam ekstrim di Eropa kini tengah mengisi kekosongan ideologi Barat dengan cara menarik perhatian massa. Beginilah cara Islam radikal meyakinkan 160 juta warga Muslim untuk membenci dan melawan Barat.
Seperti komunisme, Islam radikal adalah ideologi yang sangat kuat yang dilandasi perang kebudayaan melawan nilai-nilai kemanusiaan Barat ini: kartun Muhamad dan pembunuhan para wartawan majalah satire Perancis, Charlie Hebdo -- begitu pula banyaknya hukum dan pengadilan yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi -- merupakan perang melawan kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Perjuangan agar wanita mengenakan jilbab Islam adalah perang melawan kebebasan wanita untuk mengenakan apapun yang mereka suka dan tidak dipandang sebagai pelacur. Seruan global untuk "transformasi" menjadi perang melawan pemerintahan demokratis oleh pria dan untuk mendirikan Kalifah yang dipimpin Allah.
Penolakan terhadap perbedaan kelas dan etnis yang mungkin ada berarti bahwa sejumlah besar masyarakat Eropa berpindah memeluk Islam. Penghasutan dan propaganda -- terutama melawan Yahudi, Kristen, kelompok minoritas dan yang diduga "Muslim yang murtad" – jelas-jelas merupakan cara berpikir yang penih konspirasi.
Selama Perang Dingin, negara Barat mendukung berbagai organisasi seperti Kongres Kebebasan Budaya, yang mendanai industri penerbitan anti-Komunis melalui buku dan majalah, begitu pula dengan media penyiaran, seperti Radio Bebas Europa serta perang ideologi yang agresif di Eropa dengan pesan-pesan pro-Amerika dan pro-Barat. Tapi sekarang?
Lebih parah lagi, hal yang sebaliknya tengah berlangsung: pemerintahan Barat menyalahkan suratkabar dan jurnalis atas perisrtiwa kartun Muhammad. Industri penerbitan, setiap kali menyensor buku tentang Islam, sebetulnya mengkhianati kebebasan berekspresi. Ketika kubu Arab-Islamis di PBB yang rusak menghapus sejarah Yahudi-Kristen atas Yerusalem dan situs-situs sejarah lain, demokrasi Barat justru abstain atau tidak memilih. Media liberal Barat melindungi simbol-simbol propaganda Islam, seperti kerudung wanita, sebagai simbol emansipasi bukannya penindasan. Dan bukannya mendukung para pembaru Islam dan para penentang Islam, kaum elit Barat justru mengabaikan mereka. Kaum elit tampaknya lebih menyukai dialog dengan "kaum Islamis yang tidak jahat." Tanya saja Ayaan Hirsi Ali. Setelah menjadi sasaran petisi aktivis Muslim dan militan hak asasi manusia, ia baru-baru ini dipaksa membatalkan tur di Australia, kelihatannya atas "alasan keamanan."
Di Perancis, kaum Islamis terus membangun "dua masjid per minggu." Mengapa demokrasi Barat, sebagai bagian dari hubungan diplomatik dengan dunia Islam Arab, tidak menuntut gereja dibangun? Sebaliknya, opini publik Barat terbiasa dengan gagasan bahwa masjid adalah pemandangan yang wajar di Eropa sementara kaum ekstrimis Islam terus menghancurkan gereja-gereja di Suriah and Irak.
Jika kita tidak ingin kalah dalam perang melawan ideologi Islam, maka belumlah terlambat untuk memutar balikkan trend yang ada -- tapi waktu kita habis dengan cepat.
Giulio Meotti, Editor Budaya untuk Il Foglio, adalah wartawan dan pengarang Italia.