Pihak berwenang Jerman mulai menyensor berita guna menyembunyikan kisah pembunuhan ganda di Hamburg, Jerman baru-baru ini. Mereka juga merazia apartemen seorang saksimata yang memfilmkan video yang menjelaskan aksi pembunuhan tersebut serta seorang blogger yang mempostingkan videonya di YouTube.
Pembunuhan naas itu terjadi 12 April 2018 pagi dan kemudian menjadi berita utama media di seluruh penjuru dunia. Penyerangnya adalah Mourtala Madou, seorang imigran ilegal dari Nigeria. Dengan pisau, ia menikam bekas kekasihnya seorang wanita Jerman, yang teridentifikasi sebagai bernama Sandra P ., beserta puteri mereka yang berusia satu tahun, Miriam, di sebuah stasiun bawah tanah Hamburg. Bocah malang itu langsung meninggal di tempat kejadian. Ibunya meninggal belakangan, di rumah sakit. Putra wanita malang itu yang berusia tahun menyaksikan aksi permbunuhan tersebut.
Menurut kantor kejaksaan, Madou "membunuh karena marah dan mau balas dendam." Alasannya, karena sehari sebelum insiden, pengadilan menolaknya untuk bisa bersama-sama memelihara putri mereka. Awalnya, dia berupaya melarikan diri dari tempat kejadian, namun kemudian menelepon polisi sehingga segera ditangkap beberapa saat kemudian.
Belakangan terungkap bahwa sudah berbulan-bulan, Madou mengancam hendak mencelakai Sandra P. dan bayinya. Kepada wartawan, seorang jaksa umum senior mengatakan bahwa polisi memang sudah menyelidiki serangan atas wanita itu tetapi menyimpulkan bahwa "ancaman itu tidak diartikan secara serius" sehingga tidak melanjutkan kasusnya.
Lebih jauh lagi, setengah tahun sebelumnya, pada Oktober 2017, seorang hakim menarik kembali perintah penahanan atas Madou yang diperolehnya dua bulan sebelumnya berkat gugatan Sandra. Pertimbangannya, karena hakim tidak melihat "ada bukti" bahwa Madou pernah mengancam. Penarikan kembali putusan penahanan itu justru terjadi ketika ancaman Madou semakin meningkat. Secara gamblang Madou pernah mengatakan: "Akan saya bunuh anak perempuan kita kemudian membunuh kau."
Rincian pembunuhan bahwa Madou jelas-jelas berupaya memenggal kepala sang bayi, secara resmi tidak pernah diungkapkan. Rincian kejadian justru diungkapkan oleh seorang penumpang kereta api---seorang warga Ghana, Daniel J. penyanyi Injili (gospel singer) di sebuah gereja evanggelis di Hamburg. Dia kebetulan tiba di stasiun bawah tanah tempat kejadian perkara beberapa saat setelah serangan. Menyaksikan tragedi itu, dia lantas mem-film-kan tempat kejadian lewat telepon genggamnya. Dalam video itu, polisi dapat dilihat tengah menanyakan para saksimata dan petugas medis yang mengelilingi sesuatu yang tampaknya seorang bayi perempuan. Dalam Bahasa Inggris, Daniel J. berteriak, "Oh my God. Tidak bisa dipercaya. Oh Yesus, oh Yesus, oh Yesus. Mereka penggal kepala bayi. Oh my God. Oh Yesus."
Belakangan, Heinrich Kordewiner, seorang blogger dari Hamburg menemukan video tersebut pada lapak Facebook Daniel J. Dia pun lalu mengunggah video tersebut di Youtube
Beberapa hari kemudian, sebuah tim jaksa serta perwira unit cybercrime polisi Hamburg datang ke apartemennya. Dilengkapi dengan surat perintah penggeledahan, mereka lalu menyita komputer, handphone beserta alat-alat elektronik lainnya yang diduga supaya bisa mendapatkan "bukti kejahatan." Dia pun dituduh, mengunggah video ---dan tuduhan itu masih berlaku sampai sekarang.
Kordewiner dan teman satu flat-nya mengisahkan razia yang mereka alami, yang terjadi pada pukul 6.45 sore itu kepada Gatestone. Mereka kisahkan bahwa awalnya, mereka menolak membuka pintu namun polisi memaksa membukanya. Polisi bahkan menggeledah kamar teman satu flatnya, walau tindakan itu tidak tercakup dalam surat perintah penggeledahan.
"Polisi katakan bahwa dia bisa saja memeriksa kartu-kartu pengaman digital (SD), " urai teman satu flat Kordewiner kepada Gatestone. "Ketika membongkar-bangkir buku-buku di rak buku saya, polisi pun mengatakan dia bisa saja menjungkir-balikan seluruh apartemen saya. Dia minta saya untuk santai."
Menurut surat perintah penggeledahan, Kordewiner dituduh "menyerang ruang pribadi" korban pembunuhan, sehingga melanggar Hukum Pidana Jerman (Pasal) §201a. Pasal itu disebut alinea paparazzi. Meskipun demikian, pasal yang disahkan pada tahun 2015 itu tidak banyak diketahui orang dan jarang diterapkan. Pengundangannya dilakukan oleh Heiko Maas, yang sebagai Menteri Kehakiman kala itu bertanggung jawab terhadap undang-undang sensor. Sekarang ini, Heiko Maas menjadi Menteri Luar Negeri Jerman. Di antara berbagai hal lain, undang-undang itu menganggap mengambil foto "yang memperlihatkan seseorang dalam situasi tidak berdaya" merupakan perbuatan melawan hukum." Karena diduga mau melindungi para korban kecelakaan lalu lintas di-film-kan oleh orang-orang yang menyaksikannya, maka undang-undang itu sangat kontroversial ketika diperdebatkan pada tahun 2014. Berbagai serikat wartawan mengkritiknya karena dinilai membahayakan kebebasan pers.
Ketika Parlemen Jerman memperdebatkannya, satu dari 10 pakar yang diundang untuk memberi pendapat seputar masalah tersebut adalah Ulf Bornemann, Ketua Departemen "Kebencian dan Penghasutan pada Kantor Penuntutan Publik Hamburg. Kala itu, seorang mantan anggota parlemen dan anggota gerakan hak-hal sipil Jerman Timur, Vera Lengsfeld menulis bahwa Bornemann menjadi satu-satunya orang yang menerima undang-undang itu tanpa syarat. "Mengapa," dia melaporkan bahwa Bornemann pernah bertanya, "haruskah data orang yang diduga menghasut itu dilindungi?"
Dalam sebuah pernyataan tertulisnya, Bornemann memuji undang-undang sensor karena mengirim sebuah "pesan politik yang jelas bahwa pemerintah mau melawan kejahatan karena benci dalam jaringan sosial." Bornemann juga menjadi bagian dari tim yang merazia apartemen Kordewiner.
Alasan razia yang dinyatakan dalam surat perintah penggeledahan, yaitu melanggar hak-hak pribadi seseorang, sama sekali tidak mendasar. Karena dikatakan bahwa hanya kaki korban yang boleh dilihat dalam video kecelakaan lalu lintas, termasuk video-video pendek sekalipun. Seperti suratkabar harian Hamburger Abendblatt perlihatkan, videonya "dikaburkan, diambil dari jauh dan tidak membolehkan siapa pun korban kecelakaan teridentifikasi."
Sementara itu, sebuah publikasi Jerman Welt online mengunggah video yang memperlihatkan gambar korban dari dekat---sesuatu yang tidak membuat jaksa pemerintah untuk beraksi. Hal utama yang membedakan kedua kedua video itu tampaknya adalah komentar verbal atas pemenggalan kepala dalam video garapan Daniel J. Dengan demikian, dugaan pelanggaran "hak-hak privasi seseorang", tampaknya dijadikan sebagai dalih.
"Pemenggalan kepala"
"Kami tidak komentari desas-desus ini," urai Jaksa Negara, Nana Frombach kepada Gatestone ketika ditanya soal (berita) pemenggalan kepala. Yang bersedia diakuinya adalah bahwa bayi itu menderita "luka leher yang sangat parah." Ketika Gatestone mengatakan bahwa Pasal 201a tidak bisa diterapkan pada video yang diselidiki itu karena tidak memperlihatkan wajah seseorang, dia menjawab bahwa soal ini "belum diputuskan." Juga bahwa razia dilakukan berdasarkan "kecurigaan awal." Gatestone kemudian mengatakan bahwa tujuan razia untuk mengungkapkan "bukti temuan" itu tidak proporsional dan sepenuhnya tidak perlu, karena Kordewiner mengunggah video pada saluran YouTube miliknya dengan mencantumkan nama dan alamat lengkapnya. Padahal, dia bisa saja mengunggah video itu secara anonim (dan mudah baginya untuk melakukannya demikian), Frombach lantas mengatakan bahwa dia tidak diijinkan untuk "mengomentari detil-detil penyelidikan yang tengah berlangsung." Tetapi, dia bisa "memberikan jaminan" bahwa surat perintah penggeledahan memang "disahkan oleh seorang hakim."
Bagaimana bisa, ada wartawan di bawah sensor seperti ini, melaporkan beritanya? Apakah melawan hukum untuk mem-film-kan tempat kejadian perkara serangan seorang teroris? Frombach mengatakan dia "tidak bisa jelaskan" apakah ini masih sah dilakukan di Jerman masa kini. "Saya hanya bisa menilai kasus-kasus tertentu, bukan sesuatu yang ada pada masa datang," urainya.
Sebuah website berhaluan bebas (libertarian) Achse des Guten (Poros Allah) adalah saluran media pertama yang melaporkan berita tentang razia dalam kasus itu. Dua hari kemudian, Harian Hamburger Abendblatt menulis:
"Jaksa penuntut mati-matian menuntut seorang blogger yang menerbitkan foto-foto tragedi di Jungfernstieg...Razia didasarkan pada Pasal 201 a, sebuah undang-undang yang dilihat oleh asosiasi dewan pers dan wartawan sebagai sesuatu yang problematik berkaitan dengan pelaporan yang bebas."
Abendblatt mengkritik "perumusan kata-kata hukum yang tidak jelas" (nebulous phrasing), "bahkan ada interprestasi yang semakin tidak jelas lagi oleh jaksa," yang mengatakan bahwa, "Hukum menetapkan bahwa tidak boleh mengambil foto orang-orang yang tidak berdaya. Bagaimanapun, foto-foto handphone tidak memperlihatkan orang-orang itu."
Menurut Harian Abendblatt, sumber-sumber "dari lingkungan dalam aparat keamanan" memang kaget dengan razia atas rumah blogger serta rumah Daniel J. Jaksa yang memerintahkan razia itu dilakukan memang "sangat bersemangat dalam kasus ini," urai sumber-sumber itu dan "menggembar-gemborkannya...mengejutkan betapa cepatnya surat perintah penggeledahan dikeluarkan, jika dilihat dari banyaknya hambatan yang kita hadapi setiap hari, bahkan ketika berurusan dengan kejahatan serius sekalipun."
Dalam komentar pelengkapnya, editor Harian Abendblatt Matthias Iken menyebutkan razia itu sebagai "tindakan bodoh" karena "ia mendukung teori konspirasi para penganut paham kanan." Di mana, dia pertanyakan, "dari manakah larangan itu berawal? Dan di manakah larangan itu dihentikan?"
Sementara itu, video yang memberatkan sudah dihapus dari semua website di Jerman serta saluran-saluran YouTube (walaupun masih bisa ditemukan pada website yang berada di luar jangkauan pihak berwenang Jerman).
Bumerang Sensor
Sensor kini jadi boomerang, jika memang pihak berwenang berencana menyensor berita dan menyembunyikan informasi seputar pemenggalan kepala bayi itu dalam bungkusan mereka. Berkat laporan seputar razia, ribuan orang menonton videonya. Juga ada ratusan ribu orang yang sudah mendengar soal sensor yang justru merusak. Sensor yang dilakukan pada masa mendatang bahkan menjadi lebih mengerikan, karena tanpa disadari, mereka justru mengungkapkan hal yang paling rinci yang sebetulnya ingin mereka sembunyikan dari masyarakat. Ini terjadi karena surat perintah penggeledahan --- satu salinan surat itu diberikan kepada Kordewiner --- kebetulan membeberkan kisah terinci seputar pembunuhan. Surat itu menjelaskan bahwa Madou memang "ingin menghukum ibu bayi" kemudian "memaksakan klaimnya untuk berkuasa dan memiliki." Dengan "niat untuk membunuh," Madou "langsung" mengambil satu "pisau dari tas punggung yang sedang dipikulnya, menikam perut bayi kemudian nyaris sepenuhnya memenggal leher sang bayi."
Kantor Jaksa Negara berada di bawah wewenang Pemerintah Negara Hamburg, sebuah koalisi dari Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau. Menteri Kehakiman negara, Till Steffen adalah anggota Partai Hijau dan selama bertahun-tahun dituduh berada di belakang banyak skandal yang terjadi di kementeriannya. Di antara berbagai skandal itu adalah dugaan berkali-kali pembunuhan yang seharusnya dibebaskan dari penahanan sebelum pemeriksaan karena proses pengadilannya terlampau lama. Pada tahun 2016, Steffen melarang polisi membagikan foto teroris truk Berlin, Anis Ami ketika dia masih berkeliaran, karena takut bahwa membagi-bagikankan foto-foto terduga pejihad terror bisa saja memancing kebencian rasial.
Sensor di Parlemen
Pemerintah Hamburg juga masih berupaya menyembunyikan kasus pemenggalan kepala bayi. Persoalan ini semakin jelas, tatkala Mei lalu, anggota parlemen dari partai anti-imigrasi, yaitu Partai Alternative for Germany (AfD) meminta parlementer membuat penyidikan seputar razia polisi sekaligus rincian kasusnya. Di antara hal-hal lainnya, mereka ingin mengetahui apakah bayi itu memang sudah dipenggal kepalanya. Pihak pemerintah---yang mau melanggar tugas konstitusional--- menolak menjawabnya. Pemerintah juga menyensor pertanyaan, dengan tidak menyiarkan seluruh kalimatnya. Suratkabar Die Welt mencatat: "Teks pertanyaan tentang penyelidikan (enquiry) serta pertanyaannya tidak disiarkan tanpa konsultasi lebih dulu" merupakan sesuatu" yang nyaris tidak pernah terjadi sebelumnya."
Tatkala Gatestone menghubungi Alexander Wolf, salah seorang anggota parlemen yang melakukan penyelidikan, supaya bisa mendapatkan apa sebetulnya yang disensor, dia pun mengirim surat permohonan penyelidikan yang asli (dua halaman pertama dari kiri) termasuk jawaban senat (halaman 3, 4 and 5) tempat bagian-bagian pertanyaan disensor. Setiap detil gambaran tentang pemenggalan kepala yang mungkin saja terjadi sudah dihitamkan. Demikian juga tautannya dengan artikel yang pertama-tama memberitakan berita pemenggalan kepala bayi serta razia polisi yang mengikutinya. Kepada Gatestone, Wolf mengatakan:
"Dalam Sesi Komisi Urusan Internal Parlemen, Senator Urusan Internal dan jaksa negara yang bertanggung jawab benar-benar mengelak menjawab pertanyaan yang berulangkali diajukan oleh pembicara kami, Dirk Nockemann. Kedua pihak tersebut malah menyalahkan pembicara kami sebagai tidak menghormati [korban pembunuhan]. Menurut pendapat saya, cara ini memang dirancang supaya orang marah kepada pengusul penyelidikan kepada bagian anggota parlemen lainnya. Jelasnya, sang senator ingin menyembunyikan kasus tersebut."
Para pembicara dari partai-partai oposisi lain juga dihubungi oleh Gatestone. Dennis Gladiator dari Partai Kristen-Demokrat (CDU) dan Anna von Treuenfels-Frowein dari Partai Demokrat Bebas (FDP) yang berhaluan tengah. Treuenfeld-Frowein menjawab:
"Tentu publik berhak atas informasi. Tetapi bagi kami sebagai partai yang berkomitmen terhadap kekuasaan berdasarkan hukum, hak pribadi orang tidak berakhir dengan kematiannya. Kami, karena itu mempertimbangkan keputusan untuk tidak menyiarkan bagian-bagian penyelidikan supaya bisa pas. Sekarang ini, tidak perlu lagi merincikan kejahatan publik."
Sementara itu, Gladiator tidak menanggapi permohonan komentar yang dilakukan berkali-kali oleh Gatestone.
Mengapa kasus pemenggalan kepala bayi harus dirahasiakan memang masih menjadi teka-teki orang. Yang sudah jelas adalah betapa mudahnya pihak berwenang Jerman menyensor berita dan menghukum para blogger yang menyebarluaskan informasi yang tidak mereka inginkan. Mereka punya perangkat hukum yang sangat luas yang bisa mereka manfaatkan. Tampaknya ini tidak membuat mereka terganggu bahwa hukum yang dilibatkan dalam kasus ini sudah secara eksplisit menetapkan bahwa ia tidak bisa diterapkan pada "peliputan atau pelaporan peristiwa-pertiwa masa kini." Bagaimanapun, jaksa negara menegaskan bahwa kasus pembunuhan ini--- yang dilaporkan, di antaranya di Prancis, India, Pakistan, Afrika Selatan dan Amerika Serikat---bukanlah "peristiwa masa kini" seperti ini.
"Bagi Menteri Kehakiman Hamburg," Harian Abendblatt menulis, "pembunuhan ganda merupakan kejahatan karena nafsu (crime of passion) yang tidak boleh menjadi perhatian publik."
Stefan Frank adalah seorang wartawan dan pengarang yang berbasis di Jerman.