Ilkay Gündoğan, yang bermain untuk tim sepakbola nasional Jerman selama Piala Dunia tahun ini berfoto bersama dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan beberapa saat menjelang turnamen. Ia pun menghadiahkan kaos yang ditandatanganinya kepada Erdogan, dengan pesan berbahasa Turki: "Dengan penuh hormat kepada presidenku. Sahabatmu yang setia." Padahal, Gündoğan hanya punya kewarganegaraan Jerman. (Foto oleh Dean Mouhtaropoulos/Getty Images). |
Musim panas ini, publik Jerman mulai tersadar. Bahwa ada ratusan ribu warga Jerman keturunan Turki menghormati Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebagai pemimpin mereka, bukan Kanselir Jerman Angela Merkel.
Di sebuah negara, di mana Erdogan tidak diragukan lagi adalah pemimpin asing yang paling dianggap hina, terungkapnya kasus ini mungkin saja menjadi persoalan. Selama bertahun-tahun, Erdogan melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dia juga mengumpat Jerman (di mana dia melihat "praktek-praktek Nazi" masih terjadi) serta menjebloskan warga Jerman dalam penjara di Turki dengan tuduhan-tuduhan teroris yang dibuat-buat. Semua itu menjadi berita biasa dalam media Jerman. Nasib wartawan Jerman keturuan Turki Deniz Yücel, menyebabkan publik marah di Jerman. Yücel ditangkap polisi Turki, Februari 2016 silam, kemudian dijebloskan dalam penjara terpisah di Penjara Turki selama hampir satu tahun. Sama juga kasus yang terjadi di Amerika Serikat menyusul dipenjarakannya dan penahanan rumuah atas Pastor Andrew Brunson. Cem Özdemir, mantan Ketua Partai Hijau Jerman yang pada tahun 1994 menjadi orang pertama berakar Turki yang menjadi anggota Parlemen Jerman lantas menuding Erdogan sebagai "pelaku penyanderaan" (hostage taker).
Jadi, tidaklah mengherankan bahwa segera sebelum Piala Dunia Sepakbola, masyarakat Jerman heboh. Insiden itu terjadi karena dua pemain sepakbola nasional Jerman keturunan Turki berfoto bersama Erdogan dan foto mereka dimuat media massa.
Kedua pemain bola itu adalah Mesud Özil (Arsenal London) dan Ilkay Gündoğan (Manchester City, Inggris). Mereka bertemu Erdogan di Hotel Four Seaseon, London, 15 Mei 2018. Saat bertemu, kedua pemain tengah itu memberikan kaos sepakbola mereka yang sudah ditandatangani sebagai pemberian kepada Presiden Turki. Padahal, keduanya sudah dipanggil oleh pelatih Jerman Joachim Löw, untuk mengikuti Piala Dunia di Rusia. Kaos pemberian Gündoğan bertuliskan pesan (berbahasa Turki): "Dengan hormat kepada presidenku. Sahabatmu yang setia." Padahal, Gündoğan hanya mempunyai status kewarganegaraan Jerman. Pemberian kepada Erdogan itu langsung ditindaklanjuti oleh partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Tidak lama kemudian, pihak partai pun menyebarluaskan berbagai foto Erdogan dengan kedua pemain sepakbola itu melalui saluran media dan memanfaatkannya dalam kampanye Pemilu.
Reaksi terhadap skandal "Erdogate" pun membuat Jerman seperti dilanda gempa bumi. Cem Özdemir kemudian mengatakan:
"Nama presiden tim pemain nasional Jerman itu Frank-Walter Steinmeier. Kanselirnya Angela Merkel. Parlemennya disebut Deutscher Bundestag. Letaknya di Berlin, bukan di Ankara."
Reinhard Grindel, Presiden Asosiasi Sepakbola Jerman (DFB) menimpali:
"DFB, tentu menghormati situasi khusus para pemain kita yang berlatarbelakang migran, tetapi sepakbola dan DFB menghargai nilai-nilai yang tidak secara memadai Tuan Erdogan hormati. Itu sebabnya tidak baik bahwa para pemain international kita membiarkan diri mereka dimanipulasi demi kampanye Pemilunya. Dengan melakukannya demikian, para pemain kita tentu tidak membantu karya DFB berkaitan dengan persoalan integrasi bangsa."
Yang membuat masyarakat semakin marah adalah sikap Özil's dan Gündoğan sendiri. Keduanya menolak mengakui bahwa foto itu mungkin saja merupakan suatu kesalahan. Termasuk juga di dalamnya adalah perilaku para pejabat tinggi DFB sendiri yang berupaya menghapus persoalan itu dengan memberikan berbagai alasan. Sebagai alasan pemaaf, mereka mengutip soal etnis kedua pemain (yang sama-sama terlahir di Jerman) atau faktor "usia mereka yang masih muda. Gündoğan memang masih berusia 27 dan Özil, 30 tahun.
Akibatnya, dalam dua pertandingan ujicoba untuk turnamen, para penggemar sepakbola Jerman mengejek Gündoğan dan Özil. Beberapa bahkan menyoraki, diikuti dengan berbagai kata jorok yang ditujukan kepada Gündoğan.
Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier berusaha menerima Özil and Gündoğan di kediaman resminya di Berlin karena ingin menyelesaikan situasi yang renggang itu. Bagaimanapun, ketika memberikan wawancara kepada Die Zeit, beberapa saat kemudian, Steinmeier dengan sedih mengakui bahwa para pemain itu tidak mengakui bahwa mereka bersalah.
Pada pihak lain, Direktur DFB Thomas Bierhoff ngotot mengatakan bahwa Özil dan Gündoğan "masih merupakan para dutabesar yang bagus untuk integrasi." Nyatanya, memang, pada tahun 2010 lalu, Özil diberi "penghargaan karena berhasil berintegrasi" oleh Hubert Burda Media. Pada tahun 2014, Presiden Jerman juga menganugerahkannya penghargaan tertinggi dalam dunia olahraga, Silver Laurel Leaf. Dia juga pernah terpilih sebagai pemain terbaik Jerman selama lima kali.
Perdebatan seputar insiden itu, yang terus berlangsung selama Piala Dunia, menjadi-jadi setelah penampilan Jerman yang mengerikan selama turnamen tersebut --- pertunjukan terburuk tim sepakbola Jerman dalam kurun waktu 80 tahun. Bencana itu bagaimanapun memberikan tekanan tersendiri bagi asosiasi sepakbola. Banyak kalangan lalu meminta Özil mengeluarkan surat permohonan maaf atas menghadapi konsekwensinya.
Presiden DFB Reinhard Grindel, kemudian mengatakan:
"Memang benar Mesud belum mengatakan apa-apa, sehingga mengecewakan banyak penggemarnya...Saat kembali dari liburan, dia harus secara terbuka mengemukakan pandangannya tentang soal ini. Kami juga ingin menunggu dan melihat bagaimana Mesud terlibat dalam persoalan ini. Hanya saja wajar pula bahwa kami memberikan kesempatan kepada orang yang punya reputasi internasional yang sudah membuat kesalahan.
Dua pekan kemudian, Özil mempostingkan tiga surat terbuka di media sosial (dalam Bahasa Inggris). Surat itu berakhir dengan pengunduran dirinya dari tim nasional Jerman. Dia juga menyerang persoalan "rasisme", yang diklaimnya membuatnya mengalah:
"Dengan berat hati dan setelah banyak mempertimbangkannya bahwa karena berbagai peristiwa akhir-akhir ini, saya tidak lagi bermain untuk Jerman pada tingkat internasional ketika saya merasakan adanya rasisme dan perasaan tidak dihormati ini."
Untuk mendukung klaimnya, Özil mengutip makian bernada anti terhadap orang-orang asing yang diduga diteriakan kepadanya di sebuah stadion. Juga dia sertakan berbagai komentar yang merendahkan yang dibuat di media sosial oleh dua orang yaitu seorang politisi lokal yang tidak diketahui dari kubu Partai Sosial Demokrat Jerman ( SPD); dan yang lainnya, wakil ketua sebuah teater di Munich.
Tabloid terbesar Jerman, Bild lantas mengkritik Özil yang menanggapnya "merengek-rengek ketika mengundurkan diri" serta membuat "perhitungan yang membingungkan dengan Jerman." Meski demikian, pada saat bersamaan, banyak suratkabar Jerman justru berbalik seratus delapan derajat dengan ramai-ramai mendukung Ozil. Jika beberapa pekan sebelumnya, mereka keras mengkritiknya karena dia "chating dengan seorang despot" kini mereka berbalik menyerang Grindel yang "bungkam" dan "tidak" berbicara mendukung Özil. Mereka memberikan ucapan selamat kepada Özil karena memantik debat soal integrasi kaum imigran. "Akhirnya, rasisme disebut rasisme", tulis sebuah headline in Harian Tagesspiegel, Berlin.
Ketua Dewan Pusat Muslim di Jerman (ZMD) Aiman Mazyek malah mendesak Presiden DFB Grindel serta manajer umumnya, Oliver Bierhoff mengundurkan diri. Dalam pandangannya, kedua pihak sama-sama bersalah melakukan "pelanggaran hukum." Karena itu, dia hendak meminta Özil memberikan penjelasan:
"Menyerang orang lain dengan mengeluarkan kata-kata kasar bisa dihukum dengan kartu merah dalam dunia olahraga...Bierhoff dan Grindel harus mundur jika mereka tidak belajar sesuatu dalam karir mereka yang panjang selain (mengatakan), "Seperti Özil kalian kalah' bukannya, "Kalian kalah sebagai tim.'"
Pengunduran diri dan pernyataan Özil yang mengeluhkan adanya "rasisme" Jerman justru membuatnya menjadi pahlawan agung di Turki. Erdogan pun secara pribadi meneleponnya menyampaikan dukungannya. Di Devrek, kini dipasang lagi sebuah papan raksasa yang memperlihatkan Özil mengenakan kaos latihan, sedang bersama Erdogan. Devrek adalah kota kelahiran buyut Özil dan sebuah jalan kota itu diberi nama Özil untuk menghormatinya.
Dengan demikian, mendadak, bukan Özil yang dianggap bersalah tetapi Jerman. Menghadapi situasi itu, Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas melihat perlunya melindung reputasi Jerman terhadap tuduhan "rasisme": "Tidak saya pikirkan bahwa kasus seorang milioner yang hidup dan bekerja di Inggris banyak berkisah tentang kemampuan Jerman melakukan integrasi," katanya.
Ada dua fakta penting yang mengemuka dari perdebatan ini, meski banyak pengamat politik tampaknya justru merasa diri bersalah.
Pertama, popularitas Erdogan sangat luar biasa di kalangan masyarakat Turki-Jerman. Ini jelas terlihat dalam Pemilu presiden Turki baru-baru ini. Erdogan meraih 52% suara Pemilu, tetapi mendapatkan 64,8% suara dari 13 tempat pemungutan suara yang didirikan Turki di Jerman. Suara terbanyak diperoleh Erdogan di Essen, sebuah kota pusat industri Jerman. Di sana, 76,3% pemilih Turki memberikan suara mendukungnya. "Jerman tetap menjadi benteng Erdogan," tulis harian Frankfurter Allgemeine. Pasca-jajak pendapat (exit poll) pertama, ribuan orang Turki di kota-kota Jerman turun ke jalan-jalan. Mereka membunyikan klakson mobil sambil melambaikan bendera Turki dan AKP, merayakan kemenangan pemilihan Erdogan sampai tengah malam. Aksi ini mendorong para politisi Jerman mengecam keras - terutama orang-orang kalangan kiri, yang sebaliknya merupakan pendukung multikulturalisme yang keras kepala.
Pantas dicatat, bahwa pada satu sisi, ada kesenjangan besar antara hasil pemilihan di Jerman, dengan di Inggris dan AS pada sisi lain. Di Jerman, Erdogan memenangkan sekitar dua pertiga suara; lawan utamanya, Muharrem Ince, dari Partai Sosial-Demokrat meraih suara sekitar 20%. Di Inggris dan AS, hasilnya justru sebaliknya: 72% orang Turki di AS dan 59% orang Turki di Inggris memilih Ince, dan hanya 16% dan 22% persen untuk Erdogan.
Mengapa Erdogan begitu populer di kalangan masyarakat Turki Jerman? Gökya Sofuoglu, Ketua Komunitas Masyarakat Turki di Jerman, mengatakan kepada Kantor Berita Jerman DPA bahwa sebagian besar masyarakat Turki di Jerman adalah buruh yang berasal dari beberapa kawasan pedesaan Anatolia, yang membawa serta nilai-nilai konservatif mereka. Sementara itu, sebagian besar pemilih Turki di Inggris dan Amerika Serikat, adalah mahasiswa serta orang-orang yang sangat terpelajar yang punya kecenderungan untuk beroposisi.
Alasan kedua, bagi banyak warga Turki-Jerman, Turki merupakan "tanah kelahiran mereka". Kerangka berpikir tentang nenek moyang mereka itu diteruskan dari satu generasi kepada yang lain. Akibatnya, seperti terlihat, sebagian besar warga Turki yang mengelu-elukan kemenangan Erdogan di jalanan Jerman adalah orang-orang muda, migran generasi ketiga---yang orangtuanya lahir di Jerman.
"Meski bertumbuh besar di Jerman, latar belakang keluarga saya kuat berakar di Turki... Selama masa kecil saya, ibu saya senantiasa mengajarkan saya meghormati dan tidak pernah lupa dari mana saya berasal, Ini masih merupakan nilai-nilai yang saya pikirkan sampai hari ini...Ibu saya tidak pernah biarkan saya melupakan nenek moyang, warisan serta tradisi keluarga. Bagi saya, berfoto bersama Presiden Erdogan bukan soal politik atau Pemilu. Itu soal saya menghargai jabatan tertinggi dari negara keluarga saya. Media Jerman menggambarkan hal yang berbeda. Yang benar adalah bahwa dengan tidak bertemu Presiden Erdogan, itu berarti saya tidak menghormati akar nenek-moyang saya."
Jadi, mendadak masuk akal bahwa suratkabar Turki menulis bahwa Desa Devrek di Anatolia adalah "tempat kelahiran" Özil. Padahal, pemain sepakbola kenamaan itu lahir di Gelsenkirchen, Jerman kemudian menghabiskan hidupnya di Jerman sebelum berpindah ke Madrid kemudian London.
Dalam buku barunya, Immigration. Ein Protokoll des Scheiterns ("Imigrasi. Sebuah Catatan tentang Kegagalan "), cendekiawan politik Jerman keturunan Mesir, Hamed Abdel Samad, salah satu pengkritik paling kenamaan Jerman seputar pendekatan pasif negeri itu terhadap imigrasi dan integrasi, menulis:
"Para orangtua yang tidak terlalu konservatif pun tunduk kepada tekanan komunitas migran. Mereka dengan demikian membesarkan anak-anak mereka sesuai dengan agama dan tradisi mereka. Konsekwensi mengerikan dari pengasuhan ini adalah bahwa komunitas lebih bersimpati dan lebih bisa menerima mereka, dibandingkan dengan memperhatikan kesejahteraan anak itu sendiri."
Salah satu alasan mengapa komunitas itu begitu kuat, menurut Abdel Samad, adalah karena, selama bertahun-tahun, berkembang lingkungan sosial yang nyaris homogen.
"Sama sekali tidak ada pergaulan dengan orang-oang asing, khususnya dengan orang-orang Jerman. Bandingkan dengan masa-masa awal. Infrastruktur berkembang begitu pesat sehingga ada mekanisme pengawasan. Inilah mengapa, dalam pandangan saya, anak-anak generasi ketiga dan keempat, jauh lebih sulit untuk [berintegrasi]."
Sudah 57 tahun, pekerja tamu Turki pertama datang ke Jerman. Meski demikian, integrasi cucu-cucu mereka masih belum terlihat berhasil. Apakah ini menjadi tanda, mungkinkah anak dan cucu dari lebih dari satu juta migran dari Afrika dan Asia serta Timur Tengah yang tiba di Jerman sejak tahun 2015 berintegrasi dalam masyarakat Jerman?
Pada masa datang, bentrokan bisa saja menjadi jauh lebih serius dibanding dengan percecokan kecil musim panas ini --- kecuali kalau Jerman sadar. Dalam sebuah perdebatan yang berlangsung selama berbulan-bulan, Hamed Abdel-Samad, yang berdiri persis di sebelah kanan Özil dan Gündogan dalam foto mereka bersama Erdogan yang dimuat dalam media, menerbitkan pernyataannya pada halaman Facebook sebagai berikut:
"Dua warga Jerman keturunan Turki yang sangat berhasil berintegrasi dalam masyarakat (baca: Özil dan Gündogan) melakukan kampanye Pemilu bagi Erdogan, bukan mengkampanyekan supaya para wartawan yang dipenjara di Turki dibebaskan. Padahal, semua pintu menuju karir mereka terbuka di Jerman. Kini, semua pecinta romantis sosial mungkin bertanya diri apakah yang salah yang kita lakukan sehingga warga Jerman Turki melihat Erdogan sebagai menarik."
Salah seorang pendukung Erdogan di Jerman, Abdel-Samad lantas menulis, "bukanlah orang-orang yang tertinggal di belakang yang ditolak," tetapi "orang-orang yang ingin masuk dalam kelompok pemenang yang melihat Erdogan sebagai alternatif sekaligus antithesis bagi Eropa."
Semua orang yang mengelu-elukan Özil sebagai personifikasi dari integrasi yang berhasil seharusnya tidak terkejut bahwa para penggemarnya di antara warga Turki – Jerman kini bakal memilih Erdogan setelah melihat dia menyeringai dalam foto ini. Persoalannya, kapankah kalian akhirnya sadar bahwa persyaratan terpenting bagi integrasi bukan bahasa dan mobilitas ke atas tetapi ikatan emosional serta identifikasi diri dengan negara tempat seseorang tinggal?"
Stefan Frank adalah wartawan dan pengarang yang berbasis di Jerman.