Bijan Djir-Sarai, Jurubicara Urusan Luar Negeri Partai Free Damokrat (FDP) kelahiran Iran mengkritik keras sikap Pemerintah Jerman yang menjadi kaki tangan para Ayatollah Iran. "Anda tidak bisa bangun pagi lalu mengatakan bahwa anda berada di pihak Israel kemudian pada petang hari minum the dengan orang Iran membanggakan-banggakan partai-partai revolusi. (Foto oleh Sean Gallup/Getty Images). |
Kanselir Jerman, Angela Merkel senang berpikir tentang dirinya sebegai sahabat Israel. Dalam sebuah pidatonya di Knesset (baca: Parlemen Israel), di Yerusalem, Maret 2008, dia mengatakan:
"Di sini, dari semua tempat yang secara eksplisit ingin saya tekankan adalah bahwa setiap Pemerintah Jerman serta setiap Kanselir Jerman sebelum saya memikul tanggung khusus histros bagi keamanan Israel. Tanggung jawab historis ini menjadi bagian raison d'être Negara saya. Karena itu, bagi saya sebagai Kanselir Jerman, soal keamanan Israel tidak bakal pernah dibuka untuk dinegosiasi. Dan karena demikian kasusnya, maka kita harus melakukannya lebih banyak daripada sekedar bermanis mulut terhadap komitmen ini..."
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman Heiko mengaku bahwa karena Auschwitz (yang menjadi simbol pembunuhan enam juta orang Yahudi) dia ingin menjadi politisi.
Melihat niat seperti itu, orang akan berharap bahwa kebijakan luar negeri Merkel, Maas dan Jerman secara umum sangat mendukung negara Yahudi dan sebaliknya menjadi musuh rezim dan organisasi yang berupaya keras menghancurkan negeri kecil itu. Namun kenyataannya adalah sebaliknya.
Dalam kunjungan pertamanya ke Israel, Mei 2017, sejak dia menduduki jabatan lima bulan sebelumnya, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier malah menggunakan kesempatan untuk memberi penghormatan kepada Yassir Arafat. Dia meletakan karangan bunga di makam teroris penting itu di Ramallah.
Februari lalu, Presiden Steinmeier juga mengirimkan telegram ucapan selamat kepada rezim mullah Iran. Untuk menghormati peringatan 40 tahun revolusi Islam atas nama warga negara Jerman: "Tuan Presiden, pada kesempatan Hari Nasional Republik Islam Iran, saya mengucapkan selamat kepada Anda, juga atas nama rekan saya. "
"Bukan atas nama saya," protes Hamed Abdel-Samad, seorang ilmuwan politik Jerman keturunan Mesir dan penulis beberapa buku. Ia mengkritik sikap Jerman yang berusaha menyenangkan hati Islam radikal. Bertahun-tahun sudah, Abdel-Samad hidup di bawah perlindungan polisi di Jerman setelah ia menerbitkan buku bertajuk Islamic Fascism (Fasisme Islam). Pasca-penerbitannya, seorang ulama radikal Mesir mengeluarkan fatwa pembunuhan atasnya. Ketika Februari lalu, Steinmeier mengundangnya, di antara selebritas lain, ke kediaman resminya untuk turut dalam debat bertajuk, "Demokrasi dan Agama", Abdel-Samad meminta Seinmeier bertanggungjawab:
"Anda mengucapkan selamat kepada rezim Iran atas nama semua warga Jerman. Seharusnya Anda tidak boleh lakukan itu. Sebagai warga negara Jerman saya katakan: tidak atas nama saya! Anda mengirim sinyal yang salah kepada rezim di Iran, kepada oposisi demokratis di negara itu dan di pengasingan, kepada puluhan ribu korban rezim ini beserta keluarga mereka, termasuk kepada populasi Jerman. Kepada rezim Anda mengirim sinyal 'Pertahankan.' Kepada oposisi anda mensinyalkan 'Saya tidak peduli dengan masalah Anda.' Dan kepada rakyat Jerman anda mengirim sinyal, "Kami tidak benar-benar menganggap nilai-nilai kita sendiri secara serius."
Abdel-Samad diikuti oleh banyak pengacara hak asasi manusia, politisi dan jurnalis. Pendeta Steffen Reiche, seorang agamawan Protestan memilih menulis di Suratkabar Die Welt. Dikatakannya bahwa dia "malu" kepada presiden. Karena itu, ia menyerukan supaya Steinmeier tidak diundang menghadiri kongres Gereja Protestan tahun ini. Reiche sendiri, pada Oktober 1989, menjadi salah satu pendiri Partai Sosial-Demokrat Jerman Timur. Perlu diingat bahwa pada masa itu, kediktatoran komunis masih utuh sehingga pendirian sebuah partai non-rezim dianggap pengkhianatan tingkat tinggi. Dalam langkah yang jarang terjadi sebelumnya, para wartawan saluran TV publik Jerman ARD pun mengkritik "kesediaan Jerman menjadi calo berbahaya bagi para mullah.".
Pada saat bersamaan, tabloid terlaris Jerman Bild mengungkapkan bahwa Wakil Menteri Luar Negeri Niels Annen menghadiri sebuah pesta di Kedutaan Besar Iran untuk menghormati revolusi Islam. Suratkabar Jerusalem Post melaporkan bahwa waktu kunjungan Annen itu bersamaan dengan waktu seorang Brigjen (Brigadir Jenderal) Iran, Brigjen Yadollah Javani berkomentar tentang Israel mengenai serangan Amerika atas Iran:"... jika mereka (baca: Amerika) serang kita, kita akan hancurkan Tel Aviv dan Haifa sampai rata tanah," katanya kepada Kantor Berita Iran, IRNA.
"Mengapa Pemerintah Federal mengirim wakilnya menghadiri sebuah pesta revolusi di kedutaan sebuah rezim teror?" tanya Bild. Pemerintah menjawab bahwa pihaknya ingin "menjaga saluran dialog tetap terbuka" -- sebuah dialog dengan rezim yang telah melakukan pembunuhan bahkan di tanah Jerman.[1] Meski demikian, Jerman malah melakukan berbagai upaya luarbiasa untuk membantu perusahaan-perusahaan Eropa melewati sanksi AS atas Iran.
Nasrin Amirsedghi, seorang cendekiawan film terkenal, ilmuwan budaya dan pembangkang Iran di pengasingannya di Jerman, mengatakan kepada Gatestone:
"Perilaku Pemerintah Jerman itu tidak bermoral dan juga jahat. Berbagai situasi yang menyedihkan di Iran serta perannya sebagai teroris di wilayah itu bahkan di Eropa tidak dibahas, tetapi malah diabaikan dan dibumbuinya. Saya heran dengan sikap diam di negara ini, negara yang pernah berkontribusi begitu banyak pada pencerahan manusia dan humanisme..
"Bagaimana bisa Jerman berdialog dengan para mullah, menjalin hubungan diplomatik dan bisnis dengan mereka, mengirim telegram ucapan selamat, sementara para mullah secara brutal menekan setiap protes sipil yang sudah pada tempatnya, menahan 1,7 juta tahanan politik, kaum homoseksual, wanita, pengacara, dll di penjara serta melakukan eksekusi terbuka setiap hari. Pemerintah Jerman dengan demikian, meromantisasi rezim yang menempatkan kehancuran Israel dalam agendanya. "
Amirsedghi lalu menyampaikan seruan kepada Pemerintah Jerman:
"Hentikan kebijakan untuk menyenangkan hati Iran! Tunjukan keberanianmu! Akkhiri semua hubungan ekonomi dan diplomatik. Rakyat Iran sendiri bisa gulingkan rezim. Uang menjadi satu-satunya jalan hidup rezim. Sumber ini harus dikeringkan."
Bijan Djir-Sarai, Jurubicara Urusan Luar Negeri untuk Oposisi Partai Demokrat Bebas (FDP), dengan tajam mengkritik sikap Steinmeier dan Annen yang mau menjadi kakitangan kejam para Ayatullah:
"Anda tidak bisa bangun di pagi hari dan mengatakan bahwa Anda berdiri di pihak Israel kemudian sore hari minum teh dengan Iran dan merayakan pesta-pesta revolusi. Itu kontradiksi. Pesan dikirim ke Teheran, kami akan mendukung pihak Anda, tidak peduli apa yang Anda lakukan. "
Djir-Sarai, lahir di Teheran. Masa kecilnya dihabiskannya di bawah Rezim Khomeini. Pada tahun 1987, ketika ia berusia 11 tahun orangtuanya mengirimnya kepada seorang pamannya yang tinggal di Jerman. Pada bulan November lalu, selama debat parlemen tentang anggaran nasional, Djir-Sarai juga menentang Menteri Luar Negeri Heiko Maas dengan mempertanyakan sikap anti-Israel Jerman di PBB:
"Tuan Menteri, dapatkah Anda jelaskan kepada saya mengapa pekan lalu Jerman di Majelis Umum PBB menyetujui delapan resolusi yang secara sepihak mengkritik Israel? Tuan Menteri, saya selalu memahami Anda yang mengatakan bahwa keselamatan negara Israel itu sangat penting bagi Anda. Itu sebabnya saya tidak bisa memahami mengapa di panggung internasional Jerman membiarkan Israel begitu jatuh. Sebagai anggota parlemen, saya meminta Anda memberikan penjelasan tentang pemungutan suara ini, di sini di rumah ini, di depan para wakil rakyat. "
Ketika Maas tidak menjawab, kolega Djir-Sarai, Frank Müller-Rosentritt mendesaknya supaya memberikan jawaban. Maas lalu mengambil mikrofon dan menjelaskan:
"Ketika sampai pada persoalan resolusi Israel, dalam beberapa tahun terakhir, Jerman mengikuti pendekatan yang lahir dari upaya kami untuk terlibat dalam diskusi tentang rancangan resolusi sampai akhir. Ini bukan perkembangan baru. Inilah sebabnya kami tidak bisa mendadak menarik diri dari perdebatan tentang resolusi ini sehingga tidak pernah mengatakan memberi suara 'tidak'. Sebaliknya, kami senantiasa melakukan upaya-upaya yang sudah dikoordinasikan dengan wakil Israel. Tetapi, tidak senantiasa memuaskan pihak yang kemudian (baca: Israel). Upaya itu dilakukan untuk memastikan bahwa rancangan resolusi itu, dengan atau tanpa kita, bagaimanapun mendapatkan suara mayoritas di PBB. Jadi, resolusi tidak disusun sedemikian rupa seperti yang mungkin diniatkan oleh beberapa pihak. Ini sebabnya mengapa campur tangan kita menyebabkan kata-kata yang kasar banyak dihilangkan dari rancangan resolusi itu."
Hillel Neuer, Direktur Eksekutif UN Watch, sebuah kelompok pengawas yang menuntut PBB dan lembaga-lembaganya bertanggung jawab mematuhi prinsip yang tercantum dalam Piagam PBB punya gambaran sendiri. Ia pernah menggambarkan prosedur ini sebagai "permainan lama mengedipkan mata-dan-menganggukan kepala dari pihak Brussels-Ramallah":
"PLO awalnya mengajukan teks resolusi yang bernada lebih menghasut. Soalnya dia tahu teks itu akan direvisi nantinya sehingga memungkinkan para wakil Eropa (Europeans) untuk berpura-pura sudah mencapai teks resolusi yang 'seimbang'. Israel kemudian diharapkan bergembira bahwa ia telah dibunuh dengan tali yang lebih ringan."
Maas bahkan mengatakan bahwa dengan mendukung resolusi anti-Israel, Jerman memperoleh "banyak persetujuan dari pihak Israel." Pernyataan ini diduga berupaya menentramkan keadaan. Klaim ini kemudian ditentang oleh Duta Besar Israel di Jerman, Jeremy Issacharoff. Dalam twitnya, dia menulis bahwa "sangat mendesak " untuk mengubah perilaku voting Jerman di PBB atas Israel. Selain itu, Jerman harus mengadopsi "peran kepemimpinan yang aktif ketika memfokuskan kembali perilaku voting para mitra Eropanya umumnya."
Pada tahun 2016, Jerman bahkan memilih resolusi PBB yang memberikan perhatian khusus Israel dalam sidang tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Israel kala itu dianggap satu-satunya negara pelanggar di dunia yang melanggar aturan tentang "kesehatan mental, fisik dan lingkungan." PBB kemudian membentuk sebuah delegasi WHO untuk menyelidiki dan melaporkan "kondisi kesehatan di wilayah Palestina dan Golan Suriah yang diduduki".
"Keyakinan bahwa satu negara dan satu orang pantas untuk terus-menerus mendapat perhatian seperti itu. Keyakinan ini dimotivasi oleh satu hal: anti-Semitisme," urai Duta Besar Amerika Serikat untuk Jerman, Richard Grenell, dalam pidatonya pada Maret 18 di Jenewa. Pidato Grenell menjadi bagian dari pawai yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) UN Watch. Demonstrasi, yang memprotes bias anti-Israel di Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), menarik 1.000 orang dan menampilkan para pembicara terkemuka. Secara khusus, Grenell menekankan Butir Agenda Nomor 7 dewan, yang merupakan "arahan permanen untuk memperdebatkan catatan hak asasi manusia Israel di setiap sesi dewan." Padahal, tidak ada negara lain yang diawasi seperti itu.
"Kita tidak boleh lagi mengecewakan Israel di PBB. Gila jika kita terus-menerus berpihak pada negara-negara seperti Arab Saudi, Iran atau Yaman melawan Israel", urai anggota FDP dari Komite Hubungan Luar Negeri Parlemen Jerman, Frank Müller- Rosentritt, kepada BILD.
"Tidak mungkin bahwa 21 resolusi melawan Israel disahkan dalam satu tahun dan hanya satu resolusi menentang Suriah. Ketidakcocokan ini menunjukkan bahwa musuh-musuh Israel memang menggunakan PBB untuk mendelegitimasi negara Yahudi secara internasional."
Inilah sebabnya mengapa Kaukus FDP di parlemen nasional menyiapkan resolusi. Judulnya, "Reorientasi Voting Jerman dan Eropa atas Israel di PBB". Resolusi itu antara lain meminta Pemerintah Jerman untuk:
"... dengan jelas menjauhkan diri dari inisiatif yang sepihak, terutama yang bermotivasi politik serta para sekutu Negara-negara Anggota anti-Israel di berbagai lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (seperti Majelis Umum PBB, Dewan Hak Asasi Manusia PBB atau UNESCO). Juga untuk melindungi Israel dan kepentingan Israel yang sah dari kecaman sepihak. Dalam konteks ini, pola pemilihan Jerman sampai sekarang harus dipertanyakan dan, jika perlu, diubah "
Resolusi itu dimasukkan dalam pemungutan suara parlemen pada 14 Maret. Bundestag sangat keras menolaknya. Sangat menarik melihat bagaimana partai memberi suaranya. FDP (69 "ya", tidak ada yang memberikan suara "tidak," dan tidak ada yang abstain) dan partai anti-imigrasi AfD (81 "ya" ', nol untuk "tidak" dan 3 abstain). Keduanya mendukung resolusi pro-Israel. Partai Hijau abstain, sementara CDU / CSU pimpinan Merkel (satu "ya", 224 "tidak", satu abstain) dan Sosial-Demokrat ("ya" tidak ada, 132 "tidak", nol abstain) memberikan suara menentangnya. Di antara anggota parlemen dari Partai Demokrat-Kristen pimpinan Merkel, mantan menteri dalam negeri, Hans-Peter Friedrich, adalah satu-satunya yang mendukung resolusi tersebut.
"Di mana-mana, ada perbedaan antara sikap pura-pura dan kenyataan yang sama jelasnya seperti dalam kebijakan Jerman atas Israel," urai Anton Friese, seorang anggota parlemen AfD, dalam debat tersebut.
"Ungkapan itu murah, tetapi tidak berhasil. Di luar kata-kata murahan itu, ketika dorongan muncul mendorong, Jerman memberikan suara menentang Israel. Pada 2018, Jerman menyetujui 16 resolusi anti-Israel di Majelis Umum PBB dan abstain pada empat lainnya, dari total 21 resolusi melawan Israel.
"Gambarannya tidak berbeda dengan di Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Di sana, para penentang (defenders) hak asasi manusia yang terkenal seperti Cina, Kuba, Pakistan dan Arab Saudi jadi anggota. Bahkan di sanapun, sebagian besar hukuman menargetkan Israel, sementara kediktatoran melenggang bebas tak dihukum.
"Seringkali pemerintah federal mengatakan bahwa mereka ingin mencegah sesuatu yang lebih buruk terjadi dan karena itu harus berpartisipasi dalam intrik semacam itu. Jadi, seperti berusaha bergabung dengan geng jalanan dengan tujuan supaya bisa mengendalikannya."
Suratkabar Swiss Neue Zürcher Zeitung lantas mengomentari pemungutan suara di Parlemen Jerman sebagai berikut:
"Dari sudut pandang Israel, penolakan [terhadap resolusi] seharusnya membuatnya ragu soal pernyataan solidaritas oleh politisi Jerman."
Mendukung resolusi sepihak terhadap Israel bukanlah satu-satunya tindakan Jerman yang tidak bersahabat terhadap Negara Yahudi. Dalam penelitiannya, jurnalis Benjamin Weinthal mengungkapkan bahwa Kanselir Angela Merkel pun pernah menekan negara-negara Uni Eropa lainnya sehingga tidak memindahkan kedutaan besar mereka ke Ibukota Israel.
Upaya untuk menghentikan pembunuhan atas warga Israel juga tidak ada dalam agenda Pemerintah Jerman. Organisasi teroris seperti Fron Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) dan Hizbullah yang berbasis di Libanon tidak dianggap organisasi ilegal di Jerman. Memang, akibat sanksi dari Negara-negara Barat, Hizbullah kini berada di ambang kehancuran ekonomi. Namun bagaimanapun, hanya "sayap bersenjata" Hizbullah di Jerman yang dianggap illegal. Jadi Hizbullah masih sah untuk mengumpulkan dana. Meski demikian, sekali lagi, pemerintah Jerman berdalih bahwa sikap ini membantu "menjaga saluran untuk dialog tetap terbuka".
Persoalan semakin parah. Meski sadar bahwa Otoritas Palestina (PA) menghabiskan sebagian besar anggarannya untuk memberi hadiah kepada teroris, Pemerintah Jerman menolak memangkas pembayaran bantuan. Lewat pendekatan hadiah, para pembunuh warga Yahudi yang dipenjara di Israel dan keluarga mereka bisa menerima pensiun seumur hidup. Jumlahnya jauh lebih tinggi daripada tunjangan sosial para janda dan anak yatim. Mahmoud Abbas, Presiden PA, pernah bersumpah tidak akan berhenti mengaji teroris:
"Jika harus melepaskan jabatan sekalipun, saya tidak akan berkompromi soal gaji (rawatib) seorang Martir (Shahid) atau seorang tahanan. Soalnya, saya adalah presiden dari seluruh rakyat Palestina, termasuk para tahanan, para Martir, orang-orang yang terluka terluka, yang diusir dan yang tercabut dari masyarakat. "
Tahun lalu PA mengalokasikan $ 330 juta (sekitar Rp 4, 686 Triliun) untuk membayar teroris, dan Jerman membayar $ 100 juta (sekitar Rp 1,42 Triliun) untuk PA. Jadi wajar untuk mengatakan bahwa Jerman membayar PA untuk menghargai pembunuhan warga Yahudi. Karena itu, Volker Beck, seorang anggota Parlemen Jerman dari Partai Greens pernah mengatakan pada 2017 bahwa:
"Tindakan Pemerintah Jerman di wilayah Palestina itu tanpa prinsip. Pada satu sisi, pada angka pendapatan per kapita $ 423 (sekitar Rp 6 juta), wilayah-wilayah Palestina menjadi salah satu di antara penerima utama bantuan Jerman. Pada pihak lain, pemerintah tidak mengancam adanya konsekuensi apapun atas aksi 'martir yang mengoyak (baca: warga Yahudi).' "
Jadi, sementara Kanselir Angela Merkel berbicara tentang "tanggung jawab khusus historis Jerman atas keamanan Israel", pemerintahannya justru menyalurkan uang pembayar pajak Jerman kepada para pembunuh orang-orang Yahudi, Presiden Steinmeier mengirim telegram ucapan selamat kepada mereka yang merencanakan penghancuran Negara Yahudi. Sisi baiknya adalah, lebih dari sebelumnya, warga negara Jerman, jurnalis dan anggota parlemen sudah mengkritik kemunafikan ini.
Stefan Frank adalah seorang wartawan dan pengarang yang berbasis di Jerman
[1] Iran, selain itu, tertangkap basah pada tahun 2017. Ketika itu, ia menyasar seorang politisi Jerman dan anggota Partai Sosial-Demokrat (SPD) tempat Annen bernaung. Kantor Polisi Kriminal Federal Jerman (Bundeskriminalamt, BKA) berhasil menangkap seorang mata-mata kelahiran Pakistan. Dengan demikian, kasus itu tampaknya menghalangi rencana dinas rahasia Iran untuk membunuh Reinhold Robbe, seorang tokoh yang malang melintang menjadi anggota parlemen sekaligus Mantan Presiden Masyarakat Persahabatan Jerman-Israel (Deutsch-Israelische Gesellschaft, DIG). Agen rahasia itu diadili dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Duta Besar Iran pun dipanggil ke kementerian luar negeri dan ditegur bahwa perilaku semacam ini "tidak dapat diterima" dan merupakan "persoalan genting dalam hubungan bilateral".