PRESIDEN NIGERIA---yang berkuasa dituduh mengampuni berbagai tindakan korupsi di negerinya beberapa tahun silam. Akibatnya, negara itu kehilangan puluhan miliar dolar. Presiden AS Barack Obama lalu mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak bakal menjual senjata kepada Nigeria ketika Boko Hoko Haram menjarah sebuah kawasan seukuran Belgia di timur laut Nigeria. Menurut Obama, ada Leahy Law, sebuah undang-undang yang melarang AS memberi bantuan militer kepada militer asing yang melanggar hak asasi manusia dan tidak mendapatkan hukuman.
Dengan penuh syukur, Menteri Luar Negeri AS John Kerry bertemu dengan para aktor politik di Nigeria sebelum Pemilu 2015 negeri itu. Sang menteri pun mengulangi lagi posisi Amerika Serikat berkenaan dengan pentingnya penyelenggaraan pemilu dan transisi damai. Perhatian yang jelas nyata ini tentu saja bukanlah langkah kecil yang mampu membantu persaingan politik dan transisi yang adil. Dengan demikian, Amerika berpegang pada posisi yang sangat mengagumkan yang sepantasnya membuat pihak lain iri.
Menteri Luar Negeri AS John Kerry tengah berjabat tangan dengan Presiden Nigeria yang baru saja disumpah, Muhammad Buhari di Abuja, Nigeria, 29 Mei 2016 lalu (Sumber fotoL Departemen Luar Negeri AS). |
Ada perasaan khawatir yang luar biasa di antara bangsa Afrika pencinta damai, yang peduli dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Mereka khawatir, setelah Pemilu Presiden AS bulan depan, perasaan prihatin terhadap nilai demokrasi serta hak asasi manusia ini mungkin berhenti. Karena jika dalam Pemilu Presiden AS sebelumnya, semua kandidat memperlihatkan pemahaman mereka atas hubungan internasional, kampanye kepresidenan AS yang kini berlangsung terkalahkan oleh berbagai isu dalam negeri. Terlepas dari persoalan Meksiko, Rusia atau skandal email Hilary Clinton, nyaris anda tidak pernah mendengar soal Afrika.
Terlepas dari berbagai tantangan dan peluangnya, kampanye Pemilu yang kini berlangsung mengabaikan Afrika. Memang keberadaan Pangkalan Militer Camp Lemonnier yang strategis di Djibouti dekat Lautan India serta Teluk Aden sangat membantu Afrika karena bisa menahan dan menghancurkan sebagian besar kelompok Al-Shabaab di tanduk Afrika serta menghalangi gerakan senjata dan informasi intelijen antara Al-Shabaab dan Boko Haram (yang kini menjadi Negara Islam di Propinsi Afrika Barat). Tetapi bagaimanapun, kami tetap membutuhkan kepemimpinan Amerika, Sungguh, tidak ada negara bebas lain di Afrika yang mampu menangani masalah kepemimpinan secara memadai.
Afrika kini sadar bahwa Amerika Serikat memperlihatkan tanda-tanda merasa terbebani dengan perannya yang penting dalam persoalan-persoalan dunia. Tapi upaya untuk melepaskan tanggung jawab ini berimplikasi sangat berbahaya. Sikap itu berarti kepada siapakah kami meminta pertolongan ketika organisasi rejional seperti Uni Afrika, ECOWAS dan lain-lain, karena alasan apa pun gagal menjaga perdamaian di benua itu? Siapakah yang datang bagi kami, hendak "berbicara secara lembut namun membawa tongkat besar," di manapun dan kapan diperlukan?
Berbagai perkembangan politik di AS diamati dengan serius bahkan dengan perasaan lebih campur aduk dibandingkan ketika menyambut Brexit. Brexit terasa lebih sebagai jalan keluar bagi anggota yang berkuasa dari sebuah klub kepentingan, ketika kepentingannya tidak dirumuskan, diamankan atau dijaminkan secara baik. Kecenderungan politik di AS tampak seperti seruan kepada pemimpin dan warga negaranya untuk melihat lagi daftar sahabat sekaligus musuh-musuhnya dengan pemikiran untuk memangkasnya. Tetapi yang paling penting lagi adalah untuk mengambil peran pemimpin dunia yang kurang penting --- untuk menjadi mitra yang tidak terlampau banyak bekerja sama dengan mitra yang tak terlampau banyak pula.
Amerika tidak lagi terlihat seperti negara yang memperluas kekuatannya dengan persuasi tanpa kekerasan (soft power) hingga Eropa Barat dalam bentuk Marshall Plan segera setelah Perang Dunia Kedua. Apakah inilah Amerika Serikat yang sama yang memanfaatkan persuasi dengan kekuatan senjata (hard power) untuk menyelamatkan dunia yang bebas sekaligus menjamin dunia tetap bebas? Sebuah negara yang bersama-sama sekitar delapan tahun silam memilih seorang warga Amerika keturunan Afrika sebagai presiden harus digantikan dengan seorang pemimpin yang memahami bahwa peran AS untuk menstabilkan situasi semakin diperlukan dibandingkan sebelumnya.
Terlepas dari siapapun yang keluar sebagai Presiden AS selanjutnya, Afrika ingin melihat Undang-Undang Pertumbuhan dan Peluang Afrika (African Growth and Opportunity Act -- AGOA) yang diperpanjang hingga 30 September 2025, tidak sekedar retorika. Afrika mendambakan, misalnya melihat bahwa perjanjian perdagangan pakaian mencakup semuanya seperti terjadi pada masa pemerintahan George W. Bush. Kala itu, Bush menggandakan Angka Kuota Perdagangan (Traffic Qouta Rate —TRQ) yang diterapkan pada ekspor pakaian bebas pajak. Upaya ini sangat membantu Negara Namibia dan Bostwana. Seiring dengan cenderung merosotnya harga minyak bumi, Afrika tidak punya waktu yang lebih baik untuk mendiversifikasi ekspornya dan itu semua menjadi alasan mengapa perjanjian bilateral seperti Komisi Dua Negara (Bi-National Commission) antara Nigeria dan Amerika Serikat harus berjalan. Dengan demikian, kerja sama keamanan, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi serta akhirnya pemerintahan dan demokrasi menjadi inti perjanjian. Pantaslah dikatakan bahwa Nigeria punya 5 lingkaran Pemilu yang tidak terputus sejak 1999 lalu. Hal yang sama terjadi di banyak bagian Afrika. Kami dengan demikian, berupaya untuk memastikan bahwa Afrika bakal segera menjadi benua yang berdemokrasi.
Dengan demikian, negara seperti Amerika Serikat seharusnya tidak sulit menemukan seorang pemimpin yang bakal menyambungkan visi tersebut dengan kebutuhan benua Afrika karena ia telah menyaringkan visi kemerdekaannya kepada bangsa-bangsa lain.
Nuhu Othman adalah Konsultan Senior pada Atta Zubairu & Associates, Abuja, Nigeria.