Dalam suatu rangkaian peristiwa berkesinambungan yang sudah lazim terjadi, sejumlah massa yang marah bergerak melakukan kerusuhan. Mereka membakar tuntas 80 rumah kaum Kristen, 17 Juni lalu. Dalam kata-kata, salah seorang korbannya, Moses Zarif;
"Jumad siang, setelah sholat Jumat, sejumlah besar oknum umat Muslim berkumpul di depan rumah baru sepupu saya. Penyebabnya, karena ada rumor beredar di desa bahwa rumah sepupu saya akan dijadikan gereja. Mereka meneriakan berbagai slogan melawan kami. 'Dengan cara apapun, tidak bakal ada gereja di sini' dan 'Mesir tetap Islam!'"
Berdasarkan laporan, para perusuh memukul dua sepupu itu, menyerang bangunan lalu menghancurkan semua bahan bangunan. Mereka melempari kaum Kristen yang berupaya untuk campur tangan dengan batu. Kemudian, "kemarahan mereka alihkan kepada rumah-rumah kaum Kristen yang berdekatan dengan bangunan itu, melemparkan batu, menjarah rumah lalu membakar harta benda apapun ketika mereka melewati tempat itu."
Ketika pastor lokal mendengar apa yang terjadi, dia pun tergesa-gesa menuju tempat kejadian. Ternyata sang pastor hanya untuk diserang. Ketika dia masih berada di dalam mobilnya, para perusuh naik ke atas mobilnya, menghentak-hentakan kaki kemudian merusaknya.
Akhir-akhir ini, umat Kristen Desa al-Bayda, tempat insiden itu terjadi memang tidak punya gereja. Jika ingin mengikuti misa di gereja lain, mereka harus berjalan sejauh 7,5 Km di bawah panas Mesir yang terik menyengat.
Program berita berbahasa Arab, "Behind the Scenes" (Di Balik Peristiwa), memperlihatkan kepingan video pendek insiden yang berlangsung, yang dibuat dengan kamera handphone.
Gerombolan perusuh yang tampaknya terdiri dari ratusan orang mengelilingi bangunan termasuk para wanita bercadar dan anak-anak. Ada teriakan Allahu Akbar. Para wanita ber-hijab bertepuk tangan dan bersiul-siul kemudian berteriak-teriak dan meratap. Pada satu titik, nyaris bersamaan, massa dengan jelas terdengar meneriakan, "Akan kami bakar gereja, akan kami bakar gereja."
TV Mesir pun melaporkan serangan itu secara sepihak. Melulu menampilkan pendapat kaum mayoritas seputar minoritas Kristen dan menilai insiden itu sebagai "bentrokan." Polisi pun, setiba di tempat kejadian, malah mundur. Gerombolan massa mereka biarkan terus merusak dan membakar lebih banyak lagi rumah dan kendaraan kaum Kristen. Para perusuh kemudian sholat Lohor di luar rumah-rumah umat Kristen yang mereka hancurkan --- dengan pembesar suara mengarah langsung ke pintu-pintu mereka.
"Tidak ada orang bertindak. Polisi tidak lakukan upaya-upaya pre-emptif atau keamanan untuk mengantisipasi serangan, " urai Anba Makarios, wakil yang biasanya mengurusi masalah gereja Kristen Koptik tentang kejadian itu. Sebaliknya, sebuah laporan mencatat bahwa,
"Pada akhirnya, polisi menangkap enam pria Muslim. Mereka semua dilepaskan sore itu juga. Sedangkan enam pria Kristen dilepaskan keesokan harinya. Polisi sektor Amirya malah menuduh enam orang mendirikan bangunan tanpa ijin dan berdoa di sana tanpa ijin."
Ada satu aspek yang barangkali paling mengganggu dari serangan baru-baru ini atas minoritas Kristen Mesir. Yaitu bahwa setiap aspek itu berulang-ulang dalam berbagai insiden lain yang tidak terbilang banyaknya.
Kerusuhan dan serangan kejam atas rumah dan harta milik umat Kristen bisa dilakukan hanya karena disebutkan bahwa gereja Kristen mungkin akan dibangun atau direnovasi. Praktek seperti sangat lumrah di Mesir ( lihat di sini sejumlah contoh terbaru).
Presiden Mesir, Abdel Fattah Sisi, pernah menyetujui pembangunan gereja sebagai peringatan di Desa Al-Our, tempat kelahiran 13 dari 21 umat Kristen yang dipenggal kepalanya Februari 2015 lalu oleh Negara Islam di Libya. Keluarga parah korban pun masih berdiam di sana. Gerombolan perusuh desa itu menanggapinya dengan bangkit melakukan kerusuhan pada 13 April 2015. Mereka berteriak-teriak mengatakan tidak akan membiarkan gereja dibangun dan bahwa "Mesir adalah Islam!" Mereka lalu melempatkan bom Molotov dan batu ke gereja Koptik lain. Mobil-mobil pun dibakar --- termasuk mobil milik seorang anggota keluarga salah satu umat Kristen yang dipenggal kepalanya oleh Negara Islam. Selain itu, akibat aksi rusuh itu, sejumlah orang terluka.
Bahkan tenda-tenda yang digunakan oleh umat Kristen yang tidak punya gereja dan digunakan untuk ibadah pun tidak dibiarkan tersisa.
Hukuman kolektif pun biasa terjadi. Artinya, semua umat Kristen dihukum karena ada serangan nyata atau dianggap berbahaya yang dilakukan oleh satu umat Kristen (seperti didokumentasikan di sini). Itulah alasan mengapa 80 rumah kaum Kristen dibakar karena ada rumor bahwa seorang dari kaum Kristen mungkin saja mengubah rumahnya menjadi gereja.
Bulan silam di Mesir, seorang wanita Kristen tua berumur 70 tahun ditelanjangi, dipukul dan diarak di jalan-jalan desanya oleh segerombolan massa yang berjumlah 300 orang.
Penyebabnya adalah karena anak wanita itu, diisukan terlibat berpacaran dengan seorang wanita Muslim ---sebuah hubungan yang sangat dilarang oleh Islam.
Semua serangan ini terjadi pada Hari Jumad; satu hari dalam sepekan tatkala umat Muslim bertemu di masjid untuk sholat dan mendengarkan kotbah. Kotbah-kotbah itu mungkin saja menghasut mereka untuk menentang semua hal yang "kafir", atau pimpinan umat Kristen di antara mereka.
Serangan atas gereja mendapatkan bonus jika terjadi selama Ramadhan juga. Kala itu, umat Muslim saleh mungkin saja menjadi semakin radikal dan tidak toleran terhadap umat Kristen yang berani, yang berani mendirikan gereja.
Selama melaporkan serangan ini, Dr. Mona Roman, pemandu acara "Behind the Scenes" (Di Balik Peristiwa) mengatakan;
"Di seantero Mesir, kita terbiasa melihat kaum Muslim menebarkan karpet dan sholat di manapun mereka inginkan. Dan tidak seorang pun mengganggu mereka. Mengapa umat Kristen begitu diburu-buru dengan kejam karena berjuang untuk bisa berdoa, dicegah supaya tidak membangun gereja atau bahkan bertemu di rumah? Di mana persamaan derajat yang kerapkali kita dengar itu?"
Dia lalu menutup acaranya dengan mengajukan pertanyaan yang pasti ada ada dalam benak setiap kaum Kristen Mesir: " Kita semua tahu otoritas Pemerintah Mesir, bahwa kapanpun dia berniat melakukan sesuatu, dia pun lakukan. Sampai berapa lamakah tindakan-tindakan ini terus berlangsung tanpa mendapat hukuman setimpal. Akankah mereka tidak bakal berhenti beraksi?
Raymond Ibrahim adalah pengarang buku Crucified Again: Exposing Islam's New War on Christians (Disalibkan Lagi: Mengungkap Perang Baru Islam atas Kaum Kristen) (diterbitkan oleh Regnery bekerja sama dengan Gatestone Institute, April 2013).