Laurence Rossignol, Menteri Urusan Keluarga, Anak dan Hak Asasi Wanita Perancis, memantik kemarahan seputar jilbab Islam yang kini bertumbuh subur di negaranya. Luapan kemarahan itu terjadi tatkala dia membandingkan penutup kepala kaum wanita itu dengan " kaum wanita negro Amerika yang menerima perbudakan." Selain itu, Elisabeth Badinter, salah seorang tokoh feminis Perancis paling kenamaan bahkan menyerukan aksi boikot terhadap perusahaan-perusahaan mode Eropa seperti Uniqlo dan Dolce & Gabbana yang gencar mengembangkan berbagai jenis pakaian Islami yang tepat (pada 2012, kaum Muslim menghabiskan $266 miliar (sekitar Rp 350 triliun) untuk membeli pakaian dan angka itu bisa meningkat mencapai $484 miliar (sekitar Rp 639 triliun) pada 2019.
Ada kecenderungan baru yang kini berkembang dalam budaya popular Barat, yang nyaris tidak terlihat dalam media satu dekade silam. Yaitu bahwa kaum wanita berjilbab kini pun hadir dalam berbagai program televisi seperti pada Program MasterChef.
Budaya arus utama kini menganggap wanita berjibab sebagai hal yang "wajar."Perusahaan Penerbangan Air France baru-baru ini meminta pegawai wanitanya untuk mengenakan jilbab tatkala bertugas di Iran. Pemerintah Italia bahkan baru-baru ini menutupi patung telanjang di Museum Capitoline Roma, ketika Presiden Iran Hassan Rouhani berkunjung ke negara itu hanya untuk "menghormati" perasaannya.
Padahal, sekian lama wanita berjilbab di dunia Islam Arab malah jarang ditemukan.
Sulit dipercaya bahwa hingga awal 1990-an, mayoritas kaum wanita di Aljazair tidak berjilbab. Pada 13 Mei 1958 di Place du Gouvernement di Aljir, puluhan wanita merobek jilbab mereka. Semenjak itu, rok mini pun melanda jalanan-jalanan kota.
Revolusi Iran membalik kecenderungan ini: jilbab pertama muncul pada awal era 1980-an beriring jalan dengan bangkitnya gerakan Islam di berbagai universitas dan kawasan-kawasan miskin di Aljazair. Kala itu, hijab dibagikan oleh Kedutaan Besar Iran di Aljir.
Pada 1990, Aljazair berada di penghujung musim maut dan rasa takut yang panjang. Kala itu perang saudara yang beriringan dengan terobosan kaum Islamis menjadi momok (ada 100.000 tewas). Masyarakat pun tahu bahwa sesuatu yang mengerikan bakal terjadi dengan menghitung jumlah orang berjibab di jalan-jalan.
Korban pertama perang kaum Islamis di Aljazair adalah seorang gadis yang tetap menolak mengenakan jilbab. Namanya, Katia Bengana. Dia ngotot mempertahankan pilihannya bahkan ketika para pengeksekusi menodongkan senjata ke kepalanya. Pada 1994, masyarakat Aljir secara harafiah tersadar ketika tembok-tembok rumah mereka penuh poster kaum Islamis yang mengumumkan eksekusi mati terhadap para wanita yang tidak berjilbab. Kini, sangat sedikit kaum wanita yang berani meninggalkan rumah tanpa mengenakan hijab atau chador.
Perhatikan berbagai foto kota Kabul era 1960, 1970 dan 1980. Dari sana, anda melihat banyak wanita tidak berjibab. Kemudian datanglah Kelompok Taliban yang memaksa mereka menutup kepala. Emansipasi di Maroko dipantik oleh Puteri Lalla Aisha, saudara dari Sultan Mohamed Ben Youssef, yang menggelari dirinya sebagai raja tatkala negara itu memproklamasikan kemerdekaannya. Pada April 1947, Lalla berpidato di Tangiers dan orang pun mendengarkan sang gadis tak berjilbab itu dengan penuh takjub. Beberapa pekan kemudian, kaum wanita di seluruh negeri pun menolak penutup kepala. Kini Maroko menjadi salah satu negara paling bebas di dunia Arab.
Kembali ke Mesir. Pada era 1950-an, Presiden Gamal Abdul Nasser memanfaatkan televisi guna mengolok-olok permintaan Kelompok Ikhwanul Muslim agar kaum wanita mengenakan penutup kepala. Istrinya, Tahia, tidak mengenakan penutup kepala, bahkan dalam foto-foto resmi kenegaraan sekalipun. Kini, menurut seorang cendekiawan Mona Abaza, 80% wanita Mesir berjilbab. Padahal, baru saja era 1990-an, versi Islam kaum Wahabi yang keras tiba di Mesir melalui jutaan warga Mesir yang pergi bekerja di Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya. Tatkala gerakan politik Islam memancangkan kaki mereka di negeri itu, saat itulah, kaum wanita Mesir pun mulai mengenakan penutup kepala.
Di Iran, kerudung hitam tradisional kaum wanita Iran dari kepala hingga mata kaki melanda negeri itu di bawah kekuasan Ayatollah Khomeini. Dia menegaskan bahwa chador menjadi "spanduk revolusi" lalu menerapkannya pada semua wanita.
Padahal, lima puluh tahun sebelumnya, pada 1926, Reza Shah sudah memberikan perlindungan polisi kepada wanita yang memilih untuk menolak mengenakan jilbab. Pada 7 Januari 1936, Shah memerintahkan semua guru, isteri para menteri kabinetnya dan pejabat pemerintah "untuk tampil dengan pakaian Eropa." Shah juga meminta isteri dan para puterinya untuk tampil di tempat umum tanpa jilbab. Berbagai reformasi ala Barat ini dan yang lain-lainnya didukung oleh Shah Muhammad Reza Pahlavi, yang menggantikan ayahnya pada September 1941 dan menerapkan larangan berjilbab bagi kaum wanita di tempat umum.
Di Turki, Mustafa Kemal Ataturk menyampaikan pidato yang berkobar-kobar kepada massa kaum wanita, mendorong mereka menjadi contoh, karena melepaskan jilbab berarti mempercepat upaya Turki yang perlu untuk menyesuaikan diri dengan peradaban Barat. Dan, memang, selama lima puluh tahun Turki menolak jilbab. Kebijakan itu baru berakhir pada 1997 tatkala pemerintah negeri itu dipimpin oleh Islamis Necmettin Erbakan menghapus larangan berjilbab di tempat-tempat umum.
Erdogan, Presiden Turki pun memanfaatkan jilbab guna mendorong Islamisasi masyarakat secara acak.
Sebaliknya, Presiden Tunisia Habib Bourguiba, mengeluarkan edaran yang melarang pemakaian hijab di sekolah dan tempat-tempat umum. Ia menyebutkan penutup kepala sebagai "gombal menjijikan" (odious rag) lalu mempromosikan negaranya sebagai salah satu dari negara Arab yang paling tercerahkan.
Bukan saja dunia Muslim yang sekian lama menolak simbol ini. Sebelum kaum Islam radikal berkembang luas, rok mini, sebuah simbol budaya Barat, bisa dilihat di seluruh Timur Tengah. Ada banyak foto mengingatkan anda soal masa panjang itu: pramugari tak jilbab berpakaian mini dalam pesawat Afgahnistan (betapa ironinya bahwa Perusahaan Penerbangan Air France kini ingin agar mereka mengenakan jilbab); ada perlombaan kecantikan yang Raja Hussein dari Yordania organisasikan di Hotel Philadelphia; ada tim pesepakbola wanita Irak; ada atlet wanita Suriah Silvana Shaheen; ada para wanita Libya tak berjilbab berparade di jalanan, para mahasiswa di Universitas Birzeit milik Palestina dan para gadis Mesir di pantai (kala itu, sebuah burqa yang dijadikan bikini---burkini--- akan ditolak sebagai sangkar).
Kemudian, pada pertengahan era 1980-an, segala-galanya mendadak berubah: hukum Shariah diterapkan di banyak negara. Wanita di Timur Tengah ditempatkan dalam penjara yang senantiasa siap di tangan (portable prison) dan di Eropa mereka mengenakan jilbab untuk mengklaim kembali "identitas diri", yang berarti menolak untuk berasimilasi dengan nilai-nilai Barat sekaligus melakukan Islamisasi atas banyak kota Eropa.
Pertama-tama, jilbab diterapkan atas kaum wanita, kemudian kaum Islamis memulai jihad mereka melawan Barat.
Pertama, kita mengkhianati kaum wanita itu dengan menerima perbudakan mereka sebagai "kebebasan" lalu Perusahaan Penerbangan Air France mulai meminta kaum wanita mengenakan jilbab tatkala berada di Iran sebagai bentuk "penghormatan." Juga menarik melihat sikap munafik sebagian besar kaum feminis Barat yang senantiasa siap mengecam "homophobia" kaum Kristen serta "seksisme" di AS tetapi bungkam terhadap kejahatan seksual kaum Islam radikal. Dalam bahasa feminis Rebecca Brink Vipond, "Saya tidak mau dijadikan umpan untuk memberikan dukungan bagi kaum feminis supaya mau mengabaikan sasaran mereka di Amerika agar bisa menyelesaikan persoalan dalam teokrasi Muslim." Inilah kaum feminis yang sama yang meninggalkan Ayaan Hirsi Ali, penentang Islam warga negara Belanda keturunan Somalia, untuk membela diri sendiri bahkan setelah dia mendapatkan tempat perlindungan di AS; mereka melarang dia untuk berbicara di Universitas Brandeis.
Lalu, berapa lamakah kita mempertahankan larangan sunat perempuan (female genital mutilation ---FGM)? Ada penelitian yang baru saja diterbitkan di AS terkait dengan masalah ini. Kajian itu mengatakan bahwa membiarkan sejumlah bentuk sunat wanita "yang lebih lembut" yang mempengaruhi 200 juta wanita di dunia, itu lebih "peka budaya" daripada melarang praktek itu. Juga dikatakan bahwa ritual "torehan" atas kemaluan peremuan itu justru bisa mencegah praktek jelek yang jauh lebih radikal. Usul itu tidak berasal dari Tariq Ramadan atau pengadilan Islam di Sudan, tetapi dari dua ginekolog Amerika, Kavita Shah Arora dan Allan J. Jacobs, yang menerbitkan kajian mereka dalam salah satu jurnal ilmiah paling penting, Journal of Medical Ethics.
Itulah wasiat terdalam yang dapat tercapai dalam apa yang "filsuf baru" Perancis Pascal Bruckner sebutkan sebagai "air mata kaum kulit Putih" dengan masokisme, ketakutan dan relativisme sinis mereka. Mengapa tidak membenarkan sekalian perajaman wanita yang dikatakan melakukan perzinahan? Jadi, itulah yang terjadi bila kita tidak mampu segera menyikapinya.
Giulio Meotti, Redaktur Budaya Il Foglio adalah wartawan dan pengarang Italia.