Tanggal 1 Februari 2016 lalu. Tharwat Bukhit, seorang umat Kristen Koptik anggota Parlemen Mesir mengumumkan "kira-kira ada 50 gereja di Mesir ditutup karena alasan keamanan."
Tatkala "Arab Spring," Musim Semi Arab meledak 2011 lalu, umat Kristen Mesir membuat daftar 43 gereja yang ditutup pemerintah lokal selama beberapa tahun tahun. Daftar ini diajukan kepada Perdana Menteri Mesir masa itu, Dr. Essam Sharaf. Sharaf berjanji bahwa gereja-gereja akan dibuka sesegera mungkin. Namun sejak itu, menurut Bukhit, "Sekarang ini, jumlah gereja yang ditutup membengkak menjadi hampir 50 gereja."
Mengapa gereja-gereja Kristen "ditutup karena alasan keamanan"? Kapan pun umat Kristen berupaya memperbaiki, merenovasi atau membangun gereja---yang semuanya bertentangan dengan Hukum Islam [1]--- rangkaian peristiwa yang sama pun mengikutinya. Umat Muslim lokal melakukan aksi kerusuhan dan mengamuk. Lalu, para pejabat (Muslim) lokal menyimpulkan bahwa satu-satunya cara untuk mencegah "anak-anak muda marah" melakukan aksi kekerasan adalah dengan melarang keberadaan gereja. Para pejabat itu lalu mengumumkan ada "ancaman" terhadap keamanan.
Peristiwa seperti ini berulang-ulang terjadi di seluruh penjuru Mesir. Sebagai contoh, Abdel Fattah Sisi, Presiden Mesir sudah sepakat membangun sebuah gereja peringatan di desa Al-Our rumah bagi 13 dari 21 warga Kristen yang dipenggal kepalanya pada Februari 2015 lalu oleh Negara Islam di Libya. Keluarga para korban pun masih berdiam di sana. Ternyata, setelah sholat Jumat, 3 April 2015, banyak gerombolan umat Muslim desa itu memprotes keras keputusan Sisi. Sambil berteriak-teriak mereka mengatakan tidak mengijinkan gereja dibangun. Mereka juga meneriakan "Mesir itu Islam!" Usai protes sebuah Gereja Koptik mereka serang dengan bom molotov dan batu. Mobil-mobil dibakar, termasuk sebuah mobil milik keluarga Kristen yang dipenggal kepalanya oleh Negara Islam. Sejumlah orang terluka parah dalam insiden itu.
Di Kota Sohag, rangkaian kejadian yang sama terjadi. Setelah menunggu selama 44 tahun, umat Kristen Nag Shenouda diberikan ijin yang diperlukan untuk membangun gereja. Namun, berdasarkan sebuah laporan yang dikeluarkan 2015 lalu, umat Muslim lokal beraksi rusuh membakar tenda ibadat sementara mereka. Ketika mencoba beribadat di rumah, mereka juga diserang oleh satu gerombolan massa Muslim. Karena ditolak menggunakan empat untuk ibadat, mereka lalu merayakan Paskah 2015 di jalan.
Ada insiden lain lagi. Juga setelah menunggu selama bertahun-tahun, umat Kristen Desa Gala' akhirnya mendapatkan persetujuan resmi untuk mulai memperbaiki gereja mereka yang rusak parah (lihat foto-foto gereja di sini). Segera setelah ijin dikeluarkan, pada 4 April 2015, kaum Muslim beraksi rusuh. Mereka melemparkan batu ke rumah-rumah umat Kristen, tempat usaha dan manusia. Ladang gandum milik umat Kristen dihancurkan. Tanaman kentang dicabut. Slogan Islam yang biasanya diteriakan di tengah aksi rusuh adalah: "Islam, Islam!" dan "Tidak ada Tuhan selain Allah!"
Pada Juli 2015, kaum Muslim menghentikan ibadat di sebuah gereja di desa Arab Asnabt. Mereka meminta gereja dihancurkan sebagai bagian dari upaya untuk "mencegah umat Kristen Koptik menjalankan ritus agama mereka."
Berkali-kali para tokoh Kristen menuduh pejabat lokal menghasut kaum Muslim melancarkan kekerasan terhadap gereja. Para tokoh Muslim balik menunjuk adanya aksi-aksi kekerasan sehingga menolak pemberian ijin bagi sebuah gereja. Alasannya, keberadaan gereja memicu aksi kekerasan.
Paling baru, sebuah gereja yang sedang dibangun di Dessa Swada diserang oleh segerombolan massa sedikitnya 400 kaum Muslim, yang mungkin dihasut oleh para pejabat setempat. Setelah serangan, gereja ditutup oleh para pejabat yang sama yang sebelumnya memberikan ijin yang dipersyarakatkan untuk pembangunan gereja. Sebanyak 3.000 umat Kristen membentuk kira-kira 35% penduduk Desa Swada, namun tidak punya satu Gereja Orthodoks Koptik untuk melayani mereka.
Peristiwa lain tahun ini, terjadi pada 1 Februari lalu. Hari yang sama ketika umat Kristen anggota parlemen, Tharwat Bukhit mengatakan nyaris sekitar 50 gereja ditutup. Pada saat itu, imam Gereja St. Rewis mengisahkan betapa pada hari pertama umat Kristen bertemu untuk beribadat di rumah sesama umat Kristen yang sudah diubah menjadi gereja, "umat Muslim mencegah mereka sehingga gereja itu justru sudah ditutup pada hari pertama dia dibuka."
Pada 2 Februari, Romo Lukas Helmi, seorang imam Ordo Fransiskan di Mesir, mengisahkan betapa "penutupan Gereja St. Georgius di Desa Hijazah di Oous [yang hancur lebar 25 tahun sebelumnya] membangkitkan ketegangan antarkeluarga Koptik dan Muslim desa itu, khususnya, para tetangga Muslim di sekitar gereja, yang belum selesai pembangunannya karena mereka menolak gereja dibangun kembali setelah dihancurkan."
Dalam sebuah wawancara yang berlangsung selama 25 menit di TV satelit Arab, Uskup Agathon mengungkapkan [2] bagaimana setelah menghadiri pertemuan resmi dewan dengan para pemimpin pemerintah soal kemungkinan mendirikan sebuah gereja, salah seorang pejabat menghubungi para sheik Islam di desa. Kepada para sheik dia bertanya apakah mereka memihak "gereja Koptik atau Negara?".
Para sheik tampaknya meminta rumah tangga-rumah tangga Muslim mengirimkan satu anggota keluarga mereka supaya memprotes pembangunan gereja. Para pejabat keamanan kemudian menunjuk kepada "gerombolan massa yang melakukan kerusuhan" lalu seperti biasa, dengan alasan keamanan, melarang pembangunan gereja.
Raymond Ibrahim, pengarang buku Crucified Again: Exposing Islam's New War on Christians (sebuah publikasi Gatestone yang diterbitkan oleh Regnery pada 2013). Ia adalah mitra Shillman pada David Horowitz Freedom Center dan mitra Judith Friedman Rosen pada Middle East Forum (Forum Timur Tengah).
[1] Berdasarkan Perjanjian Omar (Omar Conditions), sebuah teks Muslim Abad Pertengahan melukiskan bahwa umat Kristen yang sudah kalah harus bersedia menerima persyaratan agar tidak dibunuh oleh Negara Islam. Karena itu, umat Kristen diperintahkan untuk "Tidak membangun gereja di kota kami --- atau pertapaan, biara atau sel pertapa di sekitar kawasan – dan agar tidak memperbaiki bangunan-bangunan yang runtuh atau yang berada di tempat kaum Muslim; tidak membunyikan lonceng gereja kecuali dilakukan pelan-pelan dari ceruk tembok gereja kita yang paling dalam; untuk tidak memperlihatkan salib di atas bangunan-bangunan [gereja-gereja] atau bersuara nyaring selama ibadat atau pembacaan kitab suci di gereja-gereja kita di manapun dekat kaum Muslim..." Lihat buku Crucified Again (Disalibkan Lagi), halaman 24-30.
[2] Dalam wawancara pada Mei 2015 lalu, Uskup Agathon membuat banyak pernyataan myang enuduh Pemerintah Mesir berada di belakang penyiksaan umat Kristen di Mesir --- termasuk penculikan acak terhadap anak-anak Kristen. Terjemahan pernyataannya dapat dibaca di sini.