Menurut sebuah hadith yang dipertalikan dengan Nabi Muhamad (SAW), "Satu tetes darah umat Muslim yang beriman itu jauh lebih penting daripada seluruh Kaabah." Bagaimanapun, sejauh terkait dengan para pemimpin agama nasional Palestina, kata-kata itu tidak berarti. Di tangan mereka yang kotor dan agenda yang menyimpang, darah Muslim menjadi pion politik dalam permainan "menyerang warga Yahudi."
Baru-baru ini, terjadi pertumpahan darah ini di Palestina dan dalam negeri Israel, khususnya Yerusalem. Alasannya, adalah klaim bahwa "Masjid Al-Aqsa dalam bahaya." Selain itu ada juga aksi penikaman yang mematikan atas warga Yahudi oleh warga Palestina dengan pisau. Semua aksi itu, menjadi sejumlah contoh kejam tentang bagaimana Hamas dan ulama Gerakan Muslim mendistorsi firman Allah (S.W.A.T.) dan nabi serta memperlihatkan Islam sebagai agama yang mengerikan yang cenderung melakukan pembunuhan dan aksi kafir. Mereka tampak jauh lebih peduli dengan batu-batu Masjid Al-Aqsa dibandingkan dengan kehidupan kaum Muslim yang beriman.
Dengan menggunakan slogan "Masjid Al-Aqsa dalam bahaya," Otoritas Palestina (PA), Hamas dan para pemimpin PLO,serta para anggota Knesset keturunan Arab beserta Gerakan Islam di Israel mengirim para kaum muda Palestina yang polos untuk membunuh warga Yahudi pada saat kita semua tahu persis bahwa Al-Aqsa sama tidak dalam keadaan bahaya. Ironisnya --- saya malu untuk mengakuinya --- berkat Polisi Israel, Al-Aqsa menjadi masjid yang paling aman di Timur Tengah.
Kita semua tahu betapa, selama perang musim panas lalu, para pemimpin Hamas memberi perintah untuk menembakan roket ke Yerusalem. Dengan mudah, mereka bisa saja menghantam Masjid Al-Aqsa dan Gereja Holy Sepulchre (Kebangkitan Suci). Namun, Hamas bagaimanapun, memerintahkan agar roket-roket itu tetap ditembakan. Dan kita semua melihat betapa para saudara Arab dan Muslim kita meledakan masjid dan gereja yang penuh dengan orang yang berdoa di dalamnya di segala penjuru Timur Tengah, sementara pasukan keamanan Israel menjaga Al-Aqsa dan gereja-gereja di Yerusalem. Tetapi, bukan cuma itu, tidak seperti masa pemerintahan Yordania sebelum 1967, Israel mengijinkan kebebasan berdoa bagi para pengikut semua agama di semua tempat suci mereka di seluruh penjuru negeri, khususnya di Yerusalem.
Sikap munafik dan politisisasi Islam membawa para sheik kita untuk secara sengaja membuat interpretasi salah atas berbagai ayat Al-Qur'an. Dengan demikian, kita pun menjadi tidak bisa menghargai firman Allah. Ada sejumlah ulama yang menghadirkan Islam sebagai agama yang kejam berbasiskan pembunuhan dan kekafiran yang lebih pedulikan batu-batu Masjid Al-Aqsa dibandingkan kehidupan umat Muslim yang taat.
Kepada kita Al-Qur'an kisahkan bahwa umat Yahudi adalah umat terpilih pewaris tanah. Tetapi mengapa para pemimpin kita menyangkalinya dan menolak mengakui bahwa Al-Qur'an tidak menyebutkannya atau bahkan mengisyaratkan kepada "Palestina" atau "bangsa Palestina?"
Al-Qur'an menjanjikan kepada Bani Israel bahwa mereka akan kembali ke tanah Israel. Mereka datang dari empat penjuru bumi, sehingga kita seharusnya menyambut kepulangan meraka, khususnya selama paruh pertama abad silam, sebagai bukti hidup dari firman Allah dan perwujudan ramalan Muhamad. Bukan menyambut, kita sebaliknya, memerangi bangsa Yahudi. Itu berarti kita memerangi harapan-harapan Allah sambil membunuh anak-anak kita sendiri sambil menyangkal keajaiban dari kembalinya kaum Yahudi ke negeri mereka sendiri. Klaim kita yang lemah adalah bahwa mereka bukan Bani Israel karena semua yang dibicarakan dalam Al-Qur'an tidak ada. Bagaimana kita bisa harapkan ada orang cerdas mempercayainya?
Bangsa Yahudi benar-benar hancur lebur pasca-Perang Dunia Bangsa. Mereka menjadi para pengungsi lapar, lemah, sendirian dan penuh ketakutan. Jika mereka mengambil tanah itu tanpa campur tangan yang ilahi, mereka tidak bakal mampu mengatasi pasukan-pasukan Arab yang menyerang mereka setelah proklamasi Negara Israel. Termasuk juga selama masa perang yang meledak setelah berbagai perang itu. Kemenangan mereka menjadi bukti bahwa Allah berada di pihak mereka. Dengan menyangkalinya, kita justru mengubah Muhamad menjadi penipu (Allah melarang tindakan seperti itu) dan mengatakan dia bukanlah nabi yang sebenarnya dan bahwa ramalan Al-Qur'an seputar kembalinya warga Yahudi itu bukanlah firman Allah.
Penolakan eksistensi Bukit Bait Allah menjadi puncak kemunafikan kaum Muslim sekaligus pendistorsian sejarah Yahudi maupun Muslim. Kita ingat bahwa, menurut para sejarahwan kita, ketika Kalifah Kedua, Omar bin al-Khatab, menaklukan Yerusalem, dia dan penasehatnya, Caab al-Akbar (seorang Yahudi yang beralih masuk Islam) sama-sama mengukuhkan bahwa lokasi Bait Allah Bangsa Yahudi itu berada di Bukit Bait Allah, bersebelahan dengan Masjid Al-Aqsa sekarang ini.
Ketika kita warga Palestina menolak bahwa Bangsa Yahudi adalah keturunan Bani Israel supaya bisa menyangkal janji Allah untuk memberikan mereka tanah yang terberkati, kita sebetulnya mengubah diri kita menjadi keturunan Bangsa Kanaan dan Yebusit yang berdiam di tanah Israel pada masa Musa (semoga dia beristirahat dalam damai). Dia dan Yosua bin Nun menaklukan tanah itu dan menewaskan mereka, hingga orang terakhir. Mereka adalah orang-orang kafir yang Allah perintahkan untuk mati. Upaya kita mengklaim mereka sebagai nenek-moyang kita dan karena itu menjadi asset, sangat memalukan sekaligus bodoh.
Kita tahu beberapa orang yang berdiam di desa-desa kita adalah orang Yahudi yang beralih memeluk Islam setelah penaklukan Muslim sejak awal ke-7. Kita pun tahu, sebagian besar dari kita adalah keturunan para pekerja asing yang datang ke Palestina di bawah Mandat Iggeris dari berbagai negara Arab ketika semangat Zionis mulai bangkit. Dengan mencoba melacak "asal usul" kita hingga kepada Bangsa Kanaan, kita sebetulnya menipu diri sekaligus kebodohan dan upaya kita menipu diri kepada dunia. Dan ketika kita mencoba mengklaim bahwa Yerus adalah orang Palestina, kita membuat diri kita bahan tertawaan dunia internasional.
Dengan cara itu, kita kembali kepada zaman jahiliah, zaman sebelum Islam, ketika kita kuburkan bayi-bayi perempuan kita hidup-hidup dalam pasir agar mereka tidak menjadi pelacur. Kini, kita mengorbankan anak laki-laki dan perempuan kita di altar slogan kosong --- berbagai tipuan seperti "Al-Aqsa dalam bahaya," dalam pernyataan sia-sia, bernada penghinaan bahwa Allah yang Mahakuasa dan Mahatahu membutuhkan kita untuk mati sebagai sahid [martir] demi kepentinganNya. Hadith Nabi Muhamad mengatakan satu tetes darah umat Muslim itu jauh lebih bernilai daripada Kaabah di Mekah. Jadi hal yang sama pun seharus benar untuk batu-batu Al-Aqsa, yang tidak terlalu suci bagi Islam dibandingkan dengan Kaabah.
Usaha Hamas dan Northern Branch of the Islamic Movement (Cabang Utara Gerakan Islam) di Israel untuk memancing intifada yang lain berbasis kebohongan bahwa "Al-Aqsa dalam bahaya" mempunyai dua sasaran: satu untuk membangkitkan perang agama Umat Muslim melawan Bangsa Yahudi, seperti yang terjadi pada ISIS. Dan yang lain adalah keinginan Ikhwanul Muslim yang didanai Pemerintah Qatar untuk menciptakan kerusuhan luas yang mengarah kepada penggulingan Otoritas Palestina.
Kaum Islamis juga bodoh ketika menentukan waktu, menciptakan krisis yang tidak perlu dan tidak nyata ketika seluruh dunia Arab terlibat aksi menghancurkan diri sendiri seperti ketika kaum Shiah membunuh kaum Sunni dan kaum Sunni membunuh kaum Shiah, menciptakan arus jutaan pengungsi ribu warga Arab menyempurnakan ratusan ribu warga Arab yang tewas terbunuh selama apa yang disebut sebagai Arab Spring (Musim Semi Bangsa Arab). Masyarakat Timur Tengah tidak punya waktu untuk berurusan dengan rekayasa tidak berguna dari Sheik Ra'ed Salah, pemimpin Cabang Utara Gerakan Islam di Israel.
Mahmoud Abbas dan seluruh eselon atas Otoritas Palestina sudah buta terhadap komplotan licik Hamas utuk menghabisi pertahanan Fatah di Tepi Barat. Apa yang terjadi pada PA di Jalur Gaza ketika Hamas mengambil alih kawasan itu pada 2006 – 2007 akan terjadi lagi di Tepi Barat. Mahmoud Abbas dan orang-orangnya akan dijatuhkan dari berbagai gedung tinggi di Ramallah atau dieksekusi mati dengan sebuah peluru di bagian belakang kepala mereka.
Jika kenyataannya Hamas mengambil alih Tepi Barat, hidup kita bakal menjadi mimpi buruk. Karena, seperti warga Gaza, kita bakal harus mematuhi perintah Emirat Islam Hamas. Impian tentang Negara Palestina pun dengan demikian mengembun di udara selamanya --- karena sebuah emirat teroris Islamis --- negara kembar dari bagian lain yang ada di Jalur Gaza secara universal tidak bisa diterima.
Sedangkan bagi Bangsa Yahudi, sekali lagi, kita justru memberikan keuntungan kepada mereka. Mereka akan menghancurkan rumah-rumah para pembunuh yang terlampau bodoh untuk memahami apapun yang jauh di luar hasutan kebencian yang mereka serap dari berbagai masjid, media dan jaringan sosial palestina. Dengan mengikuti ISIS, maka semua yang mereka lakukan dengan pisau-pisau mereka identik dengan memangkas masa depan Negara Palestina menjadi kepingan-kepingan. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk menyadari bahwa menggunakan pisau (shibrie) melawan Bangsa Yahudi bakal memberikan sekeping tanah sekalipun (shiber) bagi kita dan karena itu, kita harus mengubah strategi. Kita perlu berunding dengan Israel agar bisa mendapatkan Negara Palestina kita dengan sarana-sarana damai. Mereka akan memberikannya kepada kita: mereka sudah tawarkan berkali-kali--- dan jika sebaliknya kita tak bakal dapatkan sama sekali.
Bassam Tawil adalah cendekiawan yang berbasis di Timur Tengah.