Hamas kini dalam masalah. Hubungannya dengan Mesir semakin memburuk sehingga aliran uang masuk, terutama dari Qatar, Saudi Arabia dan berbagai masjid di Dunia Barat--- tempat zakat dikumpulkan guna mendanai aksi teroris memelawan Israel---merosot nyaris menjadi tidak ada sama sekali. Demikian juga aliran senjata dan bahan peledak dari Iran, Libya, Sudan serta Libanon. Akibatnya kekuasaan Hamas melemah di Jalur Gaza. Kondisi itu membuatnya semakin sulit melanjutkan aksi subversinya yang terus menerus terhadap Otoritas Palestina (PA) di Tepi Barat dan upayanya yang tanpa henti untuk menggulingkan Presiden Mahmoud Abbas agar bisa mengambil alih Tepi Barat dan membangun semacam emirat Islam di sama, seperti yang sudah dibangunnya di Jalur Gaza.
Fasilitas militer Hamas dihentikan ketika rejim Persaudaraan Muslim radikal pimpinan Presiden Mohammed Morsi di Mesir digulingkan dan Jenderal Abdel Fattah el-Sisi terpilih sebagai presiden. Morsi, akan dikenang, anehnya, memperoleh dukungan Presiden Obama hingga dia digulingkan. Pemerintahan Obama mendukungnya, meskipun Morsi membuat aliran dana dan senjata ke Hamas di Jalur Gaza berlanjut tanpa terganggu lewat terowongan-terowongan di Semenanjung Sinai. Senjata-senjata digunakan bukan saja untuk menyerang Israel tetapi juga untuk mensabotase perundingan damai antara Israel dan Palestina dan secara tidak langsung menyerang Otoritas Palestina.
Masa penuh kegembiraan terorisme kaum Islamis berakhir tatkala Presiden el-Sisi menggempur kaum Islamis di Mesir, menghancurkan terowongan-terowongan dan menutup perbatasan Mesir dengan Gaza. Sejak el-Sisi menjadi Presiden Mesir, kekuasaan Persaudaraan Muslim berakhir dan terowongan-terowongan dihancurkan. Sulit dipahami mengapa hingga kini Pemerintahan Obama meratapi kejatuhan Pemerintahan Morsi dan memperlihatkan sikap dingin dengan membebani el-Sisi dengan berbagai persyaratan, padahal dia (kadangkala) mencoba membawa Mesir memasuki abad ke-21 sekaligus melepaskan Mesir dari krisis ekonomi dan sosial.
Sejak el-Sisi berada di puncak kekuasaan, uang dan senjata tidak lagi mengalir melalui terowongan-terowongan menujuJalur Gaza. Sebaliknya, senjata dan uang mengalir k earah lain, , dari Jalur Gaza menuju Semenanjung Sinai, Mesir. Karena Persaudaraan Muslim dan organisasi-organisasi teroris yang berafiliasi dengannya, salah satu dari mereka Hamas, tidak pernah mau menerima kekalahan, jumlah serangan teroris meningkat, menyasar rejim Mesir tepat di dalam negeri dan di Semanjung Sinai. Kampanye teroris memperoleh dukungan berkelanjutan dari Brigade Izz-al-Din al-Bassam, kelompok sayap kanan militer Hamas danAnsar Bayt al-Maqdis yang berafiliasi dengan ISIS. Kedua kelompok itu terus menyerang polisi dan angkatan bersenjata Mesir di Semenanjung Sinai, membunuh para pejabat Mesir dan menyasar institusi-institusi Mesir.
Kampanye teroris tanpa henti di Mesir kembali membuktikan klaim Islam politik terpisah dari organisasi-organisasi teroris, benar-benar bohong. Aksi terorisme Persaudaraan Muslim melawan Rejim Mesir menjadi contoh sempurna tentang "gerakan politik" yang mencoba merepresentasikan diri sebagai hanya berurusan dengan dakwah, namun nyatanya, merupakan gerakan teroris yang sasarannya adalah menggulingkan Pemerintahan el-Sisi secara kejam. Gedung Putih, sangat menyadari kenyataan itu, namun terus saja menerima para pejabat senior Persaudaraan Muslim dan menghormati mereka ketika melakukan konsultasi seputar komunitas Islam Amerika dan kebijakan AS di Timur Tengah.
Berbagai peristiwa di Semenanjung Sinai membuktikan bahwa tidak ada soal seperti "Islam politik." Yang ada adalah kepemimpinan kaum Islamis radikal yang merepresentasi diri pada masyarakat Barat yang mudah tertipu sebagai "orang moderat," mengkotbahkan kekerasan dari masjid, menyembunyikan diri dalam tradisi ideologis relijius dan menerapkan garis keras kaum teroris Islamis untuk melakukan serangan terhadap warga sipil dan sasaran Pemerintah Mesir.
Sementara itu, korban-korban yang sebenarnya adalah warga Mesir.Terorisme Persaudaraan Muslim melumpuhkan industri turis Mesir karena orang asing takut mengunjungi tempat-tempat kuno Mesir. Dan kini, ada ancaman teroris atas Terusan Suez Baru, sebuah proyek yang mulai dilakukan di bawahkepemimpinan Jenderal Sisi guna mengubah tepian-tepian dua terusan itu menjadi kawasan logistik, perdagangan dan industri internasional.
Rencana kaum Islamis memang jelas. Pertama, mereka ingin memanfaatkan pengaruh aksi kekerasan, pembunuhan dan korban Angkatan Bersenjata Mesir yang tidak terhitung jumlahnya guna membangun sebuah enklaf teroris yang otonom di Semenanjung Sinai. Mereka kemudian mencoba menggulingkan Pemerintah Mesir dan mengembalikan rejim Islamis Persaudaraan Muslim pimpinan Morsi. Itulah persisnya yang dilakukan oleh organisasi pengikutnya Hamas, di Jalur Gaza ketika melikwidasi pejabat Otoritas Palestina kemudian membangun emirat Islam. Petunjuk mengerikan itu (the writing on the wall) belum dipahami jika berkaitan dengan Amerika, Atau kalau tidak, Pemerintahan Obama masih berada dalam genggaman kaum Islam ekstremis dan para pemimpin Persaudaraan Muslimnya. Ada dua alasan utama; Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Mohamed Morsi, Presiden Mesir terguling. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan baru saja menyerukan diadakannya Pemilu baru agar bisa mencoba sekali lagi mendapatkan kursi yang cukup di parlemen guna mengubah Konstitusi Turki yang mengangkat dirinya sendiri seorang Sultan, dengan kekuasaan diktator absolut seumur hidup beserta istana yang baru. Yang lainnya adalah Mohamed Morsi, yang tampaknya masih didukung oleh Obama.
Memang sulit untuk tidak membuat kesimpulan ketika melihat rekam jejak Presiden AS. (abaikan saja para pemrotes di Iran pada 2009 yang mengatakan; "saya sudah dapatkan pulpen dan sudah dapatkan telepon" dan cara keras yang digagalkan lewat Kesepakatan Iran untuk mencari jalan pintas pada proses damai). Berdasarkan rekam jejaknya, maka terlihat bahwa dalam lubuk terdalam hatinya, dia (baca: Obama) jauh lebih berkomitmen untuk mendukung rejim-rejim Islamis ekstrim--- entah para mullah Iran atau Persaudaraan Muslim--- dibandingkan dengan mendukung demokrasi, kebebasan individual dan hak-hak asasi individu.
Masyarakat Eropa memang jauh lebih awas terhadap terhadap situasi buruk itu walau sayangnya terlambat bangun dari tidur mereka. Ketika ratusan ribu migram dari tanah-tanah Muslim terus saja tumpah ruah di berbagai perbatasan Eropa, ada sedikit perasaan ragu bahwa kalangan Islam radikal sudah diracuni untuk mengambil alih Barat. Berbagai komunitas Islam dan sel-sel teroris terus saja bertumbuh subur bagai cendawan mengumpulkan kekuatan di segala kota Eropa.
Sejak awal gelombang serangan di Mesir, para pejabat keamanan senior Mesir sudah mengancam Hamas. Mesir mengingatkan Hamas untuk menghentikan pelatihan, upaya mempersenjata dan pengiriman para terorisnya untuk bekerja sama dengan para mata-mata ISIS dalam berbagai srangan melawan Angkatan Bersenjata Mesir. Hamas terus saja ngotor menyangkal keterlibatannya, bahkan ketika ia terus saja bekerja sama dengan ISIS untuk melawan Mesir.
Bagi Hamas, menghancurkan Angkatan Bersenjata Mesir merupakan upaya yang sangat mendasar. Karena bagaimanapun, aksi Angkatan Bersenjata Mesir yang terus-menerus dilakukan sepanjang Perbatasan Rafah dan Sheikh Zuweid di bagian utara Semenanjung Sinai menyebabkan Hamas tidak bisa memperoleh uang dan cadangan senjata untuk melawan Israel, melemahkan aksi subversinya melawan Mahmoud Abbas dan rencananya untuk mengambil alihTepi Barat.
Meski menyangkal mati-matian, pada akhir Agustus 2015 lalu, empat mata-mata dari sayap militer teroris Hamas, Brigade Izz al-Din al-Qassam, diturunkan dari sebuah bus oleh warga Mesir yang bersenjata dalam perjalanan mereka dari Rafah melalui Semenjung Sinai menuju Kairo. Hamas pun menuduh mata-mata Israel bertanggungjawab sekaligus memperingatkan pihak berwenang Mesir bahwa "penyanderaan atas mata-matanya tak bakal luput dari hukuman."
Sebagai tanggapan, Dina Ramez, seorang mitra penyiar stasiun TV resmi Mesir membeberkan kebohongan Hamas dan upayanya menyangkal berbagai aktivitas teroris yang dilakukannya di Semenanjung Sinai melawan rejim Mesir. Dia bertanya kepada pihak Hamas, "Jika kalian tidak terlibat dalam aksi terorisme, lalu apakah yang dilakukan oleh mata-mata Brigade Izz al-Din al-Qassam senior di Sinai?" Setelah mengajukan pertanyaan itu, dia pun menyebut Hamas sebagai "kecoak."
Berhadapan dengan tuduhan itu, berbagai sumber di Hamas menyebut Dina "pelacur". Hamas juga mengatakan Mesir itu negara pecundang yang dikalahkan Israel, lewat perjanjian damai guna menjual Palestina kepada musuh. Apakah itu memang cara untuk berterimakasih kepada Mesir atas apa saja yang sudah dilakukannya kepada warga Palestina, mengorbankan angkatan bersenjata dan tentaranya demi kita? Situasi itu menyedihkan warga Palestina dan pemimpin kita.
Apakah yang kita warga Palestina dapatkan dari aksi militer Hamas terhadap Mesir? Apakah yang kita peroleh dari solidaritas kita dengan organisasi-organisasi kaum Islamis yang berperang melawan Assad di Suriah atau bergabung dengan organisasi-organisasi seperti "Angkatan Bersenjata Pembebasan Palestina" berperang melawan Assad? Mengapa kita saling membunuh satu sama lain di Kamp Pengungsi Ain al-Hilweh? Mengapa kita menolak apa saja yang Israel tawarkan kepada kita?
Siapapun yang ingat sejarah mengingat bekas-bekas tapakan tidak tahu terima kasih dari warga Palestina terhadap KerajaanYordania ketika para pemimpin kami, di bawah pimpinan Arafat pada 1970 berupaya menggulingkan Raja Hussein, walau Yordania memberikan perlindungan kepada kami selama bencana Nakba pada1948 dan Naksa pada1967. Kami pun kemudian melakukan hal yang sama di Libanon, tempat kami melarikan diri dari Yordania. PLO memindahkan markas besarnya di Beirut kemudian terus mengubah Libanon menjadi negara teroris sehingga hidup warga Libanon menjadi mimpi buruk.
Situasi Timur Tengah kacau balau. Faksionalisme Palestina dan sikap tidak tahu berterima kasih terus saja mengobarkan pembubaran negara-negara Arab dan pembaginan internal Palestina di antara Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat.
Dunia pun mulai memahami bahwa bencanaTimur Tengah tidak ada kaitannya dengan resolusi masalah Palestina tetapi disebabkan oleh kecenderungan bunuh diri yang berakar dalam diri para penguasa Arab dan berbagai organisasi teroris Islamis rejional.
Satu-satunya orang yang masih percaya kepada omong kosong Israel-Palestina adalah Presiden Barack Obama, walau dia adalah saksi mata pembunuhan manusia, pemerkosaan, pemancungan kepala manusia dan jutaan jiwa pengungsi. Dan di samping Obama, ada isu-isu Palestina yang telah menjadi lelucon tua, tidak relevan yang sangat melelahkan.