Untuk sejenak, orang tidak bisa lagi membuka koran atau situs berita daring tanpa menemukan skandal baru seputar pelecehan seksual. Para pengacara agaknya bakal punya hari kerja ala militer (field day) pada tahun-tahun mendatang. Di Kerajaan Inggris, gelombang tuduhan pelecehan seksual semakin jauh mengguncang parlemen dan pemerintah yang memang sudah goyah, yang kabinetnya semakin kacau balau. Di Kongres AS, Hollywood dan tempat lainnya, berbagai klaim yang sama masih mengemuka, dengan #Kisah-kisah Saya juga dikisahkan oleh para wanita ketika ada sejumlah tuduhan yang tidak diketahui terjadi di gedung pemerintah AS.
Skandal seks bukanlah persoalan baru lagi di Barat. [1] Ironisnya, persoalan ini membawa kita berhadap-hadapan dengan perilaku yang sama di dunia Islam.
Selama bertahun-tahun di Barat, sudah umum bahwa pelecehan seksual serta pemerkosaan di antara selebritis dan figur publik didiamkan begitu saja. Supaya menjamin ketenangan, pelaku kejahatan kerapkali menggunakan suap atau ancaman. Para wanita muda takut karir dan reputasi mereka terancam; dalam banyak contoh, polisi pun menolak klaim dilecehkan. Ini terjadi lebih daripada satu kali di Kerajaan Inggris, ketika seorang korban muda dari gang-gang Asia yang menarik perhatian kemudian melecehkan atau memperkosa mereka (grooming) tidak dipercayai oleh pekerja sosial dan polisi; di Eropa pihak berwenang berupaya --- dan masih terus berupaya (lihat di sini, sini dan di sini) --- untuk menutup-nutupi pelecehan seksual serta perkosaan yang dilakukan oleh kaum migran Muslim. Bakal ada banyak sekali pekerjaan untuk melindungi para wanita dan anak-anak dari akibat begitu banyaknya laki-laki.
Cukup saksikan dan terkagum-kagumlah pada klip pendek sebuah debat di TV al-Assema, Mesir, yang disiarkan 19 Oktober 2017 silam atau baca transkrip Bahasa Inggrisnya. Direktur jenderal TV al-Assema adalah Brigjen Muhammad Samir, mantan jurubicara Angkatan Bersenjata Mesir. Pengangkatannya memang dikecam. Alasannya, "itu merupakan upaya menyedihkan pihak berwenang rejim militer untuk menasionalisasi media, menyatukan pesannya dan menghalangi suara-suara perlawanan menentang pemerintah." Dalam arti ini, al-Assema menghadirkan sebuah suara yang semi-resmi.
Perdebatan di TV al-Assema Mesir melibatkan pengacara Nabih [el] Wahsh, seorang penganut Islam radikal yang melakukan banyak gugatan hesba [2] melawan para intelektual, artis, pemimpin agama serta menteri pemerintah karena berbagai kegiatan yang dia nilai amoral serta menghina Tuhan (blasphemous). Bersama Wahsh mengudara pula tiga wanita: Shadia Thabet anggota parlemen Mesir, Abeer Soleiman, aktivis hak asasi wanita serta Ashgaan Nabil, seorang pakar motivator kehidupan manusia (life coach).
Wahsh memulai pernyataan dengan menekankan bahwa, terlepas dari Mesir itu negara sipil, ia tetap harus mematuhi aturan dan norma agama. Berdasarkan prinsip ini, dia pun terlibat dalam argumen yang membawa dia kepada perbedaan pendapat dengan Soleiman yang dengan efektif dia bungkam dengan mengganggunya (bullying).
Nabih Wahsh: "Apa kau senang melihat seorang gadis jalan di jalan dengan punggungnya terlihat?"
Abeer Suleiman: "Kau pikir kami tidak peduli dengan anak-anak gadis kami?"
Nabih Wahsh: "Saya katakan bahwa ketika seorang gadis berjalan sekitar seperti itu, maka adalah tugas yang patriotik untuk melakukan perundungan seksual atasnya sekaligus adalah tugas nasional untuk memperkosa dia."
Abeer Suleiman: "Tidak, tidak, tidak, tidak! Saya benar-benar menentangkan pembicaraan seperti ini. Masalah pelecehan seksual ini sedang disiarkan langsung di televisi..."
Nabih Wahsh: "Ini menjadi tugas nasional untuk memperkosa gadis seperti itu! Apa yang ingin dia lakukan itu merupakan kebejadan moral."
Pengacara Mesir Nabih Wahsh baru-baru ini menganjurkan di televisi untuk melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan sebagai pembalasan atas godaan yang ditimbulkan oleh wanita yang berpakaian terbuka. (Sumber foto: MEMRI). |
Sang pengacara tampaknya memberikan dukungan terbuka terhadap pelecehan seksual serta pemerkosaan sebagai balasan atas godaan yang ditimbulkan oleh wanita yang tidak berpakaian tertutup. Sikapnya itu mendapat dukungan dari seorang anggota parlemen yang berpakaian sangat tertutup serta diikuti oleh seorang "motivator kehidupan". Bersama-sama, mereka mendesak supaya kaum homoseksual diganjari hukuman 10 tahun di penjara. Dukungan yang diungkapkan selama siaran televisi itu--- bakal, tentu saja, mengakhiri karir mereka di mana pun di dunia Barat dalam hitungan menit. Laki-laki memang berperilaku buruk di Eropa dan Amerika Serikat dan beberapa memang berperilaku benar-benar sangat buruk; tetapi membangga-banggakannya secara publik soal keinginan untuk melakukannya demikian benar-benar tidak terpikirkan. .[3]
Bagaimanapun, di Barat, kaum wanita sudah berjuang melawannya selama beberapa generasi. Bangkitnya feminisme yang waras (karena berbeda dari sesama ideologinya yang bersuara nyaring dan secara politik benar) [4] telah mengangkat status wanita di semua negara demokrasi sekaligus memberikan keberanian kepada banyak wanita yang kini menemukan diri punya kekuatan untuk menyebutkan nama para pria berkuasa yang dengan kejam memperlakukan mereka secara seksual, menggerayangi serta memperkosa mereka.
Memang ada para feminis di dunia Islam. Tak terhitung pula jumlah buku yang ditulis tentang mereka serta tentang pertumbuhan mereka di negara-negara dari Mesir dan Iran hingga Indonesia. Selama abad kedua puluh, perkembangan pembangunan hak asasi kaum wanita terjadi dalam beberapa bidang (places): penutup kepala sudah ditinggalkan, semakin banyak wanita masuk dalam kehidupan profesional bahkan dalam dunia politik --- khususnya, Benazir Bhutto yang terbunuh, adalah wanita Muslim pertama yang dipilih secara demokratis (dua kali) sebagai Perdana Menteri Pakistan.
Bagaimanapun, kini kemajuan nyatanya perlahan-lahan melambat. Ketika persoalannya bahkan mulai membaik bagi wanita dan kaum minoritas agama serta lain-lainnya di beberapa negara, di Turki misalnya, gaya Salafi kaum Islam fundamentalis sudah berkembang sejak tahun-tahun awal abad kedua puluh, khususnya lewat karya penulis Mesir, Rashid Rida. Model kaum Salafi ini berbasiskan tuntutan untuk kembali kepada praktek-praktek Nabi Islam, Muhamad serta tiga generasi pertama pengikutnya (salaf berarti para pendahulu). Bagi Rida, dan belakangan bagi kaum Salafi sampai kepada lembaga-lembaga Negara Islam, reformasi berarti memalingkan diri dari model Barat yang pernah menginspirasi legislasi baru lalu kembali kepada masa-masa paling awal Islam seperti dituangkan dalam Al-Qur'an, hadith dan biografi Nabi Muhamad. Pada tahun 1928, orang Mesir lainnya, seorang guru sekolah, Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, gerakan kebangkitan kembali dalam Islam sejak era 1920-an, yang hingga kini masih tetap menjadi kekuatan international penting bagi kehidupan kembali Islam fundamentalis.
Ironisnya, tokoh kenamaan yang tertangkap basah terjebak di tengah terungkapnya gelombang pelecehan adalah Tariq Ramadan, Profesor Studi Islam Kontemporer pada Universitas Oxford. Kakek Ramadan tidak lain dari Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin. Walau bertopeng sebagai suara pemikiran dan praktek Islam modern yang terhormat, (jatidiri) Ramadan pun dibeberkan oleh beberapa penulis sebagai kedok Ikhwanul Muslim dan nilai-nilainya yang anti-Barat. Wartawan Prancis Caroline Fourest menerbitkan sebuah tulisan yang membeberkan siapa itu Ramadan bertajuk, Brother Tariq: The Doublespeak of Tariq Ramadan (Saudara Tariq: Bahasa Ganda Tariq Ramadan) di mana dia memperlihatkan betapa Tariq mengatakan suatu hal kepada khalayak Baratnya namun sangat berbeda kepada kaum Muslim di Prancis dan di luar negeri.
Pengarang Amerika Paul Berman jelas-jelas menulis persoalan ini dalam sebuah artikel panjang seputar Tariq Ramadan dalam New Republic:
Para pengkritik Ramadan yang lebih keras mengatakan bahwa ketika berbicara...caranya membahas pertanyaan abstrak dan historis, tidak untuk menyebutkan cita-cita kakeknya, dia secara cerdik memanfaatkan "wacana ganda" (double discourse)---suatu bahasa yang dimaksudkan untuk menipu kaum liberal Barat berkaitan dengan inti (grain) pemikirannya sendiri. Tuduhan "wacana ganda" melanda Ramadan selama bertahun-tahun di Prancis. Ini menjadi keluhan utama yang melawannya sekaligus sumber besar kekhawatiran yang berkembang di antara para pengkritiknya. Fourest, dalam bukunya Brother Tariq mendokumentasikan apa yang tampaknya banyak "wacana ganda," berbagai contoh di mana Ramadan mengatakan satu hal kepada masyarakat umum namun hal lainnya kepada khalayak Muslimnya.
Dalam banyak buku dan kuliahnya, Ramadan menyebarluaskan pandangan garis keras Ikhwanul Muslim sambil menampilkan diri sebagai filsuf bergaya Barat yang selaras dengan nilai-nilai liberal modern. Itulah dasar sikap berwajah gandanya: Islam yang dia kumandangkan dengan uraian yang sangat hati-hati dengan istilah-istilah yang tidak tulus sama sekali tidak sama dengan nilai-nilai Barat. Dia mampu menipu para pemikir dan politisi. Penipuan inilah yang memberi status professor di Universitas Oxford, yang membuatnya benar-benar orang yang sangat berbahaya.
Artikel berseri Caroline Fourest dalam jurnal Prancis, Marianne, menjabarkan kata pelecehan seksual, perkosaan serta praktek misogynist umumnya yang digunakan oleh Ramadan. Di samping itu, Ramadan pun pernah diituduh oleh akademisi Amerika, Phyllis Chester "karena dengan kejam memperkosa, memukul, menghina, mengurung dan mengancam akan membunuh mereka [para korbannya] jika mereka berani bicara."
Menanggapi klaim itu, Universitas Oxford pun langsung bereaksi. Universitas itu menyuruh dia mengambil cuti sambil pernyataan-pernyataannya (predation) sebelumnya diselidiki dan tampaknya sangat mungkin, mengarah kepada tuduhan criminal. Tidaklah mengejutkan, sebagaimana wartawan Abigail Esman pernah perlihatkan:
Banyak penggemar Ramadan --- lebih dari 600.000 orang mengikutinya di Twitter dan lebih dari 2 juta pengikut Facebook---punya banyak hal yang bisa dikatakan. Dia tidak bersalah, mereka yakin. Dalam berbagai komentar di situs-situs media sosial, mereka meyakinkan dia bahwa Allah akan melindunginya. Para wanita itu pembohong, atau bagian dari suatu konspirasi: melawan kaum Muslim, melawan dia sendiri sebagai pemimpin Muslim, melawan Islam---semuanya culas berhati busuk, tetapi sepenuhnya dapat diramalkan, pekerjaan orang-orang Yahudi di dunia.
Revolusi Iran tahun 1979 memantik semakin banyak gerakan revolusioner di seluruh penjuru dunia Islam dan dalam prosesnya menyaksikan wanita di banyak negara, di seluruh penjuru dunia Islam menolak kebebasan yang mulai mereka peroleh di bawah rejim-rejim sebelumnya. Jilbab pun kembali luas dipakai, khususnya di Turki. Menyusul bertumbuhnya kekuasaan otoriter dan fundamentalis Presiden Recep Tayyip Erdogan, hak-hak wanita Turki pun semakin banyak ditolak. Erdogan baru-baru ini mengecam sumpah Pangeran Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salam yang hendak melahirkan "Islam moderat" dan menyebutnya sebagai Islam palsu yang diduga diterapkan oleh Barat.
Laki-laki di negara-negara demokrasi Barat tentunya pantas untuk malu; sudah benar pula wanita menyebutkan nama para predatornya. Jika pengidentifikasian tokoh berkuasa yang memanipulasi para wanita yang rentan membantu menciptakan bidang permainan yang lebih seimbang bagi kedua jenis kelamin di negara-negara yang bekerja keras untuk mengakui kesamaan derajat semua warga negara, maka ia tidak bisa lagi menjadi hikmah bagi demokrasi. Apa yang salah kita lakukan, banyak juga kita lakukan supaya bisa meralat penyimpangan-penyimpangan dalam masyarakat kita. Fakta dasar bahwa di Barat, laki-laki dianggap memalukan dan bertentangan dengan nilai-nilai kita yang lebih baik itu sendiri menjadi tanda seberapa jauh persoalannya sudah berubah.
Secara umum, dunia Islam masih terjebak dalam perilaku kuno, kembali kepada masa lalu ketimbang maju, meski ada upaya luhur dari banyak pembaru untuk menentang patriarki di beberapa negara Muslim, yang didukung oleh banyak wanita Muslim.[5]. Perilaku-perilaku itu berakar dalam beragam serangan terhadap wanita dan kehidupan mereka: sunat wanita (FGM) yang mendapatkan dukungan dari tradisi keagamaan; pembunuhan demi kehormatan (honor killings) bahkan terhadap gadis yang diperkosa; perkawinan paksa dengan pemerkosa wanita yang disahkan secara hukum; hukum cambuk dan rajam dengan batu bagi wanita yang dicurigai berzinah selama menikah atau sebelum menikah atau bahkan yang diperkosa; pemakaian jilbab, perkosaan dalam perkawinan; dan menolak mengakui bahwa wanita bisa mandiri (seorang wanita harus senantiasa tunduk kepada seorang wali laki-laki – ayah, saudara laki-laki, paman, sepupu laki---yang ijinnya diperlukan untuk sebagian besar urusan). Di luar itu, selalu ada yang diperbolehkan bagi laki-laki Muslim untuk menangkap atau membeli para wanita bukan Muslim sebagai budak seks, seperti baru saja kita saksikan dengan Boko Haram dan Negara Islam dan di Arab Saudi, Mauritania, Singapura, Sudan, Mauritius, Libya, Amerika Serikat dan Eropa.
Bagaimanapun, laki-laki Muslim punya banyak sekali kebebasan. Mereka boleh menikahi empat wanita; bisa menceraikan seorang istri cukup dengan mengatakan "saya ceraikan kau" ; jika mereka warga Shiah, mereka boleh mengambil isteri sementara melalui nikah mut'a,[6] ("perkawinan yang menyenangkan") yang bisa dikontrak selama beberapa jam atau berbulan-bulan melalui nikah misyar (perkawinan ala pelancong) yang dipergunakan di Arab Saudi serta Teluk untuk memungkinkan laki-laki menyimpan isteri mereka di kota yang mereka kunjungi dari waktu ke waktu atau, lebih luas lagi, oleh laki-laki yang sudah menikah yang berupaya mencari selir resmi.
Poligami tetap popular, bahkan bagi laki-laki Muslim yang berdiam di Barat. Sebuah website untuk tujuan tersebut didirikan oleh seorang pengusaha Inggris Azad Chaiwala. Namanya, "Secondwife.com." Website itu menyebabkan laki-laki bisa mendapatkan istri lagi sama seperti kaum non-Muslim memanfaatkan situ-situs kencan dan hingga kini punya lebih dari 100.000 anggota, termasuk 25.000 anggota di Kerajaan Inggris sendiri. Walau di Inggris laki-laki pelaku poligami menjalani hukuman 7 tahun di penjara, poligami versi Muslim tampaknya dikecualikan karena dianggap itu pengaturan keagamaan. Laki-laki Muslim di Inggris dan di Benua itu tidak pernah dihukum sebagai pelaku poligami walaupun hukum perkawinan wanita Islam membahayakan wanita berkaitan dengan persoalan perceraian dan pemeliharaan anak. Pemerintah bahkan mendorong perkawinan poligami untuk melakukan kontraknya di luar negeri, dan pada satu titik justru menawarkan tunjangan £10,000 (sekitar Rp 164 juta) bagi keluarga dengan empat istri.
Mendesak sekali kita perlu membuang jauh-jauh sikap enggan untuk mempertentangkan nilai-nilai Barat dan Islam --- entah berkaitan dengan kekerasan, perlakuan terhadap minoritas agama, anti-Semitisme atau perlakuan terhadap wanita. Bukan saja masyarakat Barat non-Muslim yang wajib membuat perbandingan ini --- ada semakin besar kaum Muslim, seperti kini kita saksikan di Iran, yang menemukan perilaku Islamiah yang lebih luas, yang menjijikan dan kerja keras, dan yang sebagian besar sangat sulit tercapai, sehingga bisa membawa iman mereka lebih mendekati nilai-nilai modern.
Banyak politisi, tokoh gereja dan orang-orang yang merasa diri melakukan hal yang baik bagi masyarakat di Barat memilih untuk melihat tidak ada yang salah dalam Islam kemudian menggambarkan semua bentuk kritik sebagai "Islamophobia," fobia terhadap Islam. Mereka bahkan menghukum para pengkritik agama yang jujur atau aksi sejumlah pengikutnya yang berani melanggar sikap diam (code of silence) dan persetujuan tanpa protes terhadap keragaman budaya. Para calon moralis ini memang tidak mendukung kita, mendukung wanita dan anak-anak Muslim atau para pembaru Muslim. Memang, peradaban kita tidak sempurna. Tetapi meratap sambil meneriakan mea culpa (saya bersalah), sembari meneruskan persoalan peradaban yang tentu saja punya salah, tampaknya bukanlah cara untuk meredakan perasaan bersalah komunal.
Dr. Denis MacEoin mengajar Kajian Islam pada sebuah universitas di Inggris, menerbitkan buku dan artikel seputar tema-tema Islam dan menyumbangkan tulisan untuk ensiklopedia akademis yang berkaitan dengan pokok bahasan itu seperti untuk edisi kedua Encyclopedia of Islam yang dibuat secara besar-besaran. Dia juga seorang Distinguished Senior Fellow pada Gatestone Institute.
[1] Kerugian yang mereka timbulkan dibedah oleh seorang professor Northwestern University, Laura Kipniss dalam kajiannnya bertajuk How to Become a Scandal: Adventures in Bad Behavior (Bagaimana Bisa Menjadi Skandal: Petualangan untuk Berperilaku Jahat), New York, 2010 serta dalam tulisan (exposure) terbarunya seputar perburuan para tukang sihir wanita di perguruan tinggi-perguruan tinggi AS bertajuk, Unwanted Advances: Sexual Paranoia Comes to Campus (Kemajuan yang Tidak Diinginkan: Paranoia seksual Muncul di Kampus) New York, 2017.
[2] Hesba atau hisba adalah tugas untuk mengidentifikasi serta untuk mencegah atau menghukum orang-orang yang melanggar hukum Islam di negara-negara Muslim.
[3] Sikap Pemerintah Mesir harus diakui dalam kasus ini, karena Wahsh ditangkap akibat pernyataan-pernyataan ini. Baru-baru ini dia menjalani hukuman tiga bulan di penjara. Mengenai hal ini bisa dilihat di sini.
[4]Untuk diskusi yang cerdas seputar berbagai perbedaan lihat buku Christina Hoff Sommers: Who Stole Feminism?: How Women Have Betrayed Women, New York, 1995.
[5] Perhatikan, khususnya karya Ida Lichter, Muslim Women Reformers: Inspiring Voices against Oppression, Amherst, NY, 2009. Lihat di sini.
[6] Untuk mendapatkan kisah akademis yang lengkap lihat buku karya Shahla Haeri, Law of Desire: Temporary Marriage in Shi'i Iran, edisi revisi, Syracuse University Press, 2014. Juga lihat buku Sachiko Murata, Temporary Marriage in Islamic Law, diterbitkan untuk kalangan sendiri, 2017.