Penghujung Desember 2017. Nyaris tidak pernah terjadi sebelumnya, ada sesuatu melanda berbagai kota di seluruh penjuru Iran. Berawal dari kota suci terbesar Mashad, aksi bergerak ke Kermansah, yang belum lama ini menderita serangan gempa bumi besar tempat sekitar 600 orang tewas dan para penyintasnya diabaikan oleh negara. Setelah itu, demonstrasi berskala besar bergerak ke Sari dan Rash di utara kota ulama Qom, kemudian Hamadan dan setelah 29 Desember, protes pun melanda Teheran sendiri. Pada hari-hari selanjutnya, orang pun turun ke jalan di seluruh penjuru negeri. Sejak hari ketiga aksi, para pemrotes pun ditentang oleh munculnya banyak pendemo pro-pemerintah. Protes anti-pemerintah, tidak pernah terlihat dalam jumlah sebesar ini semenjak berbagai kerusuhan ditanggulangi secara keras menyusul Pemilu presiden 2009. Setelah 2 Januari 2018, sedikitnya 20 pengunjukrasa sudah dibunuh dan lebih dari 450 orang lainnya ditangkap. Pada hari yang sama dilaporkan bahwa Ketua Mahkamah Agung Iran, Mousa Ghazanfarabadi mengklaim bahwa para pengunjukrasa mungkin dianggap "musuh Allah" sehingga perlu dihukum mati.
Dalam websitenya, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei,
"menuduh para musuh asing yang tidak dikenal turut campur tangan dalam urusan dalam negeri Iran, memanfaatkan uang, senjata, aparat politik dan intelijen 'untuk membuat massalah atas sistem Islami'. Elit ulama dalam dirinya sendiri tidak mau mengakui bahwa masyarakat pribumi Iran, yang sudah jengkel karena ditindas oleh kekuasaan yang kejam keras, mungkin saja punya alasan yang murni untuk melakukan kerusuhan melawan pemerintah."
President Hassan Rouhani, seorang "reformis palsu" mengidentikan musuh-musuh asing itu sebagai "AS, rejim yang tengah menduduki Al-Quds [yaitu Israel] dan para kroninya.
Menghadapi tudingan itu, tanpa tedeng aling-aling, Presiden AS Trump menulis twitnya, pada 1 Januari lalu bahwa:
"Pada semua tingkat, Iran suda gagal, meskipun Pemerintahan Obama sudah membuat perjanjian yang sangat buruk dengan mereka. Masyarakat Iran yang agung ditindas selama bertahun-tahun. Mereka lapar akan makanan dan kebebasan. Beriring jalan dengan hak asasi manusia, kekayaan masyarakat Iran pun sedang dijarah. WAKTUNYA UNTUK BERUBAH!"
Sebetulnya, ada banyak sekali keluhan. Termasuk kecaman terhadap kebijakan luar negeri rejim, yang menyebabkan negeri itu menghabiskan miliaran dolar untuk petualangan-petualangan luar negerinya yang agresif; mendukung peperangan di Yaman dan Suriah, mendukung Hizbullah di Libanon dan Suriah, membayar milisi Shiah di Irak, mendanai Hamas di Jalur Gaza dan secara luas, mendanai sekaligus melibatkan diri dalam terorisme di seluruh dunia. Mengapa, para pengunjukrasa bertanya, miliaran dolar uang tidak dibelanjakan bagi masyarakat Iran sendiri? Negara itu masih menderita inflasi, meski ada pertumbuhan yang wajar dalam bidang ekonomi semenjak tahun 2016 menyusul sanksi ekonomi dipulihkan. Andaikan, rencana Presiden Trump untuk menetapkan kembali sejumlah sanksi terlaksana pada 2018 ini, maka kejatuhan ekonomi lainnya bakal terjadi. Tidak terelakan lagi, para pengunjuk rasa pro-rejim menuding apa saja pada Amerika Serikat dan Israel lalu membawa berbagai plakat menyerukan kematian bagi mereka yang dianggap sebagai musuh.
Sama kerasnya seperti yang disuarakan oleh para pengunjukrasa, aksi itu mungkin saja mengarah kepada reformasi yang sebenarnya. Warga Iran mungkin kurang bebas untuk pergi ke jalan-jalan mereka, meneriakan slogan-slogan dan tidak punya oposisi politik yang diselenggarakan negara yang kuat di balik mereka sehingga mendorong mereka melancarkan aksi. Namun, meskipun kebebasan mereka terbatas, ada bukti tujuan politik yang kuat dalam aksi mereka: yaitu untuk membebaskan warga Iran dari kediktatoran aparatur negara satu partai. Satu twit berbahasa Persia yang dikutip BBC berasal dari Universitas Teheran, tempat aksi unjukrasa berlangsung. Penulisnya menyapa Ayotollah Khamanei dengan maki-makiannya menulis: "Sayyid Ali, memalukan benar kau. Tinggalkan saja negeri ini (mamlakat-u raha kon)".
Di antara berbagai seruan perubahan yang dikumandangkan di Kota Kermansyah yang hancur berantakan, ada seruan yang mantap menyasar persoalan ketidakmungkinan untuk membentuk keseimbangan politik (political counter-balancce) terhadap rejim. Menurut The Guardian;
Sekitar 300 pengunjukrasa berkumpul di Kermanshah setelah apa yang [kantor berita semi resmi] Fars katakan sebagai "seruan pihak anti-revolusi." Mereka meneriakan, "Tahanan politik harus dibebaskan" dan "Bebas atau mati" serta sejumlah tempat umum pun dihancurkan. Fars tidak menyebutkan kelompok-kelompok oposisi apapun.
Tidak ada kelompok oposisi datang karena memang tidak ada kelompok oposisi yang serius. Alasan untuk itu terungkap dalam seruan "tahanan politik harus dibebaskan." Iran terjebak (choc a-bloc) dengan para pembangkang politik yang pelahan merana dalam penjara-penjaranya.
Bukan rahasia lagi bahwa rejim Islam yang memerintah Iran sejak 1979 itu punya reputasi sangat pantas disebut penjahat hak asasi dunia terbesar dunia. Dalam Laporan Tahun 2016-2017 tentang Iran, Amnesty Internasional mencatat betapa banyaknya contoh kekejaman yang dilakukan oleh kalangan legislatif dan lembaga fungsional dalam negeri terhadap kaum wanita, minoritas agama dan etnis, warga negara asing serta warga Iran berkewarganegaraan rangkap. Tahanan politik, termasuk tahanan yang menyuarakan suara kebenaran (prisoners of conscience), para pembela hak asasi manusia serta para pembaru dipenjara dalam jumlah besar, disiksa dan dipaksa tunduk kepada pengadilan 5 menit tanpa bukti yang jelas atau bahkan tanpa pengacara untuk membela kasus mereka. Beberapa lainnya sudah menjalani tahanan rumah selama bertahun-tahun.
Kelompok Persatuan Iran (The United for Iran) menerbitkan sebuah sumber daring yang sangat terinci bertajuk Iran Prison Atlas. Dari sana, data seputar banyak sekali tahanan politik bisa diperoleh para peneliti dan masyarakat umum. Para tahanan dikelompokan berdasarkan agama, etnisitas, tuntutan yang dilancarkan atas mereka, bagaimana mereka diperlakukan secara semena-mena serta hakikat hukuman atas mereka. Baru-baru ini, ada 645 tahanan politik ditahan, sebanyak 1914 tahanan dibebaskan dan 82 orang dieksekusi mati. Dengan rubrik beragam, atlas itu membuat daftar 671 tahanan dari anggota agama minoritas, 262 aktivis etnis dan blogger, aktivis pro-demokrasi, aktivis masyarakat, aktivis hak buruh, pembela hak asasi, wartawan, seniman, penulis, orang-orang yang dituduh bekerja sama dengan pemerintah asing serta aktivis hak asasi wanita. Angka-angka itu tetap semakin stabil atau kurang stabil. [1]
Laporan Amnesty terbaru menjabarkan:
"Pihak berwenang pengadilan terus menjatuhkan dan menjalankan hukuman kejam yang tidak manusiawi atau yang menjatuhkan martabat manusia yang mengarah kepada penyiksaan, termasuk pencambukan, pencungkilan mata sampai buta dan amputasi. Semua hukuman itu kerapkali dijalankan di depan umum."
Belakangan, laporan itu mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang sama-sama menghebohkan:
"Pihak berwenang terus memanfaatkan hukuman mati secara ekstensif termasuk atas anak-anak kecil pelaku kejahatan (juvenile offenders). Ratusan eksekusi dijalankan setelah proses pengadilan yang tidak adil. Sejumlah eksekusi dijalankan di depan publik."
Sedikitnya ada seorang wanita, Fariba Khaleghi namanya, masih tetap terancam hukuman rajam dengan batu.
Pada tahun 2016 penulis Gatestone sekaligus pakar Iran Majid Rafizadeh menyebut Iran sebagai negara kenamaan di dunia karena menjatuhkan hukuman mati.
Sejak Januari 2016, Iran mengeksekusi mati sedikitnya 230 orang. Itu berarti sedikitnya rata-rata satu orang dieksekusi mati setiap hari. Jumlah eksekusi mati akhir-akhir ini semakin meningkat sehingga Iran menduduki rangking pertama di dunia, diikuti oleh Cina, ketika sampai kepada persoalan eksekusi per kapita. Iran telah mengeksekusi mati kira-kira 1.000 narapidana pada tahun 2015 lalu.
Melihat besarnya populasi Iran (81.588.534 orang per 1 Januari 2018), dibandingkan dengan populasi Cina (1.412.298.946 orang), ini angka statistik yang mencengangkan. Yang lebih parah lagi, mayoritas orang yang dijatuhi hukuman mati tidak pernah melakukan kejahatan yang bisa dihukum secara kejam (atau dihukum juga) seperti itu nyaris di mana pun di dunia ini, sedikitnya di seluruh Eropa, Israel atau 23 negara (dan Distrik Columbia) di Amerika Serikat.
Eksekusi mati yang berlebihan ini bersamaan dengan kerapnya eksekusi mati di depan umum, benar-benar menguntungkan rejim karena menjadi sarana untuk menakuti-nakuti masyarakat sekaligus menghalangi perlawanan apapun terhadap rejim. In 1988, misalnya, sebuah fatwa dikeluarkan oleh Almarhum Imam Khomeini, Pemimpin Tertinggi Iran. Fatwa itu menyebabkan 30,000 tahanan dibunuh selama penjara-penjara negeri itu dibersihkan, suatu tindakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya di negeri itu. Banyak dari mereka yang dibunuh berusia 13 tahun. Pada masa itu, enam narapidana digantung di tiang gantungan dengan tujuan menakut-nakuti masyarakat yang bodoh. Seorang mantan pejabat Penjara Evin, Teheran yang terkenal karena namanya yang buruk belakangan memberi kesaksian sebagai berikut;
Setiap setengah jam, mulai jam 7.30 pagi hingga jam 5 sore, ada 33 orang diangkat oleh tiga truk forklift ke atas enam crane, masing-masing dengan lima hingga enam tali gantungan. Dikatakannya, "Proses penggantungan narapidana itu terus berlangsung tanpa henti." Dalam dua pekan, 8.000 orang sudah digantung. Pembunuhan keji besar-besaran yang sama terjadi di seluruh penjuru negeri.
Penjara Evin yang terkenal karena namanya yang buruk di Teheran, Iran. (Sumber gambar: Ehsan Iran/Wikimedia Commons) |
Pembantaian massal yang terjadi seluruh penjuru negeri itu dimaksudkan untuk menakut-nakuti siapa saja yang cenderung beroposisi terhadap rejim. Para narapidana pun diminta menentukan sikap politik mereka. Yang menjawab mendukung Mujahidin-e Khalq atau gerakan anti-pemerintah lainnya, seperti Partai Tudeh yang komunis dikirim mati sementara yang mengaku setia kepada negara dibiarkan tetap hidup.
Tidak ada "pertunjukan" dalam proses pengadilan di Iran, seperti yang terjadi di Uni Soviet di bawah kekuasaan Stalin. Sebaliknya, "pengadilan-pengadilan" dilakukan di balik pintu tertutup, dipimpin serta diputuskan oleh hakim pengadilan khusus sehingga secara politik dan religious bias. Menurut Amnesty International:
"Pengadilan, termasuk yang berdampak terhadap hukuman mati, umumnya berlangsung secara tidak adil. Pengadilan tidak bebas. Pengadilan Khusus untuk Ulama serta Pengadilan Revolusional tetap sangat rawan dari tekanan kekuatan keamanan dan intelijen sehingga bersedia menjatuhkan hukuman kepada terdakwa sekaligus menjatuhkan hukuman yang keras."
Bahkan sebelum pengadilan berlangsung pun, orang-orang yang dituduh anti-terhadap prinsip negara diperlakukan secara tidak adil, disiksa dan ditahan dalam tahanan terpisah selama berbulan-bulan tanpa akhir. Akses mereka terhadap keluarga dan pengacara pun ditolak.
'Pengakuan' tersangka diperoleh dengan penyiksaan dipergunakan sebagai bukti di pengadilan. Para hakim kerapkali tidak memberikan keputusan yang masuk akal. Pengadilan pun tidak membuat keputusan pengadilan sehingga didapatkan oleh publik."
Seperti di Rusia di bawa kekuasaan para pengikut Stalin, "pengakuan" palsu dimanfaatkan untuk menetapkan masa hukuman penjara yang panjang atau hukuman mati. Contoh terbaru kasus ini adalah seorang dokter Swedia keturunan Iran, Ahmadreza Djalali, yang hukuman matinya sudah dikukuhkan oleh Mahkamah Agung Iran, 17 Desember 2017 lalu. Djalali adalah peneliti pada Institute Karolinska di Stockholm. Di sana dia bekerja memperbaiki tanggapan medis darurat terhadap terorisme bersenjata serta ancaman radiologis, kimia dan biologis. Ketika berada di Iran, dia bekerja sebagai anggota Institute Penelitian Bencana Alam (Natural Disaster Research Institute) yang menangani keadaan darurat HAZMAT untuk Kementerian Kesehatan negeri itu dan belakangan memimpin Bagian Penanganan Bencana pada Kementerian Kesejahteraan dan Keadilan Sosial. Dengan demikian, dia orang yang bermanfaat bahkan perlu yang bisa orang pikirkan.
Dia berpindah ke Swedia dan meraih gelar doktornya di sana. Di kota itu dia menetap bersama istri dan dua anaknya, sambil menduduki sejumlah jabatan pada berbagai lembaga penelitian di Belgia dan Italia. Namanya sangat terkenal dalam bidang kedokteran untuk penanganan bencana alam di Eropa. Dia ditangkap oleh para agen Kementerian Intelijen dan Keamanan yang dikenal jahat pada April 2016, ketika berpartisipasi dalam sejumlah workshop ilmiah di Iran kemudian dijatuhi hukuman mati 21 Oktober tahun yang sama oleh Pengadilan Revolusioner di Teheran.
Menurut sebuah "Laporan Aksi yang Mendesak" dari Amnesty:
Warga Swedia kelahiran Iran, Ahmadreza Djalali, adalah ilmuwan, doktor medis sekaligus akademisi, dijatuhkan hukuman mati berikut denda 200.000 euro (sekitar Rp 3 miliar) setelah dituduh melakukan "korupsi di dunia" (efsad-e fel-arz) [sic] menyusul pengadilan yang sangat tidak adil di depan Cabang ke-15 Pengadilan Revolusioner di Teheran. Keputusan pengadilan menuduh Ahmadreza Djalali bekerja sebagai mata-mata Israel pada tahun 2000-an. Menurut salah seorang pengacaranya, pengadilan tidak memberi bukti yang menegaskan klaim melawan dia. Pengadilan juga tidak memberikan salinan keputusan namun sebaliknya memerintahkan salah seorang pengacaranya untuk membacakan keputusan di pengadilan pada 21 Oktober 2017 lalu.
Mengapa, Kementerian Intelijen --- pastinya, polisi rahasia --- juga tertarik kepada orang seperti Djalali? Apakah dia benar-benar mata-mata bagi Israel---sebuah tuduhan palsu yang khas oleh pihak berwenang Iran--- atau apakah ada alasan lain? Dalam sebuah artikel seputar Djalali untuk Harian Washington Examiner, Nopember lalu, Eugene M. Chudnovsky menulis:
Sebuah sumber yang dekat dengan Djalali mengungkapkan bahwa pada tahun 2014, dia didekati oleh agen intelijen militer Iran. Kepadanya mereka meminta supaya dia mau mengumpulkan informasi seputar tempat-tempat kimia, biologis, radiologis dan nuklir termasuk infrastruktur penting beserta rencana-rencana operasional kontra-terorisme. Tetapi Djajali menolak permintaan.
Chudnovsky juga menambahkan rincian prosedur tidak sah yang digunakan supaya bisa mendapatkan pengakuan palsu dari Djajali:
Selama tiga bulan Djalali dipenjarakan di tempat sepi dan terpisah. Setiap hari dia diinterogasi tanpa didampingi pengacara serta disiksa supaya bisa diperoleh pengakuan palsu. Belakangan, dia ditempatkan dalam sebuah sel berukuran sekitar 24,4 meter persegi bersama tiga narapidana lain. Dia tidak diperbolehkan berbicara dengan seorang pengacara pun. Desember 2016, dia mulai melancarkan mogok makan. Aksinya itu berlangsung selama 42 hari. Februari 2017, dia melancarkan mogok makan lain selama 43 hari. Kesehatannya merosot. Juli 2017 dia pun dibawa ke penjara terpencil guna mencegahnya berhubungan dengan para duta besar negara-negara Eropa yang berdatangan mengunjunginya di Penjara Evin.
Djalali sendiri sudah memberikan kesaksian atas berbagai tekanan yang ditimpakan atasnya ketika dia berada di penjara. Menurut laporan Amnesty lainnya:
Dalam sebuah rekaman suara yang dipublikasikan di Youtube, 22 Oktober tahun silam, Ahmadreza Djalali terdengar mengatakan bahwa dia dua kali dipaksa membuat "pengakuan" di depan kamera video dengan membacakan pernyataan-pernyataan yang sudah dibuat oleh penyidiknya ketika dia ditahan di sebuah penjara terpencil. Dikatakannya bahwa dia sangat tertekan lewat penyiksaan psikologis sekaligus ancaman dieksekusi mati dan ancaman penangkapan anak-anaknya supaya dia "mengaku" menjadi mata-mata bagi sebuah "pemerintahan yang bermusuhan" dengan Iran. Dalam rekaman itu, dia mengatakan bahwa keyakinan akademisnya dimanfaatkan untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia juga menyangkal tuduhan terhadapnya dan mengatakan semua itu sudah direkayasa oleh para penyidik Kementerian Intelijen Iran.
Mengingat kasus Djalali jauh dari satu-satunya kasus seperti ini, Chudnovsky pun mengakhiri artikelnya dengan:
Kasus Dr. Ahmadreza Djalali paling mengerikan di antara kasus para ilmuwan yang akhir-akhir ini dituduh Iran "bekerja sama dengan pemerintahan yang bermusuhan." Pada tahun 2011 lalu, Omid Kokabee, mahasiswa doktoral pada University of Texas – Austin, ditangkap ketika mengunjungi keluarganya di Iran kemudian dijatuhi hukuman sampai 10 tahun penjara oleh Hakim Salavati setelah dia menolak bekerja untuk Organisasi Energi Atom Iran. Pada tahun 2016 dia dibebaskan karena penyakit kanker ginjal yang dideritanya selama ditahan di Penjara Evin. Mahasiswa doktoral Universitas Princeton (AS) Xiyue Wang, yang pergi ke Iran hendak mempelajari manuskrip-manuskrip kuno juga ditangkap Agustus 2016 lalu. Dia dituduh melakukan aksi mata-mata demi Amerika Serikat kemudian dijatuhi sampai 10 tahun penjara , Juli 2017 lalu.
Inilah bagian luas dari konteks ketika kita harus memahami batasan-batasan mengerikan yang ditimpakan pada orang-orang yang terlibat dalam politik dalam negeri Iran. Salah satu ancaman terbesar bagi orang yang terlibat dalam dunia politik adalah rejim negeri itu bakal membungkam siapa saja yang punya potensi untuk memimpin, entah karena perlawanannya langsung kala itu terhadap elit ulama atau karena mereformasinya dari dalam. Penentang system tersebut yang paling kenamaan adalah Mir Hossein Mousavi, mantan perdana menteri Iran sekaligus pesaing presiden yang memimpin Gerakan Hijau (Green Movement) yang ditindas secara kejam pada tahun 2009 silam. Karena aksinya, dia disebutkan dalam Majalah Timepada tahun 2010 sebagai pemimpin dunia paling berpengaruh. [2]. Sejak 2011, Mousavi, yang kini berusia 75 tahun dan sakit-sakitan bersama istrinya Zahra Rahnavard, yang juga tokoh oposisi kenamaan, ditahan dan menjalani tahanan rumah di Teheran.
Hal yang sama juga terjadi pada ulama pembaru kenamaan, Mehdi Karroubi. Mantan ketua parlemen Iran yang kini berusia 80 tahun itu juga menjalani tahanan rumah selama enam tahun silam. Meski, mantan murid Ayatollah Khomeini serta tokoh kenamaan dalam revolusi tahun 1979, Karroubi mendukung hak sipil kaum wanita dan minoritas etnis atau agama. Dia seharusnya sangat tepat berperan sebagai penghubung antara elit ulama pada satu pihak dan generasi muda sekular pada pihak lain, tetapi sebaliknya dikucilkan dari kehidupan public.
Walau ada pemimpin muda potesial dari kalangan oposisi rejim Iran, mereka semua masih berada di pengungsian. Akibatnya, di sana, tidak ada tempat di Iran bagi para pemimpin oposisi untuk tampil tanpa merasa takut ditangkap, dipenjarakan dan sangat mungkin (melihat berbagai ancaman akhir-akhir ini) digantung di tiang gantungan. Ketika menuliskan dalam Harian Wall Street Journal, Mark Dubowitz dan Ray Takyeh merangkum dengan sangat bagus kenyataan ini: "Rejim berada dalam impasse, jalan buntu. Tidak punya aktor politik lagi---tidak ada penyelamat lembaga-lembaga mapan---yang bisa ditawarkan kepada konstituennya yang resah gelisah." Sedangkan para mullahs, ayatollahs, mujtahids, hujjat al-Islams, marja'-e taqlids yang berasal dari kalangan penguasa gendut dan egois tidak membolehkan kritik lahir dari kalangan manapun dan berniat mempertahankan Iran serta masyarakatnya dalam genggaman besi mereka selamanya, bahkan jika itu berarti mematikan setiap suara pembangkangan.
Bagaimanapun, hari-hari para ulama, mungkin bakal terhitung lebih cepat daripada itu. Tatkala menulis dalam Majalah Tablet pada 4 Januari lalu, Edward Luttwak, seorang kolega senior pada Center for Strategic and International Studies, Amerika menjelaskan Iran sebagai negara miskin yang dikelola oleh elit ulama rusak dan didominasi oleh pengeluaran anggaran yang berlebihan untuk Korps Pengawal Revolusi Iran (Islamic Revolutionary Guard Corps) serta bonyad (lembaga-lembaga amal) yang tidak terhitung banyaknya. Dan, pada saat bersamaan keadaan ini meninggalkan populasi negeri itu dalam kesulitan yang mahadashyat.
Apakah yang dapat dilakukan untuk mempercepat keruntuhan Iran? Sanksi ekonomi luas sudah tidak termasuk pertanyaan lagi karena tidak bakal membiarkan para penguasa negeri itu untuk mengecam masyarakat Amerika atas kerja keras yang ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman masa kekaisaran mereka sendiri. Tetapi ada banyak ruang bagi langkah-langkah sasaran melawan para tokoh rejim serta kolega mereka. Daftar nama orang-orang yang pantas diberikan sanksi yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS tidak cukup panjang; padahal jauh lebih banyak nama lagi pantas mendapatkan kehormatan itu.
Kita harapkan Pemerintah AS menjatuhkan sanksi-sanksi yang sesungguhnya itu kemudian segera memberikan bantuan lanjutan, tepat pada waktunya untuk menyelamatkan rakyat Iran.
Denis MacEoin meraih gelar MA dalam Bahasa Persia kemudian menyelesaikan doktornya dalam bidang Kajian Persia di Universitas Cambridge pada tahun 1979. Kini dia adalah Distinguished Senior Fellow pada Gatestone Institute.
[1] Pada tahun 2010, Amnesty melaporkan bahwa "Dari 600 narapidana, 173 dari mereka disekap dalam Penjara Evin; 345 narapidana sedang menjalani hukuman dan 246 lainnya ditahan sambil menunggu proses pengadilan. Dari semua yang dijatuhi hukuman, 94 orang mendapatkan hukuman lebih dari 10 tahun. Sebanyak 63 wanita dipenjarakan di berbagai penjara. Demikian juga dengan nasib 38 wartawan." Laporan itu itu memberikan komentar bahwa, "Ketika sejumlah narapidana ditetapkan untuk dibebaskan dengan membayar uang jaminan, maka narapidana lainnya pun diteliti namun jumlah mereka tetap dibuat berimbang.
[2] Untuk mendapatkan kisah terinci berdasarkan sumber yang lengkap seputar kerusuhan tahun 2009 beserta penindasannya, lihat di sini.