Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas mungkin segera terkenal karena selera humornya. Seperti banyak warga Palestina, Abbas yakin masyarakat Barat bakal menelan bulat-bulat seluruh kebohongannya. Abbas, misalnya, mengakhiri pertemuannya 3 Mei lalu dengan Presiden AS Donald Trump dengan kebohongan besar berikut ini. "Kami membesarkan anak-anak muda kami, anak-anak kami, cucu-cucu kami dalam sebuah budaya damai."
Abbas tidak memberikan penjelasan rinci soal "budaya damai' tempat anak-anak Palestina dibesarkan. Tidak satu orang pun yang merasa terganggu sehingga mau bertanya kepada Abbas atau anggota rombongannya untuk memberikan contoh-contoh "budaya damai" dalam masyarakat Palestina. Namun, berbagai media Barat segera menerbitkan tipuan Abbas yang tidak diragukan itu.
Presiden AS Donald Trump bertemu Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas di Gedung Putih, 3 Mei 2007. (Sumber foto: suntingan video dari Gedung Putih). |
Seperti pendahulunya, Yasser Arafat, Abbas jelas-jelas yakin bahwa rakyat Palestina bisa saja menipu "semua orang sepanjang masa" soal tujuan dan niat mereka yang sebenarnya. Arafat berbohong kepada Presiden George W. Bush serta Bill Clinton ketika dia memberitahu mereka bahwa dia dan Otoritas Palestina memperjuangkan perdamaian dan eksistensi bersama Israel. Di bawah kekuasaan Arafat, hasutan anti-Israel di berbagai media Palestina, sekolah dan masjid meningkat hingga mendorong rakyat Palestina melancarkan Intifada Kedua, September 2000. Intifada merupakan akibat langsung dari 7 tahun penghasutan dan indoktrinasi jahat menyusul kelahiran PA. Setelah perubahan baru yang bena-benar ironis, Perjanjian Oslo (Oslo Accord) ditandatangani antara Israel dan PLO pada 1993. Penandatanganan ini memberikan peluang kepada berbagai saluran media Palestina, termasuk stasiun televisi dan radio untuk kemudian digunakan untuk membesar-besarkan kebencian terhadap Israel dan kaum Yahudi setiap hari.
Arafat memanfaatkan saluran media untuk memberi tahu rakyatnya --- ketika Perdana Menteri Israel masa itu, Ariel Sharon mengunjungi Bukit Bait (Allah), September 2000. Dikatakannya, kala itu bahwa Israel sedang berencana menghancurkan seluruh Masjid Al-Aqsa. Tepatnya hasutan itulah yang memicu Intifada kedua ketika bangsa Palestina melancarkan kampanye yang luas dan penuh aksi kejam bom bunuh diri serta aksi penembakan dari mobil sambil berlari yang menyebabkan ratusan warga Israel tewas.
Di bawah pemerintahan Arafat, apa saja bisa terjadi selain "budaya damai." Pesannya kepada rakyat Palestina adalah; "Kita akan berbaris menuju Yerusalem kemudian mengorbankan jutaan syuhadah dalam perjalanan menuju ke sana."
Tidak seperti banyak warga Israel yang dibunuh oleh warga Palestina akibat hasutan Arafat, seruan perang Arafat yang kenamaan itu masih berkembang luas kini. Akhir-akhir ini, seruan itu pun digemakan kembali oleh banyak warga Palestina, termasuk anak-anak dalam berbagai pawai dan demonstrasi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Seruan untuk mempersenjatai diri itu secara terbuka mendorong kaum muda Palestina untuk "berbaris menuju Yerusalem" dan menjadi "syuhadah."
Hanya sepekan sebelum Abbas bertemu dengan Trump, Faksi Fatah pimpinan Presiden PA menyerukan kepada warga Palestina untuk turun ke jalan-jalan melancarkan aksi bentrok dengan tentara dan pemukim Yahudi. Seruan itu dibuat sebagai "solidaritas" dengan para narapidana Palestina yang melancarkan "mogok makan" di penjara-penjara Israel. Aksi mogok makan bukan soal penjara-penjara Israel, yang terkenal sebagai penjara paling nyaman di antara penjara-penjara di dunia; mogok makan sebetulnya merupakan gerakan politik untuk berlomba-lomba, manakah teroris yang bakal menjadi pengganti Abbas. Para narapidana adalah teroris. Banyak dari mereka berlepotan dengan darah di tangan; semakin banyak darah, maka semakin tinggi promosi yang akan mereka dapatkan.
Menjadi "mantan tahanan penjara Israel " itu jauh lebih penting dibandingkan dengan alumni Universitas Texas di Austin (AS) dalam perjuangan untuk menjadi pemimpin Palestina. Mantan Perdana Menteri Palestina, Salam Fayyad adalah ekonom dan pembaru yang dipuja-puji di Barat, tetapi dia hanya mendapatkan dua persen suara ketika berjuang menjadi perdana menteri.
Dengan menyerukan bentrokan dengan Israel, Fatah sebetulnya menghasut kaum muda Palestina untuk melancarkan serangan kejam terhadap para tentara dan pemukim Israel. Inilah Faksi Fatah yang sama yang dipimpin oleh Abbas--- Abbas yang sama yang mengungkapkan kebohongan seputar "budaya damai." Dengan menyuarakan solidaritas dengan para pembunuh yang dihukum dan memuji mereka sebagai role model, model peran sekaligus pahlawan Palestina, Fraksi Fatah pimpinan Abbas mendorong kaum muda Palestina mengikuti jejak mereka kemudian melibatkan diri dalam aksi-aksi kejam. ,
Sehari setelah pertemuan Abbas–Trump, Perdana Menteri Otoritas Palestina yang kini berkuasa, Rami Hamdalah ikut terlibat dalam sebuah pawai di Ramallah sebagai tanda solidaritas dengan para teoris Palestina yang melancarkan mogok makan. Dalam pawai itu, Hamdallah menegaskan dukungan penuh PA bagi para teroris dengan mengatakan bahwa dia sedang berupaya untuk mengangkat kasus mereka itu supaya bisa mendapatkan perhatian komunitas internasional.
Seperti Arafat, Abbas pun terus menggunakan ancaman yang masih diduga orang tetapi tidak pernah ada atas Masjid Al-Aqsa guna menghasut kaum muda Palestina melawan Israel. Selama 50 tahun lalu, kaum non-Muslim termasuk kaum Yahudi diijinkan mengunjungi Bukit Bait Allah sebagai turis. Namun, kunjungan-kunjungan dihentikan ketika Intifada Kedua dilancarkan pada 2000. Tetapi sejak kunjungan para turis dimulai lagi beberapa tahun silam, kaum Muslim berusaha agar warga Yahudi tidak memasuki tempat suci tersebut. Kaum Muslim mengklaim bahwa kaum Yahudi berupaya "menghancurkan" dan "menista" Masjid Al-Aqsa ( di Bukit Bait Allah)---sebuah klaim yang salah yang ditambahkan dalam daftar panjang tipuan dan tuntutan berdarah-darah yang disebarluaskan oleh Abbas dan banyak kaum Muslim. Pernyataan Abbas muncul sebagai tanggapan, bukan terhadap insiden di Masjid Al-Aqsa, seperti yang dia dan kaum Muslim lainnya klaim bahwa: Perjalanan-perjalanan yang dilakukan oleh kaum Yahudi menuju Bukit Bait Allah itu sudah rutin dan penuh damai.
September 2015, Abbas mengatakan bahwa dia "menyambut gembira setiap tetesan darah yang dicurahkan di Yerusalem."
Segera setelah pernyataan ini, masyarakat Palestina pun mulai beraksi. Mereka melancarkan serangan dengan pisau atau dengan menabrakan mobil kepada warga Israel. Kerusuhan kejam itu dikenal dengan nama "Intifada Pisau." "Kami akan melindungi Yerusalem dan tidak akan membiarkan mereka [kaum Yahudi] menajiskan al-Aqsa [Masjid) serta Gereja Holy Sepulcher (Gereja Kuburan Suci Yesus Kristus) dengan kaki-kaki najis mereka," Abbas secara licik mengumumkan.
Belum jelas, mengapa dia memutuskan membawa-bawa gereja dalam pusaran kontroversi yang melingkupi kunjungan warga Yahudi ke Bukit Bait Allah. Yang jelas Abbas tengah berbohong. Karena, warga Yahudi belum pernah memasuki gereja atau Masjid al-Aqsa.
Bagaimanapun, sejak Abbas menyampaikan pernyataan hasutannya, puluhan kaum muda Palestina pun memperhatikan seruannya. Mereka pun keluar rumah ingin menikam atau menggilas orang Yahudi pertama yang mereka temukan. Darah mereka berada di tangan Abbas. Dialah orang yang mengirimkan anak-anak muda untuk "melindungi" Masjid al-Aqsa melawan "para penyerang Yahudi" khayalan. Dialah satu-satunya orang yang secara salah terus saja berbicara tentang "kelompok pemukim yang melempari Masjid al-Aqsa. Karena nyatanya, kaum Yahudi secara damai melakukan kunjungan rutin ke Bait Bait Allah. Bagaimanapun, berkat kesalahan Abbas, media-medianya hingga sekarang ini terus saja berbicara secara tidak jujur tentang "para penyerang serta para pemukim Yahudi yang "melempari tempat-tempat suci Islam dan Kristen dengan batu di Yerusalem." Pernyataan itu, dan hanya itulah yang menjadi sumber dari berbagai serangan dengan pisau serta aksi menabrakan kendaraan atas warga Israel.
Inilah, jelas-jelas "budaya damai" yang dirujuk Abbas. Bagaiamana bisa dia mengucapkan kebohongan yang menggetarkan itu ketika media dan para pejabat tinggi terus saja berjuang mendelegimasi Israel serta menganggap warga Yahudi sebagai setap setiap hari? Bagaimana tepatnya Abbas mempromosikan perdamaian ketika Otoritas Palestina yang dipimpinnya memberikan nama kepada berbagai sekolah serta alun-alun sesuai dengan nama para teroris yang berlepotan dengan darah kaum Yahudi di tengannya? Awal tahun ini misalnya, Faksi Fatah pimpinan Abbas memberikan nama sebuah kamp kaum muda di Yeriko dengan nama Dalal al-Mughrabi, seorang teroris wanita yang membunuh 38 warga sipil, 13 dari mereka adalah anak-anak dan melukai lebih dari 70 orang pada tahun 1978.
Dengan menghormati para pembunuh Yahudi, Abbas, sebaliknya semata-mata mempromosikan budaya benci nan kejam. Pesannya kepada kaum muda Yahudi benar-bener terang-benderang: semakin banyak kaum Yahudi kalian bunuh, semakin banyak kemuliaan dan hormat kalian peroleh dari masyarakat.
Abbas berbicara tentang "budaya damai" saat dia dan Otoritas Palestina bahkan tengah menyerang semua bentuk "normalisasi hubungan" dengan Israel. Kampanye anti-normalisasi di Ramallah serta kota-kota Palestina lainnya menyasar warga Palestina manapun yang berani bertemu warga Yahudi ( bahkan juga kaum Yahudi yang "pro-Palestina"). Aksi itu berlangsung di bawah pengawasan Pemerintah PA. Kampanye itu juga mempromosikan aksi boikot, divestasi serta saksi atas Israel. Tujuannya adalah untuk mengintimidasi warga Palestina yang berkerja menuju perdamaian dan esksitensi bersama dengan Israel, sekaligus melarang bisnis apapun dengan kaum Yahudi. Dapatkah warga Palestina mengundang warga Yahudi menghadiri pertemuan di Ramallah tanpa disasar sebagai penjahat "anti-normalisasi", yang banyak dari para pelaku aksi itu berafiliasi dengan Faksi Fatah pimpinan Mahmud Abbas? Atau ia justru tengah memberikan nama-nama sekolah serta daftar pemilihan sesuai dengan nama para penjahat yang dihukum penjara? Semua itu tampaknya seperti cara-cara yang bisa diperdebatkan untuk memajukan "budaya damai"-nya.
Di bawah pemerintahan Abbas, hasutan serta indoktrinasi anti-Israel menjadi h bisnis yang berkembang luas secara eksponensial. Hasutan dan indoktrinasi nyatanya, berkembang sampai pada titik sehingga generasi muda negeri itu dibesarkan berlandaskan pemujaan terhadap para jihadi, sebuah generasi yang tidak sabar untuk menumpahkan semakin banyak darah kaum Yahudi. Jika inilah "budaya damai" Abbas, maka apakah, orang akan bertanya-tanaya, seperti apakah budaya yang dia anggap sebagai "budaya perang"?
Bassam Tawil adalah seorang cendekiawan yang berbasis di Timur Tengah.