Kota Nice, Prancis mencabut larangan kontroversial atas burkini kaum Muslimah setelah sebuah pengadilan memutuskan larangan itu sebagai melawan hukum. Larangan atas pakaian renang yang menutup seluruh tubuh tersebut juga sudah dibatalkan di Kota Cannes, Fréjus, Roquebrune dan Villeneuve-Loubet,tetapi tetap dijalankan di sedikinya 25 kota pantai Prancis lainnya.
Perdebatan seputar burkini--- kata baru yang memadukan kata burka dan burkini---- memantik perdebatan panjang seputar kode berpakaian yang Islami di Prancis dan negara-negara Eropa sekular lainnya (lihat appendiks di bawah) ini.
Pada 26 Agustus lalu, Dewan Negara, pengadilan administrasi Prancis tertinggi, memerintahkan bahwa wewenang pemerintah kotamadya di Villeneuve – Loubet, sebuah kota tepi pantai di Riviera Prancis tidak berhasil untuk melarang burkini. Pengadilan menemukan bahwa larangan tersebut ---yang dikeluarkan setelah serangan jihadi di Nice, 14 Juli yang menewaskan 86 orang --- adalah "serangan serius dan nyata melawan hukum terhadap kebebasan mendasar, termasuk kebebasan untuk bergerak dan kebebasan mengungkapkan suara hati (freedom of consicience. " Para hakim memerintahkan bahwa pihak berwenang lokal hanya bisa melarang kebebasan individual jika ada "risiko yang diperlihatkan" kepada tatatertib umum. Di sana, kata mereka, tidak ada bukti risiko seperti ini.
Walau keputusan itu diberlakukan atas larangan yang dijalankan di Villeneuve-Loubet, para pengamat mengatakan keputusan itu bakal menjadi preseden hukum bagi 30 kota besar dan kecil lain yang juga melarang pemakaian burkini.
Keputusan pengadilan tinggi dengan demikian membatalkan keputusan pengadilan lebih rendah yang dikeluarkan 22 Agustus yang mengatakan bahwa larangan mengenakan burkini itu "perlu, tepat dan proporsional" dan dilakukan guna menjamin tatatertib masyarakat umum.
Kasus itu diajukan ke pengadilan oleh Masyarakat Penentang Islamofobia di Prancis (Collective against Islamophobia in France ---CCIF) dan Liga Hak Asasi Manusia (Human Rights League ---LDH). Kedua kelompok itu bersumpah hendak mengajukan gugatan hukum kepada kotamadya yang melarang pemakaian burkini, yang mereka katakan melanggar kebebasan beragama kaum Muslim di Prancis.
Patrice Spinosi, seorang pengacara LDH, mengaku karena tidak ada ancaman yang diperlihatkan kepada tatatertib umum, maka pengadilan tinggi "memerintahkan dan memperlihatkan bahwa para walikota tidak berhak menetapkan batasan untuk mengenakan tanda-tanda keagamaan di tempat umum. Karena itu bertentangan dengan kebebasan beragama, yang merupakan kebebasan mendasar."
Justru sebaliknya, para pendukung larangan ----dari seluruh spektrum politik --- berargumentasi bahwa burkini adalah pakaian politis, bukan relijius atau berkaitan dengan agama.
Ketika menulis untuk Le Figaro, pengamat politik Prancis Yves Thréard memperingatkan:
"Skenario terjelek kasusnya adalah bahwa perdebatan itu menyeret sampai sampai jauh sehingga mengganggu pertimbangan-pertimbangan yang benar-benar aneh atas pakaian memalukan ini. Sekularisme dan agama tidak relevan di sini. Burkini bukanlah resep Al-Qur'an, tetapi manifestasi lain Islam politik, militan, destruktif yang berupaya mempertanyakan cara hidup, budaya dan peradaban kita. Jilbab di sekolah, doa di jalanan, menu sekolah halal, pembedaan seks di kolam renang, rumah sakit, sekolah mengemudi, nikab, burka...selama tiga puluh tahun infiltrasinya telah merendahkan masyarakat kita, berjuang untuk membuat masyarakat tidak stabil. Kini waktunya untuk membanting pintu di wajahnya. Youssef al-Qaradawi, pengkorbah kenamaan Mesir, yang sebelumnya adalah dosen di Prancis pernah mengingatkan, "Kami akan menjajah kalian dengan hukum demokrasi kalian.' Karena sikap acuh-acuh dan naïf, kami terlibat dalam bisnis mematikan dan menjijikan ini."
Menurut Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls, burkini merupakan "afirmasi Islam politik di tempat umum." Dalam wawancara dengan La Provence, Valls, seorang Sosialis, mengatakan:
"Saya dukung pihak-pihak yang mengeluarkan larangan...Pantai-pantai, seperti tempat publik apapun, harus dilindungi dari klaim-klaim keagamaan. Burkini merupakan proyek anti-sosial politik yang diarahkan secara khusus untuk menaklukan wanita. Di balik burkini ada pemikiran bahwa wanita, karena hakikatnya adalah wanita sundal, najis dan bahwa mereka seharusnya benar-benar tertutupi. Ini tidak sesuai dengan nilai-nilai Prancis dan Republik. Berhadapan dengan provokasi semacam ini, Republik harus membela diri."
Laurence Rossignol, seorang Sosialis, Menteri Urusan Keluarga, Anak dan Hak Asasi Wanita juga mengatakan mendukung larangan atas burkini. Dalam sebuah wawancara dengan Le Parisien, dia mengatakan:
"Burkini bukanlah jenis pakaian renang baru. Ia adalah burka versi pantai yang punya logika yang sama: untuk menyembunyikan tubuh wanita agar bisa lebih baik mengendalikan mereka. Di balik ini, ada visi kuno yang sangat dalam soal tempat wanita dalam masyarakat. Ada ide bahwa, pada hakikatnya, wanita itu najis, amoral dan karena itu harus menyembunyikan badan mereka dan menghilang dari tempat umum.
"Burkini itu begitu mengganggu karena dimensi kolektif politiknya. Ia tidak hanya berkaitan dengan wanita yang mengenakannya. Ia adalah simbol proyek politik yang memusuhi keragaman dan pemberdayaan."
Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls baru-baru ini menyatakan bahwa "Burkini merupakan sebuah proyek anti-sosial politik yang diarahkan secara khusus untuk menaklukan wanita. Di balik burkini ada pemikiran bahwa wanita, karena hakikatnya adalah wanita sundal, tidak murni dan bahwa mereka seharusnya benar-benar tertutupi. Ini tidak sesuai dengan nilai-nilai Prancis dan Republik. Berhadapan dengan provokasi semacam ini, Republik harus membela diri." Gambar atas: Empat polisi di Nice, Prancis, digambarkan memaksa seorang wanita untuk melepaskan bagian pakaiannya karena pakaiannya melanggar larangan memakai burkini yang diterapkan kota itu, pada 23 Agustus. Mereka juga memberikan denda kepada karena pelanggaran itu. (Sumber fotoL suntingan video NBC News). |
Mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, yang baru-baru ini mengumumkan bahwa dia jadi kandidat Pemilu Presiden 2017 mendatang mengatakan, jika terpilih dia akan "mengubah konstitusi" serta menekankan adanya larangan di seluruh negara atas burkini. Pada sebagai kampanye 26 Agustus lalu, Zarkozy, seorang konservatif mengatakan:
"Saya akan jadi presiden yang membangun kembali otoritas negara. Saya ingin menjadi presiden yang menjamin keamanan Prancis dan setiap orang Prancis...
"Saya menolak membiarkan burkini diterapkan dengan sendirinya di pantai-pantai dan kolam renang Prancis...harus ada undang-undang untuk melarangnya di seluruh penjuru kawasan Republik. Identitas kita sedang terancam ketika kita menerima kebijakan imigrasi yang tidak masuk akal."
Dalam sebuah wawancara dengan Le Figaro, Sarkozy merinci pernyataannya:
"Mengenakan burkini merupakan tindakan politik, sebuah provokasi, Wanita yang memakainya sedang menguji daya tahan Republik Prancis. Jika kita tidak hentikan, maka ada risiko bahwa dalam 10 tahun, para gadis muda Muslim yang tidak ingin mengenakan burkini atau jilbab bakal distigmatisasi dan ditekan untuk melakukannya."
Henri Leroy, Walikota Mandelieu-La-Napoule, salah satu kota pertama Prancis yang melarang burkini, mengatakan pemukim Muslim harus diingatkan bahwa "mereka pertama-tama adalah orang Prancis dan penganut Muslim itu yang kedua. ' Ditambahkannya: " Republik kita punya tradisi dan adat-istiadat yang perlu dihormati."
Walikota Cannes yang konservatif, David Lisnard, mengatakan burkini merupakan "pakaian yang menjadi simbol ekstremisme Islam." Sementara itu, pejabat kota, Thierry Migoule mengatakan burkini adalah pakaian yang sok pamer, yang mensinyalkan sikap patuh kepada gerakan kaum teroris yang memaklumkan perang atas kita."
Walikota Fréjus, David Rachline, menulis bahwa keputusan pengadilan tinggi menjadi "kemenangan bagi kaum radikal Islam, bagi Islam politik yang sedang berkembang subur di negeri kita."
Lionnel Luca, walikota kota Villeneuve-Loubet yang konservatif mengatakan larangan atas burkini perlu supaya bisa "menentang Islamisasi yang menanjak naik dan berkembang di negeri kita." Ditambahkannya bahwa keputusan pengadilan tinggi, "jauh daripada usaha untuk menyenangkan hati [kalangan Muslim], malah sebaliknya meningkatkan semangat dan ketegangan masyarakat.'
Ange-Pierre Vivoni, walikota Kota Sisco yang Sosialis menetapkan larangan atas burkini, "guna melindungi warga negara" menyusul amukan seorang warga Muslim pada 14 Agustus lalu ketika seorang turis mengambil foto sejumlah wanita berburkini sedang berenang di sebuah sungai. Lebih dari 400 orang akhirnya terlibat konflik, ketika masyarakat Korsika setempat bentrok dengan para migran dari Afrika Utara. Sehari berikutnya, lebih dari 500 warga Korsika berparade ke seluruh kota sambil berteriak, "Untuk mempersenjatai diri! Ini rumah kami."
Berbagai poling pendapat umum memperlihatkan luasnya dukungan publik atas larangan mengenakan burkini. Menurut lembaga polling Ifop poll yang diterbitkan Le Figaro, 25 Agustus 2015 lalu, sebanyak 64% masyarakat Prancis menentang burkini dikenakan di pantai dan hanya 6 % mendukungnya. Direktur Ifop, Jérôme Fourquet mengatakan, "Hasilnya sama dengan yang diukur April lalu, soal jilbab dan penutup kepala dikenakan di jalan umum (63% menentang). Pantai disamakan dengan jalan, di mana mengenakan simbol-simbol keagamaan yang sok pamer juga ditolak oleh dua pertiga masyarakat Prancis."
Soeren Kern adalah Mitra Senior Gatestone Institute yang berbasis di New York. Dia juga Mitra Senior European Politics pada Grupo de Estudio Estratégicos/Kelompok Studi Strategis yang berbasis di Madrid. Ikuti dia di Facebook dan di Twitter.Buku pertamanya, Global Fire (Bencana Global) akan diluncurkan pada 2016.
Apendiks
Larangan Burka di Negara-Negara Eropa
Konflik di Prancis seputar burkini---sebuah kata campuran dari burka dan burkini memantik perdebatan panjang seputar tatacara berpakaian Islami di negara-negara Eropa lainnya.
Austria. Pada 13 Agustus, Norbert Hofer, calon presiden Partai Kemerdekaan Austria ((FPÖ) menyerukan agar burka dilarang. "Saya pikir logis," katanya. Beberapa hari kemudian, Menteri Luar Negeri dan Integrasi Sebastian Kurz dari Partai Rakyat Austria (ÖVP) yang berkuasa mengatakan undang-undang integrasi baru bakal mencakup pembatasan burka. "Cadar yang menutup seluruh tubuh seseorang itu mempersulit orang untuk integrasi," urai Kurz. "Burka bukanlah simbol agama, tetapi simbol masyarakat yang melawan (counter-society).
Menteri Dalam N Wolfgang Sobotka mengatakan larangan menyeluruh atas burka bakal "problematik secara konstitusional." Dikatakannya, larangan parsial di daerah perbatasan negara dan ketika orang sedang berkendaraan jauh lebih realistis."
Sebuah polling yang diadakan di seluruh negeri pada 25 Agustus lalu menemukan bahwa 75% warga Austria lebih suka burka dilarang.
Sebelumnya, FPÖ meminta burka dilarang pada Juli 2014. Pada saat itu, Kurz menolak ide itu, dan mengatakannya sebagai "perdebatan semu."
Pada Juni 2016, Hainfeld menjadi kotamadya pertama Austria yang berniat melarang pemakaian burkini di kolam renang umum. Di Wina, media lokal melaporkan ada "peningkatan berarti" jumlah wanita memakai burkini di kolam renang publik di ibukota.
Baltik. April 2006, Pemerintah Latvia mengumumkan usulan untuk melarang burka. Pemerintah mengatakan, tujuan undang-undang, yang diharapkan diberlakukan pada 2017 nanti, hendak menjamin bahwa imigran Muslim menghargai nilai-nilai negeri itu. Sementara itu, larangan atas burka juga sedang didiskusikan di Estonia dan Lithuania.
Belgia. Juli 2011, Belgia menjadi negara Eropa kedua setelah Prancis yang berniat melarang burka. Para pelanggar akan menghadapi denda 137 Euro atau (sekitar Rp 2 juta) dan lebih dari tujuh hari mendekam di penjara. Selama lima tahun sejak larangan itu dijalankan, lebih dari 70 wanita sudah diberi sanksi karena mengenakan pakaian tersebut di tempat publik. Jumlah itu termasuk 67 wanita di Brussels dan 7 orang lainnya di Liege.
Agustus 2016, Nadia Sminate, anggota parlemen Belgia keturunan Maroko dan Findlandia menyerukan supaya burka dilarang sepenuhnya. Dalam sebuah wawancaa dengan Harian De Standaard, dia menjelaskan:
"Kita harus benar-benar hindari membiarkan kaum wanita berjalan di seantero Finlandia dengan mengenakan burkini. Tidak juga di kolam renang, tidak juga di pantai. Saya tidak berpikir para wanita ingin pergi ke pantai dengan pakaian aneh itu atas nama agama. Jika kita biarkan, maka kita menyingkirkan kaum wanita di pinggiran masyarakat. Kita hidup di Findlandia dan kita yang membuat aturan. Jika kita katakan kita perlu tetapkan batas dan menegakan nilai-nilai kita, maka kita harus melakukannya."
Inggeris. Pada 31 Agustus, sebuah polling yang dilakukan oleh YouGov menemukan mayoritas masyarakat Inggeris mendukung pelarangan burka di tempat umum. Menurut polling, 57% masyarakat Inggeris mendukung larangan, sedangkan 25% lainnya menentang. Satu-satunya kelompok umur yang menentang larangan itu adalah yang berusia antara 18 – 24 tahun; sedangkan yang lain mendukung, dengan kelompok tertua di atas 65 tahun mendukung larangan mencapai 78% hingga 12%. Semua partai politik penting juga punya banyak pemilih yang mendukung larangan. Sebuah pertanyaan terpisah yang diajukan oleh YouGov menemukan bahwa 46% warga Inggeris ingin melarang burkini; 30% lainnya menentang larangan.
Bulgaria. Pada Juni 2016, Parlemen Bulgaria mensahkan sebuah undang-undang baru yang melarang pemakaian burka. Gebrakan itu menjadikan Bulgaria negara ketiga Eropa yang mengesahkan undang-undang seperti itu menyusul Prancis dan Belgia. Larangan diterapkan atas warga Bulgaria serta siapa saja di negeri itu untuk sementara waktu.
Undang-undang itu mengatakan bahwa pakaian yang menutup wajah pemakainya tidak boleh dikenakan di Bulgaria tengah, di lingkungan pemerintahan setempat, sekolah, lembaga-lembaga budaya dan tempat-tempat rekreasi, olahaga serta komunikasi umum.
Menutup kepala, mata, telinga serta mulut diijinkan hanya bila diperlukan karena alasan kesehatan, keperluan professional serta olahraga dan budaya. Larangan juga akan diberlakukan atas rumah-rumah ibadat.
Undang-undang itu menetapkan denda 200 leva atau Rp 1,5 juta bagi pelanggar. Sedangkan untuk pelanggaran kedua dan selanjutnya, si pelanggar dikenakan denda 1500 leva atau sekitar Rp 11.250 ribu serta kehilangan tunjangan sosial
Siapa saja yang membujuk orang lain untuk menutup wajah bisa dikenakan saksi hingga 3 tahun penjara dengan denda 5000 leva (atau sekitar 37,6 juta). Jika orang membujuk agar orang yang menutup wajahnya itu adalah anak kecil, maka hukumannya meningkat menjadi penjara maksimal 5 tahun di penjara beserta denda lebih dari 10.000 leva atau $ 5.700 atau sekitar Rp 75 juta.
Republik Cheko. Pada Maret 2016, seorang mahasiswa Muslim mengajukan gugatan terhadap sebuah sekolah perawat di Praha setelah dia dilarang mengenakan hijab selama mengikuti pelajaran. Pihak sekolah berargumen bahwa mahasiswa tidak boleh menutup kepalanya di ruang kelas.
Denmark. Agustus 2016, Partai Rakyat Denmark mengatakan pihaknya akan ajukan proposal kepada parlemen untuk melarang pemakaian burka. Dalam wawancaranya dengan Metro Express, jurubicara partai Kenneth Kristensen Berth mengatakan pakaian itu harus dicabut perlindungan hukumnya karena alasan keamanan:
"Ada sejumlah contoh, terutama di Timur Tengah, di mana orang yang mengenakan burka adalah pelaku bom bunuh diri. Hanya soal waktu saja sebelum ia terjadi di Eropa. Saya baru kembali dari London, di mana jumlah burka di jalanan sudah sangat meningkat tajam. Pakaian itu bisa digunakan untuk menyembunyikan bom tanpa bisa dideteksi."
Prancis. April 2011, Prancis menjadi negara Eropa pertama yang melarang burka dan nikab. Pada Juli 2014, Dewan Hak Asasi Eropa mempertahankan larangan tersebut.
Setelah serangan jihadis Juli 2016 di Nice yang menewaskan 86 orang maka sedikitnya 30 kota kecil dan besar melarang pemakaian burkini di pantai-pantai umum.
Pada 26 Agustus, Dewan Kota, pengadilan administrasi tertinggi Prancis memerintahkan bahwa pihak berwenang di Villeneuve-Loubet, sebuah kota tepi pantai di Rivieta Prancis, tidak berhak melarang pemakaian burkini. Walau keputusan itu diterapkan hanya untuk melarang pemakaian burkini di kota itu, para pengamat mengatakan keputusan ini bakal menjadi preseden hukum bagi seluruh Prancis.
Polling pendapat umum memperlihatkan dukungan publik yang luas untuk melarang pemakaian burkini. Menurut polling dari Ifop yang diterbitkan oleh Le Figaro, pada 25 Agustus lalu, ada 64% masyarakat di Prancis menentang pemakaian burkini di pantai; hanya 6% yang mendukung. Direktur Ifop, Jérôme Fourquet mengatakan, "Hasilnya sama dengan yang diukur April lalu soal pemakaian jilbab dan penutup kepala di jalan umum (63% menentang). Pantai disamakan dengan jalan, di mana mengenakan simbol-simbol keagamaan yang sok pamer juga ditolak oleh dua pertiga masyarakat Prancis."
Jerman: Pada 18 Agustus, Menteri Dalam Negeri Jerman Thomas de Maizière mengumumkan sebuah proposal untuk "sebagian larangan untuk mengenakan burka" yang bisa melarang pemakaian cadar penutup wajah di tempat-tempat umum, termasuk taman kanak-kanak, sekolah, universitas, kantor pemerintah dan ketika sedang berkendaraan.
"Kami menolak cadar yang sepenuhnya menutup wajah," urai de Maizière. "Bukan cuma burka, cadar penutup wajah apapun yang hanya memperlihatkan mata seseorang pun dilarang. Pakaian itu tidak cocok dengan masyarakat kami, karena cara kami berkomunikasi, karena kohesi sosial kami. Ini sebabnya kami menuntut supaya anda memperlihatkan wajah anda."
Dalam sebuah wawancara pada 12 Agustus lalu dengan Harian Bid Julia Klöckner, wakil ketua Partai Kristen Demokrat (CDU) yang berkuasa mengatakan:
"Cadar yang sepenuhnya menutup wajah sangat menghambat integrasi wanita di sini. Ia bukan tanda keragaman beragama, tetapi merepresentasikan merosotnya citra perempuan. Ia dilarang di Prancis dan Dewan Hak Asasi Manusia Eropa pun memperkuatnya."
Dalam wawancara dengan Die Welt pada 30 Juli lalu, politisi CDU Jens Spahn menjelaskan:
"Larangan atas cadar penutup wajah penuh, yang berkaitan dengan nikab termasuk burka, sudah terlambat dilakukan. Ia menjadi sinyal kepada dunia. Bayangkan bagaimana percakapan ini terjadi jika kita sepenuhnya bercadar ketika sedang berbicara satu sama lain. Saya tidak ingin melihat burka di negeri ini. Dalam arti ini, saya burkaphobe atau orang yang fobia terhadap burka.
Dalam artikelnya untuk Bild, Bassam Tibi, mantan dosen Universitas Göttingen yang menyebut dirinya "Muslim Eropa" menulis bahwa dia sepenuhnya mendukung larangan mengenakan burka.
"Melarang burka bakal menjadi langkah politik cerdas melawan orang-orang tertentu yang membungkus diri mereka terpisah dalam masyarakat yang sama, demi integrasi inklusif kaum migran Muslim dan demi keamanan Republik Federal Jerman.
Sebuah polling yang diterbikan oleh Infratest dimap pada 26 Agustus lalu menemukan bahwa 81% warga Jerman mendukung larangan berbuka di tempat-tempat umum. Polling menemukan bahwa sebesar 51% warga mendukung pelarangan total atas burka.
Pada 22 Agustus, sebuah pengadilan di Osnabrück memerintahkan bahwa siswa kota itu tidak diperkenankan mengenakan cadar di kelas. Sebuah sekolah, Sophie Scholl awalnya menerima siswa pemakai burka, tetapi kemudian meninjau kembali keputusannya ketika sang siswi ngotot mengenakan nikab di kelas. Para pejabat sekolah mengatakan komunikasi terbuka yang diperlukan dalam pendidikan tidak mungkin terselenggara jika hanya mata siswa yang terlihat.
Pada bulan Juni, sebuah kota di negera bagian Bavaria, Neutraubling melarang burkini dikenakan di kolam renang umum setelah para penyandang dana wanita untuk kolam itu mengeluh bahwa pakaian semacam itu tidak memenuhi syarat kesehatan. Walikota Heinz Kiechle bertanya; "Saya tidak paham mengapa perlu mengenakan burkini petang hari ketika kolam renang itu disediakan hanya kaum untuk wanita."
Italia. Sejak 1 Januari 2016, burka dan nikab dilarang dari semua kantor umum dan rumah sakit di kawasan timur laut Lombardy.
Pada 17 Agustus, Menteri Dalam Negeri Angelino Alfano mengatakan Italia tak akan melarang burkini karena gerakan seperti ini bisa membangkitkan serangan balasan dari komunitas Muslim. Dalam wawancara dengan Corriere della Sera, dia menjelaskan:
"Kementerian dalam negeri bertanggung jawab untuk menjamin keamanan umum serta memilih tingkat sikap tegas yang tidak bakal menjadi provokasi yang berpotensi mengundang serangan."
Malta. Selama Oktober 2015, pemerintah negeri itu memperdebatkan larangan atas burka di tempat umum setelah muncul sebuah foto memperlihatkan seorang wanita mengenakan cadar berpenutup wajah penuh mengendarai mobil. Padahal, Pasal 338 Hukum Pidana mengatakan bahwa merupakan ancaman bagi tatatertib umum jika seseorang "di tempat umum, mengenakan penutup tubuh atau menyamarkan diri, kecuali pada waktu dan cara yang diijinkan oleh hukum." Sejumlah anggota pemerintah mengatakan bahwa undang-undang yang ada harus diklarifikasi agar bisa secara spesifik menganggap burka sebagai melanggar hukum.
Seorang imam setempat, Mohammed Elsadi, mengatakan larangan berburka justru mengancam integrasi dan harmoni sosial di Malta. Ditambahkannya: "Dalam dunia global di mana orang dari berbagai budaya hidup bersama dan berinteraksi dalam begitu banyak bentuk dan dalam begitu banyak bidang kehidupan, jauh lebih menguntungkan bagi negara manapun untuk memberi kebebasan sebanyak-banyaknya kepada seseorang jika memungkinkan." Dikatakannya, kaum Muslim seharusnya diberikan "seluruh kebebasan untuk menjalankan semua norma budaya dan cara hidup mereka sendiri."
Menghadapi pernyataan itu, Menteri Persamaan Hak Helena Dalli pun menanggapi:
"Ada beberapa ratus ribu umat Muslim di Malta. Banyak dari mereka sudah berada di sini sekian lama, bahkan selama beberapa generasi. Burka dan nikab bukan pakaian yang dapat orang kaitkan dengan komunitas ini. Jadi larangan yang lebih jelas soal penutup wajah seharusnya tidak berdampak terhadap mayoritas luas kaum Muslim dengan cara apapun."
Belanda. Pada Mei 2015, Pemerintah Belanda mengesahkan sebagian larangan atas jilbab Islami yang menutup wajah pemakainya dalam transportasi dan tempat-tempat umum seperti sekolah dan rumah sakit. Para pelanggar akan didenda $450 (sekitar Rp 5,9 juta). Meski demikian, larangan itu tidak diterapkan untuk memakai burka atau nikab di jalan-jalan.
Norwegia. Selama Agustus 2016, sebuah komisi lintas partai untuk integrasi mengusulkan burka dan nikab dilarang di lembaga-lembaga publik serta melarang pemakaian hijab di sekolah-sekolah pemerintah. Dalam sebuah laporan sepanjang 50 halaman yang berjudul, "Ten Commandments for Better Integration," (Sepuluh Perintah untuk Integrasi Lebih Baik), komisi menyerukan adanya patokan nasional yang jelas seputar kode etik pakaian Islamiah guna meningkatkan integrasi negeri itu.
"Guna meningkatkan integrasi, kita harus mendorong partisipasi yang lebih besar dalam kehidupan public," urai politisi Partai Buruh Jette Christensen. "Karena itu, kita tidak bisa ijinkan wajah ditutup."
Politisi Partai Pembangunan Maryan Keshvari menambahkan: "Kita tidak bisa mengijinkan pakaian kaum Islam radikal yang penting di sekolah-sekolah Norwegia."
Pada 2013, Parlemen Norwegia menolak larangan mengenakan burka. Alasannya, bahwa Norwegia berisiko disensor oleh Dewan Hak Asasi Eropa (ECHR). Sejak ECHR mendukung larangan itu di Prancis, Juli 2014, para pendukungnya di Norwegia mencoba mengusulkannya namun tetap gagal mendapatkan pengesahan parlemen atas larangan yang sama.
Slovenia. Pada Nopember 2015, partai oposisi, Partai Demokrat (SDS) mengajukan sebuah rancangan undang-undang guna melarang burka dan nikab di depan umum serta memperketat persyaratan-persyaratan untuk bisa mendapatkan suaka di Slovenia.
"Tatkala berada di Slovenia, orang harus menghormati budaya dan adat-istiadat Slovenia," urai ketua Partai SDS. "Itu sebabnya kami mengajukan sebuah rancangan undang-undang yang berjuang untuk melarang pemakaian burka di tempat umum."
Anggota parlemen SDS, Vinko Gorenak lalu menambahkan: "Kita harus menyesuaikan diri dengan adat-istiadat mereka ketika pergi ke tempat mereka. Tidak ada alasan mengapa kami tidak boleh menuntut hal yang sama ketika mereka berada di dalam lingkungan budaya kami."
Spanyol. Desember 2010, Kota Lérida di Catalan mengesahkan larangan mengenakan burka di tempat-tempat umum sebagai undang-undang. Namun, Mahkamah Agung Spanyol, pada Februari 2013 lalu menetapkan bahwa larangan itu tidak konstitusional. Pengadilan mengatakan larangan itu "menetapkan batasan atas hak-hak dasar untuk menjalankan kebebasan beragama, yang dijamin oleh Konstitusi Spanyol." Pembatasan hak-hak fundamental hanya bisa dicapai melalui undang-undang pada tingkat nasional, bukan lewat peraturan pemerintah lokal, tambah pihak pengadilan lagi.
September 2014, selama debat parlemen seputar UU Keamanan Masyarakat (Ley de Seguridad Ciudadana), Menteri Dalam Negeri Jorge Fernández Díaz menyerukan agar burka dilarang di tempat umum. Ditegaskannya, isu itu punya dua dimensi: keamanan dan kemuliaan martabat wanita.
"Menurut saya, burka adalah pakaian yang melanggar kemulian martabat wanita," urainya "Tetapi ia tidak ada dalam lingkup tanggung jawab Menteri Dalam Negeri." Terkait keamanan, urainya, burka "mempersulit identitikasi pelaku kejahatan."
Sebuah taman air di Kota Girona, Catalan melarang burkini dikenakan di sana "karena alasan keamanan," pada Agustus 2016. Sementara itu, Juni 2014, Kota Vitoria di Basque melarang burkini dikenakan di kolam-kolam renang umum. Nopember 2014, seorang sopir di Vitoria melarang seorang wanita pemakai burka untuk menaiki bus yang dikendarainya.
Swiss. Tanggal 1 Juli 2016, larangan atas burka mulai diterapkan di Ticino, Swiss, yang menjadi daerah pertama kawasan itu yang melakukannya. Pelanggarnya didenda 10.000 franc Swiss atau sekitar Rp 131 juta. Gebrakan itu dilakukan menyusul referendum September 2013 lalu di mana 65% pemilih di wilayah berbahasa Italia memilih mendukung larangan tersebut.