Kemarin, seorang rekan, Josh Hasten, dikepung oleh satu gerombongan warga Palestina yang membawa batu ketika dia tengah berkendaraan menuju Yerusalem. "Saya melihat gerombolan massa terdiri dari 40 hingga 50 warga Palestina bertopeng di sisi jalan. Mereka berdiri sambil membawa batu dan blok sinder," urai Hasten. "Ketika mereka dekati mobil, saya keluarkan senapan dan saya lepaskan satu tembakan ke udara. Tembakan itu jelas menakutkan mereka sehingga mereka berlarian ke bukit, menjauhkan diri dari jalanan. Tidak saya ragukan lagi bahwa saya sudah mati sekarang jika tidak menggunakan senapan. Mereka berniat membunuh saya."
Di Eropa dan Barat, aksi kekerasan teroris relatif jarang terjadi. Di Israel, aksi itu terjadi beberapa kali dalam sehari--- secara teratur.
Pekan lalu, Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmud Abbas berbicara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dia menyoroti "kejahatan Israel," tetapi tidak secara khusus menjelaskannya. Dia jelas sadar bahwa dia sudah hilang kendali atas "jalan-jalan" Palestina yang kini tampaknya merasa lebih dekat dengan unsur-unsur radikal dalam aksi pembunuhan warga Israel.
Tidak seperti di Eropa, teroris diradikalisasi pertama-tama oleh media sosial dan para ulamanya, maka warga Palestina justru mengalami lebih dari itu. Mereka diradikalisasi pertama-tama oleh para pemimpin Otoritas Palestina atau Hamas. Anak-anak Arab menyaksikan anak Arab lain di televisi melemparkan batu dan bom molotov, berbicara tentang pisau dan aksi penembakan warga Yahudi. Akibatnya, mereka pun ingin terlibat dalam aksi.
Sementara itu, Pemerintah Israel dilarang oleh tekanan dunia internasional untuk membubarkan kelompok-kelompok itu atau menangkap para pemimpin mereka. Kejadian itu sama seperti warga Inggeris terganggu oleh serangan teror tiap hari yang diarahkan oleh para pemimpin mereka yang berdiam di Birmingham namun Pemerintah Inggeris yang dilarang untuk bertindak melawan sumber-sumber itu, merasa sakit karena dikecam dan diberi sanksi oleh Uni Eropa dan PBB.
Gelombang kerusuhan dan serangan teroris warga Arab akhir-akhir ini bisa dibandingkan dengan intifada, sebuah kata Bahasa Arab yang berarti "kerusuhan" atau 'goncangan". Kata itu digunakan untuk menjelaskan keinginan warga Arab Palestina untuk mengusir keluar warga Yahudi dari negeri itu.
Demonstrasi dan kerusuhan kejam diawali dan dirancang oleh pemimpin Palestina. Tampaknya upaya itu terkait dengan nyaris hilangnya dukungan rakyat mereka sendiri terhadap mereka. Para pemimpin Palestina tengah menyaksikan, dalam berbagai penelitian yang dilakukan pada tingkat lokal serta pemilihan di kalangan mahasiswa, munculnya rasa tidak puas terhadap pemerintahan Palestina pimpinan Fatah yang korup, kaku dan tidak responsif. Termasuk juga soal semakin populernya Hamas.
Pada waktu yang sama, para pemimpin Otoritas Palestina juga tengah menyaksikan semakin popuplernya kelompok-kelompok pesaing ketika media dunia dan komunitas diplomatik mulai mengabaikan mereka dan justru sedang sibuk dengan Iran, Rusia, Suriah dan ISIS.
Aksi kekerasan baru-baru ini tampaknya lebih bermuatan agama dibandingkan dengan intifada sebelumnya.[1] Barangkali karena melihat Hamas dan Jihad Islam sangat Islami, Presiden PA Mahmud Abbas ---mengandalkan kaum ekstremis --- meski sepenuhnya salah --- kalangan Islamis merekayasa (theme) bahwa warga Yahudi tengah berupaya menghancurkan tempat-tempat suci Islam. Di sini dengan memantik gelombang persaingan antarberbagai kelompok radikal untuk mengetahui faksi mana yang bisa memancing aksi kekerasan paling banyak.
Hamas selama ini memerintah Jalur Gaza. Tidak ada rahasia lagi, faksi ini ingin memperluas pengaruhnya di Tepi Barat. Kali ini, dia dibantu oleh Otoritas Palestina, yang memanfaatkan hari libur penting Yahudi sebagai alasan untuk menuduh warga Yahudi yang bersembahyang di Tembok Barat, mencoba mengambil alih tempat-tempat suci umat Muslim. Tembok Barat merupakan tempat suci umat Yahudi, yang sepenuhnya merupakan sisa-sisa reruntuhan Bait Allah Kedua Yahudi, yang dihancurkan Romawi pada tahun 70.
Ketika umat Muslim mendengar dari para pemimpin mereka bahwa warga Yahudi tengah "menajiskan" tempat-tempat suci Islam dengan "kaki kotor" mereka dan berkomplot untuk menghancurkan berbagai tempat itu, maka ia menjadi kode, yang menyuruh mereka untuk pergi menyerang warga Yahudi.
Selain itu, kaum wanita Muslim, dalam berbagai kelompok terorganisasi didanai oleh Gerakan Islam di Israel, dikirim dengan bus-bus ke Yerusalem. Mereka dibayar untuk memperlakukan dengan kasar, kadangkala dengan menggunakan kekerasan, untuk mencegah kaum non-Muslim, terutama warga Yahudi, untuk mengunjungi Bukit Bait Allah. Para wanita itu meninju, menendang, meludahi serta memaki-maki warga Yahudi (dan kerapkali warga non-Muslim lain) yang mengunjungi atau mencoba mengunjungi Bukit Bait Allah.
Selama bertahun-tahun, Mahmud Abbas berusaha membangkitkan semangat warga Palestina lewat berbagai klaim--- yang semuanya salah --- seperti bisa dilihat dalam seluruh Injil --- bahwa warga Yahudi tidak punya warisan atau sejarah di Yerusalem dan karena itu tidak berhak berada di sana. Itulah komando yang terus menerus dia katakan, walau bangsa dan budaya Yahudi sudah ada di tanah itu dan bisa dilacak hingga 3.000 tahun silam.
Hasutan untuk melakukan kekerasan menyebabkan kekerasan benar-benar terjadi. Pada 3 Oktober lalu, seorang pemuda Arab berusia 19 tahun yang mudah terpengaruh pun menjadi pembunuh. Sebelum beraksi, Muhamad Halabi menulis di halaman Facebooknya mengatakan, "Intifada Ketiga sudah meledak pecah!.. Mempertahankan kesucian Al-Aqsa dan para wanitanya merupakan bukti kebanggaan dan kemuliaan... Kita hanya tahu bahwa Yerusalem tidak terbagi dan bahwa setiap bagian kota itu suci."
Pembunuh muda itu tampaknya terjebak dalam semangat klaim salah Abbas bahwa warga Yahudi tengah menajiskan tempat-tempat suci Islam dengan "kaki kotor mereka." Pemikiran ini mendorong dia untuk membawa pisau lalu memasuki bagian Kota Tua Yerusalem, untuk mencari warga Yahudi. Di sana, dia menyerang sebuah keluarga Yahudi yang sedang dalam perjalanan untuk bersembahyang di Tembok Barat. Dia menikam Aharon Banita dan istrinya Adele. Mendengar jeritan korban, Rabbi Nehemia Lavi, 41 tahun, dengan bersenjatakan pistol, berlari ke tempat kejadian berusaha menghentikan serangan. Bukannya berhenti, Halabi malah menikam mati Lavi. Dia bahkan merebut senjatanya, menembak serta melukai seorang bocah dua tahun, Matan Banita. Beberapa saat kemudian, pasukan keamanan tiba lalu membunuh Halabi setelah terlibat tembak-menembak. Adele dan Matan Banita berhasil lolos dari maut.
Di tengah serangan, dalam keadaan terluka dan berdarah, Adele Banita berupaya berlari menyelamatkan diri sambil berteriak sepanjang jalan 'meminta tolong. Bukannya ditolong, dia malah diejek, dimaki-maki, dipukul dan dihina oleh orang-orang Arab yang lewat serta warga Arab pemilik tokoh setempat. Tidak satu orang pun membantunya. Belakangan dia melaporkan dari rumah sakit banyak dari mereka bersorak-sorak agar dia mati. Hasutan anti-Yahudi oleh warga Palestina berdampak pada tewasnya empat warga Yahudi ---- hanya karena mereka orang Yahudi.
Dalam benak warga Palestina yang diradikalisasi, tidak ada bedanya antara menembak atau menikam wanita dan anak serta menembak pria Yahudi.[2]
Banyak media Barat gagal seecara akurat menggambarkan berbagai kejadian di Israel. Judul berita yang secara moral paling mengerikan muncul dari BBC News. Berita utamanya pada 4 Oktober menuliskan, ""Palestinian shot dead after Jerusalem attack kills two" (Seorang Warga Palestina Ditembak Mati setelah Serangan Yerusalem Tewaskan Dua Orang). Di sini jelas ada upaya yang jelas untuk membuat para pembacanya yakin bahwa teroris Palestina yang menjadi korban.
Hanya jika Barat membujuk Abbas untuk menghentikan hasutannya, barangkali dengan menghubungkan bantuan keuangan dengan kinerjanya, maka intifada bakal terus menghebat.***
Barry Shaw adalah Mitra Senior Urusan Diplomasi Publik pada Israel Institute for Strategic Studies (Institut Israel untuk Kajian Strategis). Dia adalah pengarang buku 'Fighting Hamas, BDS and Anti-Semitism (Perangi Hamas, BDS dan Anti-Semitisme).
[1] "Intifada" pertama terjadi pada 1987 – 1993. Ketika itu, warga Arab pertama-tama menyerang para tentara dan polisi Israel, umumnya dengan batu dan bom molotov. "Intifada" kedua (2000 – 2005) dirancang oleh almarhum Presiden Otoritas Palestina Yasser Arafat. Aksi mereka melibatkan banyak sekali serangan --- bom bunuh diri, penembakan dan bom mobil --- melawan sasaran dan semua sasaran Israel, terutama masyarakat.
[2] Pada 2011, misalnya, tiga dari enam anak keluarga Fogel di Desa Itamar dipukul hingga tewas di tempat tidur mereka bersama orangtua mereka, ketika sejumlah teroris Palestina menerobos memasuki rumah mereka. Di dekat Desa Itamar juga, empat anak keluarga Henkin secara ajaib berhasil lolos dari terjangan peluru pada 1 Oktober lalu, ketika sambil berkendaraan, warga Palestina menembak mati orangtua mereka (Eitam dan Naama Henkin). Anak lelaki mereka yang berusia 9 tahun mendaraskan doa ratapan di pusara orangtuanya keesokan harinya.