Sebuah perdebatan baru saja meledak di Jerman. Perdebatan itu berkaitan dengan apakah siswa Muslim harus dikecualikan dari kunjungan wajib ke berbagai bekas kamp konsentrasi sebagai bagian dari program pendidikan tentang Holocaust.
Perdebatan itu berpusat pada sebuah proposal yang mempersyaratkan para siswa di semua sekolah menengah di negara bagian selatan Bavaria untuk mengunjungi tempat-tempat peringatan sebagai bagian dari kurikulum sekolah.
Kunjungan-kunjungan itu diwajibkan bagi para siswa yang bersekolah di Gymnasium (suatu bentuk sekolah menengah yang sangat menekankan pembelajaran akademis). Dan proposal itu memperluas persyaratan agar para siswa kelas 8 dan 9 pada semua jenis sekolah menengah termasuk sekolah-sekolah berkebutuhan khusus pun menjalaninya.
Proposal itu disponsori oleh sebuah partai politik namanya Free Voters (Para Bemilih Bebas---Freie Wähler). Isinya menyerukan agar kurikulum pendidikan resmi perlu menghapus dan mewajibkan para siswa untuk mengunjungi tempat-tempat peringatan kamp konsentrasi Bavaria di Dachau und Flossenbürg dan Deutsch-Deutsches Museum di Mödlareuth.
Tujuan yang diungkapkan dalam proposal adalah bahwa semua siswa di Bavaria secara pribadi mengunjungi tempat peringatan sedikitnya satu kali selama masa sekolah. Diharapkan, dengan kunjungan itu mereka mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang masa Nazi.
Proposal tersebut ternyata ditentang oleh Partai Uni Sosial Kristen (CSU) yang berkuasa. Partai itu merupakan mitra partai pimpinan Kanselor Jerman, Angela Merkel, Partai Uni Demokrat Kristen (CDU). Dalam debat parlemen atas isu tersebut, anggota CSU Klaus Steiner menjelaskan:
"Khususnya di sekolah-sekolah menengah pertama kita punya para imigran dan anak-anak para pencari suara. Di antara mereka ada banyak siswa keluarga Muslim yang tidak punya hubungan dengan masa lalu kita dan akan akan membutuhkan banyak waktu sebelum mereka mampu mengidentifikasi diri dengan sejarah kita. Kita perlu berhati-hati dengan cara menjelaskan masalah pada anak-anak ini."
Steiner menambahkan bahwa kunjungan wajib untuk para siswa berkebutuhan khusus tidak tepat. Karena, banyak dari mereka kekurangan "kemampuan kognitif dan emosional" untuk memahami Holocaust.
Komentar Steiner itu disambut dengan marah dari banyak penjuru. Gisela Sengl, seorang anggota dewan yang bergabung dalam partai oposisi Partai Hijau mengatakan pengakuan Steiner bahwa para siswa terlampau bodoh untuk memahami Holocaust itu menggelikan. "Biar saya jelaskan," urai Sengl. "Kau tidak perlu I.Q. tertentu untuk memahami hal-hal mengerikan yang terjadi pada masa Nazi."
Günther Felbinger, seorang anggota parlemen dari Partai Free Voters mengatakan posisi CSU sangat sulit untuk berdamai dengan partai yang bertekad berupaya mengintegrasikan para imigran baru. "Para siswa Muslim juga perlu terima sejarah Jerman," urainya.
Lembaga kajian Simon Wiesenthal Center yang berbasis di Los Angeles, sebuah kelompok hak asasi manusia Yahudi bahkan jauh lebih terus terang. Dalam sebuah surat kepada Menteri Pendidikan Federal Jerman Johanna Wanka, direktur hubungan internasional lembaga kajian itu, Shimon Samuels menulis:
"Mendengar bahasa berbau busuk seperti ini dari seorang politisi arus utama Jerman, maka tindakan itu paling tepat harus dilihat sebagai penolakan terhadap Holocaust dan paling parah lagi sebagai sikap Jerman untuk menerima niat kelompok radikal Islamis dan Iran lalu merangkumnya sebagai "Holocaust hanya penipuan, mari kita jadikan dia kenyataan."
Samuel kemudian mempertentangkan keputuan CSU Bavaria menggunakan dana pemerintah federal sebesar 20 juta Euro (22,5 juta atau sekitar Rp 293 miliar), untuk investasi lima tahun guna membangun Pusat Kajian Teologi Islam di empat universitas penting Jerman: Münster/ Osnabrück, Tübingen, Frankfurt/Giessen and Nürnberg-Erlangen in Bavaria.
Menurut Menteri Pendidikan Jerman, pengajaran agama Islam merupakan "bagian dari kebijakan integrasi modern." Karena itu, websiste kementerian itu mengatakan:
"Pendidikan agama di sekolah-sekolah menawarkan pedoman budaya dan teologis penting. Ia mengajarkan etika dan moralitas serta mendukung para siswa dan kaum mudah untuk mengembangkan identitas diri mereka sendiri. Pendidikan agama mendorong para siswa dan kaum untuk berefleksi dan mengartikulasikan keyakinan mereka sendiri. Sekaligus, dia juga menantang mereka untuk bergulat dengan berbagai nilai – baik nilai-nilai mereka sendiri maupun nilai-nilai yang dihayati orang lain. Dalam sebuah masyarakat pluralistis, refleksi semacam ini penting untuk mengarahkan dialog yang perlu antarbudaya serta mampu kita belajar lebih banyak tentang berbagai perbedaan dan kesamaan antarmereka."
Dalam suratnya, ia menyoroti sikap munafik yang sangat jelas terlihat. Dia menulis:
"Ketika sikap anti-Semitisme bahkan terorisme anti-Semit merajalela di seluruh penjuru Eropa, rencana Steiner dari Bavaria bersama program pendidikan Islam federal tampak menjadi resep Jihadisme. Perekrutan dan hasutan untuk membenci kaum Yahudi, tidak terelakan lagi bakal diikuti berbagai serangan atas para korban tradisional Nazi seperti Roma, gay, wanita dan orang-orang yang cacat.
"Dengan melarang kaum muda Muslim mengunjungi kamp konsentrasi, maka bagi sejumlah kalangan Jerman mungkin saja tengah membangkitkan sejumlah kenangan yang mematungkan aliansi antara Sang Fuhrer dan Mufti era 1930-an sebagai paradigma bagi Islamisme kontemporer."
Samuels merujuk kepada Mufti Besar Palestina dari Yerusalem, Haji Amin al-Husseini yang bertemu Hitler dan para pemimpin Nazi lainnya di Jerman pada 1941. Kala itu, dia sedang mengerahkan dukungan bagi kekuatan Poros Tengah guna membasmi semua kaum Yahudi di Timur Tengah.
Georg Rosenthal, seorang anggota parlemen dari Partai Sosial Demokrat dan Mantan Walikota Würzburg, yakin bahwa peringatan-peringatan resmi pembebasan dari kamp-kamp konsentrasi atau berakhirnya Perang Dunia II sudah menjadi "upacara tanpa makna" sehingga banyak kaum muda Jerman tidak mempertautkan diri dengan berbagai peristiwa masa lalu. "Kita butuh budaya yang mengingat bagi generasi ketiga," urai Rosenthal, sambil merujuk kepada kaum muda yang tidak punya kenangan yang hidup tentang Holocaust. "Mengunjungi tempat kejadian kejahatan menjadi hal yang mendasar bagi semua siswa. Itu sangat penting bagi para imigran muda untuk memahami mengapa mereka perlu menerima tanggung jawab atas sejarah Jerman."
Menanggapi begitu banyaknya kecaman, Menteri Pendidikan Bavaria Ludwig Spaenle, pada 3 Juni lalu mengeluarkan apa yang tampaknya sebagai sebuah kompromi. Dalam sebuah pernyataan, dia berjanji meluncurkan sebuah "pilot program," program perintis yang berupaya memberi "persiapan teoritis" kepada siswa kelas delapan yang mungkin berkunjung ke bekas-bekas kamp-kamp konsentrasi serta situs-situs yang berkaitan dengan Nazi pada masa datang.
Menurut Spaenle, tugu-tugu peringatan kamp konsentrasi menyediakan "tempat-tempat yang paling otentik tempat para siswa paling tepat mengembangkan wawasan berpikir mereka tentang rejim negara Nazi yang tidak adil serta sampai pada posisi yang jelas sehingga mendukung sikap untuk 'Tidak Akan Terjadi Lagi." Dia tidak perlihatkan jika para siswa Muslim dikecualikan dari program tersebut.
Perdebatan seputar pendidikan tentang Holocaust muncul saat sikap anti-Semitisme Islam di Jerman meningkat luas. Pada 20 Mei lalu, Menteri Dalam Negeri Jerman Thomas de Maizière memberi pidato dalam sebuah konferensi di Berlin. Judul pidatonya, 'Kehidupan Kaum Yahudi di Jerman: Apakah Berisiko?" Dalam pidatonya ia mengatakan bahwa kejahatan karena sikap benci anti-Semitis terjadi lebih dari 25% pada 2014. Dan peningkatan banyak terjadi seiring dengan berbagai serangan yang dilakukan oleh kaum imigran Muslim.
De Maizière mengatakan anti-Semitisme Islam menjadi masalah yang terus bertumbuh kembang di seluruh penjuru Eropa. Dia lantas merujuk kepada berbagai serangan terhadap bangsa Yahudi di Brussels, Kopenhagen dan Toulose. Dikatakannya bahwa sejumlah aksi kekerasan didorong oleh mata-mata Hizbulah dan Hamas, namun dia sangat prihatin dengan potensi serangan anti-Semit yang dilakukan oleh para pengikut Salafisme, gerakan Islam yang paling cepat bertumbuh di Eropa.
Menurut de Maizière, Jerman sendiri kini menjadi rumah bagi lebih dari 7.000 kaum Salafi. Dari jumlah itu, ada 1.000 kaum Salafi yang sangat berbahaya dan bisa menyerang kapan pun. Dia karena itu menyimpulkan:
"Kita tidak boleh pernah anggap normal seorang anak Yahudi yang bertumbuh besar di Jerman bahwa sekolah taman kanak-kanaknya, sekolahnya dan sinagoganya harus dijaga polisi. Situasi ini harus membangkitkan semangat kita untuk menaklukan sikap anti-Semitisme dengan cara apapun yang tersedia bagi kita dalam lingkungan pemerintahan berdasarkan hukum."
Soeren Kern adalah anggota senior Gatestone Institute yang berbasis di New York. Dia juga mitra senior European Politics pada Grupo de Estudio Estratégicos/Kelompok Studi Strategis yang berbasis di Madrid. Ikuti dia di Facebook dan di Twitter.