Sebuah laporan yang baru dikeluarkan Polisi Kriminal Federal (Bundeskriminalamt) Austria, memperlihatkan bahwa ada 34.070 imigran illegal tiba di Austria pada 2014. Angka itu 24% lebih banyak dari tahun 2013. Sebagian besar imigran berasal dari Suriah, Irak, Somalia, Eritrea dan Kosovo. Lebih dari separuh, kasarnya, 20.750 imigran membayar para penyelundup untuk membawa mereka memasukiAustria. Sisanya tiba atas usaha sendiri. Lebih dari dua pertiga imigran tiba dari Italia (51,6%) dan dari Honggaria (34,4%).
Pada 7 April, Menteri Luar Negeri Austria, Sebastian Kurz menyerukan kepada Uni Eropa untuk melancarkan operasi militer melawan Negara Islam. Dia juga menyerukan perlunya tindakan tegas terhadap apa yang disebutnya sebagai pejuang asing di Eropa. Kurz mengatakan: "Kami negara yang secara militer, netral. Tetapi berkaitan dengan Negara Islam, posisi kami jelas: Bantuan Kemanusiaan bagi para korbannya memang penting tetapi masih banyak hal yang harus dilakukan."
Juga pada 7 April, seorang gadis Muslim berusia 17 tahun yang dikirim orangtuanya ke sebuah negara Muslim Asia untuk menikahi pria yang tidak disukainya kembali ke Austria. Prihatin dengan nasib malang sang gadis, Kementerian Luar Negeri Austria pun membawa persoalan itu ke pengadilan. Karena berbagai celah hukum, orangtua sang gadis, yaitu sebuah pasangan imigran Muslim yang kini sedang berdiam di Austria pun dihukum.
Menteri Kehakiman Austria, Wolfgang Brandstätter mengatakan pemerintah berniat meminta parlemen mengesahkan amandemen Bagian 106a Hukum Pidana Austria yang mencantumkan bahwa siapa saja yang dituduh memaksa orang untuk menikah bisa menghadapi hingga lima tahun penjara guna mencegah peristiwa itu berulang pada masa datang. Sekitar 200 wanita dan gadis Austria memang dipaksa menikah setiap tahun
Sementara itu, sebuah "survei tentang toleransi" menemukan bahwa 65% warga Austria menentang anggota keluarga yang beralih menganut Islam. Sedangkan 64% menentang pembangunan masjid di lingkungan sekitar mereka.
Di Inggeris, Irfan Chishti, seorang imam dari Dewan Masjid Rochdale, memperingatkan bahwa jangkauan Negara Islam menyebar "jauh dan cepat" lewat komunitas Muslim Inggeris. "Tidak seorang pun yang kebal, urainya." Jaringan ISIS tengah menyebar begitu cepat, bukan saja menuju rumah-rumah tetapi juga menuju telapan tangan, lewat internet dan handphone.
Pada 5 April, Harian Sunday Times melaporkan sebanyak 100 guru Islam dan guru mitranya bisa menghadapi larangan mengajar seumur hidup menyusul penyidikan atas dugaan keterkaitan mereka dengan Skandal Kuda Troya (Trojan Horse scandal). Laporan itu memperlihatkan bahwa National College for Teaching and Leadership (NCTL), sebuah lembaga pengawas profesi yang berhak melarang para guru mengajar di kelas tengah mempertimbangkan kemungkinan untuk menerapkan kasus disiplin terhadap para anggota staf yang kini mengajar sekaligus para mantan guru di berbagai sekolah Birmingham, tempat kaum Islamis garis keras berupaya mengendalikan berbagai sekolah negeri.
Di London, sebuah pengadilan memerintahkan seorang imigran Libya, tertuduh pelaku 70 kejahatan dibiarkan tetap tinggal di Kerajaan Inggeris karena dianggap pemabuk. Pria 53 tahun ini, pertama-tama datang ke Inggeris pada tahun 1981 untuk belajar teknik penerbangan. Dalam pembelaannya, dia berhasil menyampaikan dalih bahwa dia bakal mendapatkan siksaan fisik dan dipenjara di negeri asalnya, tempat konsumsi alkohol dianggap melawan hukum. Hakim Jonathan Perkins lantas menegaskan bahwa mengembalikan laki-laki itu ke Libya akan "membuatnya berisiko menghadapi perlakuan buruk" dan "campur tangan secara ngawur dalam kehidupan pribadi dan keluarganya."
Di Birmingham, Mohammed Waqar, 23, dan Mohammed Siddique, 60, terbukti tidak bersalah atas tuduhan memukul seorang anak berusia 10 tahun di Masjid Jamia di Sparkbrook karena salah mengutip ayat Al-Qur'an. Kedua pria itu menghadapi 10 tahun penjara karena melakukan kekerasan fisik terhadap seseorang yang berusia di bawah 16 tahun
Berita lebih banyak tentang Islam di Inggeris selama April 2015 bisa diperoleh di sini.
Di Bulgaria, jaksa penuntut umum mendesak agar delapan orang Islamis pelaku berbagai aktivitas subversif dihukum. Semua terdakwa dituduh menjadi anggota kelompok Islam ekstrim yang menyebarluaskan propaganda Islamis, termasuk menyerukan diterapkannya Hukum Shariah Islam di Bulgaria. Gerakan itu merupakan bagian lebih luas dari tindak tegas terhadap ekstremisme Islam di negeri itu, tempat umat Muslim membentuk sekitar 10 persen seluruh penduduk.
Di Denmark, seorang pria berusia 23 tahun dari Kopenhagen terpaksa disita paspornya setelah didakwa mencoba bergabung dengan Negara Islam di Suriah. Itulah pertama kalinya undang-undang baru yang berlaku efektif 1 Maret 2015 lalu dipergunakan. Berdasarkan undang-undang itu, polisi berhak menyita paspor seseorang yang bersalah serta menetapkan larangan bepergian terhadap warga negara Denmark yang diduga melakukan perjalanan ke Suriah atau Irak untuk bertempur.
Sedikitnya ada 115 warga negara Denmark menjadi pejuang asing di Suriah dan Irak sejak perang sipil meletus pada 2011. Menurut Badan Mata-mata dan Keamanan Denmark, (PET), 19 dari para pejuang itu sudah tewas.
Di Perancis, Perdana Menteri Manuel Valls mengungkapkan lebih dari 1.550 warga Perancis atau yang berdiam di negara itu, terlibat dalam jaringan-jaringan teroris di Suriah dan Irak. Angka itu nyaris meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan Januari 2014.
Ketika memberi sambutan dalam Pertemuan Nasional 13 April lalu, Valls mengatakan bahwa undang-undang baru yang kontroversial yang bertujuan memperbesar kekuatan lembaga intelijen Perancis diperlukan guna mencegah serangan ala Charlie Hebdo terulang di Perancis. Undang-undang itu memungkinkan badan intelijen untuk menjalankan berbagai kegiatan pengawasan tanpa terlebih dulu mendapatkan otorisasi hakim. Valls pun membantah pemikiran bahwa undang-undang itu sama dengan "Akta Patriot" Perancis.
Sebuah polling pendapat umum yang dipublikasikan 13 April lalu menemukan bahwa hampir dua pertiga (63%) warga Perancis mendukung pembatasan kebebasan masyarakat sipil supaya bisa menaklukan terorisme. Hanya 33% mengaku menentang kebebasan mereka dikurangi, walau angka ini meningkat sangat signifikan di antara para responden muda.
Pada 27 April 27, Menteri Kehakiman mengatakan polisi Perancis sedang menyelidiki 125 kasus terorisme yang terkait dengan konflik di Suriah. Hampir semua kasus terkait dengan orang-orang berharap untuk membantu Negara Islam. Dari 166 orang yang ditanya, 113 sudah dipenjarakan sedangkan yang lain menunggu proses pengadilan. Menteri Kehakiman Christiane Taubira menyampaikan kepada Harian Le Parisien bahwa 39 kasus tersebut sudah dibuka dan 35 orang didakwa sejak awal 2015.
Pada 22 April polisi Perancis menangkap Sid Ahmed Ghlam, seorang mahasiswa ilmu komputer Aljazair berumur 24 tahun yang diduga merencanakan penyerangan atas gereja-gereja Kristen di Villejuif, sebuah kota satelit di selatan Paris. Dia rupanya ditangkap setelah sengaja menembak mati dirinya sendiri. Polisi menemukan tiga senapan serbu Kalashnikov, senapan tangan, amunisi dan rompi antipeluru serta berbagai dokumen berkaitan dengan Al-Qaeda dan Negara Islam dalam mobil dan rumahnya. Polisi mengatakan Ghlam mengungkapkan keinginannya bergabung dengan Negara Islam di Suriah.
Pada 8 April, para peretas komputer yang mengaku termasuk dalam Negara Islam menyerang TV5 Monde, sebuah stasiun televisi Perancis. Aksi mereka sepenuhnya mematikan televisi itu dari udara. Padahal, stasiun itu disiarkan di lebih dari 200 negara. "Kami tidak bisa menyiarkan satupun saluran televisi kami. Website dan situs media sosial kami tidak lagi kami kendalikan. Semua menunjukan klaim Negara Islam bertanggung jawab," urai direktur umum siaran televisi itu, Yes Bigot. Para peretas menuduh Presiden Perancis, François Hollande melakukan "kesalahan yang tidak bisa dimaafkan" dengan bergabung dalam koalisi militer pimpinan AS, melancarkan serangan udara melawan berbagai posisi Negara Islam di Irak dan Suriah.
Pada 4 April, rektor Masjid Raya di Paris, Dalil Boubakeur, menyerukan agar jumlah masjid di Perancis ditingkatkan dua kali jumlahnya dalam dua tahun mendatang. Ketika berbicara dalam pertemuan berbagai organisasi Islam Perancis di kawasan satelit Paris, Le Bourget, Boubakeur mengatakan bahwa 2.200 meter persegi masjid yang kini dipakai "tidak cukup lagi bagi tujuh juta warga Muslim yang berdiam di Perancis."
Pada 15 April, seorang Muslim berusia 21 tahun ditangkap karena merusak lebih dari 200 batu makam di sebuah pemakaman Katolik di Saint-Rock de Castres, sebuah kota dekat Toulouse, di selatan Perancis. Polisi mengatakan sang pria itu dikirim ke rumah sakit karena "suka berkhayal dan tidak mampu berkomunikasi."
Sementara itu, seorang gadis Muslim berusia 15 tahun dari kota di timurlaut kota Charleville- Meziere dilarang mengikuti pelajaran dua kali karena mengenakan baju panjang hitam. Pihak kepala sekolah menganggap pakaian itu sebagai simbol keagamaan dan pelanggaran terhadap undang-undang sekularisme Perancis.
Di Jerman, politisi Belanda Geert Wilders memberikan sambutan dalam sebuah pawai gerakan anti-Islamisasi akar rumput yang dikenal sebagai PEGIDA di kawasan timur Kota Dresden, 13 April lalu. Wilders mengatakan, "tidak ada yang salah dengan bangga menjadi patriot Jerman. Tidak ada yang salah dengan menginginkan Jerman tetap bebas dan demokratis. Tidak ada yang salah dengan menjadi peradaban Judeo-Kristen kita. Itu tugas kita," urainya lalu menambahkan;
"Sebagian besar politisi, media, gereja dan akademisi sedang mencari cara menjauhkan diri dari ancaman Islamisasi. Mereka takut. Tetapi anda sekalian tidak takut. "
"Kita tidak benci siapapun. Kita perjuangkan kemerdekaan kita. Karena itu kita menentang Islam totaliter, tetapi kita tidak membenci kaum Muslim. Kita membenci para lawan politisi kita yang sedang kita protesi di sini, di Dresden, melawan kita. Saya bahagia bahwa kita di Jerman dan Belanda diijinkan untuk berdemonstrsi menentang satu sama lain. Tanpa kekerasan. Tanpa kebencian."
Geert Wilders memberi sambutan pada sebuah pawai para pedukung PEGIDA di Dresden, Jerman 13 April 2015. (Sumber foto: Cuplihan video RT) |
Pada 8 April, Kepala Polisi Federal Dieter Romann memperlihatkan bahwa lebih dari 57.000 orang menerobos memasuki negeri itu secara tidak sah pada 2014, meningkat 75% dibanding tahun 2013. Selain itu, polisi menahan 27.000 warga yang berusaha memasuki negeri itu dan melawan hukum dengan cara berdiam di sana. Jumlah mereka meningkat sampai 40%. Hampir semua imigran illegal berasal dari Afghanistan, Eritrea, Kosovo dan Serbia, Somalia dan Suriah.
Pada April 22, Yayasan Konrad Adenauer, sebuah lembaga pemikiran eskstrim kanan yang berbasis di Berlin mengumumkan peluncuran "Muslimisches Forum Deutschland."Sebuah forum baru yang bertujuan mempromosikan suara-suara kaum Muslim liberal guna menentang-mengimbangi pengaruh kelompok-kelompok Muslim konservatif di Jerman.
Pada 30 April kepolisian di Oberursel, sebuah kota dekat Frankfurt membongkar dugaan adanya serangan teror terhadap sebuah perlombaan balap motor professional. Pihak berwenang menahan warga Jerman keturunan Turki berusia 35 tahun dan istrinya,seorang keturunan Turki berumur 34 tahun. Polisi bersiaga setelah lelaki itu berusaha membeli sejumlah besar bahan pembuatan bom dengan menggunakan nama palsu. Polisi mengatakan pasangan itu terlibat aktif dalam komunitas Salafis dan merupakan pendukung al-Qaeda.
Di Yunani, Chatitze Molla Sali, 65 tahun, seorang janda Muslim yang berdiam di propinsi timur laut Thrace membawa kasus perselisihan warisan yang dialaminya dengan anggota keluarganya kepada Pengadilan Hak-Hak Asasi Eropa. Setelah suaminya meninggal dunia tahun 2008, dia hendak mendapatkan rumahnya, tetapi keluarga mempersoalkan warisan itu berdasarkan hukum Shariah Islam.
Sali berhasil memenangkan kasusnya dalam perkara pidana. Namun, pada 2013, Mahkamah Agung Yunani memerintahkan bahwa persoalan warisan yang melibatkan anggota minoritas Muslim harus diselesaikan oleh seorang mufti (ilmuwan Islam), sesuai Perjanjian Lausanne pada 1923. Berdasarkan perjanjian itu, komunitas minoritas di Yunani dan Turki diperbolehkan untuk hidup sesuai adat-istiadat agama mereka yang ada.
Pemerintah Yunani tampaknya sangat hati-hati mengabaikan Perjanjian Lausanne karena takut ada pembalasan dendam terhadap komunitas Yunani di Turki. Sali mengatakan: " Saya sangat gembira. Tetapi saya putuskan untuk berjuang membawa masalah itu kepada Pengadilan Hak-Hak Asasi Eropa. Saya warga Yunani dan Eropa harus menjunjung tinggi hak-hak asasi saya.
Di Hungaria, muncul berbagai rencana untuk membangun sebuah masjid raya di Budapest. Sebuah vido YouTube yang dipublikasikan oleh Direktorat Urusan Agama Pemerintah Turki, Diyanet, memperlihatkan penjabaran arsitektur kompleks yang sedang dibangun yang mencakup sebuah masjid dengan empat menara minaret, sebuah pusat kebudayaan, griya tamu dan berbagai taman yang luas.
Juga selama April, sebuah kontroversi meledak terkait dengan edisi Hungaria, novel karya pengarang Perancis, Michael Houellebecq berjudul "Submission" (Takluk). Novel itu melukiskan seorang kandidat dari Persaudaraan Muslim berhasil memenangkan Pemilu Presiden Perancis dan kemudian memperkenalkan hukum Shariah Islam di negeri itu. Sementara sampul novel edisi Perancis sama sekali tidak memakai gambar sama sekali, namun, sampul edisi Hungaria memperlihatkan gambar Mona Lisa yang ditutupi kerudung Islam. Surat kabar Perancis L'Obs mengklaim gambar itu merupakan manifestasi "Islamofobia."
Di Italia, para pendukung Negara Islam menerbitkan berbagai foto dari tempat-tempat penting di Roma dan berbagai kota Italia lain. Foto-foto itu termasuk sekeping kecil kertas yang memasukan logo Negara Islam beserta catatan ancaman. Ancaman itu berbunyi: "Kami ada di jalan-jalan kalian. Kami sedang menyasar sasaran." Ancaman lain berbunyi: "Kami menantikan waktu yang tepat untuk melancarkan aksi"
Pada 24 April, polisi menangkap 10 anggota sel pejihad. Mereka dituduh merencanakan serangan teror di Italia, termasuk upaya untuk membunuh Pimpinan Gereja Katolik, Paus Fransiskus. Sel itu terdiri dari para warga Pakistan dan Afghanistan yang beroperasi dari Pulau Sardinia. Di antara para tahanan itu ada Sultan Wali Khan, Ketua Komunitas Islam Olbia, sebuah kota di timur laut Sardinia. Pihak kepolisian mengaku bahwa intelijen yang mencegat mengindikasikan bahwa Khan sudah secara teratur berhubungan dengan dua pelaku bom bunuh diri Pakistan yang diyakini sedang menuju Roma. Sedikitnya, masih ada delapan anggota sel itu yang masih berkeliaran.
Sementara itu, polisi di Sisilia menangkap 15 imigran Muslim Pantai Gading, Mali, Senegal karena dituduh melemparkan 12 penumpang lain ke dalam Laut Mediterania dalam perjalanan dari Libya menuju Italia, pada malam 14 April lalu. Para korban dibunuh karena mereka Kristen. Mereka pun dituduh melakukan pembunuhan "akibat kebencian agama."
Di Belanda, sekelompok orangtua Muslim menggugat Pemerintah Belanda karena dinilai gagal mencegah anak-anak mereka bepergian ke Suriah untuk bergabung dengan Negara Islam. Gugatan hukum itu dimulai oleh Mohamed Nidalha, seorang imigran Maroko yang berdiam di Leiden, yang anaknya yang kelahiran Belanda, Reda kini berada di kota Suriah Raqqa, yang secara de fakto merupakan ibukota Negara Islam.
Dalam sebuah wawancara dengan Radio West, Nidalha mengaku dia menemui polisi untuk meminta bantuan. Tetapi mereka memberi tahu bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena Rade kini sudah berusia 20 tahun, seorang dewasa ketika dia memutuskan bepergian ke Suriah musim panas lalu.
Menurut Nidalha, Reda diradikalisasi melalui Intenet, tempat dia berhubungan dengan perekrut pejihad tepatnya bernama Abu Jihad. Lewat telepon, Reda memberi tahu saudarinya bahwa dia bepergian ke Suriah guna "membantu anak-anak kecil dan kaum wanita yang diperkosa."
Nidalha mengatakan memutuskan melakukan gugatan setelah polisi Turki menahan seorang wanita Belanda berusia 27 tahun dari Leiden, awal April lalu yang diduga mencoba bepergian ke Suriah. Pihak berwenang Turki mengatakan wanita itu, yang diidentifikasi hanya bernama Monique S. ditangkap di sebuah hotel di Antalya, tempat dia sedang menunggu untuk dibawa ke Suriah. Berdasarkan perintah penangkapan dari Interpol, Turki mengirim pulang ke negara, Belanda. Menurut Nidalha, ada sikap standar ganda yang diperlihatkan karena Monique dikembalikan ke Belanda tetapi Reda tidak.
Sementara itu, seorang pejihad berusia 23 tahun dari Amsterdam, Omar H. dilaporkan terbunuh di medan pertempuran di kawasan utara Suriah. Dengan cara sembunyi-sembunyi, dia keluar dari Belanda, di penghujung tahun 2014. Negara Islam mengucapkan selamat kepada orangtua Omar terkait dengan kematian putera mereka. Pejihad Belanda lain mengatakan: "Omar sudah menjadi syuhada, persis seperti dia inginkan. Rasanya kejam, tetapi saya bahagia bagi dia dan keluarganya."
Di Norwegia, Harian Dagbladet pada 23 April, melaporkan seorang pejuang Negara Islam yang membuat film tentang pemenggalan seorang pria di kota Suriah, Raqqa adalah warga Norwegia yang pergi ke sana dengan nama Abu Shahrazaad al- Narwegi (bahasa Arab untuk Norwegia). Korban adalah mantan hakim Shariah yang berjuang melarikan diri dari Negara Islam kemudian berdiam di Qatar. Kepolisian Norwegia memperkirakan bahwa lebih dari 140 warga Norwegia sudah bergabung dengan Negara Islam di Suriah dan Irak.
Di Spanyol, polisi di kawasan timur laut Spanyol, di kawasan Katalonia menangkap sebelas anggota sebuah sel pejihad. Mereka tengah merencanakan untuk memenggal orang yang dipilih secara acak di Barselona. Sel itu, urai pihak jaksa penuntut, aktif merekrut para pejihad untuk Negara Islam. Mereka juga dituduh berencana membom bangunan-bangunan umum dan swasta di Katalonia, termasuk di sebuah toko buku Yahudi di Barselona.
Sel itu terkenal dengan nama Persaudaraan Muslim Untuk Mengkotbahkan Jihad. Namun, bubar 8 April lalu ketika lebih dari 350 polisi melancarkan tujuh razia di lima kotamadya Catalan. Menurut polisi, tujuan utama sel adalah untuk memperlihatkan bahwa berbagai serangan teroris seperti yang dilancarkan oleh Negara Islam di Irak dan Suriah bisa juga dijalankan di Barat.
Di Swedia, seorang pria berusia 25 tahun yang dituduh sebagai pejihad Swiss pertama yang dicegah bepergian ke luar negeri ketika ditangkap di Bandara Zurich, 7 April lalu sebelum menaiki pesawat menuju Turki. Sang pria, yang identitasnya tidak diungkapkan kepada publik, kembali dibebaskan 20 April. Namun, dia dilarang bepergian. Paspor serta kartu tanda penduduknya pun disita pihak berwajib.
Menurut Badan Intelijen Federal Swiss, sudah ada 55 kasus orang-orang yang diketahui meninggalkan Swedia antara 2001 dan September 2014 untuk bertempur dalam berbagai konflik para pejihad. Termasuk 35 orang yang baru saja pergi sejak Mei 2013. Dari mereka semua, 31 orang pergi ke Irak atau Suriah, sedangkan 24 lainnya pergi ke Pakistan, Afghanistan, Yaman dan Somalia.
Pada 18 April, seorang pejihad Swiss keturunan Turki berusia 21 tahun, yang "menyandera" istri dan anaknya sendiri di Suriah membebaskan mereka dekat Kota Reyhanli, di perbatasan Suriah – Turki. Sang wanita adalah warga Jerman yang beralih menganut agama Islam. Ia mengikuti sang pria hingga ke Turki, Oktober 2014 karena berpikir pasangan itu bakal menjalani liburan di sana. Bagaimanapun, ketika tiba di Turki, sang suami membawa dia menuju kawasan Idlib, Suriah dan menahannya meski dia menolaknya. Anaknya bahkan lahir di sana, Maret lalu.
Kondisi mengenaskan wanita itu mengemuka, awal Maret lalu. Yaitu ketika program berita televisi publik Swiss, Rundschau menyiarkan klip audio dia yang sedang mengatakan, "Saya ingin pulang ke rumah. Tolonglah saya."
Kantor Kejaksaan Federal Swiss mengatakan, sang lelaki, yang memiliki paspor Swiss sejak 1995 bergabung dari Front al-Nusra, sebuah cabang dari Al-Qaeda yang beroperasi di Suriah dan Libanon. Dalam pesannya di media sosial, dia menulis: "Saya datang ke sini [Suriah] untuk memenggal kepala orang-orang kafir. Pada beberapa titik tertentu, kami bakal berada di Swiss.
Soeren Kern adalah anggota senior Gatestone Institute yang berbasis di New York. Dia juga mitra senior European Politics pada Grupo de Estudio Estratégicos/Kelompok Studi Strategis yang berbasis di Madrid. Ikuti dia di Facebook dan di Twitter.