Muslim Menyerang Gereja Kristen
Jerman: Menurut sebuah laporan yang terbit 11 Nopember tahun silam dalam The European, kira-kira 200 gereja diserang sekaligus dinajiskan di kawasan Alpen dan Bavaria saja. Ujung salib-salib besar yang berada di puncak gunung dijungkirbalikan serta dirusak dengan kapak dan gergaji mesin. "Kaum Muslim radikal muda" diyakini berada di balik vandalisme yang tersebar meluas itu.
Filipina: Pendukung sebuah kelompok militan Islam menajiskan dan mencoba membakar sebuah kapel Katolik di kawasan Mindanao, Jumat petang, 10 Nopember silam. Menurut laporan, Uskup Agung Quevedo mengatakan, "Aksi kriminal merupakan upaya untuk menajiskan tempat ibadat Katolik yang menjijikkan." Gubernur Maguindanao yang Muslim, Esmael Mangudddatu ngotot mengatakan bahwa tindakan itu tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam: "Islam mengajarkan penghormatan terhadap tempat-tempat suci agama dan tempat ibadah. Islam mengajarkan toleransi agama. Kami punya prinsip dalam agama kami yang mengatakan tidak ada pemaksaan dalam agama." (dia, bagaimanapun, lupa, untuk menambahkan bahwa sejumlah cendekiawan Muslim mengklaim surat ini, yaitu, Surat 2: 256 sudah dibatalkan.)
Insiden yang sama terjadi Mei 2017 lalu. Kala itu, "orang-orang bersenjata yang terinspirasi oleh ISIS membakar Katedral St. Maria di Marawi," tulis laporan tersebut. Juni 2017, para militan Muslim "juga menajiskan sebuah kapel di propinsi North Cotabato yang berada di dekatnya.
Mesir: Bulan sebelumnya, yaitu Bulan Oktober, sekelompok Muslim melakukan kerusuhan menyerang gereja-gereja. Aksi mereka mendorong pihak berwenang gereja supaya menutup sedikitnya empat gereja. Paus Kerlis VI dan diakon agung Gereja Habib Gerges yang merasa terus menerus diancam akhirnya mematuhinya menutup gereja-gereja tersebut. Tanggal 16 Nopember, "para pekerja perusahaan listrik negara dilaporkan mencoba memutuskan listrik di bangunan gereja," urai sebuah laporan. "Para imam dan kaum muda Koptik menghentikan mereka sebelum mereka memutus kabel utama aliran listrik." Umat Kristen pun menolak meninggalkan bangunan gereja lalu menginap semalaman di dalamnya..." Hari berikutnya, gubernur setempat yang Muslim memperingatkan uskup setempat untuk menutup gereja, karena serangan terror menentang gereja itu semakin mendekat. Dan uskup pun patuh.
Aljazair: Tanggal 9 Nopember, pihak-pihak berwenang gereja menutup gereja lainnya termasuk sebuah toko buku Kristen. Menurut laporan, "polisi merazia toko buku tersebut, menuduh pemiliknya melawan hukum karena mencetak Alkitab serta brosur-brosur penginjilan. Mereka menyita berbagai buku serta perlengkapan tetapi mengembalikannya ketika tidak ada bukti tuduhan ditemukan. Meskipun demikian, polisi mengeluarkan dan melaksanakan perintah penutupan gereja dan toko buku. Perintah tersebut, yang secara salah mengidentifikasi pemilik toko buku sebagai pastor gereja sebetulnya mengulangi tuduhan sebelumnya yang juga menuduh bahwa dia memanfaatkan mobil pribadinya untuk membagi-bagikan bahan-bahan ajaran Kristen yang melawan hukum. Perintah penutupan itu juga mengklaim gereja-gereja Ain Turk sebagai illegal, terlepas dari afiliasinya dengan Gereja L'Église Protestante d'Algérie---EPA) yang resmi diakui. Berbagai gereja di Aljazair menghadapi persoalan hukum yang sekian lama bercokol di negeri itu. Ijin pembangunan dipersyaratkan sebelum sebuah bangunan dapat digunakan bagi peribadatan kaum non-Muslim, namun bagaimanapun, pihak berwenang senantiasa tidak mau memberikan ijin-ijin itu kepada pihak gereja-gereja."
Nigeria: Satu dekade setelah kaum Muslim menyerang, membantai serta memporak-porandakan dan menelantarkan umat Kristen di sebuah kota kawasan utara negeri itu --- lalu menghancurkan gereja-gereja mereka --- pihak berwenang tetap saja melarang umat Kristen yang kembali ke kampung halaman mereka untuk membangun delapan gereja mereka yang sudah dirusak. Gereja-gereja yang akan dibangun itu adalah Gereja Katolik dan Gereja Protestan, namun tidak bisa dilakukan karena kaum Muslim menentangnya. "Umat Kristen yang punya keberanian dan kembali ke kampong halaman mereka pasca-serangan-serangan tahun 2007 tidak punya rumah ibadat sampai sekarang," urai seorang umat Kristen lokal, karena, "Pemerintah Negara Bagian Kano melarang kami membangun kembali gereja kami." Dalam "lingkungan penuh permusuhan ini, segelintir umat Kristen di sana, terus "menjalankan upacara ibadat di bawah pepohonan." Bahkan ketika ditanya, di mana gereja-gereja itu bertemu dan beribadat, para pejabat negara kerapkali menanggapinya dengan mengatakan, "Kau melihat pohon yang ada di sana? Itulah tempat...gereja itu berada." Asal usul serangan-serangan yang meletus 2007 silam dipantik oleh tuduhan salah "pencemaran" terhadap seorang siswa sekolah menengah Kristen (dia diduga membuat gambar Nabi Muhamad): "Para siswa Muslim menyerang siswa Kristen. Segera setelah insiden itu, umat Muslim di kota ini turut bergabung. Semua delapan gereja dihancurkan, umat Kristen ditelantarkan. Banyak umat Kristen pun dibunuh. Saya pribadi menyaksikan tiga jenasah jemaah Gereja Katolik St. Maria yang dibunuh oleh para penyerang Muslim."
Umat Muslim Membenci dan Melecehkan Umat Kristen
Suriah: Rita Habib Ayyub, wanita Kristen Suriah dijadikan budak seks oleh ISIS dan Muslim lainnya selama lebih dari tiga tahun sampai akhirnya diselamatkan oleh Pasukan Demokratis Suriah,berbagai kisahnya dalam sebuah wawancara:
"Namaku Rita. Para teroris mengubah namaku menjadi Maria [mengindikasikan identitas Kristennya]. Usia saya 30 tahun. Di rumah sakit di Mosul, kami, para wanita mengalami pelecehan yang paling hina menghancurkan martabat diri. Tiga anak kecil dari masyarakat saya bersama saya dan saya saksikan mereka dijual kepada para emir di Mosul. Saya dijual kepada Abu Mus'ab al-Iraqi. Di rumahnya, ada juga gadis Yazidi dari Sinjar bernama Shata...dia baru berumur 14 tahun. Berkali-kali, dia memperkosa kami berdua. Dia memaksa kami menonton video teroris membantai non-Muslim. Dalam salah satu video itu, mereka tengah memenggal kepala saudara dari Shata sendiri...Setelah enam bulan, Abu Mus'ab menjual saya kepada seorang teroris lain. Saya lantas dikirim ke Raqqa, Suriah. Tetapi, dia tidak menahanku...dia menjual lagi saya kepada teroris ketiga, orang Arab Saudi bernama Abu Khalid al-Saudi. Abu Khalid menikahi seorang wanita Maroko. Wanita itu memukul dan menyiksa saya tiap hari. Dia tidak berhenti sampai saya berdarah-darah, mulai dari kepala, misalnya. Mereka pun memaksa saya membaca Al-Qur'an dan mengancam membunuh jika saya tidak beralih menganut Islam."
Beberapa bulan kemudian dia pun dijual lagi. Dia dikirimkan ke beberapa kawasan antara Irak dan Suriah, sampai dia dibawa ke dekat Deir ez-Zur, di mana dia akhirnya dibebaskan.
Nigeria: Sebuah laporan yang komprehensif—yang penuh pepak dengan kisah penyanderaan, perkosaan, penyiksaan kejam sadistis, pembunuhan serta pembunuhan massal besar-besaran memperkuat tuduhannya bahwa para penggembala Muslim Fulani terlibat dalam "pembantaian etnis" terhadap umat Kristen. Dalam sebuah kasus, "seorang gadis 13 tahun diperkosa beramai-ramai lalu ditinggalkan begitu saja di semak selama berjam-jam sebelum kelompok penjaga setempat datang menyelamatkannya." Dalam kasus lain, "seorang remaja laki-laki berusia 10 tahun," "dicambuk secara mengerikan dengan berbagai ukuran tongkat lalu ditinggalkan begitu saja dalam lubang kecil sempit." Salah satu bagian laporan yang mengerikan menulis;
"Beberapa taktik digunakan oleh para penggembala Hausa-Fulani Muslim termasuk menyandera, memperkosa serta beberapa bentuk lain serangan terhadap wanita dan anak-anak. Strategi lain yang mereka gunakan adalah dengan membelah perut wanita hamil, untuk memastikan bahwa ibu dan bayinya terbunuh. Dalam beberapa kesempatan, ketika para laki-laki yang ditangkap, anggota badan dipenggal kemudian ditembak mati di hadapan keluarga mereka. Kadangkala anggota keluarga pun dipaksa berlari kemudian ditembak mati. Orang-orang yang cukup beruntung berhasil menyelamatkan diri dari peluru kemudian dikejar-kejar untuk dibunuh. Sikap diam tutup mulut serta tidak adanya tindakan Pemerintah Federal Nigeria di tengah berbagai kejahatan massif yang dilancarkan terhadap komunitas Kristen pribumi di Negara Bagian Benua, membuat orang percaya kepada sikap patuh para pemangku kawasan Muslim di utara negeri itu
Pengarang laporan menyimpulkan bahwa data yang disajikan "memberikan indikasi jelas adanya pembasmian etnis berbasiskan afiliasi agama."
Filipina: Sejumlah dokumen dan laporan terbaru menjelaskan hal yang berbeda dari laporan awal. Dalam laporan awal dikatakan bahwa serangan berlarut-larut oleh kaum Islam radikal atas Kota Marawi, musim panas lalu, pada dasarnya dikobarkan oleh bias anti-Kristen. Dalam tragedi itu,sedikitnya 25 umat Kristen dibantai. Padahal, menurut Amnesty International,
"Awalnya, nyaris semua korbannya umat Kristen dan sebagian besar---jika tidak semuanya---disasar karena mereka bukan Muslim. Kaum militan kerap menguji pengetahuan agama orang sipil sebelum membunuh mereka. Mereka diminta mendaraskan Sjahadat, yaitu ungkapan iman Muslim atau menanggapi salam Muslim. Orang sipil yang tidak mampu mendaraskannya atau gagal menanggapinya secara tepat kerapkali segera dieksekusi mati.
Gambar: Sebuah bangunan di Marawi, Filipina terbakar, 15 Juni 2017 silam, ketika militer Filipina memerangi teroris Islam radikal supaya bisa menguasai kota. Sedikitnya 25 umat Kristen dibantai di kota tersebut selama kaum Islam radikal terus melancarkan serangan musim panas silam dan "laki-laki bersenjata yang terinspirasi oleh ISIS membakar Katedral St. Maria di kota itu" (Sumber foto: Mark Jhomel/Wikimedia Commons) |
Mesir: Yayasan Wafa Media, sebuah jaringan propaganda pejihad yang berafiliasi dengan ISIS mengeluarkan pesan yang bermaksud menghasut umat Muslim negeri itu untuk bangkit melawan umat Kristen serta gereja-gereja mereka. Agenzia Fides merangkum pesan tersebut dalam sebuah catatan sebagai berikut; "Umat Kristen Koptik di Mesir tidak menerima persyaratan untuk patuh yang diterapkan atas mereka dalam masyarakat Islam: mereka terus membangun gereja bahkan memperluas jaringan televisi untuk menyebarluaskan berita tentang Kristen. Ini sebabnya, mereka harus diserang sebagai 'pejuang kafir' dan gereja-gereja harus diledakan." Laporan dari Gereja Katolik Mesir menyimpulkan dengan memberikan catatan bahwa "Pada tahun 2017 saja, teroris oleh pejihad melakukan tiga pembantaian massal atas umat Kristen Koptik beserta pembunuhan-pembunuhan lainnya. Pada 9 April, pada Minggu Palma, serangan dilancarkan atas dua Gereja Koptik...menyebabkan 45 orang tewas dan lebih dari 130 orang terluka. Pada 26 Mei, sebuah serangan teroris menyerang pemimpin para ziarah di Gubernurat Minya, dan menyebabkan 28 warga Kristen Koptik meninggal dunia.
Terpisah, Rasha Magdi, seorang pembaca berita televisi wanita Mesir yang berwajah ke-Barat-Baratan dan tidak bercadar, secara tidak hati-hati memperlihatkan tepatnya betapa mendarah-dagingnya penghinaan terhadap umat Kristen Mesir yang bercokol dalam dalam diri masyarakat umum negeri itu. Kenyataannya itu terlihat ketika dia menyimpang dari naskah berita dalam acaranya. Ia memperlihatkan bahwa serangan teroris Islam terhadap umat Kristen dapat diterima, namun sebaliknya serangan terhadap umat Muslim tidak bisa diterima: "Kelompok-kelompok radikal ini menyerang sejumlah gereja dan kita katakan, 'Ah, mereka melihatnya sebagai sebuah agama yang berbeda dari agama Islam dan menjadi musuh bagi mereka," lalu kita katakan, 'Baik.' Tetapi [untuk membunuh] orang Muslim bagaimana?!" kata Magdi. Akibat kemarahan yang ditimbulkan oleh komentar Magdi, pemilik Kelompok Sada al-Balad Media, memecat Magdi lalu mengatakan: "Kami di Mesir itu satu bangsa, tidak ada perbedaan di antara seorang Muslim dan seorang Kristen. Kita semua sama. Kita hidup bersama dengan selamat. [...] terorisme serta agresi terhadap [orang] adalah tindakan kriminal." Itu bukanlah pertama kalinya wanita berwajah sekular yang sudah diradikalisasi itu memancing melawan umat Kristen."Ketika Magdi bekerja untuk jaringan televisi negara itu, sejumlah kasus pernah diajukan melawan dia karena memancing kebencian melawan umat Koptik Kristen, " urai sebuah laporan, khususnya berkaitan dengan pembunuhan oleh angkatan bersenjata Mesir atas lebih dari 25 umat Kristen selama apa yang dikenal sebagai Pembantaian Maspero."
Pakistan: Ayah Sharoon Masih, seorang remaja Kristen yang sebulan sebelumnya dipukul babak belur sampai mati oleh sekelompok teman kelas Muslimnya selama sekolah karena dia "umat Kristen yang menjijikan" sudah berani berbicara tentang kasus yang menimpa anaknya. Keberanian itu muncul setelah polisi dan pihak berwenang lokal dengan dukungan berbagai media Pakistan mengatakan, kasus anaknya itu terpisah dan tidak ada kaitan dengan pembantaian seorang remaja Kristen berusia 17 tahun. Dikatakannya:
"Anak-anak saya yang lebih muda ketakutan. Mereka di-bully di sekolah-sekolah mereka sejak saudara mereka meninggal dunia. Mereka semua mengatakan tidak ingin pergi ke sekolah lagi...Pembicaraan tentang bullying serta pelecehan di berbagai sekolah di Pakistan sama sekali tidak mengubah keadaan. Pemerintah kita tidak memberikan bantuan atau menghalangi bullying serta pelecehan karena nyatanya, pemerintah justru menyusun bahan ajar yang menyasar kaum minoritas."
Seorang anggota dewan setempat yang beragama Kristen, Pervaiz Masih, mendukung pernyataan sang ayah yang berduka itu dengan mengatakan:
"Memang sangat tepat bahwa anak-anak Kristen lain menderita diskriminasi. Sebagai wakil rakyat lokal, saya baru-baru ini menyelesaikan kasus yang sama ketika seorang anak laki-laki di Sekolah BTM di Burewala dipukul karena menolak masuk Islam. Anak-anak laki-laki penyerang itu sudah diskorsing selama beberapa hari tetapi kembali menyerang anak itu lagi ketika mereka kembali ke sekolah. Saya pun menderita hal yang sama ketika masih sekolah. Tidak ada yang berubah meski para pemimpin Kristen kerapkali berusaha menyoroti hal-hal memprihatinkan ini. Ini salah satu dari banyak alasan, mengapa orang Kristen tidak bisa tampil menonjol dalam pendidikan."
PBB dan Kerajaan Inggris: Para pengkritik menuduh PBB umumnya dan Pemerintah Inggris khususnya terus-menerus melakukan diskriminasi terhadap para pengungsi Kristen karena lebih memilih pengungsi Muslim dari Suriah. Barnabas Fund (sebuah NGO Inggris yang bergerak dalam pemberian bantuan kepada orang atau kelompok Kristen yang teraniaya, pent. JL) mengatakan, "Pihaknya akhirnya memperoleh sejumlah angka yang membuktikan bahwa PBB hanya merekomendasikan sedikit sekali umat Kristen Suriah...untuk dimukimkan kembali di Inggris," sebaliknya, "sebagian besar pengungsi yang direkomendasikan PBB adalah umat Muslim Sunni yang menjadi mayoritas di Suriah. Tetapi umat Kristen dan kaum minoritas lain yang berkali-kali ditargetkan menjadi sasaran serangan oleh kelompok-kelompok Islam radikal seperti ISIS." Data statistik terbaru, yang diperoleh melalui Freedom of Information Request untuk Kantor Urusan Dalam Negeri Inggris (UK Home Office) memperlihatkan:
"Pada tahun 2015 lalu, dari 2,637 pengungsi hanya ada 43 umat Kristen, hanya 13 warga Yazidi dan hanya satu penganut Shiah Muslim. Pada tahun 2016, statistiknya bahkan malah jauh lebih mengerikan lagi. Dari 7,499 pengungsi hanya ada 27 umat Kristen, 5 warga Yazidi dan 13 Muslim Shiah. Umum diterima bahwa umat Kristen membentuk 10 persen populasi Suriah sebelum perang....Yang mengganggu lagi adalah para pejabat Inggris mencoba melarang informasi ini untuk dikeluarkan."
Bagian laporan yang selanjutnya menuduh para pejabat yang hendak berusaha keras untuk tidak memberikan informasi, yang "secara hukum dituntut untuk diumumkan." Mereka "berulang-ulang berdalih atau sekedar tidak menjawan korespondensi" sampai keluhan resmi dilakukan yang membuat mereka mematuhinya. "Sekarang pun, informasi hanya dikeluarkan pada menit-menit terakhir..."
Kaum Muslim Menyerang Kebebasan Umat Kristen
Kenya: Sekelompok Muslim menyerang dan melukai seorang janda Kristen beranak tiga --- berusia 13, 17 dan 21 tahun---. Keluarga janda itu dituduh murtad dari Islam. Menurut laporan, "Hadiya (nama panggilannya disimpan penulisnya), seorang imigran Somalia belum kembali dari perjalanan menuju upacara pemakaman ketika para penyerang keturunan Somalia menerobos memasuki rumahnya di sebuah kota (nama kota tidak diungkap demi alasan keamanan) di luar Nairobi, pada pukul 05.30 pagi, 17 Nopember silam. Anak-anaknya masih terlelap tidur ketika sebuah geng Muslim mulai menggedor pintu rumahnya. Ketika anak-anak laki itu menyelidiki apa yang terjadi, anggota geng itu memecahkan sebuah jendela. "Sudah beberapa kali kami peringatkan kalian untuk berhenti membawa anak-anak ke gereja," sebuah teriakan terdengar. "Kau membuat klan kami dan semua komunitas Muslim malu. Kami di sini hari ini untuk menghabisi engkau dan anak-anakmu." Orang-orang Muslim itu lalu menghujani rumah itu dengan bebatuan serta memukul ketiga bersaudara itu, "sebegitu mengerikan sehingga darah berceceran di seluruh ruangan depan," tulis laporan tersebut. Para tetangga campur tangan tepat pada waktunya sehingga bisa menyelamatkan nyawa anak-anak. Dua dari tiga anak itu terluka sehingga membutuhkan empat hari perawatan rumah sakit. Dia dilaporkan "terus merasa kesakitan." Menurut laporan, "Orang-orang Somalia umumnya meyakini semua orang Somalia itu Muslim sejak lahir sehingga orang Somalia manapun yang menjadi Kristen dituduh sebagai murtad, sehingga dapat dihukum sampai mati." Janda Kristen itu mengatakan, "Kami hidup dalam ketakutan yang sangat mengerikan dan kurang tidur bermalam-malam. Kami tidak aman berdiam di tempat ini. Kami perlu bantuan doa dan financial pada masa sulit ini."
Sebuah laporan terpisah mencatat gugatan hukum serta penderitaan yang dialami orang-orang Muslim yang beralih menganut Kristen---dalam kasus ini, di Kenya. Rahma, seorang gadis Muslim muda, dibesarkan secara ketat dalam rumah tangga Muslim, terus-menerus meragukan hal-hal yang diajarkan kepadanya. Dalam sejumlah kesempatan dia dilecehkan oleh para anggota keluarganya, khususnya oleh ayah dan tantenya (ibunya meninggal dunia awal). "Islam itu beban bagi jiwa saya. Saya merasa seolah-olah dipaksa mempercayai hal-hal yang menjadi beban berat untuk dipikul." Dia lantas mulai menyelinap keluar menghadiri ibadat-ibadat gereja: "Kerinduan saya untuk menjadi orang Kristen mendapatkan momentum sekaliguskan perasaan tidak suka yang sangat kuat terhadap Islam. Tetapi saya ingin tahu apa persisnya Kristen itu dan siapa bisa memahami serta membantu saya mengubah agama saya." Dia akhirnya diam-diam menyembunyikan Alkitab lalu membacanya. Suatu malam ketika "saya begitu terpukau oleh bacaan dan meditasi saya," tantenya masuk kamarnya "dan mendapati saya sedang menjalankan devosi. Dia begitu marah. Dia mulai meminta saya membawa Alkitab ke rumahnya. Saya mengumpulkan keberanian dan memberi tahunya bahwa saya sudah memberikan hidup saya kepada Kristus. Dia begitu terpukul oleh kenyataan sulit itu sehingga menjadi shock. Dan semua orang dalam rumah tersadar untuk datang dan mendengarkan apa yang baru saja saya katakan. Saya ulangi bahwa saya sudah berikan hidup saya kepada Kristus..." Laporan itu kemudian menyimpulkan, "Sepanjang wawancara yang dilakukan oleh pihak Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC), Rahma [21 tahun] sudah sepenuhnya ditolak oleh keluarganya. Mereka tidak ingin bergaul dengannya karena dia dilihat memalukan komunitas mereka. Menurut Hukum Shariah, dia sekarang murtad. Keluarganya mengambil semua barang miliknya, termasuk telepon, pakaian dan sepatunya." Meskipun demikian, dia pun memperlihatkan sedikit penyesalannya: "Seolah-olah beban itu sudah diangkat dari punggung saya...[walaupun] pertobatan saya menjadi Kristen menyebabkan keluarga saya melihat saya sebagai seorang kafir. Mereka juga mengusir saya keluar dari rumah."
Uganda: Seorang Muslim yang menampilkan diri seolah-olah guru Kristen di sebuah sekolah dasar Kristen menyerang direktur sekolah dan menteror para muridnya setelah (kasusnya) terungkap. Mugooda Siraji, seorang Muslim, sebelumnya menipu dewan sekolah. Caranya dengan memberikan nama palsu kepada mereka. Dia juga mengaku Kristen. Setelah dipekerjakan sebagai guru, "Siraji datang ke kelas kami dan secara terbuka mengatakan dia Muslim dan bahwa namanya yang sebenarnya adalah Mugooada Siraji, bukan Simon Siraji," jelas seorang murid kelas empat kepada pejabat sekolah. "Dia memperkenalkan kepada kami cara ber-wudhu Islam serta bagaimana menjadi Muslim sejati dengan percaya kepada Allah dan Nabi Muhamad." Dewan sekolah memintanya mengambil cuti tidak masuk kelas: "Kami sebagai dewan tahu bahwa anda tidak memberikan gambaran diri anda yang benar kepada kami dan bahwa anda mempropagandakan agama Islam, yang bertentangan dengan prinsip sekolah yang berbasikan ajaran-ajaran Kristen. Karena itu, pengelola sekolah merekomendasikan anda untuk menyingkirkan diri selama kami melakukan penyelidikan lebih lanjut. Laporan itu melanjutkan:
Bukannya menerima rekomendasi itu, Siraji malah menerobos memasuk gedung sambil berteriak "AllahuAkbar" lalu memukul Muwanguzi dengan benda tumpul, urai Kakonge. "Wajah dan tangan kanan Muwanguzi terluka dengan perdarahan serius keluar dari wajahnya," urai Kakonge. Para guru berusaha mengalahkan Siraji, tetapi dia berhasil melarikan diri, urai beberapa sumber.
Siraji adalah satu dari banyak Muslim setempat yang mencoba "membuat suatu strategi tentang bagaimana menghentikan kegiatan-kegiatan di sekolah Kristen lalu menghabiskannya. Sekolah itu sudah menerima 162 siswa." "Kaum Muslim mengeluh bahwa setiap sore, sekolah itu berisik karena melakukan pujian, penyembahan serta doa." Kakonge mengatakan, "Kami perlu berdoa pada saat masa percobaan itu agar direktur sekolah kami segera pulih dan tindak kriminal itu diajukan ke pengadilan."
Mauritania: "Memperlihatkan diri sudah bertobat tidak lagi membatalkan hukuman mati yang ditetapkan atas para penghina agama dan yang murtad, urai (pemerintah) Mauritania, Jumad, [17 Nopember] silam ketika negara Muslim konservatif itu memperketat hukum agamanya,". Sebuah laporan menjelaskan pengumuman dari negara Afrika barat itu bahwa negeri itu tengah memperkenalkan undang-undang baru yang "memperberat hukuman yang diharapkan bagi pelaku penghinaan agama." UU itu berbunyi, "Setiap Muslim, laki atau perempuan yang mengejek atau menghina Nabi Muhamad, SAW, malaekat serta kitab-kitabnya," bunyi pernyataan Kementerian Kehakiman negeri itu, "dapat dikenakan hukuman mati, tanpa perlu diminta untuk bertobat. Mereka akan menjalani hukuman mati walaupun jika mereka bertobat sekalipun." Karena Mauritania itu 99% Muslim, maka para pengkritik mengemukakan bahwa undang-undang baru itu dimaksudkan untuk menyasar semua Muslim yang tengah berpikir kembali tentang ke-Islam-an mereka atau mempertimbangkan diri untuk berpindah agama menganut Kristen (yang membentuk sisa dari penduduk negeri itu)." Walau Konstitusi Mauritania menjamin kebebesan mengungkapkan pendapat dan pemikiran," urai sebuah laporan lainnya, "dalam praktek hal ini tidak dijamin dan para jaksa menuntut pun meminta putusan pengadilan."
Jerman: "Setelah beberapa laporan memperlihatkan bahwa umat Kristen disiksa secara sistematis di rumah-rumah suaka Jerman," urai sebuah laporan. "Persoalannya kini beralih dari rumah ke jalanan." Di sana semakin banyak umat Kristen, khusunya yang berasal dari latar belakang Muslim (orang-orang murtad) diserang. Dalam sebuah contoh yang pantas dicatat, korban serangan itu (Bulan Mei 2017) tewas terbunuh. Para pengamat seperti Rosemarie Götze (alias Suster Rosemarie) mengatakan, persoalannya lebih parah dibandingkan yang dipikirkan sebelumnya, khususnya ketika banyak orang yang diserang tidak pernah melaporkannya karena "takut akan terus diserang atau bahwa keluarga mereka yang masih ada di luar negeri mungkin tahu bahwa mereka sudah menjadi Kristen" dengan reaksi langsung bagi orang-orang yang dicintai.
Orang Kristen "Penghina Agama " di Pakistan Muslim
Ancaman dari kaum Muslim mendorong lima keluarga Kristen meninggalkan rumah tempat tinggal mereka. Langkah itu dilakukan setelah salah seorang remaja berusia 18 tahun dari antara mereka secara ngawur dituduh dan digambarkan terlibat dalam penghinaan terhadap Islam. Para pengancam lalu membuat sebuah halaman Facebook palsu terkait dengan anak muda itu lengkap dengan foto dirinya. Hal itu mendorong kaum Muslim kawasan itu untuk menyerukan supaya dia dan keluarganya dibunuh mati. Menurut laporan, bagaimanapun, polisi mengatakan, "tidak ada bukti seorang anak lelaki Kristen bernama Arshad mengaku melakukan penghinaan agama apapun. Ini kampanye ngawur." Seorang wakil rakyat Kristen yang dilibatkan dalam kasus itu mengatakan bahwa, "dia tidak punya petunjuk di mana keluarga Kristen yang melarikan diri dari kawasan itu supaya bisa menyelamatkan nyawa mereka serta kondisi tempat tinggal mereka. Dia menambahkan bahwa dia tidak punya pikiran mengapa Arshad Masih digeruduk dalam kasus ini."
Secara terpisah, pada hari yang sama dengan pemakaman puteranya, seorang pria Kristen yang menderita sakit mental ditangkap. Penangkapan dilakukan karena dituduh menghina agama Islam. Kapanpun dia tidak minum obatnya, Iqbal Masih, 65 tahun, seorang ayah pensiunan dengan sembilan anak diketahui "pergi ke luar ke jalan-jalan lalu memaki-maki orang yang lewat". Atau mendadak dia "mulai memaki di tengah malan," urai warga setempat. Itulah yang dilakukannya setelah anaknya yang masih muda, Bobby, meninggal dunia karena sakit. "Jenazah Bobby berada di rumah dan orang-orang dari sekitar berdatangan menyampaikan dukacita ketika Iqbal mulai berteriak memaki-maki. Akibat tindakannya, para wanita berlarian meninggalkan rumahnya," urai seorang laki-laki yang terlibat dalam kasus tersebut. "Iqbal mengucapkan Kalimat Sjahadat lalu memaki-maki. Sadar bahwa dia tidak berperilaku wajar, polisi dipanggil supaya membawa dia pergi agar ketegangan antara umat Kristen dan Muslim di kawasan itu mungkin saja tidak muncul." Bagaimanapun awalnya, ulama setempat dan orang-orang lainnya tidak puas dengan pendekatan ini:
"Beberapa dari mereka," tulis laporan itu, "ingin membakarnya hidup-hidup. Tetapi orang-orang yang berpikir sehat mengusulkan agar Masih diserahkan kepada polisi karena dia mengalami sakit atau krisis mental."
Selain peristiwa-peristiwa ini, Mukhtar Masih, seorang pria Kristen berusia 70 tahun dituduh melakukan penghinaan agama meninggal dunia karena pendarahan perut sebelum diadili. Awalnya, dia ditangkap Januari 2017 silam, setelah sebuah surat bernada "penghinaan agama" ditemukan digantungkan di pintu sebuah masjid lokal. "Mukhtar ngotot mengatakan dia tidak bersalah terhadap kejahatan itu. Dikatakannya bahwa ahli bahasa bisa mengenali bahwa tulisan dalam surat itu bukan punya dia," urai laporan tersebut." Lebih jauh lagi, dia mengatakan tidak ada orang Kristen di Pakistan yang cukup bodoh untuk mengambil risiko itu dengan mempertaruhkan nyawanya." Tuduhan itu diyakini dibebaskan sebagai cara supaya bisa mendapatkan propertinya. Seorang jurubicara untuk almarhum mengatakan, "kami sangat yakin bahwa Mukhtar akan dibatalkan hukumannya sehingga reputasinya kembali tidak bercacat. Keluarganya yang putusasa menyampaikan kekecewaan mereka yang luar biasa karena Mukhtar Masih meninggal dunia dengan tuduhan penghinaan agama atas kepalanya. Kami menantang wakil rakyat kami setempat untuk menyerukan pembebasan hukuman sesudah kematian (posthumous exoneration) untuk orang yang tidak melakukan kejahatan. Satu-satunya serangan dari Mukhtar adalah rasa sakit yang agaknya dia timbulkan kepada kaum Muslim karena dia memeluk iman Kristen."
Tentang Seri Ini
Memang tidak semua, atau bahkan tidak bisa dikatakan sebagian besar, kaum Muslim terlibat namun penganiayaan terhadap umat Kristen terus meningkat. Laporan ini memperlihatkan fakta bahwa penyiksaan oleh kaum Muslim tidak acak terjadi, tetapi sistematis terlepas dari persoalan bahasa, etnis dan lokasi kejadian.
Raymond Ibrahim adalah pengarang buku Crucified Again: Exposing Islam's New War in Christians (Tersalibkan Lagi: Tampilkan Perang Baru Islam Terhadap Kristen) (diterbitkan oleh Regnery bekerja sama dengan Gatestone Institute, April 2013).