Luc Ravel, Uskup Agung Strasbourg menentang persekutuan pemimpin gereja Prancis. Menurut dia, sebagian besar pemimpin gereja masih berpikir benar secara politik sehingga menerima begitu saja apa terjadi di tengah masyarakat demi menjaga harmoni," demikian ungkap sebuah laporan. Pertentangan pendapat mengemuka karena Luc Ravel mengkritik "pergeseran demografis di Prancis. Kaum Muslim, urainya, punya lebih banyak anak dibanding warga pribumi Prancis. Dan karena itu, dia mengecam 'promosi aborsi' yang luas mewabah." "Orang-orang Muslim," dia lanjutkan, "sangat paham bahwa angka kelahiran di kalangan mereka memang demikian sekarang ini. Karena itu, mereka menyebutnya...Pergantian Penduduk Besar-Besaran. Dan mereka mengatakan itu kepadamu dengan cara yang sangat tenang dan sangat positif sehingga, 'suatu hari, itu semua menjadi milik kami."
Luc Ravel, Uskup Agung Strasbourg, baru-baru ini melancarkan kritik. Ia mengkritik soal "pergeseran demograifs di Prancis. Muslims, katanya, punya jauh lebih banyak anak dibandingkan orang Prancis pribumi." (Sumber foto: Peter Potrowl/Wikimedia Commons) |
Pemimpin Kristen lainnya menyinggung apa yang bakal dihadapi umat Kristen di seluruh penjuru dunia Muslim dan mengapa hal itu terjadi ketika dia secara khusus membahas tentang Negara Sudan. "Pemerintah Sudan ingin meng-Islam-kan seluruh warganya dan karena itu mereka ingin membasmi Agama Kristen dan agama lain di Sudan," urai Pastor Strong. "Kami harus menekan pemerintah sehingga hak masyarakat untuk menjalankan agama mereka secara terbuka diberikan kepada mereka." Untuk mencapai tujuan ini, dia pun menambahkan, mereka perlu dukungan "gereja global": "Mereka sedang berjuang, tengah disiksa dan kelaparan --- banyak sekali masalah. Meski demikian, di tengah semuanya itu, mereka bergembira. Mereka senantiasa siap mati. Mereka memberikan kesaksian iman dalam situasi apapun. Mereka bersedia melayani tanpa memperhitungkan apapun yang miliki dan apa yang mungkin hilang dari mereka."
Kumpulan berbagai kisah selama Juli 2017 seputar penganiayaan oleh umat Muslim terhadap umat Kristen di seluruh dunia mencakup, namun tidak terbatas pada kisah-kisah berikut ini:
Kaum Muslim Membantai Umat Kristen
Pakistan: Tanggal 24 Juli 2017. Seorang pelaku bom bunuh diri beragama Islam meledakan bahan peledak. Aksi yang terjadi di kawasan yang padat umat Kristen itu menyebabkan dia sendiri tewas. Sedikitnya, 26 orang terbunuh. Menurut seorang aktivis hak asasi manusia Bruce Allen, "Yang tidak dilaporkan oleh media arus utama adalah bahwa kawasan itu merupakan koloni Kritsen terbesar kedua di Pakistan. Tempat ledakan ini terjadi" --- hanya satu setengah mil (sekitar 2, 8 Km) dari tempat "para imam (Katolik) di Pakistan bertemu setiap bulan, tempat mereka menerima dukungan uang bulanan, tempat mereka berkumpul bersama untuk berbagi permohonan doa dan mengelola sejumlah pusat pelatihan lanjutan serta berbagai hal seperti ini." Setelah menjelaskan betapa banyaknya serangan terror bunuh diri yang menyasar umat Kristen, dia pun menjelaskan bagaimana terror yang terus berlanjut ini "menempatkan umat Kristen sangat waspada terhadap situasi genting ini. Sudah sekian lama mereka berada dalam situasi ini. Kami ingat Paskah terakhir, masa perayaan agung. Kala itu, ada serangan terhadap umat Kristen di taman-taman. Dan itulah yang mereka alami terus menerus...[Ka]mi berbicara tentang Gangguan Stress Pasca-Trauma (Post Traumatic Stress Disorder) dengan orang-orang yang pernah diserang. Ya, di sini anda menyaksikan seluruh populasi orang yang hidupnya memang demikian: dalam suasana perang. Dengan demikian, masyarakat itu punya kelelahan psikologis, spiritual dan emosional.
Terpisah, seorang "majikan" Muslim menyiksa kemudian membunuh "budak" Kristennya." Javed Masih, 32 tahun, seorang Kristen, menurut sebuah laporan, dia "tengah berusaha mengembalikan utang yang dipinjam oleh keluarganya tiga tahun silam...Kenyataannya, dia itu budak (slave)." Setelah dituduh mencuri sepeda, "penganut Kristen itu berkali-kali dipukul dengan tongkat dan benda-benda lainnya. Dia kemudian dibawa ke rumah sakit dan meninggal dunia karena siksaan yang sangat parah." Pihak keluarga berusaha mencari keadilan sehingga mengajukan kasusnya kepada polisi. Seperti biasa, polisi menolak menindaklanjutinya. "Majikan" Muslim dan orang-orangnya malah mengancam keluarga Kristen supaya menarik tuntutan mereka. Seperti dijelaskan oleh saudara tua dari lelaki yang terbunuh itu, "Kami menginginkan keadilan. Kami miskin dan karena itu polisi menolak mendengarkan kami dan mendaftarkan laporan (complaint). Para pemilik tanah luas memang mengancan akan ada akibat yang serius karena kami menentang kompromi apapun. Semua ini karena kami umat Kristen miskin." Pelaku pembunuhan mengatakan, pria yang disembelih itu bunuh diri, sebuah klaim yang jelas-jelas ditolak oleh pihak keluarga.
Kenya: Kaum Muslim militan yang terhubung dengan kelompok pejihad Al Shabaab memenggal 13 warga non-Muslim hingga tewas dengan golok. Sebagian besar dari mereka adalah umat Kristen. "Mereka disembelih seperti ayam dengan menggunakan golok....Kami menduga ada banyak jenazah yang belum ditemukan," urai pihak kepolisian. Insiden berdarah itu terjadi Minggu, 9 Juli lalu di sebuah desa dekat Lama. Karena teroris Muslim "hanya menyasar lelaki non-Muslim" maka kaum Muslim setempat mengarahkan mereka kepada kaum Kristen. "Umat Kristen diminta mendaraskan dogma Islam, yang tentu tidak mereka ketahui, sehingga mereka pun dibunuh," sebuah sumber lokal menjelaskan. Seorang laki-laki lain menjelaskan bagaimana kaum militan itu "meminta warga lokal untuk memberikan kartu tanda penduduk mereka dan jika anda ditemukan sebagai orang Kristen, maka kau akan ditembak atau dibantai...Para korban sudah dievakuasi ke berbagai kamp, tempat makanan dan keamanan diberikan oleh pemerintah dan Palang Merah Kenya," tambahnya lagi. "Kami menampung lebih dari 200 orang di gereja kami dan kami harapkan jumlah mereka meningkat karena semakin banyak keluarga dievakuasi dari Hutan Boni."
Mesir: Tentara Tentara Kristen lain dibunuh oleh sesama tentaranya yang (Muslim) setelah mereka tahu bahwa dia Kristen. Joseph Reda Helmy baru saja menyelesaikan latihan militernya ketika dipindahkan ke "Al-Salaam" ("damai") sebuah unit pasukan khusus, tempat tiga perwira membunuhnya. Dia sedikitnya, tentara Kristen keenam yang dibunuh karena imannya selama tahun-tahun terakhir. Menurut ayah lelaki yang dibantai itu, "anaknya yang berbadan dan kuat tiba di kamp pada pukul 2 sore dan meninggal dunia pada pukul 8 malam." Sepupunya yang berhasil melacak jenazah, mengatakan, sepupunya yang tewas itu, "menderita memar di kepala, bahu, leher, punggung dan kemaluannya. Juga ada luka parah di punggungnya." Dia juga tahu dari para saksi mata bahwa "ketiga perwira mulai mengusik Helmy karena dia beragama Kristen dan bahwa tanda-tanda memar di badannya memperlihatkan bahwa mereka menendang dia dengan sepatu boot serta menghajarnya dengan benda-benda berat." Seperti dalam semua kasus sebelumnya ketika tentara Kristen dibunuh oleh rekan Islam mereka, Angkatan Bersenjata Mesir memberitahu keluarga korban bahwa korban yang dibantai itu tewas karena sesuatu yang lain, dalam contoh ini, akibat "epilepsi" (epileptic seizure). Tetapi dokter yang memeriksa jenasah sekalipun menolak tunduk kepada tekanan orang-orang yang menyebabkan kematian sehingga melaporkan bahwa penyebab kematian itu tidak wajar."
Selain itu kisah pejihad membantai umat Kristen yang bepergian ke sebuah biara di tengah padang guru, penghujung Mei 2017 lalu, jauh lebih rinci mengemuka. Berbicara dari tempat tidur rumah sakitnya, salah seorang penyintas pembantaian massal, Mariam Adel, seorang ibu muda yang suami dan sembilan sanak saudaranya dibunuh dalam serangan mengatakan bahwa setelah menembaki bus mereka, para pejihad naik ke dalam bus lalu memerintahkan mereka keluar dan memaksa mereka masuk Islam." "Meninggalkan agama kami? Tentu tidak," Mariam mengungkapkan reaksi kolektif para wanita."Jika kami lakukan, mereka mungkin membiarkan kami turun dari bus dan memperlakukan kami dengan baik. Tetapi kami hanya menginginkan Yesus dan kami yakini Dia tidak akan tinggalkan kami." Para militan menanggapi dengan merampok barang-barang milik para wanita itu, yang mereka anggap melakukannya sebagai perolehan wajar dari "rampasan perang." Seorang anak 10 tahun yang ayahnya dibantai mengatakan bahwa "Mereka meminta kartu tanda penduduk (identification) ayah saya lalu meminta dia supaya mendaraskan pengakuan iman Muslim. Dia menolak, dengan mengatakan dia Kristen. Mereka lalu menembak dia dan semua orang yang bersama kami dalam mobil. Setiap kali mereka menembak seseorang mereka akan berteriak, "Allahu Akbar," "Allahu Akbar."
Nigeria: Sedikitnya seorang mahasiswa Kristen dibunuh oleh penyerang bunuh diri Islamiah dari Boko Haram. "Ambore Gideon Todi, 21, seorang mahasiswa Universitas Maiduguri di Negara Bagian Borna, tinggal di tenda pelayanan mahasiswa Gereja Evangelis Winning All (Memenangkan Semua Jiwa) ketika pelaku bom bunuh diri Boko Haram meledakan bahan peledak," urai sebuah laporan. "Diyakini bahwa dia bukan satu-satunya orang yang terkena ledakan bom," seorang rekan mahasiswanya mengatakan," karena ada orang-orang lain yang terlibat di sana...dalam program persahabatan mereka...Pihak berwenang tidak mengatakan apapun soal kematian mereka hingga sembilan hari setelah tragedi maut itu. Kami tahu dia mati karena dia berasal dari negara bagian kami."
Kaum Muslim Menyerang Kebebasan umat Kristen:
Pakistan: Seorang warga Kristen lain ditangkap karena diduga "menghina" (blaspheming) Nabi Muhamad, Nabi Islam. Nadeem Ahmed seorang tokoh kenamaan organisasi Islam Tehreek e Tahafuz e Islam mengajukan laporan melawan Shadzad Masih, 16 tahun, seorang pemuda Kristen yang bekerja sebagai tukang sapu rumah sakit. Setelah melapor, kelompok Islam radikal mulai mengedarkan berbagai foto anak muda itu lewat media sosial dengan tulisan penuh makian dan ancaman. Mereka juga mengancam hendak membantainya jika polisi tidak melepaskannya. Polisi kemudian memindahkan anak muda itu ke sebuah tempat yang tidak diketahui--- bahkan menolak mengakui menahan anak itu dan tidak memberikan akses kepada keluarganya untuk menemui korban." Masjid setempat semakin gencar mempublikasikan insiden itu, sehingga masyarakat Muslim pun ribut. Mereka mengancam membunuh keluarga anak itu, sehingga keluarga pun melarikan diri ke tempat persembunyian. Seorang jurubicara untuk kelompok Islam radikal mengatakan bahwa "sistem hukum seharusnya menjadi hukuman yang mungkin paling parah atas Shahzad Masih [itu artinya eksekusi mati] sehingga tidak ada orang berani melakukan penghinaan lagi." Menurut Wilson Chowdhry, ketua Asosiasi Kristen Pakistan Inggris (British Pakistani Christian Association), "UU [Pencemaran Agama] yang kejam mengerikan ini digunakan sebagai sarana diskriminasi dan pemurtadan paksa setiap hari dan dunia tetap diam membisu. Anak lelaki malang itu kini menghadapi kasus pengadilan yang paling menakutkan dan sebagian besar hidupnya bakal hilang di penjara. Lebih jauh lagi, dalam suasana sekarang ini hukuman bisa menyebabkan orang mati lewat proses yudisial atau ekstra-yudisial."
Etiopia: Sekelompok Kaum Muslims bersenjatakan golok secara kejam memenggal kepala seorang Kristen dan menyebabkan " seorang lelaki berumur 27tahun perlu operasi supaya bisa bertahan hidup", urai sebuah laporan. Seorang "dokter yang yakin, korban bakal mati dalam perjalanan menuju sebuah rumah sakit besar, mengoperasikan luka-luka sang korban. Meskipun kondisinya belum terlalu baik, operasi itu membuat kondisi korban cukup stabil sehingga bisa dibawa ke mana pun untuk perawatan khusus lebih jauh." Geng Muslim yang menyerangnya dilaporkan marah kepadanya karena dia mewartakan Injil secara terbuka di antara kaum Muslim. Mereka pertama-tama menyerang gereja setempat, menyebabkan tembok dan atap gereja rusak, sebelum pergi ke rumah korban tempat insiden itu terjadi.
Iran: Empat Muslim yang beralih masuk Kristen dituduh mempromosikan pemurtadan dijatuhi hukuman penjara sepuluh tahun. Empat orang itu ditangkap Mei lalu dalam suatu rangkaian penggerebekan terhadap rumah-rumah umat Kristen oleh petugas dinas keamanan. Laporan mencatat bahwa hukuman keras seperti ini tengah menjadi norma: "Selama tahun-tahun terakhir, orang-orang yang baru menjadi Kristen yang terlibat dalam aktivitas rumah gereja (house church activities) bisa berharap untuk mendapatkan hukuman penjara hingga 2 tahun. Namun, hukuman 10 tahun di penjara sudah mulai diterapkan dalam kasus-kasus terakhir...Keempat orang itu resmi dituntut dengan tuduhan "bertindak melawan keamanan nasional," sebuah tuduhan yang bisa merangkum semua tuduhan yang kerap Pemerintah Iran gunakan untuk menghukum berbagai tipe agama dan penentang politik. Bukannya menuntut orang karena murtad pemerintah kerapkali juga memanfaatkan hukuman terhadap orang-orang yang beralih agama. Menurut para penganjur kebebasan beragama, upaya itu itu dilakukan guna menghindari pengawasan melekat dari dunia internasional."
Kaum Muslim Menyerang Gereja-Gereja Kristen
Mesir: Setelah nyaris tiga bulan pasca-serangan-serangan teroris yang mematikan, banyak gereja menghentikan kegiatan mereka dengan tutup sementara nyaris selama Juli 2017. Serangan-serangan yang terjadi atas umat Kristen mencakup bom bunuh diri atas gereja-gereja yang menyebabkan hampir 50 orang tewas, yang diikuti dengan pembantaian nyaris 30 umat Kristen yang sedang bepergian ke sebuah biara di Sinai serta terus berlangsungnya ancaman serta serangan lain. Menurut sebuah laporan, "Gereja Koptik Orthodoks Evanggelis dan Gereja Katolik sepakat untuk tidak mengadakan kebaktian, konperensi seta perjalanan gereja guna melindungi umat mereka." Gereja-gereja lain di Aleksandria misalnya, tetap buka, meskipun "dengan keamanan yang lebih keras ketat, termasuk pos pemeriksaan polisi, pos keamanan gereja sendiri serta alat pemindai logam (metal detectors).
Sebuah gereja yang tetap buka di Aleksandria menjadi sasaran. Seorang laki-laki menikam penjaga gereja yang melarangnya masuk. Menurut laporan, pria itu, tamatan sekolah hukum berusia 24 tahun. Dia "menyerang penjaga gereja berusia 47 tahun dengan pisau pada lehernya setelah yang belakangan menanyakan alasannya untuk masuk ke Gereja Al-Qiddisain di Aleksandria." Gambar video insiden itu memperlihatkan "seorang pria memakai earphone dan tas berupaya memasuki gereja ketika dipanggil kembali oleh penjaga yang meminta untuk memeriksa tasnya. Bukannya membiarkan tasnya diperiksa, laki-laki itu malah mengeluarkan pisau dan langsung menikam wajah si penjaga yang segera pulih kemudian menahan penyerangnya dengan bantuan orang-orang lain."
Tanzania: Sebuah pengadilan di Tanzania memerintahkan supaya pembangunan sebuah gereja yang sudah diperjuangkan selama delapan tahun oleh sekelompok jemaat Kristen di sebuah pulau Zanzibar yang belum mendapat otonomi penuh harus menghentikan proyek. Keputusan itu dibuat menanggapi desakan umat Muslim yang terus saja marah dan protes. Menurut sebuah laporan, "Kaum Muslim garis keras di luar Kota Zanzibar yang menyerang pembangunan gedung Persekutuan Umat Allah milik Gereja Pentekosta sejak 2009 lalu, sudah dua kali menghancurkan sebagian bangunan gedung yang dibangun sebelum ini. Mereka mengaku pihak penjual yang menjual tanah kepada gereja bukanlah pemilik yang sebenarnya. Umat Kristen meyakini pengadilan di pulau mayoritas Muslim itu bertindak karena bias relijius. Keputusan pengadilan sebelumnya mengijinkan pembangunan gedung tersebut dilanjutkan." Pastor gereja itu, Amos Lukanula mengatakan bahwa walau jemaat gereja itu "frustrasi dan takut, ..Kami tidak bisa membiarkan umat Muslim membangun masjid di tempat gereja itu." Jemaat gereja pertama-tama membeli lahan itu pada 2004. Ketika mereka mendirikan gereja sementara, umat Muslim merobohkannya. Bangunan lain yang sudah dibangun jemaat selama tiga tahun sekali lagi dirobohkan oleh Muslim kawasan itu pada 2007. Sesudah tahun 2009, ketika kaum Muslim tidak bisa lagi merobohkan bangunan gereja ketiga yang sudah sebagian dibangun---dibuat dengan batu dan tidak mudah dirobohkan--- mereka lalu mengajukan gugatan hukum (legal complaint) yang menyebabkan pengadilan memerintahkan pengangunan gedung gereja dihentikan sampai perdebatan hukum terselesaikan. Kasus pengadilan itu berlarut-larut selama delapan tahun dan menyebabkan jemaat menghabiskan banyak dana.
Irak: Delapan gereja lagi ditutup di Bagdad akibat pengurangan populasi umat Kristen yang signifikan di negeri itu. Menurut sebuah laporan, "Setelah pihak berwenang Gereja Katolik kawasan mengunjungi gereja-gereja, Vatikan memutuskan bahwa sebaiknya menutup pintu gereja selama-lamanya. Ini tentu saja memperlihatkan kekalahan simbolik bagi Gereja di Ibukota Irak, meski dibuat berdasarkan pertimbangan logistic. "Sangat penting untuk mengakui," laporan itu menambahkan, "bahwa ISIS tidak sepenuhnya bertanggunggawab atas kasus ini. Umat Kristen memang sudah menghadapi berbagai bentuk penganiayaan dan diskriminasi dari berbagai pelaku selama 15 tahun terakhir."
Muslim Menyalahgunakan dan Memperkosa umat Kristen
Pakistan: Seorang pria Muslim meperkosa seorang gadis kecil Kristen berusia tiga tahun sehingga membuatnya terluka selamanya. "Pada suatu hari, Catherine Bibi [ibu sang gadis kecil malang itu] dan anak lelakinya yang tertua, Altaf Masih yang berusia 21 tahun pergi bekerja. Anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun, Daud menjaga saudarinya yang lebih muda. Ketika itu, seorang laki-laki Muslim teman Altaf bernama Muhammad Abbas mampir di rumahnya. Laki-laki itu lalu menyuruh Daud membeli rokok dari sebuah pasar terdekat. Ketika Daud pulang dari sebuah toko, Abbas menyuruh dia menunggu di luar rumah sementara dia memperkosa saudarinya. Abbas akhirnya bisa membuka pintu untuk Daud, menyalakan rokoknya lalu pergi begitu saja. Ketika Daud masuk ke dalam rumahnya, dia menemukan saudarinya telanjang dan berlepotan darah. Dia pun menjerit." Meskipun pemerkosaan itu terjadi beberapa bulan silam, Catherine, ibu sang gadis mengatakan, secara emosional dan finansial dia benar-benar hancur karena dia terus berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi puterinya yang bakal tidak bisa melahirkan anak akibat luka-lukanya yang sangat parah." Tetapi sang ibu bertekad. "Puteri saya sama sekali tidak bersalah pada usianya yang begitu muda, usia yang yang sangat rawan. Dia sudah mengalami serangan paling brutal dan paling jahat dari seorang laki-laki yang tidak bermoral. (Bahkan) jika pemerkosa jahat itu, dipenjara, dia tidak bisa menghapuskan perlakuan kejinya yang sudah anak saya derita. Saya meminta doa dari siapa saja yang tergerak oleh penderitaan anak saya. Tolong doakan sehingga dia benar-benar sembuh dan suatu hari nanti bisa punya anak yang memang menjadi proses alamiah yang dirancang oleh Allah dan berkat nyata bagi para wanita." Polisi awalnya menolak untuk meneliti kasus pemerkosaan itu hingga anggota dewan perwakilan rakyat setempat semakin keras menekan pihak yang berwenang.
Seorang wanita Kristen lain juga dipukul babak belur dan diperkosa ramai-ramai di depan lima anaknya oleh laki-laki Muslim. Aksi itu konon dilakukan sebagai sebentuk aksi balas dendam demi "kehormatan" keluarganya. Penyebabnya, karena adik wanita itu jatuh cinta kemudian melarikan diri dari kawasan itu besama saudara dari lelaki pelaku itu," urai sebuah laporan yang terpisah. Saudara dari pria Muslim itu beserta sahabatnya kemudian pergi ke rumah wanita Kristen tersebut, Samrah Badal, namanya. Darinya, mereka menuntut khabar tentang pasangan yang melarikan diri. Ketika sang wanita menolak berbicara, "dia pun ditelanjangi dan ditarik keluar ke jalan. Di sanalah dia diperkosa ramai-ramai di depan lima anaknya."
Sudan: Pemerintah Khartoum mengeluarkan perintah yang menyerukan semua sekolah gereja untuk mulai beroperasi sesuai dengan pekan kerja Muslim yang memperlakukan Jumad (sebagai hari untuk ke masjid) dan Sabtu sebagai akhir pekan sementara Minggu sebagai awal pekan kerja. Sebuah laporan mengatakan gebrakan itu merupakan bagian dari sebuah "kampanye yang berkelanjutan untuk membersihkan negeri itu dari Kekristenan." Dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada sekolah-sekolah Kristen, menteri pendidikan negeri itu menulis, "Supaya tidak mempengaruhi proses pendidikan serta rencana yang berkesinambungan, kami meminta anda supaya tidak menetapkan Minggu sebagai hari libur" meskipun sekolah-sekolah Kristen sudah menjalankannya selama beberapa dekade. Seorang guru Kristen Sudan mengatakan, "Keputusan pemerintah untuk menghapuskan Hari Minggu bagi sekolah-sekolah Kristen merupakan diskriminasi terhadap umat Kristen di Sudan." Dia tidak sendiri karena "gerakan itu menyebabkan keributan besar terjadi. Banyak umat Kristen Sudan dan di seluruh penjuru dunia digerakan untuk melihat persoalan ini sebagai sarana lain untuk melakukan perundungan sekaligus diskriminasi terhadap umat Kristen Sudan."
Tanzania: Tiga orang Kristen ditangkap karena memasak makanan di dapur rumah mereka sendiri selama Ramadan. Sepasang umat Kristen serta seorang wanita teman mereka sedang menggoreng ikan ketika polisi datang memberitahu bahwa mereka "melanggar hukum karena memasak makanan selama Ramadan," urai sebuah laporan. Polisi pun "dengan kata-kata kasar memaki mereka." "Hari ini, kalian akan tahu bagaimana berpuasa," urai polisi itu ketika mereka diseret dari sana. Setelah para pemimpin gereja setempat ikut campur tangan, ketiga orang tersebut dibebaskan beberapa hari kemudian.
Eritrea: adalah sebuiah negara di kawasan timur Afrika. Selama ini, Eritrea dianggap sebagai negara kesepuluh yang paling mengerikan untuk menjadi umat Kristen. Kondisi ini terjadi sebagian karena ada "penindasan ala Islam" (Islamic oppression) di negeri ini. Baru-baru ini, 200 warga Kristen ditangkap dalam suatu rangkaian penggerebekan dari rumah ke rumah yang dilakukan secara acak. Di antara para korban ada anak-anak dan seorang bayi yang bisa "menghabiskan masa kanak-kanak mereka di sel penjara. Menurut Pendeta Dr. Berhane Asmelash, "Orang biasanya ditangkap karena mengadakan pertemuan yang tidak resmi seperti pertemuan untuk pendalaman Alkitab serta doa. Tetapi ini kasus baru bagi kami ketika mereka melakukan razia dari rumah ke rumah. Mereka menangkap orang karena agama, bukan karena tindakan mereka. Keadaan semakin memburuk. Banyak umat Kristen bersembunyi." "Penangkapan paling akhir ini," laporan itu melanjutkan, "menyebabkan komunitas Kristen ketakutan...Pada tahun 2002 lalu, Eritrea melarang banyak denominasi Kristen lalu menutup gereja-gereja Evanggelis dan Pentekosta. Umat Kristen yang menolak meninggalkan agama mereka dipenjarakan tanpa batas waktu dan tanpa disidangkan. Ada 173 tahanan jangka panjang karena iman mereka tetap tinggal di balik jeruji besi dalam kondisi yang mengerikan. Mereka mencakup banyak pemimpin gereja.
Mali: Menurut sebuah laporan: Selama Juli 2017 lalu, "Tiga misionaris Kristen...tampil dalam sebuah video yang disiarkan oleh koalisi kelompok pejihad yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Kelompok penjahat itu mendesak pemerintah asal dari setiap misionaris itu untuk 'lakukan apa yang bisa mereka lakukan' untuk melakukan negosiasi pembebasan mereka." Kelompok itu dikenal sebagai Nusrat al-Islam wal Muslimen --- atau Kemenangan Islam dan Muslim. Dalam video, kelompok itu mengatakan, "Tidak ada negosiasi murni dimulai untuk menyelamatkan anak-anak kalian." Enam sandera asing, "termasuk tiga misionaris dari Kolombia, Swiss dan Australia diperlihatkan tengah meminta-minta bantuan kepada komunitas internasional. Salah seorang sandera adalah seorang suster, lainnya adalah seorang dokter beda Australia berusia 82 tahun, Ken Elliot mengatakan, "Video ini dibuat untuk meminta kepada berbagai pemerintah, khususnya kepada Pemerintah Australia dan Pemerintah Burkina untuk melakukan apa yang bisa dilakukan supaya bisa membantu menegosiasikan pembebasan saya." Ketika memberikan pesan kepada keluarganya, dia menambahkan: "Saya hanya mau katakan, sekali lagi, saya mencintai kalian semua dan menghargai doa dan perhatian kalian. Saya nantikan suatu nanti bisa bersatu lagi." Video itu disiarkan bersamaan dengan kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Mali. Macron mengatakan "saya senang bahwa satu dari warga negaranya masih hidup setelah diculik oleh orang-orang militan." Dia lalu menambahkan, "Orang-orang itu tidak ada apa-apanya. Mereka itu teroris, penjahat dan pembunuh, Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk membasmi mereka."
*****
Tentang Seri Ini
Memang tidak semua, atau bahkan tidak bisa dikatakan sebagian besar, namun penganiayaan oleh kaum Muslim terhadap umat Kristen terus meningkat. Laporan memperlihatkan bahwa penganiayaan oleh Muslim tidaklah dilakukan secara acak tetapi sistematis terjadi terlepas dari persoalan bahasa, etnis dan lokasi.
Raymond Ibrahim adalah pengaang buku Crucified Again: Exposing Islam's New War on Christians (Disalibkan Lagi: Mengungkapkan Perang Baru Islam atas Umat Kristen) diterbitkan oleh Regnery dengan kerja Gatestone Institute, April 2013.