Perayaan kemenangan Palestina yang diselenggarakan menyusul pembongkaran alat pemindai logam (metal detectors) dan kamera pengawas dari jalan masuk menuju Temple Mount oleh Israel, di Yerusalemen menjadi tanda yang sangat buruk bagi kestabilan dan perdamaian di Timur Tengah pada masa datang.
Bagi warga Palestina dan banyak warga Arab dan Muslim, langkah Israel mengisyaratkan kelemahan diri. Di mata mereka, pembongkaran kamera pengawas dan alat pemindai logam merupakan sikap menyerah yang murni dan mudah.
Bagaimana kita mengetahui hal ini? Mudah saya: perhatikan saja tanggapan Palestina. Bukannya mengakui ciri keputusan Pemerintah Israel yang mendamaikan yang bermaksud meredakan ketegangan dan mencegah pertumpahan darah serta aksi kekerasan, warga Palestina justru malah menuntut lebih banyak lagi.
Bagi warga Palestina, kontroversi seputar langkah keamanan Israel di Temple Mount yang mengemuka setelah tiga teroris membunuh dua perwira polisi di tempat suci, 14 Juli 2017 lalu, adalah bagian dari sebuah pertempuran yang lebih besar melawan Israel.
Kita sudah mencapai tingkat baru dalam wacana ini: Para pejabat Otoritas Palestina kini secara terbuka mengakui bahwa bukan pemindai logam atau kamera keamanan yang menjadi masalah. Sebaliknya, mereka akui, inilah perjuangan untuk merebut kedaulatan atas Temple Mount dan Yerusalem. Bagi masyarakat Palestina, pertempuran yang sebenarnya adalah soal siapa yang menguasai Yerusalem dan tempat-tempat sucinya. Perjuangan sebenarnya, dalam pandangan mereka, berkaitan dengan hak kaum Yahudi untuk berdiam di negara mereka sendiri di Timur Tengah. Banyak warga Palestina masih belum bisa menerima hak Israel untuk ada dan itulah perjuangan yang sebenarnya.
Warga Palestina, yang kini merasa menang karena Israel mematuhi tuntutan mereka untuk membongkar pemindai logam serta kamera pengawas, sudah memberikan klarifikasi. Bahwa itu hanyalah langkah awal perjuangan mereka untuk membasmi keberadaan warga Israel di mana pun di Kota Tua Yerusalem dan Temple Mount.
Tak seorang pun yang menjelaskan posisi Palestina ini lebih baik dibandingkan dengan Menteri Luar Negeri PA, Riad Malki. Dalam pengumumannya 27 Juli lalu, dia mengatakan bahwa warga Palestina menganggap keputusan Israel membongkar pemindai logam serta kamera pengawas sebagai menyerah. Juga dikukuhkannya bahwa banyak pengamat politik Israel dan Palestina mengatakan selama beberapa pekan silam --- konflik seputar langkah-langkah keamanan Israel sekedar alasan yang digunakan oleh warga Israel untuk memaksa Israel membuat konsesi politik serta territorial.
Dalam pidatonya di depan Para Menlu Liga Arab di Kairo (Mesir), Malki menjelaskan: "Bukan soal pemindai logam dan kamera, tetapi siapakah yang bertanggung jawab dan yang berdaulat atas Masjid Al-Aqsa." Malki kemudian melanjutkan dengan menjelaskan bahwa warga Palestina tidak melihat konflik baru-baru ini sebagai persoalan keamanan, tetapi sebagai murni persoalan politik. "Pertarungan atas Yerusalem, dengan demikian, baru saja dimulai," urainya. Dia pun kemudian menambahkan bahwa gelombang protes warga Palestina atas langkah-langkah keamanan Israel sudah berhasil "menggagalkan konspirasi Israel" untuk mengubah sejarah dan status quo hukum di Temple Mount.
Menteri Luar Negeri otoritas Palestina, Riad Malki, (di ambil gambarnya di atas pada tahun 2009) yang mengatakan pekan lalu dalam sebuah pidatonya bahwa; "Masalahnya bukan soal pemindai logam atau kamera, tetapi siapa yang berdaulat atas Masjid Al-Aqsa...Pertarungan atas Yerusalem, dengan demikian baru saja dimulai... (Gambar foto: Mario Tama/Getty Images) |
Kita dengan demikian, tengah menyaksikan momen kebenaran yang jarang terjadi yang muncul dari menteri luar negeri PA. Yaitu ketika dia, secara ironis, menolak klaim sejumlah kalangan masyarakat internasional dan media bahwa konflik baru-baru ini dipicu oleh alat pemindai logam dan kamera pengawas.
Protes Palestina yang mengemuka menanggapi langkah-langkah keamanan mengindikasikan bahwa persoalannya lebih kepada kebencian terhadap Israel sekaligus upaya untuk memaksanya berlutut dibanding dengan soal membongkar pemindai logam serta kamera. Selama masa protes ini, khususnya di depan pintu masuk Temple Mount, warga Palestina menyanyikan berbagai slogan termasuk ancaman untuk menghancurkan Israel serta membunuh kaum Yahudi.
"Kami berpawai menuju (Masjid) Al-Aqsa. Kami korbankan jiwa jutaan para martir" adalah satu dari nyanyian-nyanyian pendek dari tengah protes yang dipimpin oleh para pemimpin agama dan politik Palestina kenamaan. Nyanyian lain, "Khaybar Khaybar ya yahud, jaish Mohammed sa yaoud" ("Khaybar Khaybar , oh Orang Yahudi, pasukan Nabi Muhamad akan kembali.")--- yang merujuk kepada Perang Khaybar pada 628 antara Nabi Muhammad beserta para pengikutnya melawan kaum Yahudi yang berdiam di Oasis Khaybar. Kala itu, kaum Yahudi dipaksa mengalah setelah dibantai dan sesudah itu diijinkan untuk menetap di Khaybar dengan syarat mereka memberikan separuh penghasilan mereka kepada kaum Muslim. Para pemrotes juga menyanyikan slogan menyerukan sayap militer Hamas, Ezaddin Al-Qassam, untuk melancarkan serangan terror melawan Israel.
Sebagian besar wartawan luar negeri peliput protes tidak melihat berbagai nyanyian itu sebagai hal yang bernada intimidasi atau semangat anti-Semit. Protes dengan demikian luas dilaporkan sebagai kesadaran positif dari "ketidakpatuhan masyarakat sipil" yang dilakukan secara damai. Bagaimanapun, itulah tepatnya retorika yang mengobarkan api Palestina untuk turun ke jalan-jalan kemudian melemparkan bebatuan dan bom minyak kepada polisi dan warga sipil Israel.
Bagaimanapun, Omar Al-Abed yang berumur 18 tahun, adalah warga Palestina yang berikan perhatian penuh terhadap retorika ini. Serelah menyaksikan semuanya itu, tanggal 22 Juli lalu, dia menyerang rumah sebuah keluarga Yahudi di Halamish di Tepi Barat lalu. Seorang kakek dan putera serta putrinya dia tikam sampai mati saat mereka tengah makan malam merayakan kelahiran salah seorang cucunya. Segera setelah melancarkan misi kejamnya, Al-Abed menuliskan catatannya di laman Facebook. Dalam postingan dia menggemakan banyak slogan dari protes kemudian bergerak lebih jauh dengan menjelaskan kaum Yahudi sebagai "anak-anak babi dan kera."
Pembantaian di Halamish dilancarkan oleh satu orang Palestina. Barangkali dia beraksi sendiri, tanpa diindoktrinasi untuk membunuh kaum Yahudi tanpa dukungan masyarakatnya untuk melakukannya demikian? Baiklah, marilah kita lihat: bagaimanakah jalanan Palestina bereaksi terhadap amukan kejamnya? Bagaimanakah ibu kandung Al-Abed bereaksi terhadap persoalan itu? Ternyata ibu sang teroris difilmkan tengah membagi-bagikan permen kepada pengunjung guna merayakan keputusan anaknya untuk merenggut nyawa tiga orang Yahudi. "Saya bangga terhadap anak saya karena dia telah menaikan kepala kami," dia memaklumkan.
Apakah barangkali karena perasaan bangga terhadap teroris hanyalah persoalan lokal? Tidak, karena bahkan ketika harapan dihancurkan sekalipun, kala banyak warga Palestina, terlebih di Jalur Gaza memenuhi jalanan untuk merayakan aksi pembunuhan brutal, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh menelepon ayah sang teroris lalu mengatakan kepadanya, "Anakmu membuat negara ini bangga."
Pertumpahan darah di Halamish memunculkan kebanggaan yang luar biasa kepada ibunda sang teroris, orang-orang sekitarnya serta kepada dunia Palestina secara keseluruhan.
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, tidak pernah melupakan kesempatan untuk menggambarkan diri sebagai juru damai yang par excellence dan memilih berdiam diri soal pembunuhan. Tidak melakukan kesalahan: sikap diamnya yang keras seputar serangan terror Halamish dinilai banyak warga Palestina sebagai tanda dia memaafkan pembunuhan atas tiga warga Yahudi. Terlepas dari memaafkan aksi keji atau takut terhadap masyarakatnya sendiri, ada satu yang pasti. Abbas dan sebagian besar pemimpin Palestina sudah sangat baik melatih warga Palestina. Tatkala mencium darah warga Yahudi, mereka menyerang.
Inilah tepatnya yang sedang terjadi di aksi penganiayaan di Temple Mount.
Kini, ketika Israel tunduk patuh pada tuntutan mereka berkaitan dengan langkah-langkah keamanan, warga Palestina merasa jauh lebih berani lagi dibandingkan sebelumnya. Aksi pembantaian dan penghasutan, dalam kasus mereka, memang benar-benar terbayar. Mereka berhasil meloloskan diri dari pembunuhan dua perwira polisi di Temple Mount; mereka berhasil meloloskan diri dari pembantian tiga anggota keluarga di Halamish dan dalam pandangan mereka, mereka juga berhasil meloloskan diri dari berbagai aksi protes serta semua aksi penghasutan yang kejam brutal melawan Israel.
Terlonjak gembira oleh "penyerahan" Israel, warga Palestina kini berbicara tentang "kemenangan bersejarah" atas Israel. Mereka bangga-banggakan bahwa mereka berhasil memelintir lengan Israel kemudiaan memaksanya untuk "mengundurkan diri." Para kartunis dan pengamat politik Palestina pun mengungkapkan perasaan yang sama, mengatakan bahwa pembongkaran alat pemindai logam dan kamera pengawas secara luas adalah akibat aksi kekerasan, terorisme serta ancaman yang mereka lancarkan.
Sekali lagi, gerak-gerik Israel disalahinterpretasikan oleh warga Palestina dan warga Arab beserta Muslim sebagai kelemahan. Kesalahan membaca yang disengaja seperti ini bukanlah hal baru. Tiap kali terjadi, kesalahan membaca itu menetapkan lingkaran kekerasan yang lain. Akibat tindakan damai Israel itu tetap saja muncul aksi kekerasan Palestina.
Warga Palestina memang sangat tepat memahaminya. Dalam kata-kata mereka sendiri, mereka maksudkan agar ada peningkatan aksi kekerasan karena yakin apa yang Israel lakukan pertama-tama adalah maju lebih jauh dalam soal konsesi bahkan mengundurkan diri lebih jauh lagi.
Bassam Tawil adalah warga Muslim Arab yang berbasis di Timur Tengah.