Ada sebuah artikel menarik diterbitkan oleh Al-Quds Al-Arabi, 20 April 2016 lalu. Artikel itu mempertanyaan mengapa Perdana Menteri Yordania, Abdallah Ensour memecat Salame Hamad dari jabatannya sebagai Menteri Dalam Negeri, padahal Hamad berhasil memperbaiki keamanan dalam negeri sehingga warga Yordania merasa berdiam di sebuah negeri yang tertib melaksanakan hukum (law and order). [1]
Alasannya, ternyata karena Salame Hamad tidak tegas berurusan dengan Ikhwanul Muslim. Memang, dia sudah menutup sejumlah kantor Ikhwanul Muslim serta menetapkan batasan-batasan ketat atas sejumlah warga Gaza yang mengunjungi Yordania, namun dia tampaknya tidak sungguh-sungguh menangani gerakan itu. Dia bahkan pernah dua kali bertemu dengan sejumlah pemimpin organisasi itu di kantornya sendiri.
Salah satu isyarat lemahnya upaya menangani kaum radikal Islam adalah bahwa Yordania baru-baru ini secara mengejutkan mengingkari kesepakatan bersama yang diputuskan oleh Lembaga Wakaf Yordania (kantor urusan wakaf agama) yang dimediasi oleh Menteri Luar Negeri AS, John Kerry. Berdasarkan kesepakatan itu, kamera video akan dipasang di Masjid Al-Aqsa, Yerusalem. Video itu dipancarkan secara real time kepada pihak berwenang Israel dan Yordania. Pengaturan seperti ini bakal meningkatkan keamanan di Al-Aqsa sehingga bisa mengungkapkan sekaligus mencegah adanya kegiatan yang bernuansa permusuhan dari para anggota Ikhwanul Muslim, Hamas, Gerakan Islam Islam Cabang Utara serta para anggota organisasi Islam radikal Hizbut Tahrir (Hizb al-Tahrir).
Kenyataannya, Ikhwanul Muslim serta Hamas juga berusaha mencemarkan hubungan mereka dengan Mesir, Otoritas Palestina dan Yordania. Setelah bertahun-tahun setia kepada dinasti kerajaan Hashemit, yang merupakan keturunan dari Nabi Muhammad, s.aw, beberapa tahun terakhir ini, kaum radikal Islam Yordania, dalam hal ini Hamas dan Ikhwanul Muslim mulai masuk dalam konflik dengan Pemerintah Yordania
Tanda-tanda konflik terlihat jelas dengan adanya ancaman-ancaman yang dipasang di Masjid Al-Aqsa. Peringatan yang menolak pemasangan kamera di masjid mereka sampaikan. Tulisan pada papan petunjuk pun jelas: "Kamera-kamera akan dirusak dan tangan-tangan yang memasangnya akan dipotong."
Padahal, keberadaan Lembaga Wakaf Yordania menyebabkan Otoritas Palestina (PA)---dan kaum subversif lainnya dari Ikhwanul Muslim, Gerakan Islam, Hamas dan Hizbut Tahrir---tidak bisa mengubah Masjid Al-Aqsa menjadi penunjang perang agama antara Islam dan Yudaisme, berdasarkan klaim yang salah bahwa kaum Yahudi dan Pemerintah Israel diduga berkomplot hendak merusak masjid.
Yang benar adalah bahwa kamera-kamera itu nanti akhirnya membuktikan, kini dan terakhir kalinya, siapa sebenarnya provokator yang membahayakan masjid. Kamera-kamera itu akan mengungkapkan kemunafikan Otoritas Palestina yang berpura-pura peduli terhadap Al-Aqsa, sementara mereka sebetulnya hanya berupaya mencegah agar kaum Yahudi tidak punya akses terhadap Bukit Bait Allah (Temple Mount).
Itulah tepatnya mengapa PA, Hamas dan Gerakan Islam serta Hizbut Tahrir begitu keras menantang proyek tersebut.
Yang menyedihkan, sejak itu warga Yordania meninggalkan proyek. Kerja sama Israel dan Yordania menyebabkan berbagai kelompok ekstrim Islam memilih untuk berada di pihak lawan, sehingga justru memperkuat tampilan kedaulatan Israel di Yerusalem. Dan, jauh lebih penting lagi, ia mengukuhkan kembali peran Yordania dalam administrasi keagamaan di Al-Aqsa
Bahkan jika awalnya,proyek pemasangan kamera didorong oleh keinginan Israel untuk menjaga agar masjid tetap aman, seperti sejumlah klaim yang mengemuka selama ini, upaya itu bisa membersihkan kesannya di luar negeri sekaligus memperlihatkan kedaulatannya. Selain itu, Israel jelas ingin tetap tenang dan ingin menetralkan para juru propaganda yang memancing aksi kekerasan dengan membangun modal politik dari berbagai kerusuhan yang meledak di sana.
Dengan mampu mengawasi berbagai aktivitas di dalam dan sekitar masjid, pihak-pihak yang terlibat dalam proyek itu bisa mencegah Pemerintah Eropa seperti Perancis dan Uni Eropa yang suka terlibat dalam urusan negara lain-lain semakin memperbesar ketegangan soal Bukit Bait Allah sehingga menyebarluaskan agenda politik mereka yang berwajah ganda untuk menyuap para terroris. Mereka berharap, dengan menyerang Israel, bangsa-bangsa Arab akan senang.
Walau jika, kami tidak tergetar oleh ungkapan "Bukit Bait Allah" sekalipun, namun penggunaan nama itu bagaimanapun didokumentasikan secara baik dalam historigrafi Islam. Bait Allah sebetulnya merujuk kepada Bait Kedua Bangsa Yahudi dan reruntuhan lain, yang dihancurkan oleh Bangsa Romawi pada tahun 90 setelah masehi, tempat Masjid Al-Aqsa didirikan. Tatkala menaklukan Yerusalem pada tahun 638, Kalifah Uman Bin Khattab berhasil membongkar bagian altar Bait Allah, Tempat Paling Suci Kaum Yahudi yang sudah ditutupi oleh Bangsa Romawi dengan reruntuhan. Dia dibantu oleh Qa'ab al-Akbar, seorang rabi Israel yang beralih menganut Islam. Tempat itu disebut Bait Bukit Allah hingga UNESCO baru-baru ini mengubah namanya menjadi "Haram af Sharif" yang menjadi contoh lain dari upaya nyata PBB yang licik untuk menulis ulang sejarah. Perubahan nama Bukit Bait Allah menjadi Haram al-Sjarif dilihat bahkan oleh kami kaum Muslim pun sebagai tidak lebih dari kebohongan jahat yang menyangkali bukan saja keberadaan historis Bangsa Yahudi di Yerusalem, tetapi juga keberadaan historis umat Kristen. Apakah mereka benar-benar berpikir kami begitu bodoh?
Kesediaan PBB untuk mengalah kepada kaum radikal Islam bukan saja melanda Timur Tengah tetapi juga Eropa, yang akhir-akhir ini sibuk mengundang orang agar dirinya boleh diperkosa.
Karena itu, adanya kamera dekat Al Aqsa menjadi duri menyakitkan seluruh organisasi teroris. Berhasilnya kerja sama kawasan --- dengan Yordania, Israel dan Mesir serta Israel --- bisa melayani kepentingan keamanan tiga negara itu, termasuk warga Palestina yang tidak ingin diambil alih oleh para ekstremis Islam yang bahkan jauh lebih brutal daripada para pemimpin yang kini kami miliki. Dan itu tepatnya alasan mengapa berbagai unsur Palestina, mulai dari pihak Otoritas Palestina hingga Hamas, bertekad untuk mensabotase proyek tersebut.
Kenyataannya, pemasangan kamera terkait dengan pukulan yang signifikan kepada Hamas serta semua organisasi Islam, internasional serta lokal, hingga para pejabat tinggi yang dekat dengan kebohongan itu sendiri yang bekerja tanpa henti. Bohong bahwa "Masjid Al-Aqsa ada dalam bahaya" karena Isreal diduga berencana menghancurkannya. Pemasangan kamera bakal terkait dengan pukulan atas para pengikut Gerakan Islam pimpinan Ra'ed Salah yang kini dipenjara karena melakukan penghasutan. Ra'ed Saleh inilah yang merekayasa foto-foto "penggalian untuk menghancurkan masjid panutan (role model) itu" dengan program photoshop serta melakukan segala-galanya untuk memprovokasi pertumpahan darah.
Pemasangan kamera bakal juga terkait dengan pukulan kepada tuntutan Otoritas Palestina bahwa Yerusalem timur berperan sebagai sebagai ibukota masa depan Negara Palestina. Kenyataannya adalah bahwa tidak ada kota yang punya arti penting bagi Islam --- bukan Medinah, Mekkah, Qom, Karbala atau Najaf --- menjadi ibukota negara Muslim.
Jika memang ada keinginan murni untuk membangun sebuah Negara Palestina ---dan ada keraguan serius soal itu --- maka Ramallah bakal menjadi kota kita sah. Jika tidak, semua orang bisa kembali pulang ke rumah sore ini; karena memang tidak ada solusinya.
Persoalan ini dapat disamakan dengan Dinasti Hashemit di Yordania. Masjid Al-Aqsa itu penting bagi Yordania sebagai bagian dari justifikasi agama kerajaan itu, tepat seperti masyarakat Saudi membutuhkan justifikasi relijius di Mekkah dan Medinah. Klaim Yordania atas Masjid Al-Aqsa juga bagian dari perjanjian damai dengan Israel. Dengan demikian, klaim Hamas tentang "provokasi kaum ekstremis Israel bahkan lebih merupakan serangan atas Yordania dibanding atas Israel. Ancaman untuk "memotong tangan siapapun yang memasang kamera"sebagian besar merupakan ancaman terhadap Yordania, sama seperti dia pun menjadi ancaman atas Mesir.
Mesir kini tengah gencar-gencarnya menghajar Hamas. Yordania pun tidak perlu menunggu lama untuk menutup kantor-kantor Ikhwanul Muslim di negerinya. Burung hering tengah terbang mengitari. Hanya Israil yang kebingungan.
Terlepas dari liciknya pemikiran PBB, menyerah kepada tuntutan kaum radikal Islam tidak bakal membuatnya memenangkan perang melawan terorisme. Kenyataannya, menyerah, menjadi cara paling pasti untuk mendorong terorisme serta memastikan jatuhnya Yordania serta seluruh kawasan Timur Tengah lain serta Barat. Barangkali Pemerintah Amerika selanjutnya cukup bijak untuk memahami masalah ini.
Bassam Tawil adalah cendekiawan yang berdiam di Timur Tengah
[1] Artikel ini meneliti aspek-aspek positif selama Hamad menduduki jabatan. Ia membasmi korupsi, melembagakan reformasi pemerintah dan menangani pemberontakan di bagian selatan negara itu, terutama di sekitar kota Ma'an. Dia menteri yang sukses; kantornya bekerja sama dengan baik dengan berbagai kantor pemerintah lainnya. Ia punya pengaruh positif dan berjuang memerangi penyebaran narkoba.
Bagaimananpun, dia juga pernah sendirian bertemu langsung dengan Raja Abdullah guna memperkuat posisinya dengan mengorbankan perdana menteri. Klaim lain yang menentang dirinya, seperti yang tercantum dalam artikel, adalah bahwa ia mencegah pelaksanaan proyek yang didanai yang ingin memindahkan kantor pusat TV Arab Saudi MBC dari Libanon ke Yordania, sebuah relokasi yang diperlukan oleh Faksi Hizbullah yang disebut organisasi teroris oleh negara-negara Arab. Keputusannya menyebabkan para pengusaha Yordania yang sudah berinvestasi dalam proyek kehilangan jutaan duit mereka.