Bulan Maret nanti menandai ulang tahun kelima dari apa yang diawali sebagai bab lain dalam apa yang disebut "Arab Spring" (Musim Semi Arab) yang pelahan meluas menjadi perang saudara, merunyam menjadi bencana kemanusiaan serta akhirnya mengarah kepada kejatuhan sistemik Suriah sebagai negara bangsa.
Rangkaian peristiwa ini berdampak sangat mendalam pada nyaris seluruh kawasan yang dikenal sebagai Timur Tengah yang lebih Besar (Greater Middle East), mempengaruhi banyak aspek dari negara-negara pembentuk kawasan. Mulai dari persoalan demograsi, komposisi etno-sektarian dan keamanan. Karena presentasi ini tidak bertujuan untuk menawarkan catatan historis peristiwa itu, maka pengingat ringkas atas sejumlah aspek kunci bakal memadai.
Lima tahun silam demonstrasi pertama meletus di Deraa, di kawasan selatan Suriah. Kala itu, banyak dari apa yang disebut sebagai "Dunia Arab" sangat mengharapkan pergolakan bangkit di Tunisia, Mesir dan Libya yang tampaknya bakal mengakhiri beberapa dekade pemerintahan despotik oleh organ-organ keamanan militer sebuah negara. Terlepas dari berbagai perbedaannya yang penting, Negara Suriah masa itu cocok dengan penjelasan tentang model negara Arab yang khas seperti yang berkembang setelah Perang Dunia Kedua.
Memang tidaklah aneh untuk berpikir bahwa ia mungkin merespons tanda-tanda awal rasa tidak puas yang luas terjadi di negeri itu, sama seperti yang terjadi di negara-negara lain di Dunia Arab. Tetapi, ada satu hal yang sangat membedakan. Yaitu bahwa saat pergolakan meletus, tidak diragukan lagi, Suriah merupakan negara paling represif di Dunia Arab modern, terlepas dari fakta bahwa rejim Saddam Hussein di Irak sudah ulai malu-malu melakukan program reformasi dan liberalisasi. Diktator baru Suriah, Bashar al-Assad mencoba menggambarkan diri sebagai pembaru berpendidikan Barat yang tertarik pada berbagai aspek pluralisme dan ekonomi pasar. Dia mengijinkan bank-bank pertama didirikan dimiliki swasta serta menjadi pionir dalam sejumlah sektor baru seperti telepon genggam dan Internet. Untuk memastikannya, bank-bank baru, perusahaan yang diswastaniasi serta perusahaan-perusahaan teknologi baru nyaris semua dimiliki para anggota klan Assad dan sahabatnya dengan aparat keamanan militer mengamati dari dekat semua aktivitas mereka. Bagaimanapun, ada sejumah konsensus berlaku antarpara pengawas Suriah di Barat. Yaitu bahwa Assad muda tengah menempuh langkah-langkah perlu pertama untuk menuju reformasi. Kesan ini diperkuat oleh fakta bahwa rejim pun mengijinkan bangkitnya sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) untuk aktif terlibat dalam berbagai isu, termasuk hak-hak asasi manusia, meskipun dinas keamanaan mengawasi mereka dari dekat.
Negara-negara berkuasa Barat berupaya mendorong apa yang mereka lihat sebagai proses yang bergerak lambat. Caranya, dengan menawarkan bantuan ekonomi kepada Assad, umumnya melalui Uni Eropa dengan tetap memberikan penghormatan diplomatik. Assad diundang untuk melakukan kunjungan kenegaraan tingkat tinggi termasuk berbagai kunjungan ke Inggeris dan Perancis. Di sana, dia diberikan kursi di depan parade militer 14 Juli di Paris, Perancis.
Tatkala, para pengunjung rasa berkumpul di Deraa, Suriah, Pemerintah Obama justru tengah mempersiapkan alasan bagi kunjungan Assad ke Washington. Sejumlah tokoh kenamaan Partai Demokrat menulis artikel di media massa memuji Pemimpin Suriah itu sebagai pembaru yang moderat.
Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat kala itu, Senator John Kerry sudah menjalin persahabatan pribadi yang rumit dengan Assad, yang dia temui dalam sejumlah kunjungannya ke Damaskus, Suriah. Istri mereka pun sudah membangun ikatan simpati antarmereka.
Fakta bahwa hubungan Assad dengan Pemerintahan Bush pernah bermasalah, untuk mengatakan paling sedikit, juga membantu membentuk imaji Assad di mata Pemerintahan Obama yang tengah membangun kebijakan luar negeri yang berbasiskan perasaan anti-Bush. (Bush pernah memaksa Assad mengakhiri pendudukan Suriah atas Libanon. Assad membalas dendam dengan mengijinkan teroris Islamis melewati Suriah supaya bisa membunuh warga Amereka di Irak.) Selama tiga dekade, ayah Assad, Hafes al-Assad telah menjadi satu-satunya pemimpin Arab yang pernah mengadakan pertemuan-pertemuan pribadi, tête-à-tête dengan semua Presiden AS, mulai dari Richard Nixon hingga Bill Clinton. Presiden George W. Bush merusak tradisi itu dengan tidak memberikan penghormatan yang sama kepada Bashar al-Assad.
Pada akhirnya, rejim Assad mengulangi pengalaman hampir semua rejim totaliter yang pernah mencoba resep "reformasi terpimpin."
Rejim otoritarian tidak pernah begitu berbahaya dibandingkan ketika berupaya melakukan liberalisasi. Juga, ada kenyataan bahwa tidak semua rejim otoriter punya mekanisme yang efisien untuk melakukan reformasi. Dalam sejumlah kasus, pilihannya adalah antara membenturkan tuntutan populer dengan reformasi pada satu pihak dengan risiko rejim berubah pada pihak lain. Seperti sangat diketahui oleh warga Amerika Latin, ketika ada dictablanda (diktator mudah) bisa direformasi, maka dictadura (diktator keras) harus digulingkan.
Setelah masa yang singkat, seperti kisah Hamlet dalam novel pengarang Inggeris Shakespeare, Assad pun bertanya-tanya diri apakah perlu membunuh atau tidak. Ia memilih yang belakangan. Setelah tiba pada keputusan itu, dia pun mengirim tank-tanknya untuk menghancurkan Deraa. Resep itu pernah dicobakan pada 1982 di bawah kendali ayahnya, Jenderal Hafez al-Assad di Hamad. Kenyataannya, tindakan itu berhasil menjamin nyaris tiga dekade situasi stabilitas bagi rejimnya.
Seperti rejim otoriter Arab lain yang tengah menghadapi revolusi rakyat, rejim Assad, sedikitnya sebagian, merupakan korban dari keberhasihannya yang relatif.
Walau tidak resmi, beberapa dekade yang stabil setelah kasus Hama, menyebabkan Suriah efektif mengakhiri situasi perang dengan Israel, memungkinkan terbentuknya kelas menengah perkotaan baru, meningkatan kuantitas fasilitas pendidikan dan kebangkitan kembali sektor ekonomi tradisional, khususnya industri pertanian dan kerajinan tangan yang tidak masuk dalam kendali pemerintah.
Assad memang punya rekor dalam bidang seperti melek huruf, peningkatan jasa kesehatan yang membantu meningkatkan tingkat harapan hidup serta akses menuju pendidikan tinggi secara signifikan lebih baik daripada rata-rata 22 negara anggota Liga Arab. Kelas menengah perkotaan dengan aspirasi gaya Barat yang berkembang lalu hanya menemukan diri terjebak dalam sebuah sistem politik ala Dunia Ketiga. Persoalannya, kelas menengah baru ini secara politis tidak punya pengalaman, tidak untuk mengatakan tidak matang termasuk tidak bisa bergerak lebih jauh untuk mengungkapkan aspirasinya secara untung-untungan. Dia pun tidak punya struktur politik dan kepemimpinan yang mampu menterjemahkan aspirasi-aspirasi menjadi strategi pembentukan kembali masyarakat Suriah yang radikal.
Jadi, tanpa berusaha menyebutkan Revolusi Eropa pada 1848, seperti negara-negara lain yang mengalami Musim Semi Arab, pemberontakan Suriah menghadapi kemungkinan kalah dari negara otoriter yang didambakannya untuk diciptakannya. Gagalnya pemberontakan untuk mengembangkan strategi yang padu memunculkan kekosongan kekuasaan yang dicoba segera diisi oleh kekuatan lain.
Yang pertama dari berbagai pasukan itu adalah Persaudaraan Muslim beserta mesin Partai Sosialis Arab Baath (Kebangkitan Kembali), musuh bebuyutan rejim Assad. Setelah bertahan sekedar sebagai pengamat pada awal pemberontakan, Persaudaraan Muslim, yang kepemimpinannya berbasis di pembuangan di Jerman, mengaktifkan kembali sel-selnya yang sedang tidur lalu mempromosikan tema-tema sektarian: Kaum Muslim Sunni berhadapan dengan minoritas Alawi tempat Assad berada.
Ada paradoks dari situasi itu. Yaitu bahwa rejim secara tidak langsung mendorong Persaudaraan Musim untuk bangkit dengan dua pertimbangan. Pertama, ia mengharapkan bahwa satu dosis sektrarianisme bakal mampu menyatukan minoritas Alawi yang mencapai 10 persen populasi yang mengitari rejim. Pada waktu bersamaan, dia membujuk minoritas lain, khususnya kaum Kristen yang mencapai sekitar 8 persen populasi serta dua persen kelompok lainnya yaitu kaum Ismailiah dan Druz supaya bisa mendapatkan kesempatan yang lebih baik dengan rejim otoriter sekular daripada merangkul kaum Islamis Sunni yang militan. Untuk mendorong pemikiran ini rejim pun mulai melepaskan sejumlah besar kaum Islamis Sunni militan. Di antara mereka ada banyak pemimpin masa datang Negara Kalifah Islam (atau ISIS). Assad juga berurusan dengan warga Kurdi, yang mencapai sekitar10 persen populasi, yang banyak dari mereka mengalami status mereka sebagai bangsa Suriah ditarik pada era 1960-an. Dalam sebuah keputusan presiden, dia berjanji memulihkan status kebangsaan mereka sambil mengisyaratkan adanya konsesi yang lebih besar atas isu otonomi internal bagi etnis minoritas.
Dengan mendorong aspek sektarian dari konflik, Assad berharap bisa mendapatkan simpati dan dukungan negara-negara demokrasi Barat, kemudian, seperti sekarang terjadi, prihatin dengan bangkitnya Islam militan sebagai ancaman atas keamanan mereka sendiri.
Dengan memainkan kartu sektarian, Assad juga memperoleh dukungan lebih luar biasa dari rejim Shiah di Republik Islam di Teheran. Namun, Shiaisme tidak mengakui keberadaan kaum Alawi, yang lebih dikenal dalam lingkaran para ulama sebagai kaum Nusayri, sebagai Muslim, apalagi Shiah.
Bagaimanapun, Teheran sadari bahwa kaum Nusyayri yang mendominasi rejim Damaskus bukan ancaman ideologis-teologis baginya, tetapi Persaudaraan Muslim dan doktrin pan-Islamismenya. Teheran membutuhkan rejim yang ramah di Damakus guna memastikan tetap ada akses menuju Libonan tetangganya. Di sana, Republik Islam punya pengaruh luar negeri yang penting, berkat dukungannya terhadap Hizbulah cabang Lebanon.
Setelah menikmati kehadirannya yang penting di Irak, Republik Islam membutuhkan Suriah untuk melengkapi "Bulan Sabit Shiah" yang dilihatnya dengan puncak es dan ujung aksesnya mengarah ke Laut Mediternea.
Saat itu, bahkan sekarangpun, perjuangan atas Suriah bukan perang sektarian, walau di dalamnya terjadi perang antarkaum sektarian. Kekuatan-kekuatan lain hadir dalam konflik rumit ini. Di antara mereka ada penentang Partai Baath, khususnya anggotanya yang berhaluan kiri yang ditindas oleh Assad senior. Sisa-sisa dari berbagai partai Komunis Suriah juga aktif sebagai kelompok-kelompok kecil nasionalis (Nasseris ) yang berpengalaman.
Karena nyaris semua agama dan/atau komunitas etnis terpecah-belah maka beberapa dari mereka memihak Assad dan yang lain memeranginya sehingga sulit untuk menentukan batas demarkasi sektarian yang jelas. Bangsa Kurdi pun bahkan sangat terpecah-belah antarmereka dengan PKK, Patai Kurdi Turki, hadir di Suriah sebagai orang buangan selama beberapa dekade mempertahankan kekuasaan agar tetap seimbang.
Persoalan semakin merumit akibat terlibatnya semakin banyak kekuatan asing. Yang paling akhir adalah Rusia.
Sudah kita sebutkan Iran terlibat untuk mencoba melindungi rejim yang tidak pernah berhasil dia paksakan persahabatan sejati dengannya. Ini aliansi karena kebutuhan, bukan pilihan. Soalnya sejak awal Teheran membutuhkan Damaskus supaya bisa memisahkan Dunia Arab selama Perang Iran – Irak melawan persaingan yang melatarbelakangi konflik antara Assad senior dan Saddam Hussein yang ingin bisa memimpin pan-Arab Baath.
Assad senior hanya satu kali mengunjungi Teheran. Itu pun hanya selama beberapa jam serta sangat hati-hati untuk menetapkan batasan-batasan yang ketat atas kehadiran Iran di Suriah, namun mendapat untung dari largesse (sumbangan) Iran dalam bentuk pemotongan harga minyak bumi, uang kontan dan pengiriman senjata. Hanya di bawah Bashar, Suriah mengijinkan Iran membuka konsulat di luar Damaskus dan akhirnya membangun 14 "Pusat Kebudayaan" guna mempromosikan Islam Shiah. Juga di bawah Bashar, Teheran dan Damaskus bisa menyelesaikan "Perjanjian Kerja Sama Pertahanan" yang relatif terbatas yang mencakup pembicaraan staf militer bersama serta pertukaran intelijen militer.
Ada lebih dari satu juta warga Iran mengunjungi Suriah setiap tahun menziarahi Makam Zeynab, (salah satu isteri Nabi Muhamad, JEL) yang terletak dekat Damaskus. Namun, hampir tidak ada orang Suriah mengunjungi Iran. Sementara itu, perdagangan kedua sekutu tetap tidak signifikan. Dalam sebuah wawancara beberapa saat sebelum tewas dalam perang dekat Aleppo, Jenderal Iran Hussein Hamadani, mengenang betapa para perwira senior angkatan bersenjata Suriah "sangat tidak ikhlas" untuk membiarkan militer Iran mengatakan pendapat dalam perencanaan perang, apalagi melakukan operasi melawan pemberontak anti-Assad. Para jenderal Suriah memang mengalami pendidikan sekular, suka minum-minum dan menganggap orang Iran sebagai kaum fanatik abad pertengahan yang melekat dengan mimpi-mimpi yang ketinggalan jaman (anachronistic dreams).
Bagaimanapun, sejak 2015, Iran menjadi pendukung utama rejim Assad. Iran diperkirakan menghabiskan sekitar 12 miliar dolar (Rp 162.000 Triliun) demi aksi spekulasinya atas Suriah, termasuk pembayaran gaji para pegawai pemerintah di kawasan-kawasan yang masih di bawah kendali Assad. Saat makalah ini ditulis, Iran telah kehilangan 143 perwira tinggi, mulai dari kapten ke atas dalam perang di medan tempur Suriah. Dikirimkan untuk berperang di Suriah atas perintah Teheran, Hizbulah cabang Lebanon berperan penting menahan agar Assad tidak kehilangan kawasan, khususnya di bagian selatan dekat dengan perbatasan dengan Libanon serta pegunungan barat Damaskus. Berbagai perkiraan konservatif mengatakan faksi Hizbulah kehilangan 800 anggota pasukan pada 2014 dan 2015, angka tertinggi ketiga yang dialami faksi tersebut dalam perang melawan Israel pada 2006.
"Pembimbing Tertinggi" Iran, Ali Khamanei secara terbuka pernah mengatakan tidak mengijinkan perubahan rejim di Damaskus. Dengan demikian, dia satu-satunya pemimpin luar yang melakukan hal ini.
Ketika Iran menjadi kekuatan utama pendukung Assad, Turki pun muncul sebagai sumber utama dukungan bagi pasukan anti-Assad. Padahal, selama dekade pertama abad baru ini, tatkala ekonominya bertumbuh bagus, Turki menginvestasikan lebih dari 20 miliar dolar AS (Rp 270 ribu triliun) di Suriah sehingga mengubah Aleppo dan propinsi terdekatnya menjadi kawasan pendukung industri Turki. Para pengamat Turki lalu menuduh para pemimpinya berusaha memperjuangkan mimpi-mimpi dominasi neo-Ottoman di Timur Tengah. Para pemimpin Ankara sebaliknya mengaku lebih suka melihat kesulitan yang sedang Suriah alami sebagai peluang untuk "menyelesaikan" persoalan sekelompok masyarakat Kurdi – Turki yang ingin memisahkan diri dari Turki, yang berbasis di kawasan Suriah sejak era 1980-an.-
Kepemimpinan Turki yang "lembut" senantiasa punya ikatan dengan gerakan Ikhwanul Muslim global dan bertekad untuk melihat sekutu Suriahnya itu akhirnya dikuasai masa depannya.
Turki membayar lebih supaya bisa terlibat di Suriah dibandingkan dengan Iran atas campur tangannya itu. Tidak seperti Iran, yang tidak menerima satupun pengungsi Suriah, Turki menampung lebih dari 2,5 juta pengungsi Suriah, sehingga menimbulkan tantangan kemanusiaan dan keamanan jangka panjang ketika Ankara sedang bergulat resesi ekonomi dan meningkatnya ketegangan sosial.
Keputusan Ankara menghalau sejumlah besar pengungsi ke Uni Eropa merupakan upaya untuk memaksa negara-negara kaya benua itu untuk berbagi sejumlah beban dengannya. Setelah empat tahun melakukan lobi, Turki tidak berhasil membujuk sekutu Amerika Serikat-nya untuk mendukung pembangunan sebuah "tempat aman" serta zona larangan terbang di Suriah supaya bisa membujuk sedikitnya sejumlah warga Suriah untuk tetap berdiam di kampung halaman mereka daripada menjadi pengungsi di Turki dan negara-negara tetangga lainnya.
Bagaimanapun, Iran berasumsi bahwa apa yang terjadi Suriah tidak berdampak atas keamanan nasionalnya sendiri, namun Turki sebaliknya berada dalam bahaya langsung, mungkin saja karena salah arah. Kalifah Negara Islam (ISIS) sudah diam-diam membuat kesepakatan untuk tidak bergerak lebih dari batas 40 Km dari perbatasan Iran dengan Irak. Pada titik ini, ia mengindikasikan bahwa ISIS berniat menghindari bentrokan langsung dengan Teheran.
Tak ada jaminan bahwa pengendalian diri bakal tetap terjadi dalam konteks negara-negara yang gagal di Suriah dan beberapa bagian dari Irak. Pihak berwenang Iran secara terbuka mengatakan bahwa sekitar 80 kelompok bersenjata Negara Islam kini hadir di Afghanistan dan Pakistan dekat dengan perbatasan Iran. Pasukan keamanan Iran juga bisa terancam jika komunitas Kurdi, Suriah, Turki, Irak dan Irak di perantauan di negara-negara itu terlibat dalam konflik rejional yang lebih besar. Dukungan menyeluruh Iran bagi Assad mungkin membuat Republik Islam menjadi pecundang pada sisi lain, khususnya dan jika, sisa-sisa rejim di Damaskus runtuh.
Rusiah yang terlibat dalam carut marut upaya mendukung Assad mungkin sudah memikirkan ulang keputusannya yang tergesa-gesa untuk terlibat dalam sebuah konflik yang tak sepenuhnya dia pahami. Padahal, seperempat abad setelah runtuh, Uni Soviet hanya punya sejumlah hubungan yang bisa diandalkan di negeri itu.
Ada tiga peristiwa yang tampaknya mempengaruhi Presiden Putin untuk pelahan terlibat. Pertama, tertembak jatuhnya pesawat penumpang Rusia oleh ISIS yang menjadi peringatan atas adanya perasaan sangat mudah diserang yang Rusia alami bersama negara-negara lain di hadapan terorisme global. Kedua, penembakan jatuhnya pesawat tempur Rusia oleh Turki, yang menjadi peringatan bahwa dalam situasi kacau-balau seperti di Suriah, tidak ada jaminan bahwa apa saja bisa tetap dikendalikan tiap saat. Peristiwa ketiga adalah serangan yang diorganisasikan oleh massa pro-Kalifah atas basis militer Rusia di Tajikistan, yang seolah-olah membalas dendam atas pembunuhan seorang gadis setempat oleh seorang tentara Rusia
Rusia adalah rumah dari sekitar 20 juta umat Muslim. Terlepas dari mereka mempraktekannya atau tidak, tetapi sebagian besar adalah kelompok penganut Sunni dan sedikitnya secara teoritis bersimpati kepada kaum mayoritas Suni Suriah yang memerangi Assad. Dukungan Rusia yang kuat terhadap Asad bisa saja memancing para teroris untuk menanggapinya, bukan saja melawan para turis Rusia seperti kita lihat di Sharm al-Sheikh tetapi juga di dalam negeri federasi itu sendiri.
Negeri yang paling dramatis dan barangkali tetap saja terganggu oleh konflik Suriah adalah Libanon. Lebih dari 1,8 juta pengungsi Suriah sudah tiba, mengubah keseimbangan demografi negeri yang rapuh ini.
Lebanon kini diperintah oleh perdana menteri dari kelompok Islam Sunni yang punya kekuasaan eksekutif yang luar biasa dan sangat bersemangat untuk memberikan status kewarganegaraan kepada para pendatang baru sesegera mungkin. Jika para pendatang baru ini ingin tetap berdiam di sana, Libanon bakal menjadi negara mayoritas Sunni Arab lain, dengan umat Kristen, Shiah dan Druz sama-sama membentuk tidak lebih dari 45 persen populasi negeri itu,
Tetangganya Yordania juga sangat terganggu . Kali ini terkait dengan dominasi elit Hashemit. Dengan menerima sekitar 1,2 juta pengungsi Suriah dan sebagian besar dari mereka adalah Muslim Sunni di samping satu juta pengungsi Sunni Irak lain maka perpaduan demografis yang mendukung komunitas non-Palestina bisa mencair, khususnya yang terkait dengan minoritas kaum Arab Baduin, Sirkas, Druz dan Turki serta Kristen yang membentuk tidak lebih 35 persen penduduk.
Negara yang paling langsung diganggu sampai sebegitu jauh adalah Irak. Negara ini sudah kehilangan potongan kawasannya yang cukup besar, khususnya kota terpadatnya yang ketiga Mosul ke tangan kalifah Negara Islam yang berpusat di Raqqah, Suriah. Para pemimpin Bagdad pun prihatin dengan pemikiran bahwa kekuasaan Barat pun mungkin akhirnya menerima bagian baru Timur Tengah yang mencakup negara mayoritas Sunni yang baru muncul, yang terdiri dari empat propinsi Irak serta lima propinsi Suriah.
Memang ada pemikiran untuk berbicara kepada ISIS yang dimunculkan di Inggeris oleh pemimpin baru Partai Buruh, Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn pernah menyarankan agar saluran lapis kedua dibuka dengan pihak Kalifah guna menggali kemungkinan mengadakan perundingan damai dan kompromi. Gebrakan seperti ini bakal berdampak kepada langkah pertama menuju pengakuan adanya negara Sunni baru yang terpisah.
Irak juga prihatin dengan masa depan kawasan Kurdi yang direbut kembali dari Kalifah ISIS oleh para pejuang Kurdi dari Turki, Suriah dan Irak. Akankah Kurdi mengembalikan kawasan-kawasan itu kepada Bagdad ketika masa tenang kembali terjadi di negeri itu?
Pemikiran tentang Negara Sunni baru di kawasan Eufrat memunculkan pemikiran lain. Yaitu tentang sebuah negara bagi kaum minoritas seperti kaum Alawi, Kristen, Ismailiah dan Druz di kawasan Mediteranian, yang membentang dari beberapa bagian Libanon hingga tepi pantai Suriah sepanjang pegunungan barat Damaskus. Kasarnya, kawasan itu bakal mencakup sebagian Suriah yang selama Mandat Perancis mereka disebut "la Syrie utile" (Suriah yang bermanfaat).
Rusia adalah negara lain yang baru terlibat di Suriah yang bisa mengamankan fasilitas kawasan laut yang dicarinya di Mediterania di kawasan negara baru itu nanti.
Tidak perlu dikatakan lagi bahwa Bangsa Kurdi yang terpecah belah dalam berbagai komunitas di Suriah, Turki, Iran, Armenia dan (bekas Soviet) Azerbaijan juga terpengaruh oleh konflik Suriah. Pemikiran tentang Negara Kurdi bersatu memang tak pernah ada dalam khayalan Bangsa Kurdi di seluruh penjuru kawasan. Bagaimana pun, tampaknya sangat rumit direalisasikan seperti saat ini. Berbagai komunitas Kurdi dan partai terlibat dalam perjuangan pahit terkait dengan narasi dan agenda Bangsa Kurdi yang kadangkala bahkan nyaris terlibat konflik bersenjata. Sadar terhadap bahaya yang ada di dalamnya, Pemimpin Bangsa Kurdi Irak, Mazood Barzani pun dipaksa untuk segera mengesampingkan rencana yang dia umumkan sendiri untuk mendeklarasikan kemerdekaan Kurdi di tiga propinsi Irak yang dikuasainya bekerja sama dengan sejumlah kelompok lainnya.
Walaupun bersatu padu berjuang melawan ISIS di lingkungan mereka, Bangsa Kurdi sangat terpecah-belah dalam soal apa yang bakal dilakukan selanjutnya. Juga ada bahaya mereka bisa menggunakan senjata mereka --- yang banyak dipasok oleh AS --- sehingga kemungkinan untuk saling menghantam satu lain tidak bisa dikesampingkan.
Konflik di Suriah juga mempengaruhi negara Arab dan Muslim lain. Sebagian terjadi karena magnit untuk melancarkan jihad yang diciptakan Kalifah dan kelompok Islamis lain seperti Jabhat al-Nusra (Fron Kemenangan). Saat makalah ini ditulis, berbagai kelompok yang mengklaim diri berkaitan dengan para jihadi Suriah melancarkan aksi atau upaya aksi teror di 21 negara mayoritas Muslim mulai dari Indonesia hingga Burkina Faso, melewati Arab Saudi, Turki, Mesir dan Libya. Berbagai kelompok itu pun bertanggung jawab melakukan serangan atau upaya melakukan serangan di Perancis, Belgia, Jerman, Inggeris serta Amerika Serikat.
Negara-negara Arab kaya minyak Teluk Persia aktif mendukung berbagai kelompok anti-Assad. Tetapi, mereka juga berada dalam bahaya karena mengulang pengalaman mereka yang sangat berbahaya di Afghanistan. Kala itu, mereka membantu para jihadi memerangi kaum Komunis lokal serta para pendukung Soviet mereka hanya untuk berakhir dengan Taliban dan Al-Qaeda.
Kenyataannya, selama lebih dari setengah abad, para pemimpin jihadi bermimpi untuk bisa merebut kendali atas sedikitnya satu negara Arab kaya minyak yang mampu menjamin sumberdaya keuangan bagi strategi penaklukan global mereka.
Akhir bulan ini, sebuah konperensi internasional soal Suriah akan diadakan di Jenewa. Agendanya, adalah rencana untuk berbagi kekuasaan, pembuatan konstitusi baru serta Pemilu di bawah pengawasan PBB dalam kurun waktu dua tahun. Sebetulnya, rencana itu dikembangkan oleh sebuah lembaga kajian yang berbasis di New York pada 2012 lalu dan diajukan kepada Assad lewat dua tokoh politik kenamaan Libanon. Assad hati-hati sekali menyambutnya. Rencana itu juga mendapat sejumlah dukungan dari NSC dalam Pemerintahan Obama. Bagaimanapun, nyaris pada menit terakhir, Presiden Obama memvetonya, lalu di depan publik dia mengatakan Assad harus meninggalkan kursi kekuasaannya.
Jika peluang rencana itu kecil pada 2012, maka praktis tidak berpeluang sama sekali sekarang. Penyebabnya, tidak ada orang yang sungguh-sungguh bertanggung jawab terhadap kampnya sendiri di Suriah, dengan pengandaian bahwa orang mungkin mudah menemukan kamp-kamp yang jelas-jelas mampu bertindak sebagai entitas yang berbeda.
Suriah tidak pernah menjadi negara yang menonjol hingga mandat Perancis berkuasa di sana. Akibatnya, Perancis melakukan eksperimentasi dengan sedikitnya lima versi negara yang bergantian berturut-turut setelah Perang Dunia Pertama.
Setelah 2011, ketika Deraa memicu pemberontakan nasional, Suriah pun menjadi negara bangsa yang sebenarnya. Mulai muncul kesadaran terhadap Ke-Suriah-an (dalam Bahasa Arab: Saryana), yang tidak pernah ada sebelumnya. Saryana ini, jelas tercantum dalam sastra, film, televisi, jurnalisme bangsa dan jauh lebih penting lagi ada satu versi Bahasa Arab yang digunakan masyarakat dari satu ujung hingga ujung lain negeri itu.
Seiring jatuhnya Negara Suriah, yang kini secara rapuh menguasai sekitar 40 persen kawasan nasionalnya dan konflik dengan semua pihak sektarian yang tidak punya suara yang kuat tengah menguat kesadaran tentang "Saryana" mulai muncul sangat kuat. Kawasan-kawasan yang berada di bawah kendali Kalif ISIS pun menampilkan diri sebagai musuh nomor satu negeri itu. Suriah kini merupakan jalinan dari emirat, besar dan kecil, berada bersama dan /atau tengah berperang mendukung perang ekonomi serta menekankan partikularisme lokal, etnis dan relijius. Banyak emirat ini mengembangkan sitem koeksistensi yang memungkinkan mereka mengelola berbagai komunitas yang mereka kuasai serta membimbing mereka menuju banyak arah. Dalam hampir semua kasus, arah yang dipertanyakan adalah menuju apa yang dipasarkan sebagai "Islam murni Muhamad" dalam banyak bentuk yang berbeda. Tetapi dalam beberapa kasus, yang mengejutkan banyak orang, ada eksperimen malu-malu dengan pluralisme dan demokrasi juga sedang berlangsung.
Tantangannya sekarang bukanlah untuk mengamankannya melalui tipu muslihat diplomatik sebuah Suriah yang secara luas gagal, tetapi untuk membantu membentuk sebuah Suriah baru. Itulah, bagaimanapun merupakan sebuah tantangan yang tidak seorang pun sekarang bersedia, apalagi mampu hadapi.
Amir Taheri, mantan editor koran kenamaan Iran, Kayhan, sebelum Revolusi Iran meledak pada 1979, adalah pengarang kenamaan yang berbasis di Eropa. Dia ketua Gatestone Institute di Eropa. Artikel tentang Suriah ini diajukan pada Seminar tentang Keamanan Rejional yang diselenggarakan oleh George C. Marshall European Center for Security Studis di Munich, Jerman, pada 25 Januari 2016.