Kadangkala, jika kau benturkan dua kisah, maka kau akan berhadapan dengan akhir yang menarik. Kadangkala bisa juga kau dapat sesuatu yang mengganggu. Perasaan yang belakangan inilah yang bakal kau dapatkan.
Kisah pertama adalah tentang Perancis, anggota negara P5+1 yang menegosiasikan kesepakatan dengan Iran soal kemampuan senjata nuklir negeri itu. Pemerintah Perancis makin banyak menyampaikan keprihatinannya bahwa kesepakatan yang muncul itu cacat. Barangkali juga fatal. Menteri Luar Negeri Perancis Laurent fabius dilaporkan memberi tahu Parlemen Perancis, bahwa; "Perancis tidak menerima [kesepakatan] ini jika tidak jelas bahwa inspeksi-inspeksi dapat dilakukan pada semua instalasi nuklir Iran, termasuk tempat-tempat militer." Dia kemudian menambahkan, "Ya, pada satu perjanjian, tetapi tidak pada perjanjian yang membuat Iran mampu memiliki bom atom. Itulah posisi Perancis, yang memang independen dan penuh damai."
Duta besar Perancis ke Amerika Serikat, Gerard Araud memberi tahu para pendengar Amerika bahwa "aspek paling mengkhawatirkan dari perjanjian itu" adalah bahwa Iran menjadi negara yang lolos selama satu tahun." Ia prihatin jika Iran menjadi negara nuklir maka negara-negara lain di kawasan itu akan juga berupaya menjadi kekuatan nuklir.
Posisi Perancis menciptakan persoalan bagi Presiden AS Barack Obama. Karena perjanjian itu harus disepakati oleh P5 + 1. Bukan lagi " P4 + 1 – dengan satu suara menentang."
Apakah Presiden Obama mendukung Perancis dalam upayanya untuk menjadi pemain utama di Timur Tengah sebagai pengganti dukungan Perancis bagi perjanjian P5 + 1? Atas, Menteri Luar Negeri John Kerry (kiri) diambil gambarnya ketika bertemu Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius, 27 Februari 2013 lalu (Sumber foto: Departemen Luar Negeri AS). |
Kisah kedua adalah juga soal Perancis. Terkait ikatan historisnya dengan Timur Tengah, tetapi sangat terbatas kemampuan militernya di sana (atau di manapun), Perancis sedang menjadi calo kekuatan diplomatik. Christian Makarian, wakil redaktur L'Express, baru-baru ini menulis bahwa setelah Assad menggunakan senjata kimia melawan rakyatnya, Perancis pun ingin campur tangan di Suriah namun sebaliknya diminta pasif oleh Presiden Obama. "Hollande dan ...Fabius kerapkali merujuk dukungan intervensi militer tahun lalu di Suriah, yang mereka anggap salah satu kegagalan terbesar politik mereka." Ini, dia berdalil, terkait dengan kesediaan Perancis untuk mendukung tindakan militer di Irak.
Pengaruh bisa muncul dari penjualan senjata. Dan di sini Perancis mengunggulinya. Sejak 2005 – 2010, Perancis menjadi pemasok senjata ketiga terbesar terhadap kawasan Timur Tengah /Afrika Utara (MENA), setelah AS dan Rusia. MENA kini menyumbang hampir separuh pemesanan senjata dari militer Perancis. Saudi Arabia, Maroko, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Oman, Tunisia dan Aljazair merupakan kliennya. Tahun ini, Mesir bakal melakukan pembelian senjata senilai 5,2 miliar Euro. Dengan demikian, itu berarti terjadi 17.3 persen peningkatan dalam seluruh penjualan senjata di luar negeri selama 2014, dibanding 2013.
Pengaruh juga muncul dari diplomasi—dan di sinilah kisah itu mulai berbenturan.
Perancis, Inggeris dan Jerman telah membuat rancangan Resolusi Dewan Keamanan akhir tahun silam. Rancangan itu bertujuan menetapkan parameter pembentukan Negara Palestina sekaligus "mengakhiri konflik." Rancangan itu tidak diajukan karena Pemilu Israel tertunda. Perancis pun bersiap mencobanya sekarang dengan sebuah rancangan yang bakal "menyelesaikan" masalah dengan menggunakan Jalur Genjatan Senjata (Armistice Line) tahun 1949 sebagai titik rujukan bagi Negara Palestina dengan ibukota bersama di Yerusalem, sebagai solusi "adil" bagi para pengungsi dan mungkin juga untuk pengambilalihan tanah. Ia juga mempersyaratkan Palestina untuk juga mengakui Israel sebagai " Negara Yahudi."
Ketika berbicara di New York, Fabius mengatakan, "parameter itu harus dirumuskan dan diakui oleh Dewan Keamanan. Jelas bahwa kedua pihak harus mendiskusikannya, namun diskusi akan diikuti dengan upaya kalangan internasional."
Seorang pejabat Perencis malah menyebut upaya itu sebagai "pintu belakang negosiasi." Dikatakannya dalam sebuah laporan pers bahwa "semua aktor, termasuk Amerika kini menyadari bahwa semua cara lain sudah digali namun tidak berhasil."
Amerika Serikat secara historis menentang "upaya menginternasionalisasi' konflik. Karena itu, PBB diberikan wewenang untuk menetapkan persyaratan bagi pihak-pihak yang melanggar Perjanjian Oslo, yang ditentang oleh Israel namun didukung oleh Palestina
Awal Mei lalu, Presiden Obama mengindikasikan bahwa dia berniat memveto proposal Perancis. Dikatakannya, "Perjanjian yang terlampau dominan barangkali tidak "mungkin dilakukan tahun mendatang. Melihat pergantian Pemerintahan Netanyahu, melihat tantangan-tanyangan itu saya pikir perjanjian itu ada bagi Presiden Abbas." Dalam wawancara yang sama, ia mengatakan perlunya "langkah-langkah membangun keyakinan diri" yang berdampak terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Palestina dan Israel.
Bagaimanapun, presiden tampak terpaksa bergerak menuju posisi Perancis. Kepada televisi Israel baru-baru ini, dia mengatakan;
Jika kenyataannya, tidak ada prospek terciptanya proses perdamaian yang sesungguhnya, jika tidak orang yakin bakal ada proses perdamaian, maka jauh lebih sulit untuk berargumentasi dengan orang-orang yang prihatin terhadap persoalan pembangunan pemukiman, orang-orang yang prihatin dengan situasi akhir-akhir ini, sehingga semakin sulit bagi saya untuk mengatakan kepada mereka, 'Bersabarlah. Tunggu, karena kita sedang alami proses di sini."
Sikap skeptis yang diungkapkannya sendiri soal tercapainya perjanjian Israel-Palestina tampak memberikan pemikiran kepada Perancis bahwa "semua cara sudah diupayakan," dan bahwa sudah waktunya untuk memberikan kepada PBB untuk menetapkan parameter "kesepakatan dominan yang penting." Dan seperti terjadi, rancangan Perancis memang sesuai keyakinan yang sangat kuat diyakini oleh Presiden Obama. Yaitu bahwa Israel harus menganggap pemikiran itu berasal dari pemikiran sang presiden, tidak peduli dia baru memilih perdana menteri yang tidak setuju dengan ide itu:
Hal paling penting, saya pikir yang dapat kita lakukan sekarang adalah memperkuat posisi Israel untuk menjabarkan dengan sangat jelas mengapa saya yakin bahwa solusi dua negara merupakan rencana keamanan terbaik bagi Israel sekian lama... . Tapi juga pada ujung hari perlu juga mengatakan kepada siapa pun Perdana Menteri Israel bahwa dia bakal harus menghadapi sejumlah risiko jika ingin mencapai perdamaian.
"Risiko" terasa sangat berbahaya seperti peringatan Menteri Luar Negeri AS, Kerry pada 2013 lalu. Ketika dia mengatakan bahwa Israel mungkin menghadapi "intifada ketiga" jikalau tidak mau mengikuti jalan berpikir Amerika yang kini menjadi pemikiran Perancis. "Maksud saya, apakah Israel menginginkan Intifada ketiga?" tanyanya. "Saya harus dapat khabar dari kamu. Statusquo hari ini tidak bakal ada esok hari."
Di Washington pekan ini, Duta Besar Araud menggunakan bahasa sangat keras terhadap Israel dalam serangkaian tukar-menukar komentar Twitter dengan warga Amerika pendukung Israel. Tindakan mereka berakhir pada "diblokirnya" salah satu dari mereka. Urusan anak-anak bodoh, namun udara sudah terlanjur kotor. CEO perusahaan telepon seluler Perancis, Orange bahkan mengumumkan keinginannya memboikot Israel. Yang menyedihkan sikap itu disampai Orange ketika dia sendiri rmengeruk uang dengan beroperasi di Republik Demokratis Kongo, sebuah negara pelanggar hak asasi manusia yang utama.
Benturkan dua kisah maka kau anda dapatkan Presiden Amerika yang mendukung Perancis yang berupaya menjadi pemain penting di Timur Tengah sebagai ganti atas dukungan Perancis terhadap perjanjian negara-negara P5+1 dengan Iran.
Dalam kedua kasus ini, coba terka siapa yang harus bayar harganya: Israel.