Banyak negara Arab mengungkapkan keprihatinan mendalam mereka atas perjanjian nuklir yang tercapai pekan lalu antara Iran dan negara-negara yang berkuasa di dunia, termasuk dengan Amerika Serikat.
Para pemimpin dan kepala negara-negara Arab tampaknya cukup sopan. Tidak secara terbuka mereka mengkritik hasil perjanjian ketika Presiden Barack Obama menelepon memberi tahu mereka soal itu. Tetapi kali ini, langkah Obama tidak bisa menghentikan para politisi Arab, analis politik dan kolumnis untuk merefleksikan pemikiran pemerintahan di dunia Arab sehingga mengecam apa yang mereka deskripsikan sebagai "perjanjian Obama yang buruk dan berbahaya dengan Iran."
Momen bahagia Iran. Para pemimpin negara P5+1 berfoto bersama Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif setelah negosiasi soal nuklir di Lausanne, Swiss, 2 April 2015. (Sumber foto: Departemen Dalam Negeri AS). |
Masyarakat Arab, khususnya yang berdiam di kawasan Teluk melihat kerangka perjanjian itu sebagai tanda "lemahnya" Amerika Serikat namun sebaliknya lampu hijau bagi Iran untuk mengejar skema "ekspansionis"-nya di dunia Arab.
"Sejumlah negara Arab bakal menentang perjanjian nuklir karena membahayakan kepentingan mereka," urai suratkabar Mesir, Al-Wafd dalam sebuah artikel berjudul, "Para Politisi: Perjanjian Obama Dengan Iran Ancam Dunia Arab."
Suratkabar itu mengutif Hani al-Jamal, seorang peneliti politik rejional yang mengatakan bahwa perjanjian nuklir itu berarti bahwa komunitas internasional menerima Iran sebagai kekuatan nuklir. Dia lantas meramalkan bahwa kerangka kerja perjanjian bakal menempatkan Iran dan sejumlah negara Arab Saudi dan Mesir terlibat dalam konflik.
Al-Jamal kemudian menasehati negara-negara Arab untuk membentuk aliansi "Sunni NATO." Dengan oranisasi baru itu, status Pakistan sebagai kekuatan nuklir dan sekutu-sekutu Arabnya dijamin, ketika mereka berhadapan dengan "ancaman Iran dan Israel."
Jihad Odeh, seorang dosen ilmuwan ilmu politik Mesir mengatakan "Obama mendesain prestasinya untuk membongkar-bangkir dunia Arab. Obama ingin membuat prestasi bersejarah sebelum masa kerjanya berakhir dengan menghancurkan Al-Qaeda, mengupayakan adanya pendekatan dengan Kuba dan mencapai kesepakatan nuklir dengan pihak Iran."
Awalnya, Arab Saudi, yang kini melancarkan perang atas milisi Houthi dukungan Iran di Yaman "menyambut baik" perjanjian nuklir. Tetapi, secara pribadi negara itu tetap mengungkapkan keprihatinannya atas perjanjian.
Sejumlah negara Teluk pun awalnya menyambut gembira perjanjian. Meski demikian, kini mereka mulai mengungkapkan keprihatinan mereka atas dampak-dampaknya atas kawasan. Selama tiga bulan terakhir, negara-negara Arab diperingatkan soal upaya Iran yang terus-menerus untuk menguasai negara-negara mereka.
"AS pasti tidak ingin melihat hegemoni Iran yang lebih berkuasa lagi di kawasan itu, tetapi pada pada waktu bersamaan, nampaknya tidak peduli dengan semacam pengaruh Iran di kawasan ini," urai Nasser Ahmed Bin Ghaith, peneliti dari Uni Emirat Arab. "Iran sudah berjuang untuk mengklaim kembali perannya sebelumnya sebagai polisi kawasan." Bin Ghaith berujar bahwa jelas-jelas pengakuan Barat terhadap pengaruh rejional Iran bakal sangat merugikan negara-negara Teluk. "Negara-negara Teluk harus membangun kemitraan strategis dengan kekuatan rejional dari Pakistan dan Turki, yang juga sama-sama takutnya seperti negara-negara Teluk yang takut terhadap ambisi Iran di kawasan," tambahnya lagi.
Analis politik Hassan al-Barari menulis dalam suratkabar Qatar, Al Sharq yang menggemakan adanya rasa takut di kalangan bangsa Arab terhadap ambisi territorial Iran di Timur Tengah. Isi tulisan itu menentang kebijakan untuk menyenangkan hati Iran sebagai berikut;
"Iran berjuang untuk campur tangan di Irak, Libanon dan Suriah dan melihat bahwa dia tidak rugi sama sekali. Sebaliknya, ada berbagai upaya negara-negara yang berkuasa untuk mencapai pemahaman bersama dengan Iran. Juga ada perasaan di Teheran bahwa AS berupaya menghindari konfrontasi militer dengan Iran dan para pendukungnya. Negara-negara Teluk sudah belajar dari dari masa lalu di berbagai kawasan. Kebijakan untuk menyenangkan hati hanya berdampak pada munculnya perang. Upaya apapun untuk menyenangkan hati Iran hanya bakal menyebabkannya meminta lebih banyak dan mungkin saja mencampuri urusan dalam negeri negara-negara Arab sehingga memperbesar kesombongannya."
Bukan cuma negara-negara Teluk, Yordania pun sudah bergabung dalam koor bangsa Arab. Mereka pun sama-sama mengungkapkan ketakutan mereka atas meningkatnya ancaman Iran atas dunia Arab, khususnya menyusul bangkitnya perjanjian nuklir dengan AS dan negara-negara berkuasa.
Salah al-Mukhtar, seorang kolumnis Yordania menulis sebuah artikel berjudul, "Oh Bangsa Arab Bangkitlah, Musuhmu Adalah Iran." Di dalam tulisan itu dia menuduh AS memfasilitasi peran Teheran melawan negara-negara Arab.
Dengan mendeskripsikan Iran sebagai "Israel Timur," al-Mukhtar mengatakan aspek paling membahayakan dari kerangka kerja perdamaian itu adalah mengijinkan Iran melanjutkan "perangnya yang menghancurkan" melawan negara-negara Arab. "Ini perjanjian berbahaya. Terlebih bagi pasukan Saudi Arabia dan oposisi yang tengah berada di Irak dan Suriah," sang kolumnis itu mengingatkan. "Perjanjian ini memberi Iran apa yang paling dibutuhkannya untuk mengadakan perang dan aksi ekspansionismenya melawan negara-negara Arab yaitu dana. Mencabut saksi adalah cara Amerika mendukung perang berbahaya yang langsung melawan negara-negara Arab. Pencabutan sanksi juga memberikan dana yang Iran butuhkan untuk mendorong keunggulan sebagai bangsa Persianya. AS ingin menguras Saudi Arabia dan negara-negara Teluk sebagai persiapan untuk memecah-belah mereka."
Suratkabar berbahasa Inggeris Libanon, Daily Star juga mengungkapkan skeptisimenya atas perjanjian nuklir. "Bagi semua pihak, jika Obama sungguh-sungguh prihatin dengan warisan kekuasaannya, maka pembahasan perundingan ini berkontribusi terhadap upaya membuat dunia lebih damai, khususnya di Timur Tengah. Dengan demikian, Obama kini seharusnya bekerja sama dengan Iran untuk mendorongnya sekali lagi menjadi anggota tetap komunitas internasional, bukan menjadi negara yang mensponsori konflik, langsung maupun tidak langsung lewat negara-negara pendukungnya di seluruh kawasan."
Selain bangsa-bangsa Arab, para tokoh oposisi Iran juga muncul mengecam perjanjian nuklir ini.
Maryam Rajavi, politisi Iran yang juga Presiden National Council of Resistance (Dewan Nasional Untuk Perlawanan) berkomentar bahwa
pernyataan umum, tanpa ada tanda tangan dan persetujuan resmi pemimpin spiritual Khamanei, tidak bakal menghalangi jalan Teheran menuju bom nuklir atau mencegah penipuan yang ada dalam dirinya
Perundingan berkelanjutan dengan fasisme relijius di Iran, sebagai bagian dari kebijakan untuk menyenangkan hati, tidak bakal menjamin kawasan Timur Tengah dan dunia bebas dari ancaman pengembangbiakan nuklir.
Dengan demikian, mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB menjadi satu-satunya cara untuk menghalangi para mullah mendapatkan senjata-senjata nuklir.
...
Upaya memberikan kelonggaran serta konsensi yang tidak beralasan dari negara-negara P5+1 kepada rejim yang kurang dipercaya di dunia masa kini hanya identik dengan memberikannya lebih banyak waktu untuk semakin memperburuk bahaya yang ditimbulkannya kepada rakyat Iran, kawasan Timur Tengah dan dunia yang lebih luas.