Banyak warga Arab dan Muslim kini mengelus-elus tangan dengan penuh gembira mengamati Presiden Amerika Serikat, Barack Obama memaklumkan perang atas Israel setelah Benyamin Netanyahu dari Partai Likud memenangkan Pemilu pekan lalu
Mereka tidak melihat meningkatnya ketegangan antara Obama dan Netanyahu akibat perdebatan pribadi antara kedua pemimpin. Sebaliknya, perdebatan dilihat banyak kalangan Arab dan Muslim sebagai bagian dari strategi Pemerintahan Obama untuk menekan Israel sekaligus memaksanya untuk membuat konsensi kawasan yang dapat menimbulkan ancaman eksistensial terhadap Israel.
Pada awal masa pertama kekuasaannya, Obama meningkatkan harapannya dalam negara-negara Arab dan Islam ketika dia tergesa-gesa memberikan pidato bernada apologetik di Universitas Al-Azhar yang berafiliasi dengan Persaudaraan Muslim di Kairo, Mesir. Pidatonya memberikan kesan kepada banyak kalangan Arab dan Muslim bahwa di sini, di Al Azhar, akhirnya, adalah Presiden Amerika yang dipersiapkan untuk mempersembahkan Israel demi menyenangkan para musuhnya.
Kalangan Muslim memang sudah lama menganggap Obama berada di pihak mereka dalam konflik dengan Israel. Mereka mengharapkan dia menjadi Presiden Amerika Serika pertama yang bakal meninggalkan Israel demi bangsa Arab dan Muslim. Tetapi, sejak pidatonya pada 2000 di Kairo, ada kekecewaan sangat luar biasa terhadap Obama di kalangan negara-negara Arab dan Islam karena gagal "melakukan sesuatu" atas Israel.
Kini, pada penantian yang panjang, meningkatnya rasa permusuhan Pemerintahan Obama terhadap Israel disambut dengan gembira di banyak negara Arab dan ibukota negara-negara Islam. Mereka begitu gembira melihat bahwa setelah menggagalkan harapan bangsa Arab dan Muslim selama enam tahun, Obama tampak akhirnya mau bergerak menuju arah yang "benar."
Kelompok-kelompok teroris seperti Hamas, Hizbullah, Al-Qaeda dan Jihad Islam juga mengungkapkan rasa puas mereka terhadap apa yang mereka lihat ketika Obama "memaklumkan perang" atas Israel. Para pejabat Otoritas Palestina di Tepi Barat juga merayakan kenyataan bahwa Israel telah menjadi musuh nomor satu Pemerintahan Obama.
Pekan ini, pejabat Otoritas Palestina dikutip sebagai mengatakan bahwa rakyat Palestina tidak terkejut jika Presiden Obama sendiri bergabung dalam kampanye mereka untuk mengajukan tuduhan kejahatan perang melawan Israel ke hadapan Pengadilan Kriminal Internasional. Sang pejabat dilaporkan hendak memberitahu seorang diplomat Barat yang berbasis di Ramallah bahwa Obama membenci Israel dan itu merupakan khabar baik bagi warga Palestina.
Para musuh Israel tengah duduk menanti di perbatasannya, menunggu peluang untuk menyerang. Salah satu alasan yang membuat mereka hingga kini enggan melancarkan perang habis-habisan untuk menghancurkan Israel adalah karena mereka takut AS akan menyelamatkan Israel. Tetapi kini, Hizbulah, Hamas, Jihad Islam, Negara Islam dan kelompok teror lainnya berharap bahwa Obama pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Israel.
Para teroris pun mengikuti dengan antusiasme penuh yang luar biasa berbagai laporan bahwa Pemerintahan Obama tengah mempertimbangkan untuk menilai kembali kebijakannya di Timur Tengah di tengah ledakan kemenangan Pemilu Netanyahu. Ini tepatnya jenis berita yang mereka nantikan untuk didengarkan selama bertahun-tahun—yaitu bahwa Amerika Serikat tidak lagi mempertimbangkan Israel sebagai sekutu utamanya di Timur Tengah.
Berbagai laporan bahwa Pemerintahan Obama tidak lagi mendukung Israel dalam forum-forum internasional dan lembaga-lembaga khususnya dalam Sidang Umum dan Dewan Keamanan PBB dilihat oleh semakin banyak orang Arab dan Muslim sebagai awal dari berakhirnya kemitraan AS dan Israel. Kemitraan ini mencemaskan para musuh Israel selama beberapa dekade karena ia menghambat jalan untuk mencapai tujuan mereka mengpus Israel dari muka bumi.
Ringkasnya, sikap anti-Israel Obama merupakan pemberian terbaik yang dapat masyarakat Amerika berikan kepada para teroris Islamis dan masyarakat Arab radikal. Untuk pertama kalinya terjadi, Pemerintahan Obama menciptakan harapan di antara para musuh Israel bahwa AS pada akhirnya memberikan kepada mereka dukungannya yang sepenuh hati seperti yang dilakukannya kepada Iran.
Krisis tajam antara Pemerintahan Obama dan Israel terjadi ketika AS tengah kehilangan hampir semua sahabat Arab dan Muslimnya, khususnya di Mesir, Yordania, Yaman serta negara-negara lainnya. Krisis pun terjadi ketika Iran tengah mencaplok salah satu negara Arab setelah mencaplok negara lainnya dan kini mengepung semua ladang minyak di Teluk Persia termasuk diam-diam melakukan infiltrasi ke Amerika Selatan selama bertahun-tahun.
Terima kasih kepada kebijakan Obama. Kini, Iran dan rekan-rekannya berkuasa di Irak, Yaman, Suriah, Libanon dan sebagian besar Bahrain. Iran bahkan sudah mengepung ladang-ladang minyak Teluk Persia. Sementara itu, Amerika Serikat terpaksa menutup kedutaan besarnya di tiga negara Arab; yaitu di Suriah, Libya dan Yaman.
Obama kini mengubah Israel secara umum dan Netanyahu secara khusus menjadi ancaman utama perdamaian dan stabilitas dunia, ketimbang menghadapi bahaya-bahaya dari dorongan Iran untuk mengekspor revolusi Islam ke banyak negara Arab dan Islam sejauh memungkinkan. Semua upaya itu terjadi dengan bantuan operasi yang semakin mempercepat upaya mendapatkan senjata nuklir.
Dan karena itu, bukannya menyalami rakyat Israel karena menjadi satu dari sejumlah negara di Timur Tengah karena melaksanakan Pemilu yang benar-benar bebas dan demokratis, Obama malah memutuskan menerapkan hukuman kolektif bukan atas Netanyahu tetapi atas seluruh rakyat Israel, juga atas warga negara Israel yang Muslim dan Kristen karena sudah melaksanakan Pemilu yang tidak berakhir seperti yang dia inginkan.
Obamanya nampaknya ingin memaksa Israel menerima negara Palestina yang bakal menjadi ancaman eksistensial baginya sekaligus menjadi sumber ketidakstabilan dan ketegangan kawasan. Obama tampaknya tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa karena sikapnya yang menarik mundur sekaligus mengabaikan Israel, situasi di Timur Tengah hari ini tidak sama lagi dengan bahkan lima tahun silam sekalipun seiring dengan bangkitnya Negara Islam dan kelompok-kelompok teror.
Palestina dan Arab bahkan menyadari kenyataan bahwa dalam situasi sekarang, Negara Palestina, cepat atau lambat bakal dikuasai oleh para pejihad dan teroris Islam yang memang memimpikan Israel, Eropa dan AS hancur.
Jika Obama tertarik untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya atas Timur Tengah, dia seharusnya mulai dengan mengamati adanya penolakan terhadap pembentukan Negara Palestina merdeka menyusul dampaknya yang buruk terhadap keamanan rejional dan internasional. Rupanya, hal terakhir yang Amerika dan Eropa butuhkan adalah negara ekstremis Islamis lain yang mengekspor terorisme ke seluruh bagian bumi. Mungkin saja dengan kekuatan senjata nuklir.
Obama perlu bangun dari tidurnya. Musuh nyata bukan Netanyahu. Musuh nyata adalah Iran, Hizbulah, Hamas, Jihad Islam dan Negara Islam. Sayangnya Obama sudah memutuskan bergabung dengan pihak yang salah. Tidak mengherankan, dia terus-menerus merusak kalangan Muslim dan Arab moderat di dunia yang bebas ini.