Presiden Perancis Emmanuel Macron tampaknya berharap bahwa kelelahan menyebabkan para pemrotes "berjaket kuning" menyerah. Tetapi sayangnya, belum ada tanda-tanda itu. Sebaliknya, para "pemakai jaket kuning" tampak mendedikasikan diri untuk menumbangkan dia dari jabatannya. Foto: para pemrotes "berjaket kuning" yang tampil 15 Desember 2018 lalu di Paris, Perancis. (Foto oleh Veronique de Viguerie/Getty Images). |
Strasbourg, Perancis. Pasar Natal. Tanggal 11 Desember 2019. Jam 8 malam. Sambil meneriakkan "Allahu Akbar" seorang laki-laki menembak orang-orang yang lewat, lalu melukai beberapa dari mereka dengan pisau. Dia membunuh tiga orang di tempat kejadian serta melukai puluhan orang lainnya. Beberapa terluka parah. Dua korbannya belakangan meninggal dunia akibat luka-luka mereka. Pembunuhnya berhasil meloloskan diri. Dan, dua hari kemudian, polisi menembaknya mati.
Polisi ternyata sudah tahu pelakunya. Tatkala para anggota Direktorat Jenderal Keamanan Internal beserta beberapa tentara mendatangi rumahnya beberapa jam sebelum penembakan, dia berhasil meloloskan diri. Walau tahu dia penganut Islam radikal bersenjata yang berbahaya dan siap beraksi, tidak ada pengawasan dilakukan di kawasan itu. Padahal, petugas keamanan tahu Pasar Natal sedang diselenggarakan dan agaknya bisa menjadi sasaran pelaku.
Kenyataannya, sang pembunuh Cherif Chekatt, seharusnya dijauhkan dari jalanan kawasan itu. Umurnya 29 tahun. Namanya ada dalam daftar orang-orang yang dilaporkan untuk radikalisasi teroris (FSPRT). Dia juga sudah dijatuhi hukuman 27 kali atas berbagai kejahatannya. Meskipun demikian, dia masih bisa berkeliaran bebas di jalanan, tanpa ada polisi mengawasinya.
Kasusnya, kasus sang pembunuh sebetulnya sama saja dengan kasus banyak teroris pejihad di Perancis selama dekade terakhir. Kasus lain mencakup Mohamed Merah, pembunuh anak-anak Yahudi di Toulouse tahun 2012; Cherif dan Said Kouachi, pembunuh sebagian besar staf Majalah satire, Charlie Hebdo tahun 2015. Juga kasus Amedy Coulibaly, pembunuh orang-orang di sebuah pasar swalayan kosher (baca: makanan halal ala Yahudi) beberapa hari kemudian.
Pemerintahan yang terus berganti benar-benar tidak berbuat apa-apa guna memulihkan situasi. Mereka sebaliknya menyampaikan pidato kemudian menempatkan tentara di jalanan. "Kaum muda Perancis harus membiasakan diri hidup dengan ancaman serangan," urai Perdana Menteri Perancis tahun 2015, Manuel Valls. Dua tahun kemudian, tepat sebelum putaran pertama Pemilu presiden, Emanuel Macron, yang kala itu masih sebagai calon, menggunakan kata-kata yang nyaris sama. Terorisme, katanya, adalah "sesuatu yang sulit. Ia tidak mungkin bisa diramalkan." Dengan demikian, dia bakal jadi "ancaman" yang menjadi bagian kehidupan sehari-hari Perancis selama tahun-tahun mendatang.
Hukum Perancis berani-berani lunak. Pembunuh dan teroris berantai bahkan tidak dijatuhkan hukuman penjara yang lama. pBanyak penjara telah menjadi tempat perekrutan para pejihad. Baru-baru ini, lebih dari 600 kawasan larangan untuk bepergian (no-go zones) berada di bawah kekuasaan para imam Muslim dan geng Muslim. Kaum Islam radikal, agaknya "siap untuk bertindak". Jumlah mereka tribuan. Polisi benar-benat tidak punya personil atau sumberdaya material untuk mengawasi mereka semua.
Satu-satunya pemimpin politik yang pernah mengusulkan perlunya hukum yang lebih keras ketat melawan terorisme atau yang pernah mengatakan bahwa langkah penting memang perlu guna menangkal semakin meningkatnya ancaman berasal dari partai-partai yang dianggap "sayap kanan." Langkah-langkah itu mencakup semakin luasnya penggunaan gelang kaki elektronik. Media arus utama pun langsung menjuluki para pemimpin ini sebagai "ekstremis" sehingga usulan mereka diabaikan.
Macron serta pemerintahannya terus melanjutkan tradisi mereka yang tidak menguntungkan untuk tunduk kepada sikap benar politik (political correctness). Tampaknya, mereka lebih suka menyenangkan hati kaum ekstremis dibandingkan dengan melawan mereka.
Tak diragukan lagi bahwa para politisi sadar bahwa makin banyak kerusuhan justru bakal terjadi. Pada tahun 2016, Ketua Direktur Jenderal Perancis urusan Keamanan Internal, Patrick Calvar, berbicara tentangnya tingginya risiko terjadi "bentrokan antarkomunitas." Bahkan mungkin saja perang saudara.
Jelaslah para pejabat itu memahami bahwa para teroris terlibat dalam perang panjang sehingga sulit menghentikannya. Jadi mereka tampaknya menyerah. Tidak diragukan lagi, para pejabat itu sadar bahwa semakin banyak kaum muda Muslim Perancis tengah diradikalisasi. Bagaimanapun, tanggapannya, adalah dengan memperkuat institusi Muslim di Perancis.
Para pejabat itu tidak berbuat apa-apa guna memperbaiki kecenderungan ini walau mereka juga melihat bahwa imigrasi Muslim ke Eropa berlanjut. Juga bahwa ratusan ribu migran Muslim illegal menyebabkan persoalan keamanan meningkat. Jumlah orang yang dideportasi meningkat, tetapi jarang. Hanya sedikit lebih dari 26,000 orang dideportasi tahun 2017. Sementara itu, lebih dari 150.000 imigran illegal berdiam di Seine Saint Denis, dekat Paris. Sejak menjadi presiden, Macron berulang kali mengatakan bahwa orang-orang yang meminta dia untuk mengusir pulang para imigran illegal adalah "xenophobic", orang-orang yang membenci orang-orang asing.
Macron dan pemerintahan yang kini berkuasa kenyataannya mendorong lebih banyak migrasi lagi. Semua imigran illegal di Perancis memperoleh bantuan keuangan jika meminta termasuk perawatan kesehatan gratis. Mereka juga bisa lari nyaris tanpa risiko untuk dideportasi.
Setiap tahun, lebih dari 200.000 ijin menetap dikeluarkan (262.000 pada tahun 2017), termasuk imigran illegal. Banyak yang sama sekali tidak punya ketrampilan yang bisa dijual. Beberapa memperoleh pendapatan minimum yang dibayar kepada siapapun yang berada dalam kesulitan selama beberapa dekade.
Dukungan sosial bagi migran, legal atau tidak, semakin menambah mahalnya biaya sistem tunjangan kesejahteraan. Kini Perancis menjadi negara dengan pajak paling tinggi di negara maju. Keringanan pajak wajb terkait dengan lebih dari 45% GDP. Angka pengangguran tinggi pada tingkat 9,1%. Gaji tertentu rendah dan mandeg. Seorang guru sekolah negeri mulai mendapat sekitar $ 2.052 per bulan (sekitar Rp 28,8juta). Polisi bahkan mendapatkan gaji kurang dari $1.906 (sekitar Rp 26.7juta) setelah satu tahun bekerja.
Ketika terpilih sebagai presiden, Macron, berjanji meningkatkan pertumbuhan dan daya beli masyarakat. Karena ingin mendorong perusahaan besar dan multinasional supaya bersedia menanamkan modalnya di Perancis, dia menurunkan pajak mereka kemudian menghapus pajak kekayaan. Karena tidak ingin memperbesar defisit anggaran negara (2,6% pada tahun 2017), dia menciptakan pajak-pajak baru kemudian memperbesar beberapa pajak yang dibayar oleh seluruh warga negeri itu, termasuk pajak bahan bakar.
Dalam konteks ini, para pemrotes "jaket kuning" ("gilets jaunes") hadir. Mereka melancarkan kerusuhan di seluruh penjuru Perancis selama delapan akhir pekan. Mereka juga berjanji akan terus berdemonstrasi.
Berbagai pajak baru ditambah lagi dengan meningkatnya pajak yang ada menyebabkan banyak orang terjebak dalam kesulitan finansial yang sebenarnya. Banyak pihak juga melihat pajak berbagai perusahaan besar berkurang seiring dengan dihapuskannya pajak kekayaan orang kaya sebagai benar-benat tidak adil. Mereka menyaksikan bahwa persoalan kurangnya keamanan tengah tersebar luas, bahwa imigrasi meledak-luas dan bahwa pemerintah tidak memberikan hukum dan tatatertib yang memadai.
Macron pernah membandingkan "orang yang berhasil dan orang yang tidak punya apa-apa." Dia pun pernah mengatakan bahwa, "hidup seorang wirausahawan itu jauh lebih sulit daripada hidup seorang karyawan." Kedua pernyataan ini justru memperlihatkan citranya sebagai orang kaya baru (OKB) yang sombong, yang membenci orang miskin dan sama sekali tidak tahu masalah yang mereka hadapi. Beberapa ucapannya seperti "tidak ada budaya Prancis" atau Prancis adalah orang Gaul "yang menolak perubahan" - membuat banyak orang percaya bahwa ia bahkan tidak menghormati masyarakat Prancis atau Prancis.
Selain diberlakukan di jalan tol, radar yang memonitoring kecepatan kendaraan di jalanan dikembangkan. Batas kecepatan berkendaraan dikurangi menjadi 80 km/jam. Akibatnya, jumlah pelanggaran karena terlampau ngebut pun meningkat. Meski demikian, upaya ini sama sekali tidak membantu rating persetujuan dari masyarakat.
Akhirnya, kenaikan tambahan pajak bahan bakar (BB) memicu lahirnya pemberontakan yang belum berhenti sampai hari ini. Protes pertama "jaket kuning" berlangsung 17 Nopember 2018. Secara spontan, aksinya berhasil mengumpulkan ratusan ribu orang di seluruh negeri dan mendapat dukungan lebih dari 80% populasi.
Alih-alih bereaksi cepat dan mengaku memahami kesulitan jutaan warga Prancis, Macron malah menunggu waktu 10 hari untuk meresponnya. Sampai demonstrasi kedua yang lebih besar dari yang pertama terjadi. Kala itu, dia menyampaikan pidato yang berfokus pada lingkungan kemudian menekankan bahwa pajak bahan bakar diperlukan untuk memerangi "perubahan iklim".
Kata-katanya benar-benar tidak menyinggung kesulitan ekonomi yang publik rasakan. Empat hari kemudian, pada 1 Desember 2018, demonstrasi ketiga menarik lebih banyak orang untuk bergabung daripada yang kedua. Pengunjuk rasa mengibarkan bendera Perancis sambil menyanyikan lagu kebangsaan. Orang-orang yang berbicara di televisi mengaku Macron mengolok-olok mereka sehingga mereka pun mengingatkan janjinya. Karena itu, mereka menuntut dia mundur, mengadakan Pemilu baru dan kembali kepada kedaulatan kepada rakyat.
Berbagai geng pinggir kota menjarah toko dan menghancurkan properti. Polisi bertindak sangat brutal terhadap pengunjuk rasa, tetapi tetap tidak bisa menghentikan penjarahan atau perusakan.
Macron pun tidak mengatakan apa-apa.
Paris siaga penuh, pada tanggal 8 Desember, pada hari demonstrasi keempat berlangsung. Kendaraan bersenjata disebarkan di sepanjang jalan-jalan utama. Ribuan polisi menutup akses menuju kawasan kediaman presiden, Istana Élysée. Sebuah helikopter siap sedia menunggu di halaman istana, jika Macron sesewaktu perlu dievakusi. Penjarahan dan perusakan pun mulai lagi.
Macron akhirnya memutuskan mengatakan sesuatu pada 10 Desember 2018. Dia mengumumkan sedikit kenaikan gaji minuman serta pembatalan sejumlah pajak. Dia berjanji hendak membuka "perdebatan nasional " dan mengumumkan perlunya meninjau kembali aturan-aturan imigrasi. Bagaimanapun, saat Macron bicara, salah satu utusan khususnya justru berada di Maroko, bertindak atas nama Perancis hendak menandatangani Pakta Global bagi Migrasi yang Aman, Tertib dan Teratur (Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration). Di dalamnya, imigrasi dirumuskan sebagai "menguntungkan" negara-negara penerima. Berdasarkan pakta itu, negara-negara penandatangan, berjanji hendak "memperkuat sistem pelayanan penyerahan migran yang inklusif (migrant-inclusive service delivery systems)." Dan, keesokan harinya, teroris menyerang dekat Pasar Natal di Strasbourg terjadi. Dalam insiden itu, lima orang tewas terbunuh.
Tanggapan Macron tidak membuat kemarahan publik surut. Pemrotes "jaket kuning" yang berbicara di televisi pada hari-hari berikutnya mengatakan Macron jelas tidak mengambil langkah yang mereka ajukan. Karena itu, mereka katakan bahwa berbicara tentang peninjauan peraturan imigrasi sambil menandatangani Global Compact - tanpa memperhitungkan pendapat masyarakat- menunjukkan bahwa Macron adalah pembohong.
Sekelompok pensiunan jenderal menanggapi situasi dengan menerbitkan surat terbuka. Mereka katakan bahwa penandatanganan Global Compact adalah langkah lebih lanjut menuju "diabaikannya kedaulatan nasional" lalu mencatat bahwa "80% populasi Prancis berpikir bahwa imigrasi harus dihentikan atau diatur secara drastis".
"Ketika seorang diri memutuskan menandatangani pakta ini," para jenderal menulis, "... Anda bersalah karena menolak demokrasi, bahkan mengkhianatinya, terkait dengan persoalan bangsa".
Menteri Pertahanan, Florence Parly menuding surat para jenderal sebagai "tidak bisa diterima dan tidak pantas diperhatikan." Meski demikian, dia tidak mempersoalkan argumen yang diajukan. Dan, sekali lagi, Macron tidak mengatakan apa-apa.
Pada tanggal 22 Desember, demonstrasi kelima "jaket kuning" pun terjadi. Pesertanya lebih sedikit. Namun, kemarahan mereka semakin meningkat. Seruan agar Macron mengundurkan diri berdatangan dari mana-mana. Ada boneka menampilkan Macron yang secara simbolik dipenggal kepalanya dengan guillotine. Ada lukisan memperlihatkan sebuah tangan kuning dibakar. Tangan itu menampilkan logo SOS Rasisme, sebuah organisasi lama yang memerangi "rasisme" dan "Islamofobia."
Meski tidak banyak, seperti biasa, anti-Semit memanfaatkan peluang menawarkan opini mereka. Jurubicara Pemerintah Benjamin Griveaux memanfaatkan komentar mereka guna menyerang para pemrotes "jaket kuning." Dalam twit-nya dia mengatakan bahwa "pejaket kuning" adalah "penakut, rasis, anti-Semitis", yang berasal dari jenis yang lakukan kudeta. Sebelumnya, dia pernah mengatakan bahwa apapun terjadi, Macron tidak bakal "mengubah arah."
Macron tampaknya berharap bahwa kelelahan menyebabkan "pemakai jaket kuning" menyerah. Ternyata, tanda-tanda itu belum juga muncul. Sebaliknya, "mereka" mencurahkan perhatian untuk menjatuhkannya. Berbagai kalangan yang tampil di televisi mengaku bertekad berjuang "sampai akhir." Kerusakan ekonominya sangat besar. Berbagai perkiraan awal mencapai ratusan juta euro.
"Macron dan timnya," tulis Ivan Rioufol, seorang penulis tajuk Majalah Le Figaro baru-baru ini, "bakal salah menyakini bahwa mobilisasi melemah selama Natal (Christmas truce). Itu berarti mereka tidak sadar bahaya (out of the woods)".
Sementara itu, pengarang Éric Zemmour melukiskan revolusi itu sebagai lahir dari "rasa putus asa masyarakat yang merasa terhina, terlupakan, terampas dari negara mereka akibat keputusan dari sebuah kasta masyarakat yang suka menghina orang." Dia lalu menyimpulkan bahwa dia pikir Macron sudah kehilangan semua legitimasinya dan bahwa masa kepresidenannya sudah selesai.
Komentator radio Jean-Michel Aphatie, menambahkan bahwa presiden dan pemerintah sudah sangat rapuh." Juga bahwa surat para jenderal menjadi tanda kuat bahwa institusi Prancis sangat terguncang. "Jika polisi ragu," tegasnya, "Prancis bakal segera meluncur menuju kekacauan."
Tanggal 20 Desember, dua hari menjelang demonstrasi kelima para "pemakai jaket kuning" meledak pecah, justru polisi yang melakukan protes. Mereka lancarkan protes di depan Istana Élysée. Wakil ketua organisasi yang terdiri dari para perwira polisi itu mengatakan bahwa banyak anggotanya sudah kelelahan, sehingga merasa bersimpati kepada revolusi itu sehingga sipa bergabung di dalamnya.
Keesokan harinya, pemerintah menaikan gaji polisi. Juga membayar jutaan uang untuk kerja lembur mereka --- pembayaran yang memang sudah lewat waktunya selama berbulan-bulan.
"Pihak berwenang benar-benar takut bahwa polisi bisa beralih kepada para pemrotes," komentar wartawan, Jean-Michel Aphatie. "Sulit dibayangkan. Di manakah kita berada di Perancis, hari ini," imbuhnya lagi
Popularitas Macron terjun bebas. Jatuh sampai 18%. Tidak satu pun popularitas Presiden Prancis yang jatuh begitu rendah dan begitu cepat. Floren Santiteban, seorang profesor di Institut Studi Politik Paris, lantas mengutip berbagai survei. Menurut berbagai survei itu, katanya, Macron kini memperlihatkan "kebencian yang sangat kuat. Mungkin lebih dari kebencian: rasa marah."
Banyak komentator bertanya-tanya bagaimana Macron bisa memerintah selama minggu-minggu mendatang. Mereka bertanya-tanya jika dia bisa dipaksa mundur sehingga menyerukan Pemilu presiden lebih awal.
Beberapa analis berita kali ini mensinyalir, Marine Le Pen, pemimpin sayap kanan dari Partai Parade Nasional (National Rally Party) yang populis, bisa saja terpilih sebagai presiden. Tema kampanye presidennya tahun 2017 lalu pun mirip dengan klaim gerakan "jaket kuning."
Meski demikian, Macron masih saja tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak terlihat. Pernyataan publiknya yang paling akhir dibuatnya di luar negeri: di Belgia dan Chad. Penampilan publiknya terakhir di Prancis adalah sore hari, 4 Desember 2018, di Massif Central. Kala itu, dia meninjau kerusakan pada sebuah bangunan pemerintah, yang sebagian dibakar oleh para perusak. Walau kunjungannya tidak diumumkan, puluhan "pejaket kuning" berdatangan di sana, memaki-makinya sehingga dia pun segera tinggalkan tempat itu.
Berbagai polling memperlihatkan bahwa Partai Parade Nasional pimpinan Le Pen bisa memenangkan Pemilu Parlemen Eropa, Mei 2019 mendatang dengan 24-25% suara. Partai nasionalis sayap kanan lainnya, Debout la France! (Prancis, Bangunlah!) pimpinan Nicolas Dupont-Aignan yang bersekutu dengannya bisa meraih 8 % suara. Dengan demikian, seluruhnya bakal berjumlah 32-33% suara. Sementara itu, Partai République En Marche ! pimpinan Macron yang dibentuk dua tahun silam diharapkan bakal hanya meraih 18% suara.
Pemilu Parlemen Eropa memang tidak berdampak langsung terhadap kehidupan politik Prancis. Bagaimanapun, hasilnya bakal menjadi sikap tidak setuju yang menyakitkan terhadap Macron --- jika dia berusaha tetap bertahan di puncak kekuasaannya sampai sekarang.
Beberapa bulan silam, Macron memperkenalkan dirinya sebagai pejuang Eropa yang "progresif" dengan semangat multikultur. Juga melukiskan dirinya sebagai pembela kedaulatan nasional. Karena itu, ia menilai orang-orang yang memusuhi imigrasi serta multikultur sebagai "penderita kusta" pendukung "nasionalisme yang suka berperang" yang mengagung-agungkan "sikap untuk menolak orang lain." Dia dengan mudah berpura-pura menang atas mereka.
Pernah diisyaratkannya pada Juli 2017 silam, bahwa dia akan memerintah seperti dewa Romawi, Jupiter. Sayangnya, tidak perlu waktu lama baginya untuk jatuh dari tumpuan kekuasaannya.
Pada petang 31 Desember 2018, Macron menawarkan harapannya bagi masyarakat Prancis selama tahun 2019. Tetapi dia tidak meminta maaf. Dia sebaliknya mengabaikan keluhan para pemrotes "berjaket kuning" serta pendukung mereka. Kala itu dia sekedar mengatakan bahwa ada "kemarahan yang meledak pecah" dan bahwa "tatatertib akan dipertahankan tanpa mengikuti kemauan sendiri." Dengan istilah positif dia lukiskan, bahwa sejak menjadi presiden, semuanya sudah dilakukannya. Ditambahkannya dia bakal "bergerak ke depan" dalam arah yang sama, tanpa mengubah sesuatu. "Saya berniat melanjutkan jalur yang sudah saya retas sejak hari pertama mandat saya." Dia pun melukiskan penentang politiknya sebagai "para ekstremis", "demagog" sekaligus "orang-orang yang bersuara nyaring dari masa yang sarat dengan rasa benci." Sekali lagi dikatakannya bahwa "perjuangan mengatasi panas global" menjadi prioritas mutlaknya.
Banyak pemrotes "berjaket kuning" yang diwawancarai di televisi tampaknya bingung. Beberapa bahkan mengatakan mereka sudah memutuskan untuk tidak mendengarkan pidato sang presiden. Penantang politik Macron mengkritiknya keras. Nicolas Dupont-Aignan menulis:
"Malam ini Perancis mendapat konfirmasi. Bahwa Emmanuel Macron tidak belajar sama sekali dari peristiwa-peristiwa tahun 2018. Ketika politiknya sama-sama menyebabkan lebih dari 75% masyarakat Perancis menentangnya, dia tampaknya bertekad terus menentang demokrasi."
Laurence Saillet dari partai berhaluan kanan yang moderat, Partai Republican, menjelaskan:
"Saya rasa ketika 'para pejaket kuning' melancarkan protes, dia sedang berada di planet lain...Dia tidak mengambil langkah yang lahir dari negeri yang marah. Dia tidak mengaku bersalah. Dia bahkan menilai aksinya positif, apa yang persisnya ditolak oleh Prancis."
Marine Le Pen lantas menulis twit, "Presiden ini memang penipu lihai. Juga maniak yang suka membakar suasana (pyromaniac)."
Tanggal 3 Januari, Eric Drouet, salah satu tokoh utama gerakan "jaket kuning" ditangkap oleh puluhan polisi. Kala itu, dia sedang bepergian menuju Place de la Concorde, di Pusat Kota Paris. Mau menyalakan lilin untuk menghormati "pejaket kuning" yang terluka atau terbunuh sejak demonstrasi meledak pecah. Padahal, bersama 15-20 sahabatnya dia berjalan tenang di kaki lima. Tidak seorang dari mereka berteriak-teriak atau menggunakan spanduk atau bahkan jaket kuning. Drouet dituduh mengorganisasikan protes illegal. Para lawan politik Macron menilai Macron tengah menyiram lebih banyak minyak lagi atas kobaran api.
Tanggal 4 Januari, pasca-pertemuan tahunan pertama kabinet, Macron meminta Jurubicara Pemerintah Benjamin Griveaux menjelaskan bahwa "orang-orang yang terus memprotes ...adalah penghasut penyebar aksi huru-hara." Juga mengatakan bahwa pemerintah harus "bergerak lebih jauh, dengan cara yang lebih keras."
Mendapat jawaban itu, Sabtu, 5 Januari 2019, ribuan "pemakai jaket kuning" kembali lancarkan protes, menyerukan Macron mundur. Mereka merusak pintu-pintu bangunan kantor Griveaux kala dia tinggalkan tempat itu. Menjelang petang, sekali lagi jalanan Paris dan kota-kota lain terlihat seperti medan perang.
Dr. Guy Millière, dosen University of Paris dan pengarang 27 buku tentang Perancis dan Eropa.