Sejak 2007, Hamas dan Otoritas Palestina (PA) mengumumkan sedikitnya empat "kesepakatan rekonsiliasi" guna mengakhir persaingan antarmereka. Kesepakatan itu dimulai satu tahun lebih awal ketika Hamas memenangkan Pemilu legislatif Palestina. Pekan ini, di bawah perlindungan pihak berwenang Mesir, kedua partai Palestina yang saling bersaing itu kembali mengumumkan kesepakatan lain guna menyatukan perbedaan antarmereka guna mencapai "persatuan nasional."
Kesepakatan terakhir antara Hamas dan PA mempersyarakatkan supaya gerakan kaum Islam radikal itu membongkar pemerintahan bayangannya di Jalur Gaza ---dikenal dengan nama Komisi Administratif. Pemerintah bayangan inilah yang mendorong Presiden PA Mahmoud Abbas untuk menjatuhkan sejumlah langkah hukuman bagi warga Palestina di Jalur Gaza, termasuk memangkas gaji para pegawai negeri, memaksa ribuan karyawan pensiun dini, menghentikan pembayaran listrik yang dipasok oleh Israel sekaligus mengurangi pasokan untuk berbagai rumah sakit di Jalur Gaza.
Foto: Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas sedang berbincang-bincang dengan Pemimpin Hamas kala itu, Ismail Haniyeh, 5 April 2007 di Jalur Gaza. Sejak 2007, Hamas dan Otoritas Palestina mengumumkan sedikitnya empat perjanjian "rekonsiliasi" guna mengakhiri persaingan antarmereka. (Foto oleh Mohamad Alostaz/PPM via Getty Images). |
Kesepakatan "rekonsiliasi" kali ini dirancang oleh Mesir. Sejumlah warga Palestina mendeksripsikannya sebagai sebuah perjanjian "bersejarah" sekaligus "perkembangan positif" menuju berakhirnya perpecahan serta perselisihan paham antarwarga Palestina. Tetapi dinilai dari reaksi-reaksi warga Palestina, tampaknya kesepakatan itu hanya memberikan sedikit janji. Hanya segelintir kalangan yang tidak skeptis bahwa kesepakatan itu bakal berbeda dari kesepakatan sebelumnya yang tidak dijalankan.
Berbagai sanksi yang Abbas terapkan tampaknya telak melukai Hamas. Dengan pasokan listrik selama 3 – 4 jam sehari serta ribuan pegawai negeri sipil yang kehilangan gaji atau yang dipaksa untuk pensiun dini, Hamas merasakan panas itu dan merasa dipaksa untuk mencari solusi.
Faksi Hamas yang suka berperang dan terisolasi lantas berbalik kepada musuh nomor satu Abbas, mantan orang kuat Fatah, Mohamad Dahlan. Selama beberapa pekan ini, berbagai laporan memperlihatkan bahwa Hamas nyaris mencapai kesepakatan dengan Dahlan sehingga dia bakal menyaksikan dirinya kembali ke Jalur Gaza sebagai "penyelamat." Dahlan kini berdiam di Uni Emirat Arab. Dia menikmati dukungan politik dari sejumlah negara penting Arab seperti Mesir dan Arab Saudi. Hamas berharap Dahlan kembali ke Jalur Gaza membawa serta dana dari Uni Emirat Arab serta pencabutan blokade dari Mesir---dengan kembali membuka penyeberangan perbatasan Rafah yang menghubungan Jalur Gaza dan Mesir.
Diperingatkan oleh upaya saling mendekat yang sangat jelas antara Hamas dan Dahlan, Abbas baru-baru ini mendorong pihak Mesir untuk memulai kembali usaha mereka sebagai mediator antara Otoritas Palestina yang dipimpinnya dengan Hamas. Dia juga meminta Amerika serta negara Barat dan Arab lainnya untuk menekan Mesir supaya menahan diri untuk tidak mendukung perjanjian apapun antara Hamas dan Dahlan. Dahlan sendiri adalah sebentuk pembalasan yang adil (nemesis) dari Abbas sendiri, sebuah ancaman yang mematikan terhadap kekuasaannya.
Selama enam tahun silam, Abbas mengobarkan kampanye tanpa belas kasihan terhadap Dahlan yang dia curigai berkonspirasi untuk menggulingkan rejimnya kemudian menggantikannya sebagai Presiden PA.
Abbas bukan saja berjuang menyelamatkan dirinya serta rejimnya, tetapi juga memberi tali penolong lain yang benar-benar Hamas butuhkan. Dan, Hamas punya alasan bagus untuk berpuas diri dengan kesepakatan terakhir.
Menurut seorang analis politik Palestina Hasan Salim:
"Sejak 2006, tatkala Hamas sepakat untuk terlibat dalam Pemilu legislatif Palestina, Presiden Abu Mazen (Abbas) tidak berhenti memberikan kepadanya tali penolong sehingga ia bisa jadi pemain penting dalam arena politik Palestina. Dia pun bahkan berjuang untuk membuat Hamas seperti partai politik Palestina lainnya sekaligus membersihkan Hamas dari label terorisme. Kini, sang presiden pun melemparkan tali penolong lain kepada Hamas dengan mengijinkannya membongkar Komisi Administratifnya."
Salim, adalah analis politik yang berafiliasi dengan Otoritas Palestina. Kini, dia tengah berupaya memasarkan Abbas kepada warga Palestina sebagai pemimpin yang menganggap Hamas sebagai "partai" politik Palestina yang sah yang bisa menjadi bagian utuh pemandangan politik Palestina. Jadi, kita saksikan bahwa Abbas disiapkan untuk melakukan kesepakatan dengan para penitu (devil) --- dengan kata lain, memadukan kekuatan sekaligus melegitimasi Hamas --- supaya musuh utamanya tetap jauh dari Jalur Gaza.
Untuk sementara, tetap perlu dilihat apakah Abbas dan Hamas menyepakati mekanisme untuk menterjemahkan kesepakatan mereka menjadi fakta di lapangan, namun yang pasti Hamas sendiri bersiap-siap untuk mendapatkan keuntungan dari perjanjian yang disponsori Mesir itu. Nyaris tidak satu pun warga Palestina menganggap serius klaim bahwa tujuan utama Abbas adalah untuk mengubah Hamas menjadi sebuah partai politik Palestina yang sah. Abbas terus melihat Hamas sebagai ancaman penting terhadap dirinya sendiri sekaligus rejimnya. Sikap itu menjelaskan mengapa pasukan keamanannya terus menangkap dan mengganggu para angggota Hamas di Tepi Barat. Dia benar-benar sadari bahwa Hamas tidak bakal menyerahkan mimpinya untuk mendongkelnya dari kekuasaan kemudian memperluas kendalinya di Tepi Barat.
Berikut ini, sejumlah fakta terkait dengan kesepakatan "rekonsiliasi" baru antara Abbas dan Hamas:
Keputusan Hamas untuk membongkar pemerintahan bayangannya tidaklah berarti bahwa dia akan mundur dari upayanya untuk menguasai Jalur Gaza. Gerakan itu sekedar dimaksudkan untuk memungkinkan Pemerintahan Otoritas Palestina di Ramallah untuk memperbaiki kembali kendalinya atas sejumlah kementerian. Dengan kata lain, Hamas menginginkan PA dibawah pimpinan Abbas bisa kembali mendanai pendidikan dan jasa kesehatan di Jalur Gasa, seperti biasa pada masa lalu hingga beberapa bulan silam.
Kesepakatan tidak merujuk kepada pengendalian keamanan yang Hamas lakukan atas Jalur Gaza. Ini berarti Hamas dan sayap bersenjatanya, Ezaddin Al-Qassam, tetap menjadi "penegak hukum" utama di Jalur Gaza. Ide bahwa Hamas bakal mengijinkan pasukan keamanan Abbas untuk kembali ke Jalur Gaza, dengan demikian, murni ilusi.
Kesepakatan tidak menyebutkan agenda politik dan ideologi Hamas. Kesepakatan juga tidak mempersyarakatkan Hamas meninggalkan piagam organisasinya yang menyerukan supaya Israel dibasmi. Juga tidak mempersyaratkan Hamas untuk meletakan senjatanya sekaligus menerima hak Israel untuk hidup.
Kesepakatan justru membebaskan Hamas dari tanggung jawab keuangannya terhadap konstituennya di Jalur Gaza. Dengan PA kembali memberikan dana kepada warga Palestina di Jalur Gaza, Hamas dimungkinkan untuk mengarahkan kembali sumberdaya dan energinya untuk membangun kemampuan militernya untuk mempersiapkan perang melawan Israel. Hamas tidak lagi harus mengkhawatirkan soal gaji dan pasokan listrik serta obat-obatan bagi warga Palestina di Jalur Gaza karena Abbas akan menanganinya.
Kesepakatan memudahkan upaya Hamas memperhitungkan diri sebagai pemain sah dalam arena Palestina sekaligus meraih pengakuan dan simpati internasional. Hamas kini sudah bisa memasarkan diri sebagai mitra sah dalam Pemerintahan PA pimpinan Abbas yang didanai oleh Barat.
Abbas sudah berharap bahwa sanksinya baru-baru ini yang sangat keras ketat terhadap Jalur Gaza bakal mendorong warga Palestina di sana untuk bergolak melawan para penguasa Hamas mereka. Tetapi, ketika tersadar bahwa dia bahkan nyaris tidak mendekati tujuannya sekalipun dan bahwa Hamas sebaliknya bakal bermitra dengan Dahlan, dia pun memilih untuk memainkan kartu "rekonsiliasi" sekali lagi, seperti pernah dia lakukan tidak kurang empat kali pada masa lalu.
Bukannya mencabut Hamas dari kekuasaannya, Abbas tampaknya bakal bergerak mengarah kepada upaya untuk membesarkan hati para musuh kaum Islam radikalnya yang terus saja mengecamnya. Mengecamnya sebagai "pengkhianat" dan "wayang" di tangan Israel dan Amerika Serikat. Tidaklah mengherankan bahwa Hamas dan Otoritas Palestina pimpinan Abbas bakal terus saling mencekik kerongkongan satu sama lain sekalipun jika perjanjian baru ini dijalankan, Meskipun demikian, keduanya punya kesamaan: kedua-duanya adalah musuh warga Palestina yang sebenarnya, yang terus membayar harga yang mahal bagi para pemimpin korup yang hanya peduli dengan pekerjaan dan rekening bank mereka sendiri.
Bassam Tawil adalah seorang Muslim yang berbasis di Timur Tengah.