PRESIDEN PRANCIS FRANCOIS HOLLANDE---sudah bersumpah. Defenitif, lengkap dan segera sumpahnya. Ia bersumpah hendak membongkar kamp pengungsi jorok di "hutan rimba" di kawasan utara kota pelabuhan Calais, akhir tahun ini.
Hollande mengumumkan tekadnya dalam sebuah kunjungan 26 September lalu ke Calais---namun kunjungan tidak dilakukannya ke kamp itu sendiri---di tengah semakin tingginya kekhawatiran terhadap meningkatknya krisis migran Prancis, yang telah menjadi isu utama dalam kampanye pemilihan presiden negeri itu.
Pemerintah Prancis berencana merelokasi para migran menuju apa yang disebut sebagai pusat-pusat penerimaan di bagian lain negeri itu. Namun, tetap saja belum jelas bagaimana pemerintah mencegah para migran untuk kembali ke Calais.
Kalangan yang skeptis mengatakan rencana menghancurkan 'kamp migran di hutan belantara" merupakan aksi patgulipat yang bertujuan menarik perhatian masyarakat untuk memindahkan migran sementara waktu. Meski demikian, tidak menyelesaikan masalah mendasar---yaitu bahwa para pejabat Prancis memang menolak mendeportasi para migran illegal atau mengamankan perbatasan negara sebagai pertimbangan pertama untuk mencegah para migran illegal masuk.
Keputusan untuk menghancurkan kamp mencuat hanya beberapa hari setelah pembangunan sebuah tembok dimulai di Calais, sebuah kota pusat transportasi penting di tepi Terusan Inggeris (English Channel). Tembok tersebut dimaksudkan untuk mencegah migran yang berada di kamp melempari mobil, truk dan ferry serta kereta api yang sedang menuju Inggeris.
Beberapa bulan terakhir, dengan bersenjatakan pisau, tongkat serta besi ban, para penyelundup manusia memaksa para sopir truk berhenti agar para migran bisa menumpang kendaraan mereka. Wakil Walikota Calais, Phillipe Mignonet karena itu menjelaskan rute utama menuju pelabuhan sebagai "kawasan di larang bepergian" antara tengah malam hingga jam 6 pagi.
"Jungle " (Hutan Rimba) —berasal dari kata "dzhangal," sebuah kata Bahasa Pashto yang berarti hutan. ---Meski demikian, kawasan itu kini menampung sekitar 10 ribu migran dari Afrika, Asia dan Timur Tengah yang berjuang untuk mencapai Inggris. Menurut berbagai lembaga pemberi bantuan, para migran berasal dari Sudan (45%), Afghanistan (30%), Pakistan (7%), Eritrea (6%) dan Suriah (1%). Sebagian besar dari mereka adalah pemuda dan anak-anak, termasuk sekitar 800 anak kecil yang tidak didampingi orang dewasa yang berjuang untuk mendapatkan pekerjaan di dunia ekonomi bawah tanah Inggeris.
Para migran mulai berkumpul dalam jumlah besar di Calais sejak Terowongan Terusan (Channel Tunnel) yang menghubungkan Prancis dan Inggris dibuka Mei 1994. Padahal, Perjanjian Schengen (Schengen Agreement) yang menghapuskan pengawasan perbatasan negara antara Prancis dan sebagian besar negara tetangganya (tetapi tidak dengan Inggris) mulai berlaku Maret 1995.
Pada 1999, Pemerintah Prancis meminta Palang Merah membangun sebuah "pusat penerimaan" di Sangatte untuk mengakomodasi semakin banyaknya migran yang berkeliaran di jalanan Calais dan kawasan sekitarnya. Berada dalam sebuah kompleks gudang raksasa yang terletak sekitar setengah mil dari pintu masuk Terowongan Terusan, kamp tersebut mampu menampung 600 orang.
Pusat penerimaan ternyata jauh dari berhasil menyelesaikan persoalan migran di Calais. Sebaliknya, fasilitas Sangatte malah berperan sebagai magnit, ia segera menarik beribu-ribu orang lagi untuk datang ke sana. Hanya dalam hitungan bulan, sekitar 2000 migran berdiam di kamp sehingga para pemukimnya semakin berjejalan. Banyak dari mereka berusaha melompat ke kereta api-api yang bergerak lamban memasuki pintu Terowongan Terusan atau bersembunyi dalam truk-truk di atas kapal-kapal ferry yang tengah berlayar menyeberang ke Inggris.
Kala itu, pihak berwenang Prancis melaporkan adanya peningkatan massif jumlah penangkapan di kawasan atau sekitar Terowongan Terusan. Pada 1999, sebanyak 8.000 orang ditangkap di Calais karena pelanggaran imigrasi. Menjelang 2001, jumlah itu melompat sepuluh kali lipat menjadi 80.000 penangkapan. Eurotunel, perusahaan pengelola dan pengoperasi Terowongan Terusan mengatakan bahwa selama tahun 2001 saja, ada 54.000 orang pernah "menyerang" terminal di Calais dan 5.000 berhasil melewatinya. Banyak dari penyerang tinggal di Sangatte.
Kamp Sangatte lalu ditutup pada penghujung 2002 setelah terjadi serangkaian kerusuhan antara migran Afghanistan dan Kurdi. Secara keseluruhan, sekitar 67.000 migran bertahan tinggal di fasilitas itu selama tiga tahun operasinya.
Pada Februari 2003, Prancis dan Inggris menandatangani Perjanjian Le Touquet (Treaty of Le Touquet), sebuah perjanjian yang memungkinkan adanya apa yang disebut sebagai pengawasan sejajar (juxtaposed controls). Artinya, para pelancong antara dua negara kini menyelesaikan persoalan imigrasi di negara yang ditinggalkannya, bukan pada saat datang ke negara tujuan. Akibatnya, perjanjian itu justru gagal (push part) dari perbatasan Inggris kepada Prancis. Dengan demikian, ia membuat pengurusan imigrasi di Calais semakin bertambah macet.
Sebagai bagian dari perjanjian untuk menutup Sangatte, Inggris menerima 1.200 migran masuk ke negerinya. Para migran yang bertahan tinggal di Prancis ditampung di sedikitnya selusin tempat jorok yang berbeda di dalam dan di luar kawasan Calais. Kamp-kamp pengungsi itu ---seperti Africa House, Fort Galloo, Leader Price/Sundanese Jungle atau Tioxide Jungle----berkali-kali dirazia atau dibuldoser oleh polisi Prancis, hanya untuk memunculkan lagi kawasan jorok di tempat lain.
Banyak migran yang tertampung di Sangatte berpindah beberapa kilometer ke timur, ke sebuah kawasan industri yang tidak digunakan bernama Dunes. Terletak persis beberapa langkah dari Pelabuhan Calais, kawasan itu terkenal sebagai "Hutan Rimba" (The Jungle). Selama bertahun-tahun, pihak berwenang Prancis berulangkali berupaya menghancurkan semua atau bagian-bagian kamp, tetapi hanya untuk menyebabkannya terus tumbuh dan selalu dengan lebih banyak migran.
Pada 22 September 2009, polisi Prancis membuldozer "Hutan Rimba" serta menangkap raturan migran yang berharap hendak dilemparkan ke truk-truk yang sedang pergi ke Inggris. Sehari kemudian, Walikota Calais, Natacha Bouchart mengatakan dia " dia sekilas melihat antara 15 - 20 tempat jorok baru" di sekitarnya. Dilaporkannya, bahwa para migran Afghanistan justru tengah mendirikan kamp pengganti sementara di Hoverport, sebuah kawasan gedung yang tidak dipakai yang ditutup pada 2015 lalu setelah kapal jenis hovercraft untuk terakhir kalinya berlayar meninggalkan tempat itu dari Dover menuju Calais.
Tanggal 12 September 2014. Polisi di Calais memperingatkan bahwa para migran semakin keras berjuang untuk mencapai Inggris. Gilles Debove, utusan Calais untuk persatuan polisi Prancis mengatakan gas air mata digunakan untuk menghentikan "serangan gencar massal" atas kendaraan-kendaraan yang hendak menyeberang Terusan:
"Keesokan harinya, dua hingga tiga ratus migran mencoba memasuki tempat parkir truk. Kami menyemprotkan gas air mata untuk membubarkan mereka. Soalnya, jumlah kami yang bertugas mengawasi situasi seperti ini atau lainnya juga sedikit. Kami juga menghadapi semakin tingginya kejahatan yang dilakukan para migran yang membegal orang, mencuri HP serta melakukan serangan seksual."
Tanggal 10 September 2015. Media Prancis melaporkan bahwa polisi mencari seorang jihadi Negara Islam yang bersembunyi di "Hutan Rimba" dengan harapan bisa mencapai Inggris sehingga bisa melancarkan serangan di sana.
Tanggal 11 Nopember 2015. Lebih dari 250 polisi Anti-huruhara Prancis disebarkan di "Hutan Rimba" setelah berminggu-minggu kerusuhan terjadi. Pejabat pemerintah lokal Fabienne Buccio mengatakan meningkatnya aksi kekerasan itu berjalan iring dengan perasaan frustrasi para migran karena dilarang mencapai Inggris.
Tanggal 19 Januari 2016. Pihak berwenang Prancis meluluhlantakan sepertiga kawasan "Hutan Rimba" Tujuannya, untuk membangun "zona penyanggah" selebar 100 meter antar kamp dan jalan tol di dekatnya menuju pelabuhan ferry.
Tanggal 7 Februari 2016. Krisis migran tersebar luas ke bagian lain Prancis menyusul semakin banyaknya polisi berada di Calais. Kamp migran bermunculan di pelabuhan-pelabuhan di dekatnya seperti di Dunkirk, Le Havre, Dieppe dan Zeebrugge (Belgia), tatkala para migran mencari cara baru untuk menyeberang Terusan Inggris (English Channel) menuju Inggris.
Tanggal 29 Februari 2016. Setelah sebuah pengadilan di Lille mengesahkan rencana Pemerintah Prancis untuk mengeluarkan 1.000 migran dari "Hutan Rimba," tim pembongkar mulai membongkar bagian selatan kamp. Pemerintah berupaya merelokasi para migran menuju akomodasi resmi di kawasan penampungan kontainer kapal yang sudah diubah peruntukannya di bagian utara kamp. Tetapi, sebagian besar dari mereka justru menolak tawaran itu. Mereka takut dipaksa mengaku mencari suaka di Prancis. "Orang-orang di sini ingin pergi ke Inggris" urai migran asal Afghanistan Hayat Sirat. "Jadi menghancurkan bagian dari hutan rimba itu bukan solusi masalah."
Polisi Anti-huruhara Prancis berupaya mengendalikan sekelompok gerombolan migran di kamp kotor "Hutan Rimba" dekat Calais, 29 Februari 2016 ketika tim pembongkar bangunan mulai membongkar bagian selatan kamp. Karena dilempari batu dan benda-benda lain, polisi menanggapinya dengan menyemprotkan gas air mata dan meriam air. (Sumber foto: suntingan video RT) |
Tanggal 7 Maret 2016. Para migran yang terusir dari "Hutan Rimba" berpindah ke sebuah kamp baru di Grande-Synthe, dekat pelabuhan Dunkirk yang terletak di utara Calais, tepat di tepi pantai. Para pengecam mengatakan kamp baru itu berisiko menjadi "Sangatte baru," merujuk kepada pusat penampungan Palang Merah di Calais yang ditutup pada 2002 lalu.
Tanggal 31 Mei 2016. Para migran yang terusir dari Calais berpindah ke Paris. Di sana mereka mendirikan kamp jorok yang luas di Jardins d'Eole, sebuah taman umum dekat Stasiun Kereta Api Gare du Nord. Dari sanalah, Kereta Api Eurostar yang berkecepatan tinggi bepergian menuju dan tiba dari London. Kawasan itu menjadi begitu berbahaya. Pemerintah lalu mengklasifikasikannya sebagai kawasan larangan bepergian (Zone de sécurité prioritaires, ZSP) karena dia menjadi magnit bagi para pedagang manusia yang menuntut para migran membayar ribuan uang euro untuk bisa mendapatkan dokumen perjalanan palsu untuk perjalanan menuju London.
Tanggal 11 Agustus 2016. Dalam sebuah wawancara dengan Le Figaro, seorang pejabat kontraterorisme Prancis memperingatkan bahwa para jihadi Negara Islam bersembunyi di "Hutan Rimba." Dikatakannya, "Yang terjadi di Hutan Rimba itu benar-benar mengejutkan benak. Para pejabat kita jarang mampu menyusup masuk ke tengah kamp. Tidak mungkinlah untuk tahu jika ada seorang jihadi dari Belgia misalnya bersembunyi di kamp. Kamp ini adalah blind spot atau daerah yang tidak terjangkau pengawasan bagi keamanan nasional."
Tanggal 5 September 2016. Ratusan sopir truk, pengusaha dan petani Prancis memblokir jalur utama menuju dan keluar dari Calais. Upaya itu dilakukan untuk menekan Pemerintah Prancis supaya menutup kamp "Hutan Rimba." Pemblokiran terbukti benar-benar menghentikan jalur perjalanan yang digunakan oleh truk dari seluruh Eropa untuk bisa mencapai Calais dan Inggris.
Tanggal 12 September 2016. Ada sebuah dokumen bocor ke tangan pihak Majalah Le Figaro. Dokumen itu memperlihatkan rencana pemerintah tertanggal 1 September, untuk merelokasi 12.000 migran dari Calais menuju kawasan-kawasan lain Prancis. Mereka direlokasi menuju apa yang disebut 60 Pusat Penerimaan dan Orientasi (centres d'accueil et d'orientation, CAO). Masing-masing tempat mempunya kapasitas penampungan antara 100 dan 300 migran.
Tanggal 13 September 2016. Presiden dari kawasan Alpes-Maritimes, Eric Ciotti mengkritik rencana pemerintah "yang tidak bertanggung jawab" untuk merelokasi para migran di Calais menuju bagian lain Prancis. Dikatakannya, rencana itu justru bakal "mengembangbiakan semakin banyak Calais kecil, yaitu kawasan tanpa hukum dalam arti sebenarnya yang semakin memperparah ketegangan yang terus-menerus terjadi di seluruh penjuru negeri." Ditambahkannya:
"Rencana ini merefleksikan bahwa pemerintah pasrah terhadap migrasi illegal yang massif. Ini melemahkan kohesi atau perpaduan nasional karena dalih kemanusiaan yang salah yang menyembunyikan sebuah ideologi yang berbahaya. Ideologi yang menolak adanya perbedaan antara orang asing yang berjuang mencari suaka yang seharusnya Prancis terima dengan baik dan orang-orang yang adalah migran karena alasan ekonomi, yang tidak bisa kita toleransi lagi dan yang seharusnya kita pulangkan ke negeri asal mereka."
"Satu-satunya solusi adalah dengan mendeportasi, tidak bisa ditunda lagi, semua imigran illegal yang tidak berniat untuk tetap tinggal di daerah kita dan untuk ditempatkan sebagai para pencari suaka di pusat-pusat pemeliharaan yang diperuntukan untuk mempelajari kasus-kasus mereka."
Tanggal 14 September 2016. Presiden kawasan Auvergne-Rhône-Alpes, Laurent Wauquiez mengungkapkan kemarahannya terhadap "diktat" atau keputusan pemerintah untuk merelokasi 1.800 migran dari Calais ke kawasannya. Dikatakannya, "Ini gila. Ini bukan soal solidaritas. Persoalan Calais tidak bisa diselesaikan dengan memperbanyak Calais di seluruh penjuru Prancis. Kami harap pemerintah menyelesaikan persoalan Calais, bukan memindahkannya ke bagian lain negeri ini."
Tanggal 16 September 2016. Steeve Briois, Walikota Hénin-Beaumont dan Wakil Ketua Partai Nasional Fron mengkritik rencana pemerintah untuk merelokasi para migran. Dikatakannya:
"Kebijakan gila ini berdampak pada semakin melipatgandakan Calais kecil di seluruh negeri, tanpa berkonsultasi dengan masyarakat dan para pejabat terpilih setempat. Kebijakan paksaan dari Pemerintah Sosialis ini benar-benar tidak bisa diterima. Benar-benar mengancam tatatertib masyarakat dan keamanan warga negara kita."
Tanggal 20 September 2016. Pekerjaan pembangunan sebuah tembok pun dimulai. Tembok itu diharapkan mampu mencegah para migran dari kamp untuk meyelinap menaiki mobil, truk, ferry dan kereta api yang berangkat menuju Inggeris. Dijuluki "Tembok Agung Calais" penghalang beton --- dengan ukuran satu kilometer panjangnya dan empat meter tingginya pada kedua sisi jalan tol dua jalur yang mengarah ke pelabuhan --- akan melewati beberapa ratus mereka kamp "Hutan Rimba."
Tanggal 21 September 2016. Seorang whistleblower melaporkan bahwa relawan pekerja pemberi bantuan di "Hutan Rimba" memaksa melakukan hubungan seksual dengan para mirgan, termasuk dengan anak-anak. "Saya dengar pada suatu hari relawan bergonta-ganti berhubungan seks, hanya untuk melanjutkannya pada hari yang sama berikutnya," tulisnya. Saya juga tahu, bahwa saya hanya dengar bagian kecil dari skala penyelewengan yang lebih luas." Ditambahkannya bahwa mayoritas kasus yang dipertanyakan melibatkan relawan wanita dan migran laki-laki. "Para relawan perempuan yang berhubungan seks memperkuat pandangan (sehingga banyak orang berpandangan demikian) bahwa para relawan itu ada di sini demi seks," tulisnya.
Tanggal 28 September 2016. Walikota Calais Natacha Bouchart mengungkapkan sikap skeptisnya terhadap tekad President Hollande untuk menutup kamp "Hutan Rimba." Dalam wawancaranya dengan Europe 1, urainya: "Pembongkaran kamp pengungsi sangat rumit. Saya skeptis dengan komitmen dari François Hollande bahwa bakal tidak ada lagi kamp migran di kawasan Calais. Saya tidak tahu bagaimana dia melakukannya."
Soeren Kern adalah Mitra Senior Lembaga Kajian Gatestone Institute yang berbasis di New York. Dia juga Mitra Senior European Politics pada Grupo de Estudio Estratégicos/Kelompok Studi Strategis yang berbasis di Madrid. Ikuti dia di Facebook dan di Twitter. Buku pertamanya, Global Fire (Bencana Global) akan diluncurkan pada 2016.