Kini---mulai muncul seruan dari berbagai arah. Mereka mengecam Israel yang baru-baru ini melancarkan serangan balasan sebagai langkah bela diri ke kawasan Gaza.[1] Pengulangan-pengulangan kecaman yang dilakukan secara sangat hati-hati ini pun sudah sangat umum. Para teroris Gaza menembakan roket dan mortar ke Israel, lalu dunia meminta agar Angkatan Udara Israel (IAF) tidak menanggapinya.
Walau Israel jelas-jelas menjadi korban dari lingkaran teror dari pihak Arab yang ritualistis ini dan seharusnya memaksa Israel melakukan balas dendam, "dunia beradab" biasanya muncul membela para korbannya. Yang tidak dapat dipahami adalah bahwa respon otomatis Israel yang tidak terpikirkan itu dilukiskan sebagai "berlebihan" atau "tidak proporsional" di Eropa bahkan oleh Presiden AS sekarang ini.
Dengan mengabaikan ironi dari simpati nyata Presiden Obama di sini, terlihat bahwa berbagai kecaman itu senantiasa tidak berdasar. Upaya Israel untuk membela dirinya bahkan nyaris sama sekali tidak bisa disamakan dengan berbagai operasi AS baru-baru ini di Afghanistan yang tidak pandang buluh.[2]
Jelas sekali bahwa Hamas dan kelompok-kelompok terror sekutu Arabnya sengaja menembakan roket mereka dari kawasan padat penduduk di Gaza terhadap warga sipil Israel. Berdasarkan hukum internasional terkait, penggunaan masyarakatnya sendiri sebagai "tameng manusia" merupakan kejahatan perang, --- karena bagaimanapun, penembakan roket dari kawasan padat penduduk itu dimaksukan untuk mengurangi perlawanan Israel atau untuk memperbesar korban di pihak warga sipil Palestina. Lebih khusus lagi, kejahatan ini dikenal sebagai "pengkhianatan" (perfidy).
"Pengkhianatan" jelas merupakan upaya untuk membuat IDF terlihat sebagai pembunuh ketika terdesak untuk melakukan perlawanan namun sebetulnya menjadi upaya murni Palestina untuk memanipulasi tanggung jawab hukum yang sebenarnya. Niat Hamas mungkin hendak membuat agar Israel menjadi pembunuh warga sipil Gaza. Bagaimanapun, secara hukum, pengkhianatan yang Bangsa Arab lakukan di Gasa sepenuhnya benar-benar berdampak membebaskan Israel dari semua kerugian yang merugikan Arab, bahkan jika tembakan balasan Israel benar-benar melukai atau membunuh korban-korban di Gaza. Berdasarkan undang-undang, para pemukim Arab yang menderita akibat perlawanan Israel itu justru menimbulkan kejahatan perang bagi pemerintah mereka sendiri. Penderitaan warga Palestina, yang bakal dibesar-besarkan serta didesain secara menarik dalam video-video propaganda Bangsa Arab, tetap saja merupakan dampak lanjutan dari pemimpin Hamas yang kejam bengis, tidak sensitif dan jahat
Yang juga penting, walau tidak sepenuhnya diungkapkan, adalah bahwa pemimpin Hamas ini seperti juga para pemimpin Otoritas Palestina dan Fatah, kerapkali duduk manis aman jauh dari Gaza, bersembunyi secara tidak mencolok di Qatar. Bagi para tokoh yang sungguh tidak heroik itu, "mati syahid" konon senantiasa disambut gembira dan dipuja-puji, tetapi hanya sebagai penghormatan tunggal yang benar-benar dipertautkan pada seseorang.
Lebih jauh lagi, hukum yang berwenang dalam perang tidak menyamakan "proporsionalitas" dengan berapa banyak orang tewas di masing-masing pihak dalam konflik. Dalam perang, tidak ada pihak yang pernah dituntut untuk menanggapi agresi hanya dengan langkah-langkah kekuatan yang sama. Sebaliknya, kewajiban proporsionalitas mempersyaratkan bahwa tidak ada pihak menerapkan tingkat kekuatan yang lebih besar daripada yang diperlukan untuk mencapai sasaran politik dan operasi yang sah.
Jika hukum proporsionalitas sepenuhnya soal jumlah korban tewas yang sama, maka Amerika yang menggunakan bom atom melawan warga sipil Jepang pada 1945 lalu menjadi satu-satunya bentuk "disproporsionalitas" paling besar dalam sejarah manusia.
Tampaknya, sejumlah kelompok terror penting Palestina sudah mulai menyiapkan diri untuk melancarkan serangan teror besar-besaran atas Israel. Serangan itu mungkin dilakukan bersama dengan faksi-faksi jihadi sekutu tertentu, yang bisa saja menggunakan senjata kimia dan senjata pemusnah massal. Seiring dengan waktu, khususnya jika Iran tidak terhalang oleh Pakta Wina pada Juli 2015 dan andaikata dia sepakat mentransfer sejumlah sisa bahan nuklirnya kepada berbagai kelompok terror, maka Israel bisa saja saat itu terpaksa menghadapi terorisme nuklir yang dipimpin oleh Palestina.
Satu pesannya jelas. Jika Israel ditekan oleh kekuatan luar, membiarkan terror Palestina dari Gasa terus-menerus tidak dilawan, maka negara itu bakal semakin mudah diserang dengan bentuk agresi Bangsa Arab yang lebih besar sekalipun.
Juga penting diingat bahwa serangan terror nuklir terhadap Israel saja bisa dilancarkan dari truk atau kapal. Bukan sekedar dari roket dan peluruh kendali.
Bagaimana dengan pertahanan Israel yang aktif? Dalam operasi pertahanannya yang terbaru bertajuk Protective Edge (Perlindungan Perbatasan) dan Pillar of Defense (Pilar Pertahanan), Israel berhasil secara mengesankan mencegat roket-roket yang ditembakan dari Gaza. Meski demikian, tetap saja bisa salah jika hendak meramalkan berdasarkan keberhasilan yang relatif terbatas itu bahaya-bahaya strategis rumit dari Iran. Andai Iran "go nuclear" atau berhasil merancang senjata nuklir dalam waktu sepuluh tahun atau kurang, maka tetap saja masih ada rejim Islam keras kepala yang bakal melancarkan peluru kendali yang dipersenjatai dengan hulu ledak nuklir kepada Israel.
Dalam berbagai operasi pertahanan dirinya baru-baru ini, Israel berhasil secara mengesankan mencegat roket-roket yang ditembakan dari Gaza. Meski demikian, tetap saja bisa salah jika hendak meramalkan berdasarkan keberhasilan yang relatif terbatas itu bahaya-bahaya strategis rumit dari Iran. (Sumber foto: Nehemia Gershuni) |
Sun Tzu, pemikir militer Cina kuno, sudah memahami soal itu---jauh sebelum era nuklir. Yaitu bahwa senantiasa ada salah paham terkait dengan upaya untuk benar-benar mengandalkan pertahanan diri. Tidak heran bahwa kini, Arrow, sistem pencegatan Peluru Kendali Pertahanan utama Israel (BMD) dipersyaratkan supaya harus berhasil 100% ketika menghadapi peluru kendali yang menyerang negeri itu. Pada saat bersamaan, angka yang tepat itu tidak mungkin tercapai, walau jika peralatan itu ditingkatkan kualitasnya dengan memanfaatkan alat pertahanan baru berbasis laser, Rafael namanya. Israel, karena itu pertama-tama harus terus mengandalkan pencegahan ancaman nuklir.
Walau tidak diakui, Israel senantiasa bersedia menjalankan operasi kontraterorismenya yang penting di Gaza sesuai dengan hukum-hukum kemanusiaan internasional yang ditetapkan. Namun, bagaimanapun, aksi kekerasan Palestina, tetap saja melanggar semua aspek peraturan keterlibatan yang diterima --- bahkan setelah Israel secara menyakitkan "melepaskan diri" dari Gaza pada 2005 lalu.
Hamas dan Otoritas Palestina sama-sama masih saja berbicara dengan nada marah soal "Pendudukan?" Tetapi, di manakah, tepatnya, apakah ini "pendudukan?" Bagaimanapun, mereka tersinggung penuh kemarahan terhadap persoalan "disproporsionalitas," bukankah Palestina dan para sekutu mereka akhirnya mampu menjawab pertanyaan dasar itu? Karena bagaimanapun, tidak ada orang Israel di Jalur Gaza.
Hukum internasional bukanlah pakta bunuh diri. Sebaliknya, dia menawarkan perangkat hukum dan prosedur yang mengikat secara universal yang memungkinkan semua negara untuk bertindak atas nama "hak dasar mereka untuk mempertahankan diri" (inherent right of self-defense)."[3] Tatkala berbagai kelompok teroris seperti Hamas secara terbuka merayakan anak-anak Palestina yang mati sahid dan tatkala pemimpin Hamas tanpa ragu berjuang melakukan penebusan ala agama mereka sendiri melalui pembunuhan massal anak-anak Yahudi, para teroris ini sialnya tidak bisa mendapatkan hak hukum untuk menuntut perlindungan.
Menanggapi berbagai serangan yang tak berujung dari Gaza, Israel tetap mengendalikan diri selama beroperasi (operational restraint) yang tidak bisa disamakan dengan negara lain dan tetap seusai dengan aturan perang yang mengikat. Caranya adalah dengan menyebarkan pamflet, menelepon, "memberikan tembakan peringatan ke atap rumah-rumah sasaran" (knocks on the roof) serta peringatan-peringatan lain yang tidak terhitung banyaknya kepada para penyerangnya. Dalam berbagai tindak pertahanan diri yang wajib ini, belum ada bukti disproporsionalitas yang paling kecilpun.
Louis René Beres adalah Profesor Emeritus Hukum Internasional di Universitas Purdue. Bukunya yang baru saja diterbitkan berjudul, Surviving Amid Chaos: Israel's Nuclear Strategy (Bertahan Di Tengah Huru Hara: Strategi Nuklir Israel).
[1] Ketika berbicara di Beirut di Berita Channel 10, 7 Mei 2016, Pemimpin Hizbulah Hassan Nasrallah menuduh Israel "menyerang Gaza" ketika melanjutkan pernyataannya: "Sayangnya, dunia Arab berdiam terhadap situasi di Gaza...Tindakan ini harus dikecam." Dikutip dalam Israel National News dalam berita, ""Nasrallah calls for condemnation of Israeli 'Attacks' on Gaza" (Nasrallah menyerukan supaya mengecam Israel atas 'Serangan atas Gaza'", 7 Mei 2016. Menarik juga adalah Nasrallah, seorang pemimpin Shiah, tengah berbicara di sini guna mendukung penuh Hamas yang Sunni.
[2] Lihat Alissa J. Rubin, "Airstrike Hits Doctors Without Borders Hospital in Afghanistan," The New York Times, 3 Oktober 2015. Ini kisah dari Oktober 2015, ketika AS menghancurkan sebuah rumah sakit yang penuh pepak di kota Kunduz yang sedang terjebak dalam pertempuran. Pentagon mengukuhkan adanya serangan itu, yang disebutnya sebagai "kehancuran kolateral." Presiden Obama lalu mengungkapkan belasungkawa kepada para korban yang disebutnya sebagai "insiden yang tragis." Perkumpulan Doctors Without Borders pernah dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 1999.
[3] Lihat, khususnya, Article 51 dari Piagam PBB.