Mayoritas politisi dan anggota media kini tampaknya diarahkan oleh pemikiran bahwa lebih baik salah soal buku Francis Fukuyama bertajuk The End of History (Berakhirnya Sejarah) dibandingkan dengan benar soal buku Samuel Huntington bertajuk, The Clash of Civilizations (Bentrokan Peradaban). (Sumber foto: Huntington - World Economic Forum/Wikimedia Commons; Fukayama - Fronteiras do Pensamento/Wikimedia Commons) |
Mayoritas politisi dan anggota media kini tampaknya diarahkan oleh pemikiran bahwa lebih baik salah soal buku Francis Fukuyama yang bertajuk The End of History (Berakhirnya Sejarah) daripada benar (pemikirannya) soal buku Samuel Huntington bertajuk, The Clash of Civilizations (Bentrokan Peradaban). Tampaknya ini menjadi ekspresi ringkas dari meluasnya sikap tidak rela sekaligus tidak mampu untuk menyebutkan barang dengan nama barang itu sendiri. Mari kita amati kenyataan bahwa begitu sulitnya bagi banyak anggota masyarakat liberal untuk mengakui sehingga menjelaskan mengapa diagnosa Huntington tentang era masa kini itu jauh lebih sesuai dibandingkan dengan diagnose Fukuyama.
Hipotesa kerja Huntington untuk menganalisa peristiwa masa kini sebetulnya pada dasarnya mengikuti pemikiran sosiolog Jerman, Max Weber dalam bukunya Sociology of Civilizations" (Sosiologi Peradaban). Namun, istilah "shock of civilizations" (kejutan peradaban) dibuat pada tahun 1975, oleh sejarahwan Bernard Lewis, pasca-krisis Terusan Suez.
Bagaimananpun, bentrokan peradaban tidak boleh dipahami murni dalam konteks militer. Bentrokan peradaban yang sekarang, secara tidak langsung kita temukan dalam tiga bentuk utama:
- Kedua "peradaban" tidak berada pada sisi yang bertentangan. Tidak semua Muslim itu kaum Islam radikal(Islamis); tidak semua orang Eropa ingin mempertahankan peradaban Eropa.
- Dua agama tidak saling bertentangan. Eropa telah mencabut akar agama dari kehidupan sosialnya dan sebagai gantinya menempatkan dogma yang sama sekali tidak rasional dalam bentuk multikulturalisme.
- Bentrokan tidak terjadi dengan senjata. Meskipun serangan teroris itu parah, upaya peradaban untuk menaklukkan yang lain memang tengah terjadi pada lingkup ideologis dan agama yang lebih luas.
Perbedaan pertama
Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Institut Montaigne, September 2016 lalu, populasi Muslim Perancis dibagi sebagai berikut. Hampir separuh warga Muslim menganggap bahwa berbeda dari hukum Islam, hukum negara itu mengikat. Bagian warga ini tidak ingin hidup terpisah dari masyarakat Perancis. Sekitar seperempat bagian Muslim sangat saleh, namun bertoleransi dengan agama lain. Sisanya menempatkan hukum Islam lebih tinggi daripada hukum Republik sehingga menciptakan suatu masyarakat yang paralel. Kelompok terakhir ini tampak semakin diradikalisasi dan didominasi oleh generasi muda – yaitu mereka yang lahir di Perancis. Dalam pengertian ini, tidak ada dua peradaban yang berbeda yang diadu satu sama lain.
Garis kabur ini juga dapat dilihat dalam tujuan kaum Islamis yang pragmatis atau radikal. Keduanya tampaknya memiliki tujuan-tujuan yang sama.
Yang pertama tampaknya adalah dengan mengislamkan kembali negara-negara Muslim. Caranya dengan menghancurkan sisa-sisa rezim sekuler. Barat pun membantu mereka mencapai tujuan ini dengan membongkar para diktator sekuler di Irak, Libya dan Suriah. Tanpa bantuan seperti itu, tujuan ini akan memakan waktu lebih lama.
Tujuan kedua, tampak hendak menyatukan dunia Muslim termasuk kawasan-kawasan yang kalah (seperti Spanyol, Sisilia, Jazirah Balkan, Israel dan kawasan-kawasan lainnya).
Ketiga sekaligus tujuan terakhir tampaknya agar masyarakat non-Muslim tunduk takluk kepada Islam di seluruh dunia.
Perbedaan kedua
Konsep bentrokan peradaban mengasumsikan bahwa memang ada konflik antaragama. Pandangan ini kerap benar sejauh ia terkait dengan Islam. Karena, aspek relijius Islamisme tampaknya menjadi motivator yang sangat kuat. Keinginan ini menggambarkan betapa cacatnya teori sosiologis dan politik modernisasi. Menurut teori itu, seluruh dunia akhirnya menjalani proses pencerahan yang sama dengan Eropa. Satu teori seperti ini mengemuka pada penghujung era tahun 1950-an oleh cendekiawan Daniel Lerner. Menurut Lerner, penetrasi media massa di Timur Tengah bakal mengarah kepada pergeseran massal menuju pemikiran Euro-Amerika. Sedikit sekali orang tahu bahwa hal sebaliknya justru menjadi kasusnya. Yaitu ketika pejihad dan apologetnya mulai memanfaatkan media bukan saja untuk memperkuat perbedaan antara Timur Tengah dan Barat tetapi juga untuk tetap mempertahankan Timur Tengah dalam genggaman Islam.
Pada saat bersamaan, dunia Islam semakin menghubungkan identitas dirinya dengan agamanya. Sebaliknya, pemikiran Eropa berubah. Di satu sisi, ia memberangus akar Kristennya; tetapi di sisi lain, ia mengembangkan dogma multikulturalisme, sebuah dogma yang menyebut dirinya sebagai proyek positif keterbukaan terhadap dunia luar. Kenyataannya, multikulturalisme adalah doktrin yang sepenuhnya negatif yang menyerang peradaban Eropa dari dalam.
Berbeda dari Marxisme tradisional misalnya yang menolak "perjuangan kelas" dan kapitalisme demi masyarakat tanpa kelas yang utopis, neo-Marxisme menolak semua peradaban barat beserta lembaga-lembaganya. Ideologi itu tampaknya melihat segala sesuatu yang berbau Eropa sebagai manifestasi alienasi, setiap otoritas sebagai manifestasi kekuasaan, setiap norma etis atau hukum sebagai alat kontrol, setiap tradisi atau warisan sebagai manifestasi penindasan dan setiap bentuk identitas masyarakat sebagai pengkhianatan terhadap revolusi. Neo-Marxis tampaknya secara naif berasumsi bahwa ketika masyarakat benar-benar hancur, tidak ada ada yang tersisa selain kebebasan murni. Jarang dalam sejarah kerusakan dan kehancuran dipertahankan dengan kata-kata yang begitu mulia.
Menurut banyak penganut multikultur ini, mengakui "yang lain" merupakan manifestasi dari kebaikan, sementara tidak menghargai "keberbedaan" adalah tanda rasisme, fasisme, dan kejahatan. Masyarakat ideal mereka tampaknya adalah satu tempat ketika berbagai identitas bebas berdatangan tetapi tidak bertemu. Dalam masyarakat seperti itu, setiap kelompok punya hak khusus masing-masing, yang harus ditegakkan oleh sistem hukum. Akhir-akhir ini, banyak Muslim ekstremis menggunakan pola pikir multikultural ini demi keuntungan mereka sendiri. [1]
Sementara kaum Marxis tradisional percaya bahwa kediktatoran proletariat akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas, kaum neo-Marxis percaya bahwa kediktatoran demi kepentingan minoritas akan menghasilkan masyarakat dengan kebebasan absolut untuk semua. Untuk tujuan ini, mereka pikir perlu membangun birokrasi anti-diskriminasi yang memecah-belah dominasi mayoritas atas minoritas kemudian memaksa mayoritas supaya berhenti menuntut posisi istimewa mereka sendiri. Mayoritas tidak cukup mentolerir perbedaan; ia harus merangkul dan menyukainya.
Perbedaan ketiga
Perjuangan utama yang diperjuangkan oleh kelompok Islam radikal dalam bentrokan peradaban melibatkan diri dalam tiga langkah strategis. Pertama, perjuangan kaum lemah melawan yang kuat (seperti kaum Islam radikal vs Eropa. Kedua, perjuangan yang berkaitan dengan tuntutan masyarakat Muslim tertentu; dan, ketiga akhirnya, pengambilalihan secara damai.
Langkah pertama:
Banyak kaum Islam radikal pragmatis tampaknya berencana melucuti Eropa dengan melakukan penaklukan secara diam-diam. Caranya, dengan menggambarkan mereka sebagai korban. Semakin banyak konsesi mereka peroleh semakin besar tampaknya, mereka mengaku dianiaya. Namun, mereka kemudian menghadirkan tuntutan mereka sendiri yang kabur sebagai sesuatu yang progresif, anti-rasis dan anti-fasis.
Mereka bergabung dalam berbagai isu agama, eksklusi sosial, kemiskinan serta perjuangan memerangi rasisme tampaknya hendak menyembunyikan prioritas mereka yang sebenarnya. Pada saat bersamaan, mereka terus mengawasi kaum Muslim yang suam-suam kuku (yang dalam kasus apapun, merosot di negara-negara seperti Perancis). [2]
Tahap kedua:
Banyak kaum Islam radikal tampaknya ingin mengislamkan Eropa secara damai. Caranya, dengan memanfaatkan mekanisme demokrasi yang ada sesuai keinginan mereka. Beberapa pihak memulainya dengan memperkenalkan tuntutan yang sektarian, seperti hak untuk memperoleh ruangan sholat di universitas, tempat kerja dan ruang publik; hak untuk pmengkotbahkan Islam di sekolah umum; hak untuk menetapkan pemisahan gender di sekolah, kegiatan olahraga dan kolam renang; dan hak untuk terlibat dalam poligami. Pada waktu yang bersamaan, mereka pun memperkenalkan langkah-langkah hukum menentang kritik terhadap Islam; memperkenalkan kuota bagi kaum Muslim dalam dunia pemerintahan dan media; dan untuk memaksakan hak untuk membentuk partai politik Islam.
Di Prancis misalnya, pembentukan masyarakat Islam yang paralel dilakukan secara bertahap selama 15 tahun silam. Berawal dengan berbagai aktivitas organisasi yang dikelola oleh orang-orang yang mendoktrinasi agama, semua itu dilakukan dengan dalih hendak mengintegrasikan keturunan para migran guna mengatasi kemerosotan di kalangan muda. Berbagai organisasi ini menjamin tatatertib dan damai di lingkungan muslim, sambil menindas pemikiran individu di kalangan muda Muslim dengan menanamkan komitmen yang total kepada para imam. [3]
Situasinya terjadi sedemikian rupa sehingga kelompok-kelompok muda yang setia berani menentang penjual narkoba. Para imamnya bahkan menawarkan pelayanannya kepada polisi. Namun, kaum muda ini tampaknya hanya menghormati pihak berwenang dalam bidang penegakan hukum jika para imam mereka memaafkannya. [4]
Berbagai organisasi Muslim juga tengah gencar didirikan sekitar masjid di berbagai distrik. Dan semuanya mengklaim diri menjadi jurubicara semua Muslim yang berdiam di sana. [5]. Mereka melakukan demonstrasi menyerukan agar tuntutan mereka dipenuhnya serta menampilkan diri sebagai bagian gerakan atas nama toleransi dan hak asasi manusia. Selain itu, mereka menuntut negara mendanai aktivitas pendidikan mereka. Sementara itu, di Perancis, misalnya, warga pribumi Perancis dari distrik-distrik itu, termasuk kaum Muslim yang tidak ekstrimis, lebih suka berpindah keluar dari sana.[6]
Para pejabat pemerintah mendesak para walikota dari berbagai distrik itu untuk menghormati tuntutan kaum Muslim. Alasannya bahwa jika tidak dipenuhi maka kaum Muslim bakal didorong untuk terlibat dalam aktivitas bawah tanah. [7] Para pekerja sosial di berbagai distrik ini pun disisihkan, karena peran mereka diambil alih oleh anggota komunitas Muslim beserta para imam. Keluarga-keluarga Muslim bahkan kerapkali tidak mengijinkan pekerja sosial melewati ambang pintu mereka dan semakin banyak dicacimaki jika bukan ancaman mati. [8] Sementara itu, banyak pekerja sosial sendiri berupaya menyenangkan hati klien mereka dengan berupaya membantu mereka mendapatkan berbagai tunjangan yang bukan hak mereka. [9]
Masyarakat yang parallel juga sudah dibangun dalam dunia pendidikan. Keluarga Muslim miskin mengambil anak-anak mereka dari sekolah umum kemudian mendaftarkan mereka di sekolah swasta dan uang sekolahnya dibayarkan oleh donor-donor asing.[10]
Langkah ketiga:
Kaum Muslim membangun masyarakat parallel dalam bidang pendidikan, kesejahteraan dan kebijakan. Untuk ini, mereka butuh dana bersama dari negara yang sayangnya tidak banyak dari mereka yang setia kepadanya. Negara pada pihak lain memenuhi kebutuhan mereka karena takut dengan meningkatnya aktivitas ilegal dan aksi rusuh[11]. Negara juga bertoleransi terhadap poligami;[12] ragu-ragu untuk memeriksa ijin mengemudi para terduga yang Islam dan menahan diri untuk tidak mengawasi isi kotbah di masjid-masjid.[13] Agaknya, karena sadar dengan ketakutan pemerintah ini,[14] kaum Islam radikal meningkatkan tuntutan mereka.[15]
Sebagian besar ini isu umum. Persoalan di atas pun tidak muncul pada generasi-generasi lebih tua. Ia muncul di kalangan mudah yang sudah diradikalisasi. Dan kecenderungannya tampaknya bukan persoalan sosial-ekonomi.
Sebagian besar dari 2,000 pejihad dari Perancis yang pergi berperang untuk Negara Islam, relatif hidup makmur berlimpah-ruah dan terpelajar. Karena itu, meningkatkan kondisi kemasyarakatan dan integrasi mereka dengan masyarakat pribumi mungkin menjadi obat bagi radikalisasi.
Dalam sebuah essay terbarunya menandai ulang tahun ke-25 buku Huntington bertajuk, The Clash of Civilizations," Fukuyama mengakui, "Sekarang ini," terlihat agaknya (pendapat) Huntington menang."
Prof. Jan Keller adalah Anggota Partai Sosial Demokrat Cheko untuk Parlemen Eropa. Ia juga sosiolog, analis, komentator dan pengarang dari lebih dari 30 buku, termasuk Sociology of the Organization and Bureaucracy (2007) atau The Three Social Worlds (2011). Dia belajar di Universitas Bordeaux (1985), Aix-en-Provence (1988)dan Sorbonne (1992) di Paris. Dia mengajar sosiologi di University of Lille, Poitiers, Trento, Lodz dan Barselona.
Artikel ini berbasiskan pada sebuah pidatonyah (1:02:44 – 1:32:49) yang disampaikan dalam konferensi "10 years since the death of Samuel Huntington - Do We Live in an Era of Clash of Civilizations?" 9 April 2018 di Praha dan diterbitkan di sini dengan ijin sang pengarang.Artikel diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Josef Zbořil.
[1] Mathieu Bock-Côté - Le multiculturalisme comme religion politique, Paris, Cerf, 2016, hal. 122-123 dan 255-256.
[2] Georges Bensoussan - Une France soumise – Les voix du refus, Paris, Albin Michel, 2017, hal. 27.
[3] Ibid, hal. 140-141.
[4] Ibid, hal.140-141.
[5] Ibid, hal.140-141.
[6] Ibid, hal.140-141.
[7] Ibid, hal.140-141.
[8] Ibid, hal. 79-80.
[9] Ibid, hal. 86.
[10] Ibid, hal. 71-72.
[11] Ibid, hal.38.
[12] Laurent Obertone - La France Interdite: La vérité sur l'imigration, Paris, Ring Publishing House, 2018, hal. 55.
[13] Georges Bensoussan - Une France soumise – Les voix du refus, Paris, Albin Michel, 2017, hal. 75-76.
[14] Bertrand Soubelet - Tout ce qu'il ne faut pas dire, Paris, Plon, 2016.
[15] Bertrand Soubelet - Sans autorité, quelle liberté?, Paris, Éditions de l'Observatoire, 2017.