Pemilu di berbagai negara Eropa direncanakan bakal diselenggarakan museim semi 2019 ini. Berbagai polling memperlihatkan bahwa Partai Rali Nasional pimpinan Le Pen bakal memimpin, jauh di depan partai La République En Marche! [Republik sedang Bergerak!] bentukan Macron.
Tanggal 11 Nopember 2018. Presiden Prancis Emmanuel Macron merayakan 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I. Dia mengundang 70 kepala negara guna mempersiapkan ""Forum Perdamaian" yang mahal, tetapi tidak berguna serta bombastis tidak mengarah ke mana-mana. Presiden AS Donald Trump juga dia undang, kemudian memilih memaki-makinya. Dalam pidatonya yang bombastis, Macron, menyerukan soal "patriotisme", lalu anehnya mengartikannya, sebagai "lawan yang tepat bagi nasionalisme. Kemudian ia mengatakan komitmen Trump sebagai "pengkhianatan". Pernyataan itu rupanya karena, dia tahu bahwa beberapa hari sebelumnya Trump menyebut dirinya sebagai nationalis yang berkomitmen membela Amerika.
Selain itu, segera sebelum memulai pertemuan, Macron berbicara tentang "urgensi" membangun Angkatan Bersenjata Eropa dan menempatkan Amerika Serikat di antara "para musuh" Eropa. Memang bukan pertama kalinya Macron menempatkan Eropa di atas kepentingan negaranya sendiri. Namun, bagaimanapun, itulah untuk pertama kalinya dia menempatkan Amerika Serikat pada daftar para musuh Eropa.
Presiden Trump agaknya langsung paham bahwa perilaku Macron merupakan sebentuk cara untuk mempertahankan sikap gila-gilaannya terhadap kebesaran diri, termasuk upaya untuk meraih keuntungan politik dalam negeri. Trump juga agaknya paham bahwa dia tidak bisa sekedar duduk di sana menerima caci maki. Dalam berbagai rangkaian twitnya, Trump lantas mengingatkan dunia bahwa justru Prancis-lah yang membutuhkan bantuan Amerika Serikat supaya bisa mendapatkan kemerdekaan selama Perang Dunia. Juga bahwa NATO masih melindungi sebuah Eropa yang praktis tidak mampu melindungi diri dan bahwa banyak negara Eropa belum membayar jumlah uang yang dijanjikan untuk NATO demi perlindungan mereka sendiri. Trump menambahkan bahwa Macron mengalami rating persetujuan yang sangat rendah (26%), dan kini tengah menghadapi tingkat pengangguran yang sangat tinggi sehingga mungkin sedang berjuang untuk mengalihkan perhatian dari sana.
Trump benar. Selama berbulan-bulan, popularitas Macron terjun bebas: dia kini Presiden Prancis yang paling tidak populer dalam sejarah modern pada tahap mandatnya ini. Masyarakat Prancis pun secara bergerombolan sudah menolaknya.
Pengangguran di Prancis bukan saja mengkhawatirkan pada tingkat yang tinggi (9.1%) dan sudah bertahun-tahun mengkhawatirkan. Jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan juga tinggi (8.8 juta orang atau 14.2% populasi). Pertumbuhan ekonomi secara efektif tidak ada (hanya 0.4% selama tiga perempat tahun 2018 dari 0.2% pada tiga bulan pertama). Pendapatan rata-rata (20,520 euro atau sekitar Rp 336 juta setahun) benar-benar rendah. Ia mengindikasikan bahwa separuh warga Prancis hidup kurang dari 1.710 euro (atau sekitar Rp 28,3 juta) sebulan. Sementara itu, lima juta masyarakat negeri ini bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 855 euro (atau sekitar Rp 14,2 juta) sebulan.
Ketika terpilih Mei 2017, Macron berjanji hendak melakukan liberalisasi ekonomi. Bagaimanapun, tak ada langkah-langkah penting yang diambil. Memang ada beberapa reformasi pemanis--- seperti pembatasan tunjangan akibat pemecatan yang tidak wajar atau kemungkinan peningkatan kecil yang bisa dinegosiasikan oleh usaha kecil untuk kontrak kerja jangka pendek. Meski demikian, undang-undang (UU) Tenaga Kerja Prancis, masih saja undang-undang paling kaku di negara maju, yang secara trampil membatasi penciptaan pekerjaan. Beban pajak (lebih dari 45% Produk Domestik Bruto) adalah yang tertinggi di dunia maju. Bahkan jika sejumlah pajak dihapus sekalipun, banyak pajak baru diciptakan sejak Macron menjadi presiden. Pengeluaran publik masih menyumbang sekitar 57% PDB (16% di atas rata-rata negara-negara OECD/negara-negara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) dan tidak memperlihatkan tanda-tanda berkurang.
Macron juga berjanji ketika terpilih akan memperbaiki keamanan. Bagaimanapun, kurangnya keamanan meledak luas. Jumlah serangan kejam beserta perkosaan terus meningkat. Kawasan yang tidak boleh dilewati orang luar (No-go zones) sama-sama tersebar luasnya sejak setahun silam dan benar-benar tidak terkendali. Masuknya imigran illegal yang tidak diselidiki ke negeri itu secara menyedihkan mengubah seluruh lingkungan tempat tinggal menjadi tempat kumuh.
Mei lalu, Macron mengingatkan bahwa di banyak pinggiran kota, Prancis "sudah kalah bertarung melawan perdagangan narkoba."
Ketika Menteri Dalam Negeri Gérard Collomb mengundurkan diri, 3 Oktober lalu, dia berbicara tentang suatu "situasi yang sangat merosot." Ditambahkanya bahwa di banyak kawasan, "hukum dari kaum yang terkuat---yaitu para pedagang narkoba dan kaum Islam radikal --- telah mengambil alih Republik." Dia sebetulnya hanya memperkuat penilaian mengerikan dari para pengamat politik "yang tidak disukai" seperti Éric Zemmour, pengarang buku bertajuk Le Suicide Français ( Tentang Prancis yang Bunuh Diri), serta Georges Bensoussan, pengarang buku Une France Soumise (Sebuah Prancis yang Submisif).
Aksi rusuh kerapkali terjadi. Mengindikasikan bahwa pemerintah semakin tidak mampu mempertahankan tatatertib. Transportasi publik mogok, sepanjang musim semi 2018, beriring dengan demonstrasi serta penjarahan yang penuh semangat atas bank dan toko. Kemenangan Prancis di Piala Dunia Juli lalu disambut dengan sorak kegembiraan yang segera mengarah kepada kekerasan oleh berbagai kelompok yang memecahkan jendela toko serta menyerang polisi.
Sejak memasuki kehidupan politik, pernyataan Macron bukan saja memperlihatkan penghinaan terhadap populasi Prancis tetapi juga semakin banyak. Dan itu tidak membantu. Sejak 2014, ketika menjadi Menteri Ekonomi, Macron mengatakan bahwa para majikan wanita perusahaan yang bangkrut itu "buta-huruf." Juli 2017, tepat setelah menjadi presiden, dia membedakan antara orang yang berhasil dan orang yang tidak punya apa-apa." Baru-baru ini, dia katakan kepada seorang pemuda yang berkisah tentang penderitaannya berjuang mendapatkan pekerjaan, bahwa dia hanya perlu bergerak kemudian "menyeberang jalan." Selama kunjungannya ke Denmark, dia pun mengumumkan bahwa Bangsa Prancis adalah "Orang Gaul yang menolak berubah." (Gaul merujuk kepada bangsa Eropa Barat jaman Perunggu yang pernah dijajah Roma, JEL).
Mei lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengingatkan bahwa di banyak pinggiran kota, Prancis, "sudah kalah bertarung melawan perdagangan narkoba." (Getty Images) |
Satu dari segelintir isu yang tampaknya dengan penuh semangat Macron tangani adalah Islam. Berkali-kali dia tekankan tekadnya untuk membangun sebuah ""Islam Prancis". Yang gagal diperhitungkannya adalah persoalan populasi lainnya seputar cepatnya Islamisasi negeri itu. Pada 20 Juni 2017 lalu, dia mengatakan (tidak sepenuhnya tepat, sebagai contoh di sini, sini, sini, sini, sini dan di sini), "Tidak ada orang yang percaya bahwa agama (Muslim) itu tidak cocok dengan Republik." Dia juga tampaknya gagal memperhitungkan risiko terorisme Islam, yang nyaris tidak pernah disebutkannya namanya. Dia tampaknya lebih suka menggunakan kata "terorisme", tanpa kata sifat dan hanya mengakui bahwa "memang ada bacaan yang radikal tentang Islam, yang prinsip-prinsipnya tidak menghargai slogan-slogan agama")
Menteri Dalam Negeri yang sekarang ini berkuasa, Christophe Castaner, yang diangkat Macron untuk menggantikan Collomb mengabaikan berbagai keprihatinan pendahulunya. Dia malah menjelaskan Islam sebagai "agama penuh bahagia dan cinta, sama seperti Agama Katolik."
Bidang lain yang tanpa henti Macron lakukan adalah "perjuangan soal perubahan iklim". Dalam upaya ini, yang dijadikan targetnya adalah mobil. Pengendalian teknis wajib dibuat lebih mahal pada kendaraan yang berusia lebih dari empat tahun, sehingga yang gagal mematuhinya dijatuhi hukuman. Agaknya, dengan upaya itu diharapkan semakin banyak mobil tua dihilangkan. Batas kecepatan di sebagian besar jalan diturunkan menjadi 80 km / jam (50 mph), radar pengendali kecepatan pun dilipatgandakan dan puluhan ribu SIM pengemudi ditangguhkan. Pajak gas naik tajam (30 sen per galon dalam satu tahun). Satu galon bensin tanpa timbal di Prancis sekarang charganya lebih dari $7 (atau sekitar Rp 102 ribu).
Minoritas kecil warga Prancis yang masih mendukung Macron memang tidak terpengaruh dengan langkah-langkah ini. Berbagai survei menujukkan bahwa mereka termasuk dalam lapisan masyarakat kaya raya, yang berdiam di lingkungan yang makmur dan hampir tidak pernah menggunakan kendaraan pribadi. Situasinya sangat dberbeda dengan kebanyakan individu lain, terutama kelas menengah yang terlupakan.
Keputusan baru-baru ini untuk menaikkan pajak gas menjadi gebrakan terakhir. Ia memicu kemarahan yang langsung meledak. Sebuah petisi pun beredar menuntut pemerintah meninjau kembali kenaikan pajak dengan dukungan hampir satu juta tanda tangan dalam dua hari. Di jejaring sosial, orang mendiskusikan upaya untuk mengorganisasikan demonstrasi di seluruh negeri dan menyarankan agar demonstran mengenakan jaket keselamatan berwarna kuning yang diwajibkan harus disimpan pengemudi di mobil mereka jika terjadi kerusakan di pinggir jalan. Dengan demikian, pada 17 Nopember, ratusan ribu pemrotes memblokir sebagian besar negara itu.
Pemerintah abaikan tuntutan pemrotes. Para pejabat sebaliknya berulangkali mengatakan banyaknya perintah "perubahan iklim" yang tidak terbukti serta perlunya upaya mengurangi penggunaan "minyak fosil"----tetapi tetap saja menolak untuk berubah arah.
Setelah itu, hari protes nasional lain dipilih. Tanggal 24 Nopember, demonstran mengorganisasikan pawai di Paris. Banyak orang, tampaknya, memutuskan untuk bergerak menuju Champs Elysées kemudian terus menuju Istana Kepresidenan Elysée, meski ada larangan pemerintah untuk pergi ke sana.
Bentrokan pun tidak terhindarkan. Barikade didirikan dan kendaraan-kendaraan dibakar. Dengan keras, polisi pun lantas menanggapinya. Mereka menyerang pemrotes non-kekerasan dengan menggunakan ribuan granat gas air mata serta water canon yang tidak pernah mereka pergunakan pada masa lalu. Meski banyak pemrotes memegang bendera yang mengindikasikan bahwa mereka berasal dari kalangan kiri politik, Menteri Dalam Negeri Castaner yang baru saja diangkat tetap mengatakan bahwa kekerasan berasal dari "kalangan kanan" yang cengeng dan suka menghasut. Seorang anggota pemerintah malah memperbesar kobaran api karena menyamakan "jaket kuning" Prancis dengan "kaos coklat" Jerman era 1930-an. Macron malah mengatakan bahwa orang-orang yang berusaha "mengintimidasi pejabat" seharusnya "malu."
Akhirnya, pada 25 Nopember, Macron mengakhirinya dengan mengakuinya, dengan sikap enggan yang jelas terlihat, penderitaan "kelas pekerja." Dua hari kemudian, dia, menyampaikan pidato yang khidmat. Kala itu dia justru mengumumkan bahwa dia bakal membentuk "sebuah dewan tinggi untuk iklim" yang terdiri dari para ahli ekologi serta politisi professional. Juga bahwa dia bermaksud hendak menyelamatkan planet sekaligus menghindari "berakhirnya dunia." Dengan demikian, ia masih belum mengatakan satu kata pun seputar keluhan ekonomi yang tercurah selama sepuluh hari sebelumnya.
Jurubicara Partai The Republicans, yang behaluan moderat kanan, Laurence Saillet, pun berkomentar. "Orang Prancis katakan, 'Tuan Presiden, kami tidak dapat memenuhi kebutuhan kami.' Dan, presiden lalu menjawab, 'kita akan membentuk Dewan Tinggi [untuk iklim ] 'Bisakah Anda bayangkan tidak nyambung jawabannya? ".
Marine Le Pen, presiden partai berhaluan moderat kanan (right of center), Partai National Rally (bekas partai Fron Nasional yang kini menjadi partai oposisi utama di Perancis), mengatakan, "Ada sebuah kasta kecil yang bekerja untuk dirinya sendiri. Dan ada juga sebagian besar orang Perancis yang ditinggalkan pemerintah sehingga merasa djatuhkan dan dirampas hak-haknya."
"Kaum jaket kuning" kini meraih dukungan 84% populasi Perancis. Mereka menuntut Macron mengundurkan diri serta dilakukan perubahan pemerintahan segera. Berbagai kalangan yang berbicara di radio dan televisi mengatakan bahwa Macron dan pemerintah benar-benar buta dan tuli.
Kini, "kaum jaket kuning" telah memutuskan untuk mengorganisir protes nasional ketiga - hari ini, Sabtu, 1 Desember--- dengan pawai lagi menuju Paris dan Istana Elysée. Revolusi di negara itu dengan demikian, kini tengah meningkat dan tidak memperlihatkan tanda-tanda berkurang.
Cendekiawan politik Jean-Yves Camus mengatakan bahwa gerakan "jaket kuning" kini menjadi revolusi yang dilancarkan oleh jutaan orang yang merasa sesak napasnya karena pajak "jarahan" ("confiscatory" taxation) sehingga tidak ingin untuk "terus membayar bagi sebuah pemerintahan yang tampaknya "tidak mampu membatasi pengeluarannya." Kemudian ditambahkannya bahwa "Beberapa kalangan tidak mengukur sejauh mana sikap menolak yang diungkapkan oleh demonstran."
Dominique Reynié, professor Studi Politik Paris Institute mengatakan bahwa "Macron dan pemerintah tidak berharap bahwa kebijakan pajak mereka bakal mengarah kepada (situasi) ini."
Pemilu di berbagai negara Eropa direncanakan bakal diselenggarakan Mei 2019. Berbagai polling memperlihatkan bahwa Partai Rali Nasional pimpinan Le Pen bakal memimpin, jauh di depan partai bentukan Macron. La République En Marche! [Republik sedang Bergerak!].
Dalam waktu kurang dari setahun, Macron yang terpilih Mei 2017 sudah kehilangan semua kepercayaan dan legitimasinya. Dia juga satu dari para pemimpin terakhir Eropa yang sedang berkuasa yang mendukung Uni Eropa apa adanya.
Macron mengklaim bakal mengalahkan gelombang "populis" yang sedang bergerak naik di seluruh penjuru Eropa. Dia juga pernah mengklaim bahwa pemimpin yang mendengarkan masyarakatnya bakal penuh semangat membela cara hidup mereka jika ada "lepra" and "angin yang buruk."
Gelombang "populis" kini tengah menghajar Eropa. Secara tepat, ia berarti berakhir sudah masa jabatan Macron sebagai presiden.
Dr. Guy Millière, seorang professor University of Paris, Prancis dan pengarang 27 buku tentang Prancis dan Eropa.