Hidup sebagai seorang antropolog di sebuah kawasan penggembalaan Suku Yarahmadzai, suku penggembala ternak nomaden di gurun-gurun kawasan Balukistan Iran, membantu menjelaskan sejumlah hambatan terhadap perdamaian di Timur Tengah. Terlepas dari persoalan besar atau kecilnya, yang orang lihat di sana adalah upaya untuk menjaga kesetiaan dan solidaritas kelompok berbasiskan ikatan darah yang kuat serta garis silsilah oposisi politik. [1] Kenyataan ini memunculkan persoalan bagaimana persatuan dan perdamaian bisa menjadi sebuah sistem yang berbasiskan perlawanan?
Damai tidak mungkin terjadi di Timur Tengah. Penyebabnya, karena nilai dan tujuan lain selain perdamaian itu jauh lebih penting bagi masyarakat di sana. Yang terpenting bagi warga Timur Tengah adalah kesetiaan kepada sanak famili, klan serta kultus serta kehormatan yang dimenangkan dengan cara tetap setia seperti itu. Inilah perintah-perintah budaya, nilai dasar, yang dihayati dan dirayakan. Tatkala konflik muncul dan berbagai bentuk kelompok yang bertikai membasiskan diri pada kesetiaan, konflik pun lantas dianggap tepat dan sewajarnya.
Komitmen yang mutlak terhadap ikatan dan serta kelompok kultus serta oposisi struktural kepada semua yang lain dapat dilihat hasilnya sepanjang sejarah Timur Tengah termasuk juga pada peristiwa-peristiwa masa kini, di mana konflik tersebar luas. Turki, Arab serta Iran melancarkan kampanye militer untuk menindas Bangsa Kurdi. Sementara itu, umat Kristen, Yazidi, Bahai serta Yahudi di antara umat lainnya, sudah dan terus saja hendak dimusnahkan berdasarkan etnis. Arab dan Persia serta kaum Sunni dan Shiah pada pihak lain, masing-masing berupaya meraih kekuasaan atas pihak yang lain dalam persaingan yang menjadi salah satu faktor utama yang melandasi perang Irak-Iran, rejim Saddam Hussein serta bencana akhir-akhir ini di Suriah. Turki menyerbu Siprus Orthodoks Yunani pada 1947 dan semenjak itu menduduki kawasan itu. Banyak negara Muslim menyerbu Negara Yahudi Israel yang sangat kecil sebanyak tiga kali dan Bangsa Palestina tiap hari merayakan, mengagung-agungkan pembunuhan atas warga Yahudi.
Sejumlah warga Timur Tengah serta sejumlah kalangan di Barat lebih suka mengkaitkan persoalan Timur Tengah kepada pihak luar, seperti pada kaum imperialis Barat. Meskipun demikian, tampaknya aneh untuk mengatakan bahwa penduduk setempat tidak berperan (agency) serta bertanggung jawab terhadap aktivitas mereka dalam kawasan berbahaya ini, yang bukan saja tinggi konflik dan kekejamannya, tetapi juga rendah pembangunan manusianya dilihat dari semua standar dunia.
Jika orang mengamati kondisi setempat untuk memahami berbagai konflik lokal, maka hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa budaya Arab dibangun di atas budaya suku Bedui, selama berabad-abad hingga kini. Pada masa Islam baru muncul, sebagian besar populasi Arab utara adalah Bedui. Ketika Islam dengan cepat memperluas kawasannya setelah masyarakat kawasan itu menganut Islam, angkatan bersenjata Muslim Arab pun terdiri dari berbagai unit suku Bedui, Sebagain besar Suku Bedui adalah suku nomaden penggembara. Mereka terbentuk dalam berbagai suku dan menjadi kelompok pertahanan sekaligus keamanan. [2]
Suku-suku Bedui diorganisasikan berdasarkan kelompok-kelompok keturunan berkat alur laki-laki. Keluarga dekat yang terlibat konflik hanya menyebabkan kelompok-kelompok kecil berkonflik. Tetapi, anggota keluarga jauh yang terlibat konflik justru menyebabkan kelompok-kelompok besar juga terlibat konflik. Jadi, jika, sebagai contoh, anggota kelompok saudara sepupu berkonflik, maka tidak ada orang lain terlibat di dalamnya. Tetapi jika anggota bagian suku yang berkonflik, maka semua saudara sepupu serta kelompok yang lebih besar dari bagian suku itu bakal bersatu melawan bagian suku yang lain. Jadi yang dipikirkan oleh sekelompok suku tentang keanggotaan dirinya itu hanya bersifaf sambil selalu, yang sangat tergantung pada siapa saja yang terlibat dalam sebuah konflik.
Pada prinsipnya, hubungan antarkelompok keturunan senantiasa bertentangan. Dan suku-suku secara keseluruhan melihat diri mereka sendiri bertentangan dengan suku-suku lain. Hubungan struktural utama antara kelompok, pada tingkat genealogis serta demografis dapat dikatakan merupakan oposisi yang seimbang. Norma politik terkuat di antara orang-orang suku adalah kesetiaan yang berbarengan dengan dukungan aktif terhadap kelompok persaudaraan seseorang, besar atau kecil. Orang harus senantiasa mendukung keluarganya melawan keluarga yang lebih jauh ikatannya. Kesetiaan dengan demikian dihargai dengan kehormatan. Memalukan jika tidak mendukung keluarga anda. Sistem ini menyebabkan upaya untuk mengelak dari ancaman konflik dengan kelompok lain yang sama besar dan sama-sama nekadnya kerapkali identik dengan pencegahan terhadap petualangan yang sembrono. Akibatnya tidak banyak konflik terjadi dan sebaliknya ada banyak upaya untuk menulis sejarah kesukuan yang sebetulnya lahir dari penolakan ini.
Tidak ada kelompok dan tidak kesetiaan yang mengatasi suku atau konfererasi suku sampai saat Islam muncul. Beriring jalan dengan adanya Islam, tingkat kesetian baru yang lebih tinggi, yang jauh lebih mencakup kelompok suku pun dirumuskan. Semua orang dibagi antara Muslim dan kafir. Dunia pun dibagi antara Dar al-Islam atau tanah kaum beriman nan damai serta Dar al-harb, alias tanah orang tidak beriman dan penuh perang. Kaum Muslim pun harus bersatu padu melawan kaum kafir, akibat ideologi kesetiaan terhadap suku dan dengan demikain bakal mendapatkan bukan saja kemuliaan tetapi juga ganjaran surgawi.
Kehormatan diperoleh berkat kemenangan. [3]. Mengorbankan diri sendiri memang terpuji, tetapi kehormatan lahir dari kemenangan. Kalah dan menjadi korban bukanlah posisi terhormat dalam masyarakat Arab. Kalah dalam perjuangan politik menyebabkan seseorang kehilangan kehormatan diri. Hal ini benar-benar dirasakan sebagai kehilangan sehingga harus diperbaiki. Kalah dianggap sangat memalukan. Hanya prospek atau kemungkinan adanya kemenangan pada masa datang untuk memperoleh kehormatan mendorong orang untuk maju. Contohnya adalah konflik Arab-Israel. Pada masa konflik, masyarakat Yahudi yang dianggap hina-dina berkali-kali mengalahkan angkatan bersenjata negara-negara Arab. Bagi bangsa Arab, kalah perang bukan soal malapetaka (kehilangan) materi. Itu persoalan budaya. Kehormatan negara-negara itu hilang. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali kehormatan itu adalah dengan mengalahkan serta menghancurkan Israel, yang jelas-jelas menjadi tujuan bangsa Palestina: "dari sungai [Yordan] hingga laut [Mediterania]." Ini menyebabkan tidak ada perjanjian seputar tanah atau batas negara mendatangkan perdamaian; karena bagaimanapun, perdamaian tidak memulihkan kehormatan.
Tidak satu pun persoalan ini yang tidak diketahui oleh para pengamat politik Arab yang berulang kali merujuk ciri kesukuan budaya masyarakat mereka. Tentu saja sekarang, ada segelintir masyarakat Timur Tengah hidup dalam tenda-tenda memelihara unta tetapi para penduduk desa serta perkotaan memiliki asumsi dan nilai kesukuan yang sama. Menurut intelektual Tunisia Al-Afif al-Akhdar, bangsa Arab menghargai : "budaya balas dendam suku yang berakar sangat dalam"( deep-culture of tribal vengefulness) yang mengakibatkan orang "tergoda oleh jelinya mentalitas balas dendam "fixated, brooding, vengeful mentality."[4]. Mantan Presiden Tunisia Moncef Marzouki pernah berujar bahwa "Kita butuh sebuah revolusi ideologi; mentalitas suku kita telah menghancurkan masyarakat kita.'
Dr. Salman Masalha, seorang cendekiawan kesusasteraan Israel Druze berargumentasi:
"Ciri kesukuan masyarakat Arab berakar sangat kuat dalam masa lampaunya. Akarnya bisa dilacak sepanjang sejarah Arab hingga era pra-Islam...Karena masyarakat Arab pada dasarnya berciri suku, maka berbagai bentuk monarki dan emirat merupakan kelanjutan alamiah dari struktur sosial yang sudah kuat berakar itu, di mana kesetiaan berbasis suku berada di atas segala-galanya."
Mamoun Fandy, seorang cendekiawan Amerika kelahiran Mesir, menuangkan pemikirannya dalam suratkabar Arab Saudi Asharq Al-Awsat sebagai berikut;
"Bahkan pada masa pasca-kedatangan Islam sekalipun, bangsa Arab, tak pernah menjadi bangsa "ideologis" yang berupaya mengembangkan visi intelektual kita sendiri serta dunia luar. Sebaliknya, kita adalah bangsa yang terikat oleh hubungan darah dan keluarga atau "Shalal" sebagaimana kami sebutkan di Mesir...Terlepas dari fakta bahwa Islam merupakan revolusi intelektual terbesar dalam sejarah, sebagai bangsa Arab, kita sudah berhasil mengadaptasi Islam untuk melayani suku, keluarga serta klan. Sejarah Islam berawal sebagai suatu revolusi intelektual dan sebagai sejarah pemikiran dan bangsa. Bagaimanapun, semenjak awal Kalifah Ortodoks, ia pun diubah katakan saja menjadi negara suku. Negara Islam menjadi Negara Umaiyah dan setelah itu Abasiyah, Fatimiyah (Fatimid) dan seterusnya dan seterusnya. Ini berarti kita kini punya sejarah suku bukan sejarah pemikiran....Apakah sejarah suku itu bersamaan dengan kesetiaan terhadap suku dan keluarga serta prioritasnya terhadap hubungan darah yang melebih hubungan intelektual lenyap selamatnya menyusul "Arab Spring"? Tentu tidak; yang terjadi adalah bahwa keluarga dan suku telah merias diri dalam jubah revolusi di Yaman dan di Libya, dan di Mesir oposisi terdiri dari suku dan bukannya dari konsep."
Gambar: Para laki-laki Bedui di Abu Dhabi. (Foto oleh Dan Kitwood/Getty Images) |
Sejarah Timur Tengah, berabad-abad perang sukunya serta berbagai keretakan kecil yang terus berlangsung dalam masyarakat Arab semuanya membuktikan adanya budaya suku serta oposisi struktural. Mungkin ada alasan baik untuk mengaitkan budaya suku dengan organisasi masa pra-modern. Yaitu bahwa negara dan kekaisaran itu despotik, eksploitatif dan benar-benar sangat bergantung pada pekerjaan buruh dan organisasi suku pun memberikan kepada sejumlah pihak peluang untuk tetap bebas mandiri. Akhir-akhir ini, seiring dengan adanya model negara modern, pemerintah di Timur Tengah berupaya membentuk negara tetapi semuanya terjebak untuk setia serta melakukan opisisi kesukuan yang tidak sesuai lagi dengan negara-negara konstitusional. Para penguasa kawasan itu semuanya telah beralih menggunakan paksaan supaya bisa mempertahankan posisi mereka, sehingga semua negara Muslim di kawasan itu despotik alias lalim dan menindas.
Banyak masyarakat Timur Tengah melihat bencana yang mengitari mereka kemudian mengecam pihak luar. "Ini kesalahan orang Yahudi." "Ini perlakuan orang Inggris atas kita." "Orang Amerika harus dikecam. "[5]. Banyak akademisi dan pengamat politik Barat pun mengatakan hal yang sama, mengagung-agungkan teori kontra-sejarah ini dengan label "pascakolonialisme." Tetapi melihat dominannya dinamika kesukuan di kawasan itu selama seribuan tahun sejak Islam berdiri serta ribuan tahun sesudahnya, maka mengecam pihak luar atas dinamika kawasan itu nyaris tidak lagi bisa dipercaya. Bagaimanapun, "kaum pasca-kolonialis" mengklaim bahwa menuding budaya rejional sebagai dasar dinamika rejional sama dengan "mengecam korban" itu sendiri. "Kita di Barat, tidak seperti masyarakat Timur Tengah, mencintai "para korban." Tetapi bagaimana persoalannya jika masyarakat Timur Tengah sendiri justru adalah korban dari keterbatasan serta kekurangan budaya mereka sendiri?
Philip Carl Salzmanadalah Professor Anthropology di Universitas McGill, Kanada.
[1] Philip Carl Salzman, Black Tents of Baluchistan, Washington, DC: Smithsonian Institution Press, 2000.
[2] Philip Carl Salzman, Culture and Conflict in the Middle East, Amherst, NY: Humanity Books, 2008.
[3] Frank Henderson Stewart, Honor, Chicago: University of Chicago Press, 1994.; Gideon M. Kressel, Ascendancy through Aggression, Wiesbaden: Harrassowitz, 1996.
[4] Dikutip dalam Barry Rubin, The Long War for Freedom: The Arab Struggle for Democracy in the Middle East (Hoboken, NY: Wiley, 2006), hal. 80-81.
[5] Ayaan Hirsi Ali, Infidel, NY: Free Press, 2007, hal. 47.