Akhir-akhir ini, kaum "feminis" Muslim Barat seperti Linda Sarsour atau Yasmin Abdel-Magied mengklaim bahwa Islam merupakan "agama kaum feminis" yang menghormati hak-hak wanita. "Islam bagi saya," kata Abdel-Magied, seorang pengarang Australia kelahiran Sudan, "adalah agama paling feminis."
Dengan mengklaim bahwa Islam itu "feminis," para penganjur yang menunjuk diri sendiri itu tampaknya berupaya meyakinkan orang lain bahwa Islam selaras dengan modernisasi, hak asasi manusia serta nilai-nilai demokratis. Sedihnya, klam itu bohong, yang sayangnya diberitahukan untuk memudahkan terjadi asimilasi Islam ke dalam negara-negara Barat sekaligus untuk memperbaiki citra diri.
Agama Islam didukung oleh Sharia, seperangkat hukum relijius yang mengorganisasikan hidup semua kaum Muslim. Sharia---sebetulnya, dalam Bahasa Arab, berarti "Jalan" (The Path). Tetapi pada masa modern, diartikan sebagai hukum dan rekomendasi Allah---berbasiskan Al-Qur'an dan Hadith, yang merupakan perkataan dan perbuatan Nabi Muhamad yang dihormati banyak kaum Muslim sebagai "manusia sempurna."
Di bawah Hukum Shariah, wanita Muslim bagaimanapun, menikmati hak yang lebih sedikit dibanding laki-laki. Dalam urusan warisan misalnya, "Laki-laki mendapatkan jatah sama dengan jatah untuk dua perempuan." (Al-Qur'an 4:11). Hukum ini diterapkan bahkan di negara-negara seperti Tunisia atau Aljazair, di mana sistem hukum tidak berbasiskan pada Hukum Shariah. Akibatnya, wanita Muslim biasanya mendapatkan uang sedikit lebih kurang dibanding laki-laki, suatu ketidakadilan yang praktis memaksa mereka, secara ekonomis, tetap tunduk pada laki-laki. Itu juga situasi yang dibangun sehingga menjadi alasan mengapa hukum itu tidak pernah dicabut oleh parlemen negara.
"Tradisi" lain yang dilanggengkan oleh Shariah adalah poligami; membiarkan laki-laki Muslim untuk memiliki hingga empat isteri:
"Dan jika kalian takut kalian tidak mampu bertindak tepat terhadap para gadis yatim piatu, maka nikahilah wanita (lain) pilihanmu, dua atau tiga atau empat..." AlQur'an (4:3).
Negara-negara seperti Mesir, Yordania, Maroko, dengan dalih "mempraktekan Hukum Shariah telah mengesahkan supaya kaum wanita takluk --- dan karena itu bahkan semakin jauh mengikat.
Selain itu, pria dan wanita sejak usia dini, diindoktrinasi oleh masyarakat yang didominasi oleh laki-laki untuk berpikir bahwa tetap membiarkan diri ditaklukan adalah bagian dari terpenuhnya tugas seorang wanita terhadap suami dan agamanya.
Wanita dalam Islam kerap dianggap barang milik laki-laki --- di sini untuk memuaskan serta menyenangkan mereka kapan pun mereka inginkan:
"Isteri-isterimu adalah tempat untuk menaburkan benihmu, jadi datanglah ke tempatmu untuk mencangkul, kapanpun kalian inginkan dan usahakan [kebenaran] untuk dirimu sendiri." (Al Qur'an 2:223).
Konsep wanita sebagai obyek berahi kerapkali mengarah kepada hasil yang rumit:
"Mempercantik diri bagi orang adalah cinta terhadap apa yang mereka berahikan --- dan bagi wanita dan anak-anak laki-laki, kumpulkan sejumlah emas perak, kuda-kuda terbaik dan ternak kemudian bajaklah tanah. Itulah kenikmatan hidup duniawi, tetapi Allah miliki bersamaNya hasil yang terbaik." (Al-Qur'an 3:14).
Dari inilah, "Jihad al-Nikah" Jihad seksual muncul. "Nikah, dalam Bahasa Arab sebenarnya punya banyak arti, yang mencakup perkawinan sementara serta menawarkan diri sendiri sebagai "penghibur" bagi para pejuang Muslim di medan perang. Para wanita muda yang direkrut ISIS untuk "Jihad al-Nikah" pada dasarnya adalah "mainan seks", gundik yang berusaha menyenangkan hati para teroris selama beberapa jam.
Kemunduran lainnya adalah bahwa kaum wanita Muslim sebetulnya diperintah untuk taat terhadap suami-suami mereka, yang dianggap lebih unggul dari mereka: "Tetapi laki-laki mempunyai derajat yang lebih daripada meeka [dalam tanggung jawab dan otoritas]" (Al-Qur'an 2:228).
Buku 48 Hadits 826 Sahih al-Bukhari mengatakan bahwa:
"Abu Said Al-Khudri berkisah:
"Nabi berfirman, "Bukankah kesaksian seorang wanita itu sama dengan separuh kesaksian seorang laki-laki?" Para wanita itu menjawab, "Ya." Dia bersabda, "Ini karena kurangnya otak seorang wanita."
" Abu Said Al-Khudri berkisah:
"Pernah Rasul Allah keluar menuju Mushola (untuk memimpin sholat) Idul Adha atau Idul Fithri. Dia melewati sejumlah wanita lalu mengatakan kepada mereka, "Oh para wanita! Berikanlah sedekahmu, karena saya sudah melihat bahwa mayoritas penghuni api Neraka adalah kalian (para wanita)." Para wanita itu lalu bertanya, "Mengapa demikian, Oh Rasul Allah?" Beliau menjawab, "Kalian kerap mengutuk dan tidak berterimakasih kepada para suami kalian. Tidak pernah saya lihat kurangnya pengetahuan agama seseorang dibandingkan dengan kalian. Laki-laki yang hati-hati dan peka bisa saja tersesat karena beberapa dari kalian. " Para wanita pun bertanya, "Oh Rasul Allah! Apakah yang kurang dari ilmu dan agama kami?" Beliau menjawab, "Bukankah bukti dari dua wanita itu sama dengan kesaksikan seorang laki-laki?" Mereka menjawabnya menegaskan. Beliau menjawab, "Inilah kurangnya pengetahuannya. Bukankah benar bahwa seorang wanita tidak bisa sholat atau puasa selama dia menstruasi?" Para wanita itu menjawab menegaskan pernyataannya. Beliau pun menjawab, "Inilah kekurangannya dalam bidang agama."
Jika wanita berusaha melawan, mereka dibiarkan untuk diperlakukan secara kejam oleh laki-laki, fisik maupun psikologis.
"Laki-laki bertanggung jawab atas wanita karena [hak] yang Allah berikan lebih tinggi kepada suatu kaum daripada yang lainnya dan apa yang mereka belanjakan [untuk memelihara] kekayaan mereka. Dengan demikian, wanita yang berbudi tulus patuh, memimpin [ketika suami tidak ada] apa yang bakal Allah minta mereka pimpin. Tetapi kepada orang-orang [para wanita] yang kalian takut karena bersikap sombong---maka [pertama-tama] nasehatilah mereka; [kemudian jika mereka ngotot], tinggalkan mereka di tempat tidur; dan [akhirnya] pukullah mereka." (Al-Qur'an 4:34)
Ini sekedar beberapa cara wanita diarahkan untuk tetap bertahan, patuh dan menempatkan diri (resigned) dibawah kendali laki-laki. Banyak lelaki Muslim memperlakukan wanita mereka seolah-olah budak, gundik dan kerapkali bahkan obyek yang seolah-seolah bukan manusia yang punya hak.
Wanita juga kerapkali dianggap begitu saja sebagai setan---digunakan sebagai metafora untuk situasi-situasi yang tidak menyenangkan: "Memang, orang-orang yang tidak percaya kepada Hidup Sesudah Mati memberi nama wanita pada para malaekat. (Al-Qur'an 53:27).
Wanita kerap dipersepsi oleh banyak laki-laki Muslim sebagai mahluk licik yang memanfaatkan kecerdikan dan kelicikannya supaya bisa mengimbangi kelemahan fisik mereka. Laki-laki tampaknya tidak bertanggung jawab terhadap tindakan mereka.
Meski tidak tegas dinyatakan, laki-laki Muslim, dengan cara ini, tampaknya mengecam wanita karena kebutuhan seksual mereka, ketika memaksa mereka memakai hijab dan niqab. Dengan memakai hijab dan niqab, mereka tidak bakal menggoda laki-laki dengan tubuh mereka atau membangkitkan nafsu seksual para laki-laki.
Meski tidak dinyatakan secara tegas, laki-laki Muslim, dengan cara ini, mengecam wanita karena kebutuhan seksual mereka, ketika memaksa mereka memakai hijab dan niqab. Dengan memakai hijab dan niqab, mereka tidak bisa lagi menggoda laki-laki dengan tubuh mereka atau membangkitkan nafsu seksual laki-laki. (Photo oleh Peter Macdiarmid/Getty Images) |
Hasil yang sangat bertentangan diperlihatkan oleh sebuah kajian yang dipimpin oleh Gallup serta Yayasan "Coexistence[1]" di dua belas negara Muslim [2] yang dimaksudkan supaya bisa melihat bagaimana cara meningkatkan hubungan dengan negara-negara Barat sekaligus memerangi ide-ide yang selama ini diterima. Kajian untuk memperlihatkan bahwa berbeda dari apa yang dunia Barat pikirkan, banyak wanita Muslim yang hidup di bawah Hukum Shariah tampaknya tidak merasa tertindas.
Mereka diberitahu bahwa emansipasi dan kesetaraan gender yang berkembang di kalangan masyarakat Barat berarti menolak nilai-nilai dasar seperti keluarga serta keluhuran martabat wanita. Banyak wanita Muslim, karena itu merasa diri lebih unggul dibandingkan wanita Barat karena apa yang masyarakat Barat anggap sebagai "penindasan" justru bagi para wanita Muslim ini dipandang sebagai perlindungan terhadap upaya untuk menyimpang dari "jalan yang benar" (the right path). Para wanita ini percaya bahwa mereka dianggap lebih berani dan lebih bernilai oleh laki-laki yang menindas mereka. Banyak dari mereka bahkan yakin bahwa pingitan paksa itu demi kebaikan mereka sendiri. Berada di "jalan lurus" bagaimanapun, berarti, bertahan untuk tetap takluk kepada laki-laki serta otoritas mereka. Yang menyedihkan, bertahan untuk tetap takluk berarti mengalami kerusakan moral.
Baru-baru ini, Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi mengumumkan niatnya untuk menetapkan adanya perlakuan yang sama dan sederajat dalam persoalan warisan bagi wania Tunisia sekaligus menghapuskan aturan yang melarang mereka menikah laki-laki agama-agama lain. Bukannya menyambut gembira, keputusan itu justru membangkitkan suasana heboh di negeri itu. Mereka benar-benar menentang aturan itu, khususnya para mereka. Mereka malah mengatakan ingin mengikuti perintah Allah hingga ke huruf-hurufnya.
Pengesahan aturan itu memunculkan masalah jika negara-negara seperti Tunisia ingin diperintah dengan hukum sipil atau hukum agama.
Pada 28 Juli lalu, Tunisia mengesahkan undang-undang perlindungan wanita terhadap perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga --- tetapi sayangnya keputusan itu tidak membuat ketentuan-ketentuan untuk menyediakan dana secara tepat bagi perlindungan sekaligus untuk membantu para wanita.
Banyak wanita Muslim menganggap mengikuti prinsip dan nilai Baratyang bertentangan dengan nilai-nilai Islam sebagai tidak bermoral. Nilai-nilai Barat seperti kesetaraan gender, emansipasi wanita serta sekularisme kerapkalii langsung bertabrakan dengan nilai-nilai Islam di mana laki-laki dianggap lebih unggul daripada wanita yang juga mendikte bahwa Islam harus hidup sebagai satu-satunya agama. Para wanita, karena itu, kerapkali lebih suka tetap bertahan dengan prinsip-prinsip Islam yang sudah mereka ketahui itu.
Ada alasan penting lain mengapa wanita Muslim menerima diri untuk tetap takluk kepada laki-laki. Yaitu bahwa menurut Hukum Shariah, laki-lakilah yang seharusnya keluar rumah untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan sementara wanita harus tinggal di rumah menjaga keluarga melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Banyak wanita tampaknya senang dengan ide didukung oleh seorang suami tanpa harus mencari pekerjaan di luar rumah. Kini, sejumlah besar wanita muda bahkan tidak menyelesaikan sekolah, tetapi sebaliknya tinggal di rumah menunggu "pangeran yang penuh pesona" untuk dinikahi. Tampaknya mereka lebih suka menjadi "budak" dan "gundik" suami mereka daripada bekerja mendukung diri sendiri. Inilah yang mungkin saja kerapkali menjadi alasan utama mereka menolak nilai-nilai Barat seperti feminisme serta kesetaraan gender.
Dalam masyarakat Muslim yang didominasi oleh laki-laki, sejumlah laki-laki bahkan mengambil keuntungan dari situasi wanita tunggal yang kekurangan, untuk kemudian menyalahgunakan mereka. Hal itu terjadi karena mereka menganggap suami "benar-benar" melengkapi kehidupan seorang wanita. Inilah alasan mengapa beberapa wanita tidak berusaha mengajukan cerah dan tetap berada dalam hubungan yang tidak diinginkan karena suami mereka merepresentasikan perlindungan sosial bagi mereka.
Dengan demikian, hukum Shariah mendidik wanita bukan saja untuk mundur, tetapi juga untuk menerima ketidakadilan dan menganggapnya sebagai hal yang wajar---jika tidak dapat dikatakan berharga. Mereka, dengan demikian, bersama laki-laki dan agama, memberikan sumbangan yang signifikan untuk mengunci mereka sendiri dalam penjara seumur hidup.
Penindasan wanita memiliki sejarah panjang yang tidak diragukan lagi jauh sebelum agama-agama modern datang. Karena laki-laki secara fisik lebih kuat, maka wanita membutuhkan mereka sebagai perlindungan. Para laki-laki mungkin memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menindas wanita yang kemudian menerima dugaan kompleks rendah mereka terhadap laki-laki. Sebuah budaya yang sepenuhnya didominasi laki-laki pun kemudian dibangun secara progressif, sehingga jauh lebih mudah lagi bagi laki-laki untuk semakin menguasai wanita. Peluang dan akses terhadap pendidikan yang tidak sama hanya memperparah hubungan yang dominan ini karena dia menyebabkan laki-laki lebih mampu mandiri secara ekonomi. Dengan cara ini, wanita secara finansial bergantung kepada laki-laki yang memegang nasib para wanira mereka di tangan mereka. Pengaturan itu, berbarengan dengan pemaksaan oleh agama, menyebabkan seksisme terlihat lugu karena ditempatkan dalam kerangka kerja agama.
Kesimpulannya: tolong dicatat bahwa pemikiran-pemikiran ini bukan kritik terhadap Islam. Saya tidak berjuang melawan Islam atau agama lain apapun. Saya Muslim yang beriman, dengan sedikit sikap ingin tahu yang senantiasa bertanya.
Maryam Assaf adalah seroang wanita Muslim yang masih muda yang berbasis di Timur Tengah.
[1] Seorang insinyiur Arab Saudi "Mohamed Abdellatif" mendirikan "Coexistence" sebagai sebuah yayasan amal yang bertujuan mempromosikan pemahaman antaragama-agama Abrahamik lewat dialog, belajar dan kajian serta penelitian.
[2] Mesir, Turki, Libanon, Yordania, Arab Saudi, Irak, Kuwati, UNi Emirat Arab, Iran, Pakistan, Bangladesh dan Indonesia.