Seberapa tipiskah permintaan maaf dapat digunakan setiap kali aksi kejam keji dilakukan atas nama Islam?
Ada 13 orang tewas dan lebih banyak lagi orang terluka dalam sebuah serangan terhadap sebuah kendaraan di Barselona, Spanyol, pekan ini. Selain itu, Juni lalu, para pria pelaku penikaman meneriakan, "Ini demi Allah!" di London Brigde serta di Pasar Borough. Dalam dua tragedi berdarah ini, persoalan yang sedikit sekali para korban pikirkan adalah wejangan para elit Barat. Yaitu bahwa aksi kekejaman yang paling akhir itu, "tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam."
Perdana Menteri Inggris, Theresa May pernah mengatakan, "Inilah waktunya untuk mengatakan cukup itu cukup." Karena itu dia berjanji untuk mempelajari kembali strategi kontra-terorisme negeri yang dipimpinnya.
Bagaimanapun, akibat tidak adanya pandangan yang jujur dan mendalam terhadap akar penyebab terorisme ini, entah suci atau tidak dan karena tidak adanya pencarian yang serius oleh kaum Muslim sendiri seputar dasar agama mereka yang memunculkan aksi kejam semacam ini, upaya itu bakal tidak pernah "cukup."
![]() Pada 4 Juni 2017 lalu, Perdana Menteri Inggris, Theresa May mengatakan, "Ini waktunya untuk mengatakan cukup itu cukup." Dia lalu berjanji melakukan tinjauan menyeluruh terhadap strategi kontraterorisme negerinya. Bagaimanapun, akibat tidak adanya tinjauan yang jujur terhadap akar penyebab terorisme ini serta pencarian jiwa yang menyakitkan oleh kaum Muslim terhadap landasan agama mereka yang memunculkan aksi kejam keji itu, maka tidak bakal bisa "cukup." (Foto oleh Leon Neal/Getty Images). |
Tidak perlu orang meninjau kembali berabad-abad penaklukan yang kaum Muslim lancarkan atas bekas dunia Kristen kuno supaya bisa memahami bahwa aksi kejam ini jelas menandai era awal kolonial Eropa dan terbentuknya negara modern Israel serta isu perubahan iklim. Pada abad pertengahan sudah ada razia bajak laut Barbary, penindasan oleh Kekaisaran Ottoman terhadap masyarakat jajahannya di Eropa Tengah dan Timur serta pasar perbudakan Kaffa di Tatar, Krimea yang dikuasai kaum Muslim.
Baru saja dua pekan silam, 29 umat Kristen Koptik Mesir dibunuh. Dibunuh karena mereka menolak mengatakan, "Tidak ada Allah selain Allah dan Muhamad adalah nabinya" ketika sedang dalam perjalanan menuju sebuah biara Mesir, 26 Mei 2017 lalu. Terpisah, ada sejumlah umat Kristen yang belum dipastikan jumlahnya dibunuh dan dijadikan tawanan oleh sejumlah jihadi Arab Saudi, Pakistan, Chechen, Maroko dan jihadi setempat di Filipina selatan beberapa pekan silam. Selain itu, 90 orang terbunuh dalam sebuah serangan bomb di Kabul pada 31 Mei dan 26 orang tewas terbunuh di sebuah toko es krim di Baghdad selama Ramadan. Tidak satu pun pembantaian ini berhubungan dengan "perang yang dilancarkan oleh Presiden AS, George W. Bush" di Irak atau atas "larangan terhadap kaum Muslim" yang diusulkan oleh Presiden AS Donald J. Trump.
Negara-negara seperti Cina, Nigeria atau Kenya yang bukan Barat, bukan "imperialis" serta tidak ada alasan pemaaf apapun yang bisa dibuat oleh kaum radikal Muslim, masih diserang secara mengerikan dengan aksi penikaman yang sama. Bulan demi bulan, tampaknya, nyaris tidak ada tempat di dunia yang tidak dilanda teror ala Islam. Pada Januari 2014 silam, ada aksi penculikan dan paksaan agar gadis-gadis Kristen Chibok masuk Islam oleh Boko Haram di Nigeria. Maret 2014, beberapa aksi penikaman di Stasiun Kereta Api Kunming, Cina, dilakukan oleh delapan teroris Gerakan Islam Turkestan Timur---para penyerang pria dan wanita menghunuskan pedang panjang kemudian menikam serta menggorok para penumpang. Mei 2014, terjadi spenembakan di Museum Yahudi di Brussels. Juni 2014, ada pembantaian terhadap 48 orang di Mpeketoni, Kenya. Daftar aksi kejahatan bisa terus saja bertambah hanya untuk paruh pertama tahun 2014.
Ada pembantaian di London's Parliament Square; Lapangan Manchester; Stasiun Kereta Api St. Petersburg; Stadiun Bataclan serta stadion olahraga Paris; tiga aksi pemboman yang menyasar para pelancong di Brussels; dan akhirnya serangan dengan menabrakan truk pada Hari Raya Natal di bazaar pesta di Berlin, untuk menyebutkan beberapa insiden lebih lanjut. Semua itu benar-benar tidak ada hubungan dengan kemarahan masyarakat Kongol sejak warisan Raja Leopold yang sulit pada masa lampau.
Lebih dari itu, berjilid-jilid teks Islam yang dipuja-puji menjabarkan secara rinci dasar pemikiran untuk melakukan aksi kejam keji serta melakukan penindasan terhadap orang-orang tak beriman serta orang-orang yang dianggap bidaah. Landasan agama yang diandaikan benar itu --- dihidupkan setiap hari di berbagai madrasah serta masjid di seluruh penjuru dunia menunggu para teroris terlatih yang taat sesuai ajaran agama melakukan aksinya --- dan secara kekanak-kanakan diabaikan oleh masyarakat Barat yang liberal sebagai sesuatu yang tidak penting.
Sementara itu, pria, wanita dan anak-anak ditawarkan sebagai korban manusia di atas altar sinisme politik. Dengan tanpa ragu, keadilan ilahi bukan saja menghakimi para pembunuh dan fatwa yang kerapkali haus darah, tetapi juga orang-orang yang mendesak ngotot, yang menentang semua bukti, bahwa fatwa itu tidak ada hubungannya dengan kematian-kematian tersebut.
Langkah pertama menuju pemecahan masalah adalah dengan mempertanyakan pengetahuan yang tak kenal lelah disajikan oleh kaum terpelajar media di Barat kemudian dikukuhkan oleh banyak juga kaum Muslim yang diandaikan "moderat" di dalam negeri maupun di luar negeri. Yang kurang hanyalah upaya untuk melihat bukti justifikasi teologis yang sangat besar untuk melakukan terror ala Islam.
Apakah pernyataan para politisi era 1990-an (misalnya pada masa komplotan Sheik Omar Abdul-Rahman beraksi menghantam Kantor Pusat Perdagangan Dunia) berubah dari pernyataan-pernyataan yang diucapkan ketika tragedi berdarah 11 September 2001 terjadi? Ataukah, sekali lagi berbeda dari pernyataan yang berulang-ulang diucapkan menyusul serangan di San Bernardino pada 2015? Apakah para politisi itu memberikan kata-kata hampa mereka bahwa "Islam adalah agama damai" karena kepentingan politik atau karena kecilnya pengetahuan mereka seputar ideologi Islam? Apakah mereka benar-benar tahu lebih banyak soal Islam dibandingkan dengan banyak ulama Islam terpelajar termasuk Ibnu Taymiyah, atau hadith asli (yang berisi tindakan dan perkataan Nabi Muhamad?) Mengenai hal ini, seseorang mengatakan:
"Rasul Allah mengatakan, "Saya diutus dengan pesan terpendek namun dengan pengertian terpanjang dan saya menang dengan menggunakan terror." (Sahih Al-Bukhari 122)
Bagaimana orang memahami ayat-ayat Al-Qur'an seperti;
"Akan saya timpakan rasa takut (terror) dalam hati Kaum Tidak Beriman. Hantamkanlah pedangmu ke leher mereka dan potonglah semua ujung jari mereka. Ini karena mereka menentang melawan Allah dan UtusanNya. Allah keras menjatuhkan hukuman atas mereka yang menentang melawan Allah dan Utusannya,." (8:12-13)?
Tatkala dikatakan Islam tidak ada hubungannya dengan ayat-ayat seperti ini, maka dia hendak menyenangkan hati kaum Muslim, memberikan pelipur lara bagi para korban terror Islami atau membantu memberikan pelipur lara bagi komunitas non-Muslim?Jika yang pertama, ya, seperti diajarkan oleh sejarah, upaya untuk memberikan pelipur lara benar-benar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, menyakitkan untuk mengandaikan bahwa kaum Muslim, semua kaum Muslim itu bertanggung jawab atas sebuah syahadat iman yang menurut pemahaman mereka sendiri sangat beragam dari satu orang dengan orang lain. Jika sikap menolak dimaksudkan untuk memberikan pelipur lara bagi para korban kekerasan maka tentu saja tidak berhasil. Dan terkait upaya untuk menyenangkan hati komunitas non-Muslim, maka apa yang disajikan seharusnya berbasiskan apa yang benar-benar terlihat. Haruskah argumen-argumen itu pertama-tama tidaklah dimaksudkan untuk meyakinkan berbagai pihak yang bersedia membunuh dan terbunuh atas nama Islam, ketimbang kepada orang-orang yang ingin keluar untuk bersenang-senang Sabtu sore?
Akankah tiba waktunya kala para pembaru di dunia Islam punya suara yang lebih keras ketika berupaya menyelidiki Islam---terlepas dari bahaya nyata bagi hidup mereka --- dibanding dengan para elit Barat---yang sekedar takut dituduh secara salah sebagai "fobia terhadap Islam"? Mengapa harus gunakan "fobia terhadap Islam" jika ingin membela diri sendiri?
Selama hampir dua tahun, refomis muda Mesir, Islam el-Beheiry menyerukan agar seluruh kompilasi hadits yang berusia satu millennium itu dibongkar total. Seruan itu disampaikannya lewat program TV yang ditayangkan pada jam tayangan utama. Dia menegaskan, banyak hadit tidak cocok dengan modernisasi dan pemahaman yang terbaik seputar hal-hal yang ilahi dan kenabian (prophethood):
"Sedikit sekali yang baik dari tradisi ini di tengah banyak sekali hal yang jahat, paling sedikit yang sangat ngotot dipertahankan oleh Empat Aliran Islam Sunni bahwa umat Kristen bisa dibunuh dan tanpa pembunuhnya mendapatkan hukuman. Hidup seorang Muslim (dengan demikian) "lebih unggul" dibanding kaum non-Muslim. Itulah Ijmaa' (konsensus jurisprudensi).
Beheiry dijatuhi hukuman pada Mei 2015 lalu hingga lima tahun penjara melakukan kerja kasar karena "menghina agama" ("defamation of religion") --- berkat undang-undang penodaan agama (blasphemy law) Mesir. Hukuman tersebut dikurangi pada Desember 2015 menjadi satu tahun. Setelah menjalani sebagian besar masa hukumannya, dia dibebaskan karena diampuni oleh presiden.
Meski demikian, selama Ramadhan 2017, Beheiry kembali ke layar kaca dengan sebuah program yang disebutkannya "The Map" (Peta). Lewat acara itu dia berupaya membangun cara ilmiah untuk membenarkan apa yang dia pikirkan sebagai persoalan ilahi dan yang bukan dalam begitu banyak kepustakaan islam.
Presiden Mesir, Abdul Fatah al-Sisi, jenderal Angkatan Darat Mesir yang naik ke puncak kekuasaan pada tahun 2014 lalu menyusul protes jalanan menentang kekuasan Persaudaraan Muslim yang seumur jagung pernah mengatakan, tidak mungkin lagi Dunia Muslim "memusuhi seluruh dunia."
Kini, di Eropa, sejumlah kalangan dengan tepat mengajukan pertanyaan: Jika ada satu apel busuk dalam seribu apel, mengapa harus kita menganggap semuanya busuk? Orang juga perlu bertanya: Jika ada satu dari seribu apel itu meledak di halaman saya, betapa banyak lagi insiden kejam yang bakal Eropa dapatkan setelah membawa masuk lebih dari satu gerobak penuh jutaan apel? Ataukah jika persoalannya tidak sepenuhnya dengan buahnya (apel) tetapi dengan pohon apel itu sendiri?
Mengapa, dambaan untuk mempertahankan budaya seseorang dianggap rasis? Saya tidak percaya bahwa saya lebih baik karena saya Muslim atau bukan. Apakah "membenci orang asing" (xenophobic) jika mengajukan pertanyaan seperti itu ketika kekerasan terus saja semakin dekat ke rumah? Mengapa harus dianggap "takut terhadap Islam" (Islamophobic) jika ingin membela diri anda sendiri?
Saya tidak takut terhadap kaum Muslim, tetapi takut bahwa budaya yang toleran tengah tergantikan oleh budaya yang tidak toleran, misoginik, anti-Semit dan merasa diri lebih unggul---bahkan didukung secara setengah sadar, oleh banyak dunia Islam masa kini. Itulah sebuah dunia yang tengah diyakini oleh para cendekiawan bahwa sikap tidak toleran, misoginik, anti-Semit dan berbagai manifestasi merasa diri unggul, pada semua jaman, memang, menjadi semangat terbaik dalam Islam?
Apakah dapat dikatakan "benci terhadap orang asing" jika orang marah terhadap aksi-aksi kejam yang dilancarkan setiap hari atau marah kepada para politisi yang menipu soal apa itu Islam dan bukan sekedar menyebutkan nama penantang mereka sementara mereka gagal melakukan apapun untuk mencegah aksi-aksi kejam itu?
Haruskah pengadilan dan parlemen Eropa mengkriminaliasi kebebasan berbicara yang mengkritik pemahaman atas Islam ini di antara begitu banyak ahli hukum Islam, tatkala para ahli hukum itu berdiri di baris depan kumpulan massa pelaku bom bunuh diri yang menyasar warga Barat?
Haruskah berbagai pihak yang mengajukan pertanyaan tentang terror Islam diboikot oleh media arus utama serta akademia, sementara berbagai institusi itu sendiri tidak memberikan jawaban seputar jihadi tentang "kebencian suci" di tengah-tengah masyarakat kita?
Tidak saya dambakan dunia untuk beralih melawan kaum Muslim. Hanya saya inginkan pemikiran-pemikiran bijak (sage) itu dihentikan kemudian berpikir jika semua ini benar-benar "tidak ada hubungannya dengan Islam." Dapatkah kita tidak mengatakan, "berhentilah membenarkan para pembunuh atas nama agamamu?"
Dapatkah kita tidak sekedar mengatakan bahwa syahadat iman ini tidak bakal diijinkan di sini, di Barat, tidak ditutup-tutupi, dibumbui dengan hal-hal yang indah menyilaukan atau dihilangkan oleh masyarakat Barat lewat perpaduan budaya yang mengerikan kemudian membelokkan kesadaran terhadap rasa bersalah? Bisakah kita untuk tidak menolak jihad, tetapi menerima kemurtadan dan mampu untuk secara bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan di tempat umum kita, dalam pertunjukan televisi, di sekolah dan di jalan-jalan kita?
Saher Fares adalah ahli Bahasa Arab dan peneliti dari Timur Tengah.