PRESIDEN AMERIKA DONALD TRUMP J.--- telah berhasil menetapkan persoalan jihad sebagai persoalan Islam politis. Akan tetapi, sulit menyingkirkan produk cacat sebuah pabrik tanpa menutup pabriknya jika tidak ingin produk cacat tersebut muncul lagi.
Ini tidak berarti apa yang ingin Trump lakukan itu tidak penting. Sebaliknya, kita membutuhkan dia, setelah sebagian besar politikus Barat tidak tegas berhadapan dengan terorisme Islam, kalau memang berusaha menghadapinya. Terkadang mereka bahkan bekerja sama dengan organisasi teroris ini, mengundang anggota mereka ke Gedung Putih; buka puasa bersama selama Ramadan dan merangkul apa yang keliru mereka sebut sebagai "Islam moderat" – khususnya Ikhwan Muslim, inkubator yang menghasilkan sebagian besar organisasi teroris. Bukan merangkul "Islam moderat" yang sesungguhnya berjuang untuk didengar di atas benturan "pengaruh," infiltrasi dan petro-dollar.
Sejauh ini kita bisa mengatakan "resep Trump" menghadapi Islam radikal sudah pernah dicoba sebelumnya namun gagal. Rezim diktator dan militer di Timur Tengah seperti Presiden Mesir Nasser, Sadat dan Mubarak dan sekarang al-Sisi telah menghadapi Islam politis yang radikal. Begitu pula Rusia, Saddam di Iraq, Gadaffi di Libya, Bourguiba di Tunisia, dan lain-lain.
Mungkin model gagal yang paling menyedihkan adalah Turki. Mustafa Kemal Atatürk membangun negara diktator di atas reruntuhan Kekaisaran Ottoman. Ia dengan tegas menghadapi semua bentuk Islam politis, menghancurkan sayap militer angkatan bersenjata yang bermimpi mengembalikan Kekaisaran tersebut. Kediktatoran yang dibangun Atatürk dilindungi dengan kekuatan angkatan bersenjata yang besar, namun tidak menyimpang dari kerangka konstitusional dan hukum, untuk menghalangi kaum Islamis yang mungkin ingin mengubah struktur modern pemerintahannya. Juga berarti hendak menghentikan semua gerakan menuju kekuasaan Islam yang mungkin ingin mengubah gagasan–gagasan yang relatif terbuka dan pro-Barat dari Republik Kemalis.
Atatürk mendominasi institusi keagamaan dan memaksa mereka bekerja untuknya; mereka memberinya panggung (platform) Islam yang sah. Ia ingin budaya Islam berkembang, namun terkontrol dibawah kuasanya.
Sayangnya, model ini juga gagal. Presien Turki yang sekarang, Recep Tayyip Erdogan, mengadili para pemimpin angkatan bersenjata dengan kesaksian palsu; menurunkan usia pensiun para hakim untuk memaksa mereka keluar; memecat para pendidik dan akhirnya memenjarakan jurnalis sebagai cara untuk membangun negara Islamnya secara bertahap.
Banyak politikus Barat bekerja sama dengan kaum Islamis dan organisasi Islami. (Sumber gambar: suntingan video RT). |
Dalam semua negara mayoritas Islam, khususnya di Timur Tengah, jin teroris Islam muncul dari bawah debu, membangun negara Islam sembari mengancam Barat –menggunakan operasi teroris dan aksi dari dalam yang dilakukan secara sembunyi–sembunyi, seolah–olah penuh damai, seperti yang dilakukan Ikhwanul Muslim.
Sebagian besar yang berjuang memerangi terorisme Islam memfokuskan usaha mereka untuk memburu produk berbahaya yang dihasilkan pabrik ideologi Islam, seperti Anwar al-Awlaki atau Osama bin Laden. Tindakan ini penting, tapi tidak ada seorangpun mencoba menutup dan menghancurkan pabrik tersebut.
Mungkin kita ingat bahwa negara Barat jarang menggunakan senjata dalam perjuangan melawan ideologi Komunisme. Bagian besar dari perjuangannya adalah melawan ideologi itu sendiri: mendorong dan mendukung pemberontaknya serta menyebarluaskan ide untuk melawan ide yang diekspor oleh Komunisme. Fokus juga diberikan pada kelemahan ideologi Komunis, seperti persoalan penindasan, tirani dan pelanggaran hak asasi manusia. Tiba-tiba, pada suatu hari dunia terbangun mendapati Kerajaan Soviet sudah runtuh dari dalam.
Kita membutuhkan energi positif Barat untuk membangun kembali peradaban setelah dilemahkan oleh energi destruktif. Dan kita perlu membongkar kuatnya ideologi Islam yang menghasilkan terorisme.
Penting dipahami bahwa Islam adalah agama yang mempunyai struktur dan dalam struktur ini, kekuatan politik memerintah, mengendalikan serta menyebarkan kekuatan pasukan bersenjata. Awalnya Nabi Muhammad mengumumkan ajarannya secara damai selama hampir 13 tahun di Mekkah, ketika ayat Quran mengajarkan toleransi, kebebasan beragama dan nilai kemanusiaan lainnya. Namun kemudian Nabi Muhammad dan beberapa rekannya pindah ke kota al-Madina dan mengubah agama menjadi sumber politis yang bertujuan memperluas dan mempertahankan ajaran itu sendiri. Ajaran tersebut menjadi bagian dari perlawanan militer dan politis melawan musuhnya di dalam dan luar al-Madina, terutama dengan suku Quraish.
Pada masa itu, Muhammad mendirikan apa yang dapat kita sebut sebagai Islam politis. Islam yang dilandasi ajaran baru: bahwa Islam tidak lagi tertarik dengan hubungan antara individu dengan Tuhannya, begitu pula hubungan baik dengan sesamanya, terlepas dari apakah mereka setuju dengan keyakinan religiusnya atau tidak.
Ia mengubah agama ini menjadi organisasi politik yang berkuasa, berusaha mengendalikan kekuasaan---secara relijius, sosial dan ekonomi---baik kaum Muslim maupun non-Muslim. Agama ini dibangun dari budaya suku, menyebarluaskan kekuatan senjata dan meningkatkan jumlah pemeluknya serta wilayah yang dikuasainya.
Islam menjadi agama yang menuntut loyalitas – artinya setia kepada gubernur dan sebaliknya.
Struktur ini berlanjut setelah Nabi meninggal dunia. Banyak yang menyingkirkan warga suku Quraish, penduduk Turki paling terkemuka, Al-Othmanin dan Kekaisaran Ottoman yang memperluas wilayah jajahannya lewat kekuatan senjata hingga ke Persia; menyapu bersih Kekaisaran Kristen Byzantium; menaklukkan Afrika Utara, Timur Tengah, Yunani, Spanyol, dan Eropa Timur dengan paksa.
Dalam kurun sejarah panjang ini terbentuklah budaya Islam yang kini berkembang di antara jutaan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia. Dibangun di atas ayat-ayat suci religius; ayat Quran dan hadiths (biografi/riwayat hidup Nabi). Selain itu masih ditambah lagi dengan jurisprudensi agama yang terbentuk selama masa pasang surut kerajaan yang melanda seluruh dunia. Kondisi ini menyedihkan, karena masyarakat Muslim terpenjara di dalamnya. Beberapa dari mereka menjadi prajurit potensial untuk organisasi teroris dan semua bentuk Islam politik.
Budaya ini, yang lazim di Barat, didukung oleh dana Arab Saudi dan Negara Teluk, terutama Qatar. Seringkali juga dia didukung oleh dana dari Barat sendiri –bersama dengan dukungan dana banyak politikus yang opportunis.
Apa solusinya? Dari dalam, kekuatan politik Islam mengendalikan dunia Islam, baik secara militer maupun dalam bentuk diktator sehari-hari.
Reformasi agama tidak mendapatkan dukungan, seperti yang terjadi di Barat. Apa yang perlu Trump lakukan? Perlu dihentikan kerja sama dalam bentuk apapun dengan berbagai bentuk Islam politik dan tentu saja dengan organisasi teroris.
Selain itu, berusaha membongkar ideologi yang menghasilkan terorisme Islam dengan mendukung disintegrasi ideologi terorisme melalui hukum jurisprudensi Islam, sekolah Islam, masjid, buku, stasiun radio dan televisi. Menghentikan pendanaan dari luar negeri dan sumber dana pribadi dari Saudi dan Institusi Islam Teluk di Barat. Dan dengan demikian memberikan kepada masyarakat Muslim apa hal yang wajar di Barat. Kita perlu menyebarkan pilihan ajaran Islam yang lain, yang sepenuhnya bebas dari ideologi penjara teroris Islam serta mendorong mereka menjadi bagian dari pembangunan dan pengembangan peradaban manusia daripada menjadi penyebab kehancuran peradaban tersebut.
Saied Shoaaib adalah cendekiawan Muslim yang berbasis di Kanada. Dia bisa dihubungai pada: saiedshoaaib@gmail.com