"Perjuangan kita adalah Jihad dan ibadah wajib. Setiap ibadah wajib punya pahala 70 kali lebih banyak selama Ramadhan," kata Zabihullah Mujahid, Jurubicara Taliban, ketika menolak seruan yang dipimpin oleh PBB supaya pihaknya menghentikan permusuhan selama Ramadhan.
ISIS juga saja baru menyiarkan pesan melalui Youtube. Dengan mengutip Al-Quran, kelompok teroris itu menghimbau pendukungnya untuk menyerang "orang kafir... di rumah mereka, di pasar mereka, di jalanan dan komunitas mereka.
"lipatgandakanlah usahamu dan perkuatkanlah perjuanganmu...Jangan anggap remeh. Aksimu menyerang orang-orang yang dianggap tidak berdosa dan warga sipil sangat penting bagi kita, sangat efektif dan sangat kita sukai. Majulah dan smoga kalian memperoleh pahala atau mati sebagai syuhada dalam bulan Ramadhan."
Sebuah artikel dalam edisi Ramadhan Majalah Rumiyah milik ISIS memberitahu pembacanya supaya memanfaatkan bulan Ramadhan untuk "memaksimalkan keuntungan yang anda terima pada hari penghakiman."
Seruan ISIS untuk meningkatkan Jihad selama Ramadhan kini dilakukan setiap tahun. Tahun lalu, ada pesan suara dari Jurubicara ISIS saat itu, Abu Mohammad al-Adnani. Dia meminta semua pejuang Jihad untuk "bersiap-siaplah, bersiagalah ... untuk menjadikan bulan malapetaka bagi orang kafir di manapun...khususnya bagi para pejuang dan pendukung kalifah di Eropa dan Amerika". Pemerintah A.S lalu memperingatkan warganya di dalam dan luar negeri akan adanya peningkatan resiko serangan teroris:
"Menurut tradisi Islam, pengorbanan yang dilakukan selama Ramadhan dapat dianggap lebih bernilai daripada yang dilakukan pada waktu lain, sehingga panggilan untuk mati syahid selama Ramadhan dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang."
Tahun ini, Ramadhan dimulai Jumat 26 Mei 2017. Justru pada hari itulah para pejuang jihad menyerang sebuah bus yang penuh pepak dengan umat Kristen Koptik yang sedang dalam perjalanan menuju sebuah biara di Mesir dan membunuh 29 dari mereka. Sepuluh korbannya adalah anak-anak; yang satu hanya berumur dua tahun. Beberapa hari sebelumnya, pejuang jihad di Filipina memanaskan suasana Ramadhan dengan membunuh 14 warga Kristen dan melukai lebih dari 50 orang. Kelompok Muslim Abu Sayyaf, yang terkait dengan Al Qaeda, mengaku bertanggung jawab atas peristiwa ini. Pada hari kedua Ramadhan, 27 Mei, seorang pelaku bom bunuh diri Taliban membunuh 18 orang di Afghanistan, dua dari mereka adalah anak-anak.
Asap membumbung dari lokasi kerusuhan di Kota Marawi, Filipina selatan, 30 Mei lalu. Tentara Filipina melawan kelompok teroris Islam Abu Sayyaf di jalanan kota. Abu Sayyaf membunuh 14 umat Kristen dan melukai lebih dari 50 orang dalam serangan bom sejak Ramadhan yang dimulai 26 Mei. (Sumber gambar: Jez Aznar/Getty Images) |
Ramadhan 2016 paling berdarah selama beberapa tahun terakhir. Selama bulan suci itu, diperkirakan setidaknya 421 orang dibunuh dan 729 dilukai di hampir 15 negara. ISIS sendiri mengaku membunuh atau melukai lebih dari 5.000 orang, termasuk di dalamnya 49 orang yang dibunuh di klub malam di Orlando dan 300 yang dibunuh di Baghdad.
Tentu saja Ramadhan bukan hanya soal spiritualitas keagamaan dan ketaatan beribadah. Ia juga kelihatannya menjadi bulan jihad. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam sebuah suratkabar Mesir Al-Ahram, Juli 2012, Mufti Agung Mesir saat itu, Ali Gum'a menulis:
"[Sepanjang sejarah] peradaban Islam, Ramadhan bukan sekedar bulan penuh ibadah dan bertumbuh mendekatkan diri pada Allah Yang Mahakuasa. Ramadhan juga bulan aksi dan jihad yang dimaksudkan untuk menyebarkan agama nana gung ini... sepanjang sejarah [Muslim], Ramadhan telah menjadi bulan penaklukan yang besar-besaran, yang menjadi faktor penting dalam penyebaran Islam, [dengan] kebajikan dan toleransinya, di seluruh dunia..."
Gum'a kemudian menyebutkan sejumlah perang yang terjadi selama bulan Ramadhan; mulai dari Perang Badr pada 624 hingga Perang Yom Kippur pada 1973 yang dikenal di dunia Arab sebagai Perang Ramadhan.
Pada 2001, ulama sekaligus dosen Al-Azhar Mesir, Dr. Fuad Mukheimar menulis, "Puasa bagi negara ini [dengan sendirinya] menjadi pendidikan jihad dan selama negara ini terus berpuasa maka ia menjadi pejuang jihad."
Pada 2012, anggota Ikhwan Muslim, Hussein Shehata yang juga dosen Universitas Al-Azhar -- yang dianggap sebagai pusat pengajaran Islam Sunni paling maju di dunia -- menulis:
"Berpuasa [selama Ramadhan] adalah salah satu cara paling kuat untuk mendidik jiwa manusia untuk berjihad. Puasa mencakup usaha batin untuk bertindak berbeda dari apa yang selama ini diterima, dan untuk benar-benar mengabaikan hawa nafsu... puasa juga mengajarkan umat Muslim tentang kesabaran, ketabahan, daya tahan, dan pengorbanan, yang semuanya merupakan sifat yang dimiliki oleh pejuang jihad... Ramadhan adalah bulan kemenangan bagi mereka yang berjihad demi Allah. Ramadhan telah menyaksikan berbagai perang, penaklukan, dan kemenangan berikut: Perang akbar Badar [624 Masehi]... penaklukan Mekkah [630 Masehi]... Kami berseru kepada mereka yang berpuasa... untuk mengingat saudara mereka yang berjihad demi Allah: di Palestina, melawan kaum Yahudi, keturunan kera dan babi; di Irak, melawan warga Amerika; di Bosnia-Herzegovina, melawan tentara salib Serbia; di Chechnya, melawan warga Rusia; di Kashmir, melawan orang India penyembah berhala... dimanapun di [tanah] milik umat Islam, melawan mereka yang memerangi umat Muslim."
Pengarah Utama (General Guide?) Ihkwanul Muslimin, Muhammad Badi' menulis dalam website gerakan tersebut pada Agustus 2012:
"Allah Yang Mahakuasa menginginkan puasa [Ramadhan] bertepatan dengan perang, dengan demikian umat Muslim bakal menang dan membuat musuh mereka kalah telak... Allah tidak memerintahkan [puasa] Ramadhan agar [kita] duduk bermalas-malasan dan menghindari jihad, aksi, dan dakwah demi Allah... inilah bulan aksi dan gerakan, bulan penaklukan dan kemenangan --- bulan di mana sebagian besar kekalahan musuh negeri ini terjadi..."
Dalam sebuah gerakan yang belum pernah terjadi sebelumnya, setelah serangan atas umat Kristen Koptik, Mesir membatalkan perayaan tahunan yang menandai awal Ramadhan.
Sementara pejuang jihad melanjutkan perang dengan negara Barat selama Ramadhan, negara Barat justru menganggapnya sebagai hari libur keagamaan yang memiliki arti spiritual. Beberapa kalangan di Barat dengan semangat berupaya mengakomodasi bulan Ramadhan. Di Inggris misalnya, Asosiasi Pemimpin Sekolah dan Perguruan Tinggi (Association of School and College Leaders /ASCL), yang mewakili lebih dari 18,000 kepala sekolah dan pemimpin perguruan tinggi, menganjurkan sekolah-sekolah untuk mengakomodasi siswanya yang menjalankan puasa Ramadhan. Untuk itu; pedomannya diterbitkan dalam sebuah makalah yang ditulis oleh Anna Cole, seorang pakarpendidikan inklusi ASCL.
ASCL mendesak sekolah-sekolah untuk memindahkan jam-jam pelajaran yang sudah diubah lalu mempertimbangkan untuk mengatur kembali hari olah raga agar bisa mengakomodasi kebutuhan siswa Muslim yang berpuasa Ramadhan. ASCL juga mendesak agar sekolah-sekolah itu "menunjukkan kepekaannya" saat mengadakan perayaan kelulusan dan mengubah rencana pelajaran latihan fisik untuk memastikan aktivitasnya "tidak terlalu berat." Sekolah juga diminta menyediakan ruang sholat. Tahun lalu, upaya untuk memindahkan ujian sekolah karena Ramadhan dihentikan oleh departemen pendidikan Inggris.
Perlu dicatat bahwa ACSL membuat pamflet lain yang juga ditulis oleh Anna Cole. Judulnya, 'Safeguarding children from extremism and radicalisation' (Upaya melindungi anak-anak dari ekstrimisme dan radikalisasi) yang menuliskan bahwa, "ISIS adalah "ideologi politik, yang secara salah menggambarkan dirinya sebagai Islam yang sebenarnya. Ini dapat membingungkan siswa yang pemahamannya tentang Islam mungkin lemah". Menurut ACSL, jihad dan perang suci adalah 'mitos':
"Jihad dalam bahasa Arab... artinya: ...perjuangan... dimana penyebab/tujuannya adalah kebajikan dan keadilan...Perang suci bukan [merupakan] ungkapan dalam Al-Quran: Perang TIDAK ADA yang suci. Dalam Islam perang tidak dianggap benar atau salah.
Mengakomodasi Ramadhan bukanlah hal baru di beberapa sekolah di Swedia yang memang telah berlangsung bertahun-tahun. Di kota Jönköping, Swedia, ada kesepakatan antara para pejabat pendidikan kotamadya dan kelompok Muslim lokal yang menjamin perlakuan khusus bagi anak-anak Muslim, yang diduga telah ada sejak 1994. Pada 2011, kesepakatan tersebut diperbaharui dengan memasukkan bagaimana sekolah harus berurusan dengan Ramadhan. Pihak kotamadya kemudian dilaporkan ke departemen pendidikan nasional di Swedia; dengan tuduhan bahwa kesepakatan tersebut mengijinkan penindasan dan pengendalian atas anak-anak Muslim.
Diplomat-diplomat Swedia juga bersemangat mengakomodasi Ramadhan. Mei lalu, mereka menimbulkan "badai kecil" Facebook di antara pengguna warga Swedia. Kala itu, mereka mengumumkan bahwa mereka telah memindahkan perayaan hari libur nasional di konsulat jenderal mereka di Yerusalem, yang dijadwalkan pada 6 Juni, menjadi Bulan Mei guna menghindari 'tabrakan' dengan Ramadhan.
Berapa banyak orang lagi yang akan dibunuh atas nama jihad pada Ramadhan ini, sementara negara Barat bahkan menolak untuk mengetahui apa artinya?