Xenophobia, perasaan bencian terhadap orang asing sudah terdokumentasi sangat baik di Turki. Berbagai survei Pew tentang Perilaku Global (Pew Global Attitudes), misalnya memperlihatkan bahwa pandangan negatif terhadap Amerika Serikat "tersebar luas dan bertumbuh subur" di Turki, sebuah negara anggota NATO dan pelamar yang mau bergabung dengan Uni Eropa. Menurut Pew Research Centre:
"Dari 10 publik Muslim yang disurvei pada 2016, polling Pew Global Attitudes, memperlihatkan masyarakat Turki punya pandangan yang paling negatif, berdasarkan perhitungan rata-rata, terhadap masyarakat Barat.
"Pada skala itu, rata-rata Turki adalah 5,2. Tingkat perasaan negatif itu lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan pada 4 negara mayoritas Muslim yang disurvei ((Mesir, Indonesia, Yordania dan Pakistan) termasuk juga di antara warga Muslim di Nigeria, Inggeris, Jerman, Prancis dan Spanyol.
"Sebagian besar warga Turki ---dan jumlah mereka semakin banyak ---punya pandangan kurang baik terhadap umat Kristen dan kaum Yahudi"
Survei Pew tentang pendapat umum masyarakat Turki pada 2014 lalu juga menemukan naiknya sikap benci terhadap orang asing (xenophobia) yang penting, sehingga memperlihatkan bahwa masyarakat Turki memperlihatkan sikap tidak suka atas semua orang.
"Anti-Amerikanisme yang tertanam dalam diri sebuah masyarakat sekutu Amerika pantas diperhatikan," tulis Professor Doug Woodwell. "Opini publik Turki secara keseluruhan barangkali paling membenci orang asing di bumi ini...Apapun yang terjadi pada masa datang, sedikitnya warga Amerika bisa yakin; sementara itu, rakyat Turki mungkin punya pendapat yang lebih rendah terhadap AS dibandingkan dengan negara lain manapun. Namun, bagaimanapun mereka sama-sama pembenci yang punya peluang."
"Turki Sendirian Lawan Dunia"
Permusuhan Turki terhadap orang lain mempunyai sejarah panjang. Sejak Republik Turki didirikan pada 1923, murid sekolah Turki diajarkan berbagai mitos yang mempropagandakan, "Turki sendirian melawan dunia."
Narasi yang diajarkan di sekolah-sekolah Turki berbunyi seperti ini: penguasa-penguasa dunia --- termasuk bangsa-bangsa Barat dan Arab --- menyebabkan Kekaisaran Ottoman runtuh. Bangsa Yunani, Armenia, Kurdi dan semua orang non-Turki di Anatolia berkhianat kepada Turki dengan melakukan pemberontakan. Kemudian, pada era 1920-an, penguasa-penguasa Barat menyerang Bangsa Turki, pemilik sah Anatolia yang ditinggalkan oleh semua orang. Tetapi Bangsa Turki melawan kembali secara heroik dan secara mengagumkan mengalahkan musuh dan pengkhianat kemudian membangun kembali negara mereka, yang masih dikelilingi oleh musuh-musuh yang sibuk berkomplot membuat rencana untuk menghancurkan Bangsa Turki dan Turki.
Narasi itu tidak memasukan satupun pandangan kritis atas sejarah Turki. Setiap aksi historis yang dilakukan Bangsa Turki dipuji dan diidolakan. Buku pelajaran sejarah tidak menyebutkan satu katapun kejahatan yang Turki lakukan terhadap kaum minoritas negeri itu. Lebih jauh lagi, sejumlah pejabat Pemerintah dan militer Turki menggunakan ungkapan-ungkapan menghina yang menyasar kaum minoritas yang tak terhitung banyaknya---dengan bangga dan serampangan --- menyebabkan rasisme dan kecurigaan atau kebencian terhadap realitas arus utama kaum non-Turki dalam gelanggang politik Turki.
Bahkan ada "Teori Sejarah Turki" resmi, yang dirancang oleh Republik Turki baru pada era 1930-an berkat dorongan Mustafa Kemal Ataturk, pendiri republik tersebut. Lewat "Teori Sejarah Turki", masyarakat Turki dijejali dengan mitos-mitos supremasis dan rasis di mana peradaban Barat diremehkan dan peradaban yang bernama peradaban Turki dipuja-puja.
Sebuah poster propaganda dari masa kekuasaan Mustafa Kemal Ataturk tengah membantai para penentang reformasinya. (Pedangnya menampilkan kata "reformasi"). |
Menurut teori ini, Bangsa Turki menjadi pemukim pertama Asia Tengah, yang membangun peradaban pertama dunia. Belakangan, seiring dengan semakin meningkatnya kemarau panjang di Asia Tengah, Bangsa Turki menyebar ke berbagai bagian dunia membawa peradaban ke kawasan dunia lain. Bangsa Turki tetap berperan penting dalam membentuk dan memajukan peradaban Islam juga.
Lebih jauh lagi, teori itu menyatakan bahwa sejarah masyarakat Turki yang paling tua dapat dilacak kembali bukan saja dengan Asia Tengah tetapi juga dengan Anatolia yang mulai menjadi Turki pada masa akhir era Paleolitikum. Bangsa Yunani sebetulnya adalah Bangsa Turki. Dan perkembangan-perkembangan agung di Eropa dan Asia senantiasa terjadi bukan dari Barat ke Timur tetapi senantiasa dari Timur ke Barat.
Banyak masyarakat Turki juga meyakini adanya "Teori Bahasa Matahari" atau teori Bahasa Turki. Berdasarkan teori itu, semua bahasa modern berasal dari Turki, bahasa pertama yang pernah digunakan pada masa lalu oleh peradaban yang pernah menjadi peradaban teragung di dunia. Semua bahasa lain dapat dilacak pada akar Turkinya dan Bangsa Turki-lah yang pertama menggunakan tulisan.
Teori Turki sentris diajarkan di sekolah dan universitas Turki era 1930-an pada masa Ataturk berkuasa. Berdasarkan mitos-mitos ini, pandangan bernada rasisme dan irasional dicekokan ke dalam publik negeri itu.
Sejak itulah, banyak pemerintah Turki memanfaatkan propaganda yang tidak benar serta irasional demi keuntungan mereka serta lebih jauh lagi membantu menciptakan sebuah bangsa yang tidak banyak dilakukan dengan dunia dan sejarah nyata.
Bahkan beberapa dekade kemudian, misalnya, setelah Turki menjadi anggota NATO, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)-nya menjelaskan bahwa mereka bukanlah para sahabat Barat.
Pada 2014, Erdogan menuduh media internasional mengobarkan "perang psikologis" melawan Turki, menutup saluran media local karena bekerja sama dalam kampanye ini:
"Ada perang psikologis melawan Turki dalam media Barat, yang sepenuhnya bohong. Tiap hari, sejumlah suratkabar internasional muncul dan membuat operasi persepsi. Turki bukanlah negara yang bakal tunduk baik kepada jaringan pengkhianatan dalam negeri atau kepada operasi persepsi di luar negeri."
Presiden Turki juga menuduh dunia Barat membenci kaum Muslim tetapi mencintai uang mereka dan ingin melihat agama kaum Muslim mati. "Mereka terlihat seperti sahabat, tetapi mereka menginginkan kita mati; mereka senang melihat anak-anak kita mati. Berapa lama kita sanggup menghadapi kenyataan itu?" tanyanya.
Jelas, semua propaganda merasa diri lebih unggulnya Islam Turki yang anti-Barat ini sangat mempengaruhi cara berpikir banyak masyarakatnya. Menurut sebuah laporan yang berdasarkan hasil sebuah survei berjudul, "Nasionalisme di Turki dan di dunia" yang dilakukan oleh Prof. Ersin Kalaycioglu dari Universitas Sabanci dan Prof. Ali Carkoglu dari Universitas Koc pada tahun 2014, sebagian besar bangsa Turki berpikir bahwa tidak ada hal dalam sejarah mereka yang membuat mereka seharusnya merasa malu.
"Orang tidak merasa dekat dengan Eropa atau dengan Timur Tengah," urai Carkoglu.
"Pada dasarnya, mereka merasa dekat hanya antarmereka. Identitas global itu sesuatu yang aneh dalam pemikiran rakyat Turki. Bangsa Turki itu orang Turki. Dan satu fakta yang menarik adalah bahwa ketika kami [bertanya] jika semua orang menjadi orang Turki, akankah dunia menjadi tempat yang lebih baik, orang Turki pun memberikan angka yang sangat tinggi. Bagaimanapun, tidak ada kritik diri sama sekali...Satu isu yang membedakan Turki dari dunia lain adalah bahwa identitas nasional kami pertama-tama dibentuk oleh identitas agama. Apakah yang membuat satu orang Turki menjadi orang Turki tidak banyak berkaitan dengan etnisitas atau bahasa yang mereka gunakan, tetapi pertama soal menjadi Muslim."
Narasi merasa diri lebih unggul Bangsa Turki yang ditemukan oleh para penguasa dan ideolog Turki sejak negara itu didirikan jelas-jelas tercipta dalam jutaan aksi Xenophobia dan paranoid Turki, yang memiliki pandangan negatif terhadap semua orang bukan Turki. Dan ini membuka jalan menuju aksi kejam yang tak terhitung banyaknya melawan minoritas pribumi Anatolia.
Tidak pernah dalam sejarah mereka, rakyat Turki berdemo di jalan-jalan en masse sebagai tanda protes ketika warga Yunani, Armenia, Asiria, Kurdi, Alevi atau Yahudi negeri itu berhadapan (masih ada hingga kini) dengan ketidakadilan mengerikan yang tidak bisa diungkapkan --- termasuk pembantaian massal, pembunuhan manusia (pogrom), pengusiran paksa, pemaksaan agar orang meninggalkan tempat tinggal mereka, diganggu atau mendapatkan tekanan sosial. Negara Turki melaksanakan kebijakan diskriminatif bahkan cenderung membunuh manusia secara massal (genocidal) baik lewat partisipasi aktif atau lewat persetujuan secara diam-diam terhadap mayoritas publik
Tetapi ada hal yang membuat banyak warga Turki baru-baru ini berjejalan di jalan-jalan untuk berdikusi atau memprotes. Seperti Harian New York Times laporkan pada 2 Agustus lalu;
"Rakyat Turki bisa sepakat soal satu hal. Soal Amerika Serikat berada di balik kudeta yang gagal...Turki mungkin sebuah negara yang sangat terpolarisasi, tetapi ada satu hal yang membuat rakyat Turki dari segala unsur masyarakat ---kaum radikal Islam, kaum sekular, liberal, nasionalis --- tampaknya sepakati. Yaitu bahwa Amerika Serikat bagaimanapun terlibat dalam kudeta yang gagal."
Jelaslah, anti-Amerikanisme tengah mencapai titik puncak baru di Turki dan banyak warga Turki tidak butuh fakta dan bukti yang kuat untuk menentukan siapa di balik kudeta. Apa yang pemerintah atau kepala negara mereka katakan sudah cukup bagi mereka.
Sementara itu, Ankara baru-baru ini memaklumkan bahwa pihaknya "prihatin dengan bangkitnya kebencian terhadap orang asing (xenophobia) dan ketakutan terhadap Islam (Islamophobia) di Eropa," demikian menurut sebuah pernyataan tertulis dari Kementrian Urusan Luar Negeri. Karena itu, harian pro-pemerintah, Sabah melaporkan:
"Sekali lagi, kami ingin tekankan rasa keprihatinan yang kami miliki seputar rasisme, xenophobia dan Islamofobia yang benar-benar berkembang di Eropa pada masa akhir-akhir ini."
Pernyataan itu dikeluarkan untuk mengenangkan 5 warga Turki yang berdiam di Jerman, yang dibunuh pada tahun 1993, dalam sebuah serangan pembakaran rumah dengan sengaja di Solingen."Kami berharap insiden menyedihkan seperti ini tidak terjadi lagi."
Kecaman ini muncul dari pemerintah sebuah negara yang sudah membantai jutaan warga negaranya sendiri --- karena tidak menjadi orang Turki atau karena non-Muslim --- dan yang tidak pernah sekalipun meminta maaf atas kejahatan yang dilakukannya.
Akankah Pemerintah Turki masih membuat pengumuman yang sama jika tahu kecenderungan politik atau latar belakang etnis para korbannya? Apakah jika, misalnya para korban itu adalah para aktivis anti-pemerintah? Atau jika warga Turki anti-pemerintah itu dibantai bukan di Jerman tetapi di Turki? Apakah jika para korban adalah warga Kurdi yang meminta hak nasional dari Turki? Atau warga Armenia yang Presiden Turki Erdogan katakan "jelek" di TV nasional pada 2014 lalu? Melihat betapa tak bisa dijelaskan bagaimana Pemerintah Turki memperlakukan warga penentang dan minoritasnya, maka kita semua pun tahu jawabannya.
Jelas, bagi Pemerintah Turki, hanya nyawa rakyat Turki yang diperhitungkan. Kemudian bahkan hanya nyawa rakyat Turki "yang baik" yang dihargai. Orang baik itu adalah orang-orang yang tidak bakal mengajukan keberatan bahkan ketika orang dianiaya atau dibantai.
Robert Jones, pakar tentang Turki dan kini berbasis di Inggeris.