April 1945. Para tentara Inggeris berhasil membebaskan kamp konsentrasi Nazi di Bergen Belsen. Meski tertempa oleh kejamnya perang, para tentara itu tidak mampu menahan haru. Mereka menangis menyaksikan ngerinya tempat penyimpanan jenasah beserta tulang belulang kaum Yahudi yang dibakar atau dibunuh Nazi. Meski demikian, 70 tahun setelah ribuan tentara berjuang dan tewas demi menghancurkan rejim yang membunuh enam juta warga Yahudi, momok anti-Semitisme kembali berparade di segala penjuru Eropa.
Hanya dalam sepekan, seorang pemimpin mahasiswa Inggeris, seorang anggota parlemen Partai Buruh terpilih, seorang pemimpin dewan Kota London, anggota Komisi Eksekutif Nasional bahkan pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn dituduh terjebak dalam sikap membenci kaum Yahudi.
Ini puncak gunung es. Orang-orang itu terpilih naik ke jenjang kekuasaan oleh orang-orang yang berhak memilih yang tahu betul pandangan mereka sebenarnya. Andaikata tidak punya pandangan ini, mereka tidak bakal terpilih.
Semua sikap itu melanda kaum politik beraliran kiri. Tetapi persoalannya tidak berhenti di sini. Kanker kebencian terhadap Yahudi masa kini tersebar dari kanan ke kiri di segala penjuru negara-negara Eropa serta semua lembaga supranasionalnya, termasuk Uni Eropa dan PBB. Sikap benci itu dipimpin oleh para politisi, berbagai kelompok hak asasi manusia serta media yang mengubah pandangan dunia yang mengotori masyarakat umum sampai pada tingkat yang tidak mampu dibayangkan, bahkan mungkin oleh tokoh propaganda jahat Nazi sendiri, Dr. Josef Goebbels.
Pada abad ke-21, di luar Timur Tengah, orang sulit mengungkapkan rasa bencinya terhadap kaum Yahudi secara terbuka. Para pembenci Yahudi di manapun lalu menggunakan mandat: Negara Yahudi. Israel dengan demikian menjadi sasaran kebencian mereka yang bisa diterima. Itu sebabnya mengapa "solusi" Anggota Parlemen Partai Buruh Naz Shah, untuk "mengirimkan keluar" semua orang Yahudi dari Israel menggemakan kembali suara Reinhards Heydrich yang menakutkan. Implikasinya pun jelas, yaitu bahwa langkah itu akan dilakukan dengan paksa dan kasar.
Itu sebabnya mengapa Presiden Mahasiswa Uni Nasional Malia Bouattia menganjurkan perlunya aksi kejam terhadap Israel termasuk menuduh media internasional "dipimpin oleh kaum Zionis." Itu sebabnya mengapa Muhammed Butt, pemimpin dewan Buruh London, berbagi postingan Facebook mengecam Israel sebagai "negara teroris mirip ISIS." Itu sebabnya mengapa mantan Walikota London dan anggota Eksekutif Nasional Buruh Ken Livingstone mendiskreditkan Zionisme dengan pernyataan tegasnya bahwa Hitler mendukung upaya itu.
Dari manakah semua kebencian itu berasal? Sejarah panjangnya berawal dari Nabi kaum Muslim, Muhamad sedangkan bentuk modernnya muncul sebelum Hitler berkuasa. Ketika meninjau kembali era 1920-1930-an, maka diketahui bahwa geng-geng kejam jahat Arab pernah melakukan serangan terhadap berbagai komunitas Yahudi pasca-runtuhnya Kekaisaran Ottoman di wilayah Palestina Mandat Inggeris. Mereka berupaya membuang warga Yahudi ke laut. Aksi mereka dihentikan oleh Kapten Inggeris Orde Wingate. Sang Kapten belakangan mengajar kaum Yahudi untuk membela diri dengan cara berperang bersama pasukan Inggeris.
Beberapa tahun kemudian, Amin al-Husseini, Mufti Agung Yerusalemen membuat kesepakatan dengan Hitler guna menyelesaikan persoalan bagi Timur Tengah, namun gerak maju Jerman dalam berperang terhenti di El Alamein oleh Armada Ke-8 pimpinan Jenderal Montgomery. Segera setelah Negara Israel didirikan, 68 tahun silam pada bulan ini berkat resolusi PBB, angkatan bersenjata lima negara Arab menggempurnya dengan niat untuk membasminya. Ternyata, mereka gagal. Sejak itu, mereka mencoba menghancurkan Negara Yahudi dengan serangan militer dan segala bentuk terorisme.
Sadar bahwa secara kolektif mereka tidak mampu membasmi kaum Yahudi dari tanah tumpah darah historis mereka dengan paksa, bangsa Arab lalu melancarkan propaganda jahat yang benar-benar sangat mematikan. Mereka bahkan menganggap Negara Yahudi sebagai setan. Kebohongan mereka mencakup dusta yang terang-terangan bahwa berdasarkan hukum internasional, keberadaan komunitas Yahudi di Yudea dan Samaria itu illegal; bahwa Pemerintah Yahudi menjalankan negara apartheid yang menindas; bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mencelol Gaza dengan serangan illegal yang berlarut-larut serta tanpa alasan; bahwa Pemerintah Israel terus saja menjadi satu-satunya hambatan bagi perdamaian di Timur Tengah; dan bahwa pasukan keamaan Israel sengaja membunuh warga Palestina yang tidak bersalah di Gaza dan Tepi Barat.
Menyadari bahwa kekuatan pena itu diperbesar oleh kilauan pedang, para pemimpin Palestina dan jurubayar mereka Isran pun kerapkali memanfaatkan aksi kekerasan agar bisa mendapatkan perhatian kalangan internasional. Memprovokasi Israel supaya membunuh warga Palestina guna memastikan adanya kecaman dari masyarakat global terhadap Israel menjadi tujuan yang sebenarnya yang hendak diperoleh di balik perang roket Gaza dan gelombang serangan jahat dengan pisau serta atas mobil warga Israel baru-baru ini.
Mengapa Barat menjadi kaki tangan dari kebencian dan sikap fanatik yang terinspirasi oleh agama ini? Ada tiga alasan mendasar. Pertama, Eropa, benar-benar merasa bersalah karena penjajahan yang pernah dilakukannya. Dengan demikian, berbagai kalangan yang secara historis terlihat tertindas dan dieksploitasi kini dinilai tidak bisa salah. Masyarakat Barat, pada pihak lain, harus melemahkan diri dan tunduk kepada kaum yang dulu ditindasnya.
Kedua, setiap negara Eropa bergantung pada minyak Arab supaya bisa terus hidup. Dan untuk mengembalikan petrodollar yang sudah diterimanya, negara-negara Eropa lalu menjual senjata dan melakukan penanaman modal besar-besaran dalam ekonomi negara-negara Arab di Timur Tengah.
Ketiga, pemerintah Barat sadar akan kekuatan populasi Islam di negara mereka yang senantiasa berkembang. Mereka takut dengan sikap ekstrim orang-orang yang menolak nilai-nilai Barat lalu ingin dengan cara kejam menggantikannya dengan undang-undang Shariat Islam. Dan memang, mereka memperhitungkan angka-angka suara kaum Muslim dalam kotak suara mereka.
Mereka tahu bahwa di antara berbagai komunitas ini ada sikap benci yang tersebar luas dan kuat tertanam terhadap kaum Yahudi dan Israel. Mehdi Hasan, seorang wartawan politik Muslim Inggeris pun mengakuinya: "sikap anti-Semitisme bukan saja ditoleransi di sejumlah bagian komunitas Muslim Inggeris; tetapi juga menjadi sikap rutin yang lumrah." Para politisi kita percaya bahwa dengan berupaya menyenangkan hati, mereka justru memuaskan nafsu berdarah kaum jihadi serta mendapatkan dukungan dari para pemilih Muslim.
Ini menyebabkan kita lihat para pemimpin Barat mengecam Israel seabagai tidak cukup mampu menahan diri ketika membela diri dari serangan roket Hamas yang berbahaya, ketika mereka benar-benar tahu bahwa Israel sudah melakukan segalanya yang mampu dilakukannya guna menghindari tewasnya warga sipil. Itu sebabnya tidak satu pun negara anggota Uni Eropa yang berani menentang kecaman yang salah terhadap Israel karena kejahatan perang di Dewan Hak Asasi Manusia PBBB tahun silam. Itu sebabnya mengapa Pemerintah Inggeris tegas mengatakan bahwa pemukiman Yahudi di Tepi Barat itu ilegal walau tahu bahwa sebetulnya tidak. Itu sebabnya mengapa Perdana Menteri David Cameron, seorang teman dan pendukung Negara Yahudi menuduh Israel mengubah Jalur Gaza menjadi "kamp penjara" ketika dia tahu tidak demikian terjadi.
Kecaman yang salah penuh dengki itu menjadi bahan bakar kebencian atas Israel dan masyarakat Yahudi di manapun mereka berada. Apalagi sikap itu terdorong dan diperhebat oleh media yang didominasi oleh sikap bias anti-Israel yang keras suaranya, yang sangat mematikan sekaligus keras hati.
Bagaimanakah masa depannya? Rasa bersalah akibat imperialisme masa lalu di Eropa tidak memperlihat tanda-tanda surut. Nyatanya, ideologi di baliknya semakin kuat tatkala Uni Eropa berjuang menghancurkan identitas nasional dalam upayanya membangun suatu uni yang semakin erat sekaligus untuk membangun negara super.
Terlepas dari upayanya mengembangkan berbagai teknologi energi, Barat tidak mungkin secara signifikan mampu mengurangi ketergantungannya terhadap minyak Timur Tengah pada masa datang dalam waktu dekat. Dan kini, seiring dengan banyaknya aliran masuk para pengungsi dari negara-negara Muslim menuju Eropa, dorongan untuk menyenangkan perilaku anti-Semitik dan anti-Israel mereka bakal meningkat dramatis.
Ini berarti Israel dan kaum Yahudi makin ditekan. Ia bakal menyebabkan warga Yahudi semakin banyak bakal keluar dari negara-negara Barat dan dengan demikian semakin meningkatkan isolasi internasional terhadap Negara Yahudi.
Tetapi ada, alternatifnya. Alternatifnya adalah bahwa para pemimpin politik Barat harus punya keberanian untuk menolak prasangka anti-Israel yang mematikan. Supaya berbicara tentang apa yang benar-benar mereka ketahui tentang situasi di Timur Tengah. Supaya berhenti mendorong para pemimpin Paletina untuk mempercayai kampanye mereka melawan Israel bakal berhasil menghancurkan Negara Yahudi. Dan daripada mendukung rasa benci warga Palestina dengan dolar negara-negara Barat, para pemimpin itu perlu menjatuhkan sanksi terhadap perilaku rasis dan destruktif mereka.
Sikap para politisi Barat yang lemah yang berupaya menyenangkan hati yang berlarut-larut berdampak jauh lebih besar daripada sekedar mendorong sikap anti-Semitisme yang merusak Negara Israel. Sikap itu fatal dan menurun dari negara mereka sendiri yang tidak bisa diubah lagi. Dengan membiarkan kebencian anti-Semitik berkembang, mereka sebetulnya mengkhianati jutaan warga negara yang telah berjuang dan tewas guna menentang berbagai ideologi jahat yang kini justru mereka tetaskan.
Kolonel Richard Kemp adalah Komandan Pasukan Inggeris di Afghanistan. Ia pernah bekerja di Irak, Arab Saudi, kawasan Balkan dan Irlandia Utara serta menjadi ketua tim terorisme internasional untuk Komisi Kerja Sama Intelijen Kerajaan Inggeris. Jasper Reid adalah pengamat politik Inggeris yang mengkhususkan diri dalam bidang politik, pertahanan dan keamanaan internasional.