Mei tahun ini --- merupakan perayaan 70 tahun Pengadilan Nuremberg. Ketika mengenang kembali para pemimpin Nazi tertentu diajukan ke pengadilan, kita seharusnya mengajukan sejumlah pertanyaan yang menganggu terkait dengan adanya banyak kalangan yang tidak pernah diajukan ke pengadilan meski terlibat dalam genosida, pembersihan etnis dunia yang paling mengerikan. Bagaimanapun, jelas tidak mungkin melancarkan pembunuhan massal atas begitu banyak orang tanpa banyak pemerintah, kelompok dan individu terlibat di dalamnya. Barangkali, terlampau banyak pihak yang bersalah yang bisa diajukan ke meja pengadilan, namun belumlah terlampau terlambat untuk meminta pertanggungjawaban yang secara moral salah atas apa yang mereka lakukan dan yang gagal mereka lakukan.
Tujuh puluh tahun silam, sekelompok anggota Nazi kenamaan diajukan pengadilan karena kejahatan perang oleh para sekutu Perang Dunia II di Pengadilan Nuremberg. Dari kiri ke kanan: Pada tempat duduk barisan pertama Hermann Goering, Rudolf Hess, Joachim von Ribbentrop, Wilhelm Keitel, Ernest Kaltenbrunner. Pada barus kedua, Karl Doenitz, Erich Raeder, Baldur von Schirach dan Fritz Sauckel. |
Tentu saja, orang-orang yang paling bersalah adalah para pemimpin Nazi yang langsung merencanakan dan menjalankan solusi terakhir. Tujuan mereka adalah hendak mengumpulkan kaum Yahudi dari seluruh dunia guna membunuh sekaligus menghancurkan apa yang mereka anggap sebagai "ras Yahudi." Nyaris mereka berhasil, menghapus tuntas nyaris semua kaum Yahudi Eropa dalam waktu relatif pendek. Para pemimpin Nazi itu pun meminta bantuan banyak "penjagal relawan" di Jerman dan negara-negara lain yang berada di bawah kekuasaannya. Di antara para pelaku kejahatan paling mengerikan ada orang-orang Lithuania, Latvia, Hongaria, Slowakia, Polandia, Ukraina dan negara-negara lainnya. Memang, ada sejumlah pahlawan di antara berbagai kelompok itu. Mereka pantas dikenang dan dihormati untuk itu. Tetapi jumlah penjahatnya jauh melebihi jumlah para pahlawannya.
Lalu, ada pemerintahan yang bersalah yang bekerja sama membantu memfasilitasi deportasi dan-pengerahan massal kaum Yahudi. Pemerintah Perancis mendeportasi jauh lebih banyak kaum Yahudi dibanding yang dituntut oleh Nazi. Pemerintahan lain, termasuk Pemerintahan Norwegia, Belanda, Hongaria dan Austria ( yang telah menjadi bagian Nazi Jerman), juga membantu Nazi mencapai tujuan genosida. Bulgaria, pada pihak lain, menolak bekerja sama dalam aksi genosida ala Nazi sehingga sedikit warga Yahudinya selamat. Denmark pun menyelamatkan warga Yahudinya, banyak dari mereka yang dikirimkan dengan kapal ferry menuju Swedia yang netral.
Ada juga negara-negara yang menolak menerima kaum Yahudi yang mungkin berhasil melarikan diri dari Nazi andai diijinkan memasuki negara-negara itu. Negara-negara itu mencakup Amerika Serikat, Kanada dan banyak tempat suaka potensial lain yang menutup pintu. Di Amerika Serikat dan Kanada pun, ada pahlawan-pahlawan yang menekan pemimpin mereka untuk bertindak lebih, tetapi, sebagian besar dari mereka gagal melakukannya.
Banyak pemimpin Arab dan Muslim pun turut memainkan peran-peran tercela. Mereka memihak Nazi kemudian melakukan aksi pembunuhan ala mereka sendiri terhadap kaum Yahudi setempat. Penjahat kenamaan dalam kaitan dengan ini adalah Mufti Agung Yerusalem masa itu, Haji Amin al-Husseini. Dia bergabung dengan Hitler di Berlin dan berperan aktif mengirim kaum Yahudi menuju maut serta menutup pintu negaranya terhadap para pengungsi Yahudi.
Apalagi yang bisa dilakukan oleh Inggeris dan Amerika Serikat guna mengakhiri pembersihan ras Yahudi? Bisakah mereka membom jalur rel kereta api menuju Auschwits dank amp-kamp maut lainnya? Ini pertanyaan rumit yang diajukan tetapi tidak pernah ada jawaban memuaskan yang diberikan sejak 1945.
Ada juga aksi kalangan-kalangan tertentu yang memaatkan sehingga meringankan hukuman para tokoh Nazi yang diajukan di Nuremberg. Ada juga pihak yang membantu mereka melarikan diri dari proses pengadilan setelah perang berakhir. Daftar para pihak itu panjang sekaligus sangat mengganggu.
Dengan memusatkan perhatian secara sempit pada para pemimpin Nazi dan antek-antek langsung mereka, maka Pengadilan Nurember secara implisit memaklumkan siapa saja yang berperan penting, tetapi tidak langsung, peran-peran yang terjadi karena tindakan sekaligus sikap diam mereka. Pada hakikatnya, memang terbatas upaya pengadilan untuk memberikan keadilan kepada sejumlah orang yang masuk dalam rangkaian kesalahan hukum dan moral yang luas. Tetapi usaha para sejarahwan, filsuf, ahli hukum dan masyarakat biasa, tidaklah terlampau terbatas. Kita boleh menudingkan jari kecaman atas semua orang yang pantas dikencam, terlepas dari apakah mereka diajukan ke pengadilan di Nuremberg atau pada proses hukum selanjutnya.
Keadilan sempurna memang tidak pernah ada bagi orang-orang yang membantu menjalankan Holocaust. Sebagian besar orang-orang yang bersalah itu berhasil melepaskan diri dari proses hukum, menjalani hidup bahagia dan meninggal dunia di tempat tidur mereka, dikelilingi para anggota keluarga yang penuh cinta. Jerman Barat pun kemudian bertumbuh menjadi negara makmur menyusul diterapkannya Marshall Plan. Banyak industrialis Jerman yang mendapatkan keuntungan dari perbudakan tenaga kerja, terus mendapatkan keuntungan akibat dari kebutuhan Perang Dingin yang dipersepsi orang. Skala keadilan tetap tidak seimbang. Barangkali hal ini membantu menjelaskan mengapa lebih dari enam juta orang dibunuh dalam berbagai genosida yang sebetulnya bisa dicegah--- di Kamboja, Rwanda, Darfur dan tempat-tempat lainnya --- karena dunia bertekad, "tidak bakal terjadi lagi."
Tentu saja berisiko. Karena bagaimanapun, mengecam semua orang berarti kita tidak mengecam satu orang pun. Dengan demikian, penting untuk mempadankan tanggung jawab berbagai pihak yang memainkan berbagai peran dalam Holocaust. Ini memang tugas yang menakutkan, tetapi harus dijalankan jika genosida atau pembantaian sebuah etnis hendak dihambat.
Professor Alan Dershowitz, bersama Professor Irwin Cotler, adalah rekan ketua sebuah symposium tentang warisan Pengadilan Nuremberg yang tengah diselenggarakan di Krakow, Polandia, 4 Mei 2016, lalu.